Share

Chapter 6| Kejar Bahagiamu

Sharena melempar surat kabar yang dibawa adiknya, di dalam sana berita tentang penggantian peran Salsa dalam sinetron “Mencintai Suami Sahabatku” sedang menjadi tajuk utama. Sharena sudah menduga hal ini akan terjadi, ia akan diusir dari produksi sinetron itu ketika berita prostitusi online ini mencuat. Namun, tetap saja, rasanya masih menyakitkan sekali pun kondisi buruk ini sudah diprediksi.

“Pihak produksi tidak mengkonfirmasi penggantian pemeran ini sebelumnya pada pihak kita, Kak. Mereka langsung mengumumkan di media bahwa Fiona akan menggantikan peran Kakak dalam sinetron itu,” jelas May tidak bisa berbuat banyak sebagai manajer sang kakak.

Dalam kontrak memang tertera jika suatu saat aktris yang terlibat dalam sinetron ‘Mencintai Suami Sahabatku’ terlibat masalah atau skandal maka mereka akan diberhentikan secara tidak hormat dan wajib mengganti biaya tanda tangan kontrak yang sudah diberikan di awal. Jadi sekarang, selain harus diusir dari sinetron yang melambungkan namanya, Sharena juga berkewajiban membayar denda karena dia tidak bisa menyelesaikan kontrak dengan baik.

“Mereka akan menyesal karena telah melakukan ini semua padaku. Awas saja, kalau aku terbukti tidak bersalah maka aku akan mempermalukan mereka di depan masyarakat!”

“Sudahlah, jangan memikirkan hal tidak penting seperti itu. Fokus pada kasusmu, titik terang mulai terlihat untuk persidangan berikutnya.”

“Hm, iya juga, setelah melewati sidang perdana kemarin rasanya hati kakak agak lega, May. Ternyata pengadilan tidak semenyeramkan itu, kamu tahu dari mana kalau bukti transfer yang ditunjukkan jaksa tadi direkayasa?”

“Aku minta tolong sama temanku, kebetulan dia orang IT yang lagi magang di kepolisian. Setelah diperiksa dengan alat yang entah apa namanya aku tidak mengerti, ternyata ketahuan bahwa bukti-bukti itu tidak asli.”

“Sejak kapan kamu punya teman polisi?”

“Bukan polisi, dia teman satu kampusku tapi beda jurusan. Dia langsung menghubungiku  saat berita penangkapan Kakak keluar. Dari situ aku langsung meminta bantuannya untuk memeriksa keaslian bukti-bukti yang ditunjukkan jaksa.”

“Kalau temanmu tahu semua bukti itu hasil rekayasa lalu kenapa orang-orang kejaksaan tidak mengetahuinya? Pasti orang-orang di sana juga jauh lebih kompeten bukan?”

“Ini juga yang sedang diselidiki bu Ratmi, Kak. Dikhawatirkan ada keterlibatan oknum jaksa untuk memanipulasi bukti-bukti yang memberatkan Kakak.”

Bugh!

Sharena menggebrak meja keras, ternyata rencana kejahatan ini sungguh matang. Jebakannya bukan dilakukan oleh amatir, sedengki itukah orang-orang di luar sana sampai nekat menyingkirkan Sharena dengan cara kotor seperti ini?

“Sepertinya Kakak terlalu hebat buat jadi artis, May, baru ngetop sebentar yang dengki langsung kelabakan gini. Cara mereka untuk menjatuhkan Kakak sama sekali enggak keren. Kampungan, norak!”

“Orang gila itu memang sangat keterlaluan, makanya mulai sekarang Kakak jangan lemah. Jangan kebanyakan murung dan menyakiti tubuh Kakak sendiri. Kita mesti kuat dan dominan supaya mereka juga berhenti merendahkan kita.”

“Oke, kamu tenang aja, May. Kemarin-kemarin Kakak murung karena kaget aja sama situasi ini. Sekarang, Kakak sudah lebih siap untuk memerangi mereka. Selama ini Kakak paling malas cari masalah sama orang tapi kalau udah gini caranya, ayolah, mau sampai mana juga gua jabanin!” tekad Sharena penuh ambisi.

May senang melihat kakaknya sudah kembali bersemangat. Dia mendapat energi lebih untuk memperjuangkan Sharena keluar dari penjara. Setidaknya Sharena harus baik-baik saja di sini agar May juga tenang.

“Aku bahagia lihat Kakak kayak gini, semua rasa lelahku jadi hilang sekarang.”

Sharena menatap adiknya dalam, ia lalu menggenggam tangan May erat sambil menatap sang adik lekat.

“Kakak janji akan membahagiakan kamu setelah semua masalah ini selesai. Untuk sementara kamu harus kuat hidup di luar sana tanpa Kakak. Kamu bisa, kan?”

“Tentu, aku bisa menjaga diriku sendiri selama Kakak juga baik-baik di sini. Bagaimana teman-teman Kakak di dalam sana?”

“Semuanya baik, mereka sudah seperti keluarga. Pokoknya Kakak akan membentuk aliansi sekuat mungkin di sini. Kalau semua teman sel Kakak keluar maka orang-orang yang sekarang menghujat dan memfitnah Kakak akan binasa. Lihat saja!”

Sharena tidak bercanda, dia ingin balas dendam suatu hari nanti. Untuk saat ini yang terpikirkan olehnya hanyalah cara kekerasan. Akan sangat menguntungkan jika dia menyerang musuhnya sambil membawa serta teman-teman narapidana di selnya.

“Ngawur terus, pokoknya Kakak siap-siap untuk sidang kedua minggu depan. Aku ingin menang di persidangan itu. Hari ini aku mau menemui seorang saksi lagi, doakan agar semuanya lancar.”

“Saksi baru lagi? Siapa?”

“Ada salah seorang petugas hotel yang minta dirahasiakan dulu namanya. Kemarin dia menghubungiku dan berkata bahwa dia mengetahui sesuatu tentang proses pemesanan kamar 405. Kenapa Kakak dan tua bangka AT itu bisa memesan kamar yang sama, dia tahu semuanya.”

Mata Sharena melotot, bibirnya tersenyum lebar, “Benarkah dia mengetahui semuanya?”

“Ya, dia bilang begitu. Tapi dia tidak berani mengungkap identitasnya karena itu sangat berbahaya. Aku akan membujuknya untuk memberikan kesaksian di pengadilan. Aku juga berencana meminta bantuan polisi untuk melindunginya kalau sampai dia bersedia jadi saksi untuk Kakak.”

“Ya, Tuhan, terima kasih. Akhirnya ada titik terang yang benar-benar terang. May kamu hebat banget,” senang Sharena sambil menciumi punggung tangan adiknya.

“Saudari Sharena, waktu kunjungan sudah habis. Mari kembali ke sel!” ajak seorang sipir, Sharena mengangguk patuh.

“Kakak ke dalam dulu ya, kamu hati-hati di jalan dan jangan lupa makan siang.”

May mengangguk sambil tersenyum tipis, setelah itu mereka pun berpisah.

***

Malam hari, Saka masih berada di kantornya. Setengah jam lagi dia akan pulang setelah semua laporan yang harus dia proses selesai. Terdengar tawa menggelegar dari ruangan sebelah, anak buahnya tengah bercanda sambil mengobrol santai di sela pergantian jaga. Ponsel Saka berdering, panggilan dari sang istri, dia langsung menjawabnya.

“Ya, ada apa?”

“Aku pulang telat malam ini.”

“Kenapa?” tanya Saka menumpahkan seluruh perhatian pada percakapan bersama istrinya.

“Ada meeting dadakan bersama klien pukul delapan nanti. Setelah itu aku akan menghadiri pesta ulang tahun bosku, kemungkinan bisa sampai larut.”

“Perlu aku jemput?” tawar Saka lagi, ekspresinya sulit dibaca.

“Tidak perlu, aku akan pulang diantar Nataly. Kamu jangan  menungguku, setelah tiba di rumah langsung makan dan tidur, ya. Oh, aku juga sudah meminta bi Ijah memasak, semua makanan sudah siap nanti kamu tinggal panaskan saja.”

“Oke.”

“Good night, Sayang.”

Good night.”

Panggilan terputus, Saka menatap kosong ponselnya lalu memejam dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Selalu seperti ini, Saka tidak mengerti jenis hubungan apa yang sedang dia jalani sekarang. Rumah tangganya terasa semakin hampa dari tahun ke tahun.

“Lo lagi puber kedua ya, Ka?”

Pertanyaan Tristan menyambar pikirannya yang sedang kalut. Pria itu bergeming sesaat lalu membuka laci meja dan mengeluarkan sepaket kertas plus amplop yang entah mengapa ia beli beberapa saat lalu.

“Lo suka sama Sharena, kan?”

Tristan memang menyebalkan, dia selalu mengusik Saka sekalipun secara fisiknya sedang tidak ada di sana.

“Aku tidak bersalah, Pak polisi percaya padaku, kan?”

Saka ingat betul bagaimana serius dan tulusnya tatapan Sharena saat itu. Dia mati-matian mengelak semua tuduhan dan mengomel frustrasi meminta semua orang mempercayai omongannya. Namun saat itu tak ada satu pun yang berada di pihak Sharena. Saka termasuk orang yang meragukan kebenaran ucapan Sharena.

 Dia mengira bahwa gadis itu hanya mencari-cari alasan. Akan tetapi apa yang ia saksikan di sidang pertama kemarin, membuat hati Saka semakin ketar-ketir. Dia benar-benar takut melakukan kesalahan, jika sampai Sharena terbukti tidak bersalah maka bisa dibilang Saka menjadi salah satu pihak yang menghancurkan kehidupan gadis itu. baru tiba di titik menduga-duga saja Saka sudah sangat merasa bersalah. Apa yang harus ia lakukan nanti?

“Anda pulang sekarang, Dan?”

“Iya, selamat bertugas dan jika ada hal mendesak segera hubungi saya, jangan ragu.”

Saka ini memang pemimpin yang sigap, kapan pun dan jam berapa pun jika kantor memanggilnya maka dia akan langsung datang tanpa banyak alasan. Mungkin karena kredibilitas dan loyalitas itulah Sakalangit Bastara bisa menduduki posisi sekarang di usia yang relatif masih muda.

“Baik, Dan, hati-hati di jalan.”

Saka mengangguk lantas keluar dari kantor polisi. Ia mengendarai Pajero hitam dan sudah melesat santai membelah jalanan pusat kota. Jarak dari kantor dan rumahnya tidak begitu jauh, hanya diperlukan waktu satu jam dalam kecepatan sedang. Jika mengebut mungkin 30 menit juga cukup. Saka berhenti di lampu merah, ia melihat billboard yang memperlihatkan potret cantik Sharena dalam iklan parfum.

Senyum yang ada di billboard itu jauh lebih lebar dari senyuman yang Saka lihat saat di pengadilan tempo hari. Ini sedikit aneh, Saka yakin billboard itu sudah cukup lama dipasang di sana. Dia juga sering terjebak lampu merah di barisan paling depan seperti sekarang ini. Tapi entah mengapa Saka baru benar-benar sadar bahwa wanita di billboard itu adalah Sharena ya hari ini. Pemandangan Saka sedikit terganggu saat ia melihat beberapa orang ada di sekitar billboard  itu. entah apa yang mereka lakukan dan beberapa detik kemudian potret Sharena pun menghilang. Berganti dengan wajah wanita lain yang mengiklankan produk yang sebelumnya diiklankan Sharena.

Tin ... tin ... tin ...

Klakson menggema, menyadarkan Saka dari lamunannya. Ia pun lanjut melajukan mobilnya dalam keadaan heran pada dirinya sendiri. Sepertinya dia terlalu jauh mendalami kasus prostitusi online ini. Satu jam berlalu, Saka tiba di kediamannya, sebuah perumahan elite yang bukan sembarang orang bisa tinggal di sana. Ia membersihkan diri dengan cepat, makan malam seorang diri seperti biasanya lalu memutuskan istirahat di kamar.

Rumahnya mewah dan besar, tidak ada penghuni lain malam ini selain dirinya. Bi Ijah adalah asisten rumah tangga yang bekerja di siang hari sampai pukul tujuh malam. Ia bekerja pulang-pergi dan tidak menginap di sana karena memiliki suami yang sakit-sakitan. Katanya dia khawatir jika harus meninggalkan sang suami di rumah saat malam. Meskipun ada anak-anaknya bi Ijah tetap tidak tenang oleh karena itulah dia meminta izin pada Saka untuk pulang pergi. Saka mengizinkannya tentu saja meskipun Lidya sempat menolak. Saka baru akan memejamkan mata tiba-tiba ponselnya berdering lagi. Dia raih ponsel itu lalu tersenyum manis saat tahu siapa pemanggilnya.

“Halo, assalamualaikum,” salam Saka sopan.

“Waalaikumsalam, Ibu ganggu kamu?”

“Enggak, kok, Bu. Ada apa?”

“Enggak ada apa-apa, Ibu hanya merindukanmu, Nak. Sudah lama kamu tidak pulang ke sini.”

“Aku juga rindu Ibu, maaf ya Bu, belum sempat terus berkunjung ke sana. Bagaimana kabar Ibu dan Bapak? Sehat-sehat, kan?”

“Alhamdulillah Ibu sehat, kalau Bapakmu udah dua hari ini jantungnya kumat.”

“Astagfirullah, terus gimana, Bu? Sudah dibawa ke dokter?”

“Alhamdulillah sudah, kamu jangan khawatir. Kondisinya tidak serius kok, cuma perlu istirahat yang cukup aja. Dokter juga sudah ngasih obat buat Bapak.”

“Boleh aku ngobrol sama Bapak, Bu?” Saka yang tadi berbaring kini sudah duduk tegap dengan ekspresi cemas. Hatinya semakin tidak tenang mendengar sang bapak sakit.

“Boleh, sebentar ya.”

Saka mendengar langkah ibunya, sepertinya beliau menghubungi Saka di luar kamar. Tak lama kemudian Saka pun mendengar suara sang bapak yang lemah.

“Assalamualaikum, Pak?”

“Waalaikumsalam, Ibumu ngomong yang aneh-aneh sama kamu, Ka?” todong bapak Saka yang memang tidak suka jika sang istri membocorkan kondisi kesehatannya pada Saka.

“Bapak kenapa enggak bilang dari awal kalau lagi sakit?”

“Buat apa? penyakit ini selalu begini dari dulu, datang dan pergi semaunya. Jadi biarkan saja, tidak perlu dihebohkan. Dasar ibumu saja yang berlebihan.”

“Aku khawatir sama kondisi Bapak, gimana kalau untuk sementara Bapak sama Ibu tinggal di sini? Biar aku bisa mengontrol kondisi Bapak setiap hari.”

“Enggak usah, Ka, Bapak sudah baik-baik saja, kok. Lagi pula kamu juga sibuk banget, Bapak enggak mau nambah beban kamu kalau Bapak tinggal di sana.”

“Astagfirullah, jangan bicara seperti itu, Pak. Aku tidak terbebani sama sekali.”

“Sudah, sudah, kalau membahas penyakit Bapak tidak akan ada habisnya. Gimana kabar Lidya istrimu?”

“Alhamdulillah dia baik, Pak.”

“Mana dia, Bapak mau bicara sebentar, sudah lama Bapak tidak mengobrol dengannya.”

Saka terdiam, tidak langsung memberi respons. Tampaknya sang bapak di seberang sana sudah mengerti keadaan di rumah sang putra saat ini.

“Dia belum pulang?” tanya bapak Saka.

“Iya, katanya hari ini dia ada lembur dan mau menghadiri acara penting dulu.”

“Hm ... mau sampai kapan, Ka?”

“Maksud Bapak?” Saka benar-benar tidak paham dengan pertanyaan bapaknya.

“Rumah tanggamu sedang tidak sehat, segera sembuhkan kalau kamu tidak ingin penyakitnya lebih serius.”

“Kami baik-baik saja, Pak.”

“Bapak tidak bisa berbuat apa-apa untuk masalah rumah tanggamu, Ka. Hanya kamu yang berhak memutuskan tindakan. Bapak tidak mau ikut campur, yang bisa Bapak berikan hanya saran agar bisa menjadi bahan pertimbanganmu. Bapak dan Ibu sudah tua, kamu tahu sendiri kondisi kesehatan Bapak seperti apa. Kami hanya ingin melihat kamu bahagia, lupakan keinginan Ibumu yang ingin segera memiliki cucu. Bukan itu yang harus kamu perjuangkan sekarang, cukup berjuang untuk kebahagiaanmu sendiri. Menjadi sedikit egois tidak masalah jika itu diperlukan. Kamu mengerti maksud Bapak?”

Lagi-lagi Saka bergeming, matanya kelihatan sendu, ia mengembuskan napas berat lalu bergumam, “Iya Pak, aku mengerti. Terima kasih atas sarannya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status