"Ingat, suatu saat kamu akan merasakan bagaimana sakitnya kehilangan," bisik Amanda dengan tatapan bengisnya.
Malam itu Amanda terpaksa meninggalkan rumah mewahnya bersama Rama yang ia bangun dengan keringat dan airmata. Perusahaan ia rintis bersama Rama, kini sudah dikuasai seorang wanita yang ingin mendapatkan hidup yang layak demi buah hatinya.
Amanda berusaha tegar. Ia harus kuat demi kedua jagoannya. Di tengah derasnya hujan, Amanda berjalan bersama kedua jagoannya menyusuri jalanan ibukota.
Hingga di sebuah sudut jalan, ia melihat ada sebuah rumah kosong. Sementara waktu, ia pun meneduh di sana bersama kedua anaknya.
Beberapa jam kemudian
Karena cuaca yang buruk, salah satu anaknya, Adit, demam tinggi. Amanda pun bergegas pergi mencari obat. Barangkali masih ada warung yang buka.
"Kamu tunggu
[Sekalinya pecundang, ya akan selamanya jadi pecundang. Kamu itu nggak pantas mendampingi Raline yang cantik dan nyaris sempurna. Lihat dirimu sekarang, Galih. Hanya lelaki cacat yang sepanjang hidupnya harus berada di kursi roda.][Wanita secantik Raline, sesempurna Raline tidak pantas hidupnya dihabiskan hanya mengurusi lelaki cacat dan pecundang seperti kamu!]Wajah Galih seketika berubah. Jiwanya yang baru saja mulai bangkit kepercayaan dirinya, seketika hancur dan lenyap begitu saja.Galih tersenyum sinis."Dia benar. Orang sebaik dan secantik Raline, nggak pantas mengurusi lelaki cacat sepertiku," lirih Galih.Dion yang baru saja bahagia melihat kepercayaan diri sahabatnya yang mulai bangkit menjadi bingung, apa yang sebenarnya terjadi hingga Galih jadi berubah kembali."Galih, lu ken
"Ini Adit, Bu ....""Adit?" ucap Nyonya Amanda."Adit ....""Iya, Bu. Ini Adit, anak kesayangan Ibu ...." jawab Adit yang terus menangis."Adit ....""Nggak, Adit udah mati! Adit udah mati!" jerit Amanda berteriak histeris. Ia mengamuk dan mendorong Adit hingga tersungkur ke lantai.Andre pun langsung memeluk ibunya itu agar kembali tenang. Kali ini, Andre pun didorongnya. Nyonya Amanda pun berlari ke luar kamarnya. Untung, dengan sigap Andre berhasil mencegah sang ibu pergi dari apartemennya."Bu, tenang. Ini Andre. Ada Andre, Bu ...." ucap Andre menenangkan sang Ibu dengan pelukannya.Amanda pun mulai tenang. Andre membawa ibunya itu kembali ke kamarnya. Adit hanya bisa terduduk lemah dengan tatapan kosong.Andre pun mengunci pintu kamar agar tidak kecolongan lagi saat ibunya itu berusaha kabur dari apartemennya. Andre pun berusaha menatap Adit dan men
Raline terjaga dari tidurnya. Ia pun melihat jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Raline pun langsung menuju kamar Nyonya Amira untuk mengecek Austin."Bu, maafin ya tadi Raline ketiduran," ucap Raline saat masuk ke kamar mantan mertuanya itu. Raline pun membawa Austin yang sudah tertidur lelap.Raline pun kembali ke kamarnya. Ia membaringkan Austin ke atas ranjang tempat tidurnya. Raline pun kembali beranjak tidur karena keesokan harinya ia harus meeting pagi mempersiapkan pertemuannya bersama Hamid dan Sisil lagi.Pukul 07.00Raline sudah bersiap ke kantor. Setelah menyiapkan sarapan Austin, Raline langsung berpamitan pada Nyonya Amira."Bu, maaf ya, Raline harus berangkat awal pagi ini. Soalnya ada meeting jam 9 pagi dan Raline harus menyiapkan semuanya," terang Raline yang tidak enak menitipkan Austin lebih lama dari biasanya."Nggak apa-apa, Raline. Kamu kerja aja yang tenang. Biar urusan Austin,
"Nggak salah kan?" timpal Raline berbarengan dengan Hamid.Hamid pun memandangi Raline dengan penuh cinta. Sorotan mata itu, masih sama. Belum berubah. Penuh cinta dan ketulusan."Apa-apaan sih kamu?!" pekik Galih yang menarik tangan Raline saat saling pandang dengan Hamid.Andre pun mencoba merelai pertengkaran itu yang akhirnya membuat Raline jadi bingung."Andre, kenapa kamu jadi sama Galih? Ada apa sebenarnya?" cecar Raline yang merasa aneh karena Galih dan Andre datang bersamaan."Nanti kalau waktunya sudah tepat, aku akan—""Ceritanya panjang, Lin. Andre itu adikku yang hilang. Aku juga sekarang udah bertemu lagi sama Ibuku," teriak Dion yang berjalan menghampiri mereka."Mas Dion dan Andre adik kakak?"gumam Raline dalam hatinya.Karena suasana yang sudah tidak nyaman, Hamid pun memutuskan pulang. Ia tidak ingin membuat keributan di rumah sakit. Terlebih, sikap Nyony
"Nggak, Uncle. Kue ini buat uncle. Uncle, mau kan jadi Papi aku?" celetuk polos Austin.Wajah Raline seketika berubah. Ia pun syok saat mendengar jawaban Austin yang meminta Hamid menjadi Papinya. Terlihat wajah Galih berubah. Netranya pun menatap Raline dengan berkaca dan menahan agar bulir bening itu tidak jatuh.Galih pun memundurkan kursi rodanya dan memutar arah meninggalkan ruang tamu itu. Dion pun langsung menyusul sahabatnya itu.Hamid yang merasa tidak enak pun akhirnya mengejar Galih disusul oleh Raline."Mas, Mas, tunggu!" panggil Raline. Galih tak memperdulikannya. Ia telanjur sakit hati mendengar kata-kata sang putra."Galih, jangan kayak anak kecil! Itu hanya perkataan anak-anak. Masa sih lu ambil hati? Austin itu darah daging lu. Ingat, Galih! Ikatan darah itu lebih kuat dari apapun," pekik Hamid yang berusaha agar Galih tidak salah paham lagi."Gue kayak anak kecil? Ah, iya betul. Tapi, gue juga pun
Sebelum memasuki mobilnya, Andre pun mengambil ponselnya di saku celana. Ia pun menghubungi seseorang.[Siapkan semuanya.]Andre pun langsung membawa kendaraannya menuju sebuah cafe sederhana yang menjual makanan khas sarapan pagi. Bubur ayam yang nikmat dan sangat disukai Mamanya yang dulu sering datang bersama Papanya sebelum rumah tangga mereka luluh lantak karena kehadiran seorang pelakor bernama Amira."Yuk, Bu. Kita turun," ajak Andre saat mobilnya telah berhenti di depan Cafe 'Mangga Dua'."Bu," tegur Andre saat melihat Mama Galih itu termenung saat melihat plang nama cafe.Amira diam termenung. Tubuhnya seketika menggigil saat turun dari mobil dan mulai melangkahkan kakinya memasuki cafe itu. Cafe yang sangat ia kenali."Kenapa, Bu? Apa sebelumnya Ibu pernah mendatangi cafe ini?" tanya Andre."Ng-gak. Tapi sepertinya tempatnya enak ya," jawab Ibu Amira terbata.
"Andre, apa dia Amira yang dulu sudah mengusir kita dan merebut Papa kamu?" teriak Nyonya Amira saat Andre dan Dion melangkah pergi.Wajah Andre seketika panik. Begitupun dengan Dion.Keduanya saling pandang dan Andre pun mencoba mendekati Mamanya."Ma, Mama di sini dulu ya. Sama Galih. Aku mau bantu cari Mamanya Galih yang hilang," ucap Andre berpamitan.Nyonya Amanda pun mengangguk. Ia pun akhirnya mengijinkan kedua putranya itu pergi dan meninggalkannya di dalam rumah sederhana itu.Galih pun mulai mengajak Nyonya Amanda bicara. Amanda sebagai seorang ibu akhirnya iba saat bercerita tentang kehadiran sosok ayah sambungnya yang begitu kasar."Aku benci sama dia,Bu. Dia sudah membuat Mamaku tersiksa bertahun-tahun. Aku nggak akan pernah memaafkan dia jika suatu saat kami bertemu lagi," ujar Galih yang berubah bengis.'Apa yang membuat kamu begitu membencinya?" tanya Amanda.Galih menera
Suasana malam itu membuat Andre dalam situasi yang tidak diharapkan. Ia dipaksa keadaan untuk memaafkan orang-orang yang sudah membuat keluarganya hancur. "Nggak! Aku nggak bisa memaafkan kalian setelah semua penderitaan yang ku alami bertahun-tahun," pekik Andre saat Dion meminta adiknya itu memaafkan Galih dan Mamanya."Kamu bicara begini karena Galih sahabat kamu kan? Kamu enak, Mas. Hidup kamu dalam kemewahan saat kita berpisah. Sedangkan aku? Aku harus berjuang mati-matian demi bertahan hidup.""Dan kamu tahu, aku harus menjaga Mama yang mengalami gangguan kejiwaan. Dibully karena memiliki orang tua gila bertahun-tahun. Karena apa? Karena mereka!" bentak Andre menunjuk ke arah Nyonya Amira dan Galih."Andre, apa belum setimpal atas semua yang kamu lakukan padaku? Aku sudah kehilangan semuanya. Aku cacat seumur hidupku. Aku kehilangan istri. Kehilangan karir dan bahkan seumur hidupku tidak ada wanita yang mau menikah denga