Share

Part 8. Kembali Terluka

Aiman menarik napas panjang, menghembusnya perlahan. Tangannya mengusap pelan wajah Zia "Sintia ingin tinggal bersama kita, Zi!"

Mataku Zia sukses terbuka lebar, saat mendengar kalimat terakhir yang Aiman ucap barusan. Ia menggeleng kepala, satu sudut bibirnya terangkat.

"Apa sebenarnya yang kalian inginkan? Setelah kalian berhasil menikah diam-diam, kini perempuan itu ingin tinggal bersamaku. Apakah masih kurang luka yang kalian torehkan di hatiku? Apa aku harus memohon pada kalian agar jangan menambah lagi luka di hatiku?"

Zia menggigit bibir kuat-kuat, emosinya kembali meninggi, hingga matanya mengembun, mengalirkan bulir-bulir yang menganak sungai di pipi, bermuara di pangkuannya.

Aiman menangkupkan kedua tangannya di pipi istrinya. Namun dengan cepat Zia menepisnya.

"Abang juga tak menginginkan ini, Zi. Tapi ini demi kebaikan kita semua. Demi keamanan Sintia juga."

"Kebaikan bagi kita semua?" Zia tersenyum sinis, air mata tak henti membanjiri pipinya. "Ini untuk kebaikan kalian, bukan untukku!" ucapnya dengan gigi bergemelutuk. Matanya menatap tajam pada Aiman, hingga lelaki itu lebih memilik menunduk.

"Sebegitu besarkah kesalahan Abang, hingga sikap lemah lembutmu yang dulu tak penah lagi terlihat, Zi?"

Zia tersenyum sinis mendengar ucapan Aiman barusan, ternyata suaminya itu masih belum sadar sepenuhnya akan kesalahannya.

"Apa menikah diam-diam dengan perempuan lain itu kesalahan kecil menurut Abang, hah?" Zia berbisik. Namun kalimatnya mampu membuat nyali Aiman menciut.

"Jika Abang yang berada di posisiku, bagaimana Abang akan bersikap? Setelah sekian lama kuabdikan semuanya hanya untuk seseorang yang disebut suami, namun di belakangku, lelaki yang kusebut suami telah menghianatiku. Bayangkan, istrimu ini yang melakukan penghianatan atas kesetiaanmu! Bayangkan istrimu ini memiliki laki-laki lain selain kamu." Zia tergugu dengan memeluk lutut.

"Bukankah kau tahu, Zi, jika poligami itu sunnah, tapi kenapa kau menolaknya?" ucap Aiman.

"Aku bukan menolaknya! Dan sampai kapan pun aku tidak akan menolaknya."

"Lantas?" Aiman mengangkat wajah, ia merasa memiliki senjata untuk menghadapi Zia kali ini.

"Apa Abang yakin jika Abang sudah mampu memenuhi syarat untuk melakukannya sesuai tuntunan qur'an?"

"Aku akan mengusahakannya."

"Kalau begitu, silahkan cari yang bersedia untuk menjadi istri yang lain sebagai penggantiku karena aku belum siap untuk dimadi apalagi dengan cara diam-diam."

Zia semakin tak mengerti dengan sikap Aiman, hingga rasa muak di hatinya semakin mengakar.

"Jangan pernah memintaku untuk menceraikanmu, Zi, karena aku sangat mencintaimu."

"Sejak kapan cinta menghancurkan perasaan orang yang ia cintai."

"Aku tak berniat menyakitimu, Zi, mengertilah dengan posisiku sekarang. Berusahalah menerima, balasan istri yang sabar ketika di poligami adalah syurga."

Zia kembali merasa muak dengan ucapan Aiman. Dalil yang selalu kaum laki-laki ucapkan saat ingin memuluskan hasratnya.

"Bukankah, talak juga tak dilarang!" ucapnya dengan suara serak

"Zi, Abang sayang kamu, Zi. Percayalah, Abang akan berusaha adil." Aiman terlihat memohon.

"Lepaskan aku, kembalikan aku pada Ummi dan Abi. Biarkan aku bahagia dengan jalanku," ucapnya lirih di sela isak tangis.

Aiman tersentak mendengar permintaan Zia untuk berpisah. Tatapannya tepat pada wajah cantik dengan kelopak mata sedikit membengkak.

Setahun menikah, ini adalah kali pertamanya ia melihat wajah cantik itu begitu terluka dan yang lebih menyakitkan tapi lagi semua terjadi karena ulahnya.

"Jangan bercanda, Zi!"

"Apa aku seperti tengah bercanda?" Bibirnya tersenyum sinis dengan wajah basah oleh air mata.

"Aku tak ingin berpisah darimu, Zi! Aku mencintaimu!" Aiman terus menghiba dengan nada suara sedikit bergetar. Ia tak rela jika Zia akan pergi secepat ini.

"Cinta?" Zia tersenyum sinis.

"Abang hanya ingin, kau dan Sintia merasa aman. Mengapa kau tak juga mengerti?"

Aiman terdengar membentak. Hal yang belum pernah dilakukannya pada Zia sejak dulu. Hati Zia berdesir. Nyeri … semakin nyeri.

Zia tak ingin berdebat lebih lama. Melihat perubahan sikap Aiman kini menambah luka yang belum sembuh kembali bernanah.

"Baiklah! Bawalah perempuan itu untuk tinggal bersamaku, agar kalian puas!" ucapnya, seraya berlari ke kamar dengan air mata kembali deras mengurai. Tak ada lagi mata teduh yang dulu selalu membuat Zia tak sabar untuk menyambut kedatangannya, yang tersisa hanyalah rasa muak yang memenuhi relung sana.

***

Sore ini, ketika matahari mulai mendekat ke ufuk barat, beranjak menggantikan sinar teriknya menjadi sendu.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum." Suara ketukan beberapa kali terdengar dari arah pintu depan. Zia yang tengah membaca al-qur'an setelah sholat ashar tadi segera mengakhiri bacaannya, lalu bergegas berjalan ke luar dengan masih mengenakan atasan mukena yang tadi ia pakai untuk shalat.

"W*'alaikumsalaam" jawabnya, seraya memutar anak kunci untuk membuka pintu. Tangannya memutar gagang kemudian menarik daun pintu, pintu yang tadinya tertutup rapat, kini berhasil terbuka lebar.

Tatapannya ikut melebar saat melihat punggung perempuan dengan rambut tergerai sebahu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Partinah Partinah
bangsat bgt perempuan sundal itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status