Aiman menarik napas panjang, menghembusnya perlahan. Tangannya mengusap pelan wajah Zia "Sintia ingin tinggal bersama kita, Zi!"Mataku Zia sukses terbuka lebar, saat mendengar kalimat terakhir yang Aiman ucap barusan. Ia menggeleng kepala, satu sudut bibirnya terangkat. "Apa sebenarnya yang kalian inginkan? Setelah kalian berhasil menikah diam-diam, kini perempuan itu ingin tinggal bersamaku. Apakah masih kurang luka yang kalian torehkan di hatiku? Apa aku harus memohon pada kalian agar jangan menambah lagi luka di hatiku?"Zia menggigit bibir kuat-kuat, emosinya kembali meninggi, hingga matanya mengembun, mengalirkan bulir-bulir yang menganak sungai di pipi, bermuara di pangkuannya. Aiman menangkupkan kedua tangannya di pipi istrinya. Namun dengan cepat Zia menepisnya. "Abang juga tak menginginkan ini, Zi. Tapi ini demi kebaikan kita semua. Demi keamanan Sintia juga.""Kebaikan bagi kita semua?" Zia tersenyum sinis, air mata tak henti membanjiri pipinya. "Ini untuk kebaikan kalian
Mata Zia melebar saat menatap pemandangan yang tak pernah ia harapkan terjadi. Bahkan mimpi pun ia tak pernah mengira, jika pernikahannya akhirnya akan berakhir sesakit ini. Perempuan itu berdiri membelakangi pintu rumah. Rambut sebahunya tergerai, dengan kaos tangan pendak hitam dan celana jeans panjang berwarna senada, membuat kulit putihnya terlihat kontras. Tangannya menenteng satu koper berukuran cukup besar, serta tas kecil tersangkut di bahunya. "Apa yang membuatmu tega melakukan hal itu?" Zia bertanya pada perempuan dengan tinggi badan sekitar 165 sentimeter yang tengah berdiri di hadapannya itu. Susah payah ia tahan gejolak yang berusaha menguap. Perempuan itu memutar badannya hingga membuat tatapan mereka bertemu. "Aku mencintainya!" ucapnya, dengan tangan bersedekap di dada. Tak ada gurat sesal di wajahnya. "Apa aku pernah menyakitimu, hingga kau tega melakukan ini padaku?" Zia menatap kososong deretan pot tanaman hias di halaman depan. "Kau tak pernah menyakitiku. Kau
"Layanilah perempuan itu dengan baik, aku tak akan melarangnya, karena memang seharusnya begitu."Aiman kembali memejamkan mata, sambil menarik napas dalam. Ia tak ingin memilih, ia hanya ingin hidup tenang dengan merangkul keduanya secara bersamaan. "Jangan berkata begitu, Zi. Abang tau Abang salah, tapi jangan menghukum Abang dengan kata-kata seperti ucapanmu barusan. Abang sungguh sangat mencintaimu!""Bukankah terkadang cinta memang tak harus memiliki?" lirih Zia pelan. "Berusahalah menerima, Zi! Abang akan berusaha untuk adil." Aiman menatap kosong meja rias di hadapannya. "Aku hanya tak ingin lebih sakit lagi!"Seketika Aiman beralih menatapnya tajam, "Kau cukup paham tentang ini, Zi, bersabarlah! Abang mohon. Jika bisa memilih, Abang lebih memilih tak pernah dipertemukan lagi dengan Sintia, tapi Abang bisa apa?""Jangan pernah mengira, seseorang dengan didikan pesantren akan berubah menjadi malaikat! Aku masih manusia biasa, yang bisa merasakan sakit hati dan kecewa," ucap Zi
Aiman mengusap wajah kasar. Ia tahu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya, mampu kembali melukai Zia, tapi ia tak bisa membohongi hatinya untuk jujur pada istri pertamanya itu. Berharap Zia bisa mengerti dirinya. "Iya, Zi. Abang mencintai kamu, juga Sintia."Sudut bibir Zia terangkat. Kalimat Aiman tak ubah bak belati tajam yang menancap tepat di ulu hatinya. Zia berusaha menguatkan diri. Ia tahu, jika kedepannya, kata-kata yang lebih menyakitkan akan menjadi hal biasa baginya. "Ke luar lah, Bang! Aku sedang ingin sendiri," usir Zia lirih. "Zi," Pelan tangan Aiman menggenggam jemari Zia. Ada rasa tak tega telah menyakiti perempuan baik itu. Namun ia pun tak mau Sintia kecewa. "Pergilah! Malam ini jatah kau dan Sintia, aku tak ingin sedikit pun menjadi penghalang."Hening. Cukup lama hanya desahan napas penuh luka dari bibir Zia yang terdengar, setelahnya Aiman bangkit dan ke luar setelah mencium pucuk kepala Sang istri. Zia mengusap sudut mata yang basah. Tangannya meng
"Harusnya kau yang iri denganku. Bukankah aku yang pertama kali dan satu-satunya yang merasakan luahan cinta dari Bang Aiman setahun ini." Zia mengedipkan sebelah matanya. Entah sejak kapan Zia menjadi pintar membela hatinya seperti sekarang. Sintia terlihat geram. Emosinya memuncak mendengar kalimat Zia barusan. "Tunggu saja kau, Zia! Aku akan menyingkirkanmu dari hati Bang Aiman."Zia tersenyum lembut, menampakkan dagu runcing penyempurna wajahnya. "Masih ada lagi yang perlu ditanyakan?" Zia menaikkan alis. Sintia menghentakkan kakinya ke lantai seiring emosi di dadanya yang memuncak. Perempuan dengan piyama tidur itu meninggalkan Zia yang masih mematung di pintu kamar. Sintia kembali ke kamar, meraih ponsel di atas nakas, lalu mulai memesan makanan jadi. Tiga hari sudah Sintia tinggal bersama mereka, sejak saat itu pula Zia tak pernah lagi memasuki kamar yang sekarang ditempati Sintia, meski hanya sekedar beres-beres. "Kok, pakaian kotornya nggak di cuci, Sayang?" tanya Aima
"Kenapa, Zi?" "Nggak, nggak papa, Ra." Bibir tipis itu melengkung membentuk bulan sabit. "Kamu sendiri?" Zia balik bertanya, berusaha mencair suasana. Suasana hatinya yang tiba-tiba tak nyaman. "Insya Allah, sesegera mungkin, Zi. Do'akan saja semoga lancar semuanya. Nanti kalau udah deket harinya, bakal kukabarin dan kamu harus dateng." Fira tampak sumringah. Zia menatap dengan binar bahagia kalimat Fira. Terbayang kembali bagaimana dulu bahagianya dirinya saat Aiman datang melamarnya. Namun kini semua memudar, bahkan semakin memudar. *Pukul 15.30 Zia sudah sampai di rumah dengan motor matic yang dibelikan Aiman sebagai kado ulang tahun Zia 5 bulan lalu. Setelah memarkirkan motornya, Zia bergegas masuk rumah dan langsung ke kamar. Entahlah, semenjak Sintia tinggal di sini, kamar menjadi tempat ternyaman bagi Zia. Ia bukan lemah, hanya saja berusaha berdamai dengan hatinya. Bagaimana pun, poligami adalah sunnah dan bercerai pun bukan sesuatu yang dilarang. Hanya saja, ia berus
Zia tetap menyantap makanannya hingga tandas. Keringat di dahinya meleleh karena makanan pedas yang ia makan. Selesai makan ia bangkit, mencuci piring kotor miliknya dan kembali duduk di kursi makan yang sama. Sintia terlihat lebih tenang meski bibirnya masih terlihat memble. "Besok tolong cuci pakaian kotormu. Aku nggak mau sampai ada kecoa di kamar mandi karena bau menyengat dari baju kotormu. Aku juga nggak mau sampai ada tamu masuk rumah ini dan melihat baju kotor berserakan di kamar mandi." Zia berucap dengan mata menatap lurus pada Sintia. "Iya, Kak, tadi rencananya ada tukang loundy yang jemput, tapi ggak jadi karena nggak keburu lagi. Rencananya besok." Sintia berucap sambil menahan kesal. Bagaimana tidak, rasa panas di bibir dan mulutnya saja belum hilang, ditambah lagi kata-kata Zia yang barusan membuatnya terpojok dan merasa malu pada suaminya. "Iya, Zi, besok aku yang bakal antar ke loundry." Aiman menengahi. Namun sebenarnya ia tengah memantik api cemburu dan amarah
Ia sadar, semua yang Zia katakan adalah benar. Bahkan, sejak Sintia di sini, Aiman hanya melihat Sintia hanya melakukan shalat magrib, itu pun harus diajak terlebih dahulu. Saat adzan isya, perempuan itu selalu beralasan ia lelah dan ketika subuh tiba, Sintia dengan manjanya untuk meminta tidur lagi. Aiman tak pernah bisa untuk tegas, bahkan semenjak bersama Sintia, Aiman sering telat melaksanakan shalat subuh karena Zia tak pernah lagi membangunkannya seperti dulu. *"Bangun, Bang! Sudah masuk waktu subuh." Zia menggoncang pelan bahu Aiman yang masih terlelap. Setelah Aiman mulai sadar, Zia melanjutkan murottal qurannya. Aiman bangkit, berjalan menuju kamar mandi, kemudian segera shalat dua rakaat setelah wudhu. Selanjutnya, ia melangkah ke luar, berjalan menuju kamar Sintia. Perempuan itu masih terlelap dalam mimpinya. Berada di antara dua istrinya membuat Aiman terkadang merasa serba salah. Ia tak ingin berpihak pada salah satu di antara keduanya. Namun, sikapnya selalu menunj