Share

Part 7. Perubahan Sikap

"Tak ada siapa yang merebut siapa, pun tak ada siapa yang memilih siapa. Semua murni jalan takdir. Semua salahku karena tak bisa bertahan lebih lama setelah peristiwa itu." Aiman berusaha membujuk Sintia, bagaimana pun ia tak ingin Sintia menilai buruk Zia yang menurutnya istrinya itu sangat baik.

Isakan kecil masih terdengar dari bibir perempuan cantik, berwajah tirus dengan rambut sebahu itu. Dirinya tak terima Aiman membela perempuan lain di hadapannya.

"Untuk sementara waktu, bersabarlah. Akan kubujuk Zia agar mau menerimamu untuk tinggal bersamanya."

Akhirnya Aiman luluh dan bersedia menyanggupi permintaan Sintia. Namun, ia masih belum tau, entah bagaimana caranya menyampaikan keinginan Sintia pada istrinya.

"Makasih, Bang. Akan kutanyakan Tiara teman kantorku. Mungkin dia gak keberatan, jika aku menginap di apartemennya untuk beberapa waktu ke depan."

Aiman bisa bernafas lebih lega untuk sementara, walau akhirnya waktu menyesakkan itu akan kembali datang.

"Makasih juga, Sin, udah mau ngerti," jawab Aiman singkat.

"Semoga Zia mengizinkan, agar aku bisa memilikimu kembali secara utuh, Bang!" gumam Sintia dalam hati.

Perjuangan mungkin akan lebih sulit bagi Sintia, mengingat adanya Zia di antara mereka. Namun, seterjal apapun jalannya, keputusan gadis itu sudah bulat, untuk menjadikan dirinya satu-satunya milik Aiman, meski dengan cara yang salah karena ia tak biasa mengalah pada apa yang ingin ia miliki.

*

Setelah selesai sarapan pagi tadi orang tua Aiman pamit pulang. Sejak dari kemarin beliau berdua mengunjungi anak menantu mereka, 'rindu' jawab Ibu Ana ketika ditanya, mengapa harus mereka berdua yang mengunjungi Zia dan Aiman.

Zia dan ibu mertua memang sangat akrab. Zia kembali merasakan kasih sayang seorang ibu setelah kepergian ibunya, pada diri Ummi Hamidah dan Ibu Ana—mertuanya. Nikmat yang tak semua yatim piatu sepertinya bisa merasakannya.

Menikah dengan lelaki yang baik dan menyejukkan mata saat dipandang, tentu menjadi impian banyak perempuan, pun dengan Zia. Saat Aiman melamarnya, tentu ia tak dapat menolak. Lebih-lebih, syarat yang diajukan dipenuhi Aiman dengan baik.

Setahun hidup bersama Aiman sukses membuatnya merasa perempuan paling bahagia. Namun, semua tak berlangsung lama.

Impiannya untuk menjadi satu-satunya di hati suaminya, seakan hancur lebur seketika, saat pesan itu ia baca. Perhatian dan kasih sayang yang Aiman curahkan padanya selama ini seakan hilang hampir tak berbekas. Detik itu juga ia merasa, jika pernikahannya tengah berada di ujung tanduk.

Bukan … bukan ia membenci poligami, hanya saja ia belum sanggup. Bahkan sangat-sangat belum sanggup, jika harus berbagi suami dengan perempuan lain.

Setelah kejadian itu, rasa rindu menanti Aiman pulang setiap harinya seakan tergerus. Rasa hormat kepada seorang suami rasanya entah hilang ke mana.

Hari ini Aiman pulang dari kantor setelah Zia selesai sholat magrib. Ia tak banyak bertanya seperti biasa, baginya sekali kepercayaandihancurkan pantang untuk mengemis memintanya kembali.

"Sudah sholat, Sayang?" tanya Aiman saat menghampiri Zia yang tengah menyiapkan makan malam di meja makan. Zia hanya mengangguk.

Aiman selalu berusaha mencairkan suasana, tapi ia seakan enggan merespon lebih. Hatinya terlalu sakit jika harus bersikap biasa-biasa saja. Jika kemarin ia bersikap biasa di depan mertuanya itu wajar karena pertimbangannya pada perasaan dua orang baik yang Allah amanahkan untuk menjadi mertuanya.

Hari ini, semua kembali seperti semula, persis sebelum mertuanya berkunjung. Sekuat apa pun Aiman mencairkan suasana, ia hanya bergeming dan menjawab seperlunya.

"Sayang! Boleh Abang bicara sebentar?" tanya Aiman, saat menghampiri Zia di sofa depan tivi setelah mereka selesai makan malam.

"Katakanlah!" jawabnya tanpa menoleh. Aiman melepaskan bobot tubuhnya di samping Sang istri.

"Lihatlah Abang sebentar saja!" ucap Aiman pelan bernada memohon. Zia menoleh sekilas ke arahnya, dengan senyum dipaksakan. Lelaki itu merengkuh tubuhku, membawanya dalam pelukannya. Namun entah mengapa, rasa nyaman seakan semakin memudar, hingga Zia kembali pada posisi semula. Duduk.

"Kemarin sore rumah Sintia kemalingan," ucap Aiman hati-hati.

Zia tak menjawab. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam, berusaha mencerna maksud dan tujuan dari perkataan suaminya barusan.

"Harusnya aku iba, ketika melihat atau mendengar berita duka bertubi-tubi yang telah menimpa Sintia. Namun, luka hatiku terlalu dalam, hingga tak tersisa empati sedikit pun untuk perempuan itu." bisik Zia dalam hati.

"Sintia hanya tinggal sendiri di rumah itu, Zi." lanjut Aiman. Ada rasa menggelitik di hati Zia untuk bertanya maksud dan tujuannya menceritakan tentang perempuan itu padanya.

"Lalu?" tanya Zia dingin.

Aiman terdiam sejenak, menatap istinya itu dengan tatapan sendu, mungkin berharap Zia akan luluh dengan tatapan yang biasa ia lakukan saat membujuk Zia ketika perempuan itu tengah merajuk.

"Sebenarnya, Abang juga tak ingin menyampaikannya, tapi mungkin ini bisa jadi pertimbanganmu untuk kebaikan kita bersama."

Zia tersenyim sinis, ia mulai paham ke mana arah kalimat suaminya barusan.

"Maksudnya?" Lagi, ia bersuara dingin. Sangat dingin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status