Share

BAB 2 KHAWATIR

Malam itu, Alaska memaksa untuk tetap pulang karena keadaan hatinya yang tak lagi bisa dikondisikan akibat perihnya tak dianggap dalam kalangan mereka.

Meskipun demikian, Alaska hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa kecewa dan juga perih. Terlebih saat menatap sahabat Yesaya yang seakan meremehkan dirinya, juga Yesaya yang tak menganggapnya sebagai pasangan seperti pria lain yang dibanggakan atau mungkin dihargai oleh pasangannya. Mungkin, karena rasa yang amat besar Alaska tak ingin memperlihatkan rasa kecewanya pada Yesaya kekasihnya itu.

"Kamu itu kenapa sih maksa banget dari tadi? Perasaan gak ada yang salah loh," bantah Yesaya terhadap ajakan Alaska yang ingin pulang.

"Aku cuma mau pulang by," lirih Alaska pelan pada kekasihnya itu, tapi tetap saja Yesaya tak mau dan bersikukuh untuk tetap berada di sana.

Hingga perdebatan mereka itu membuat seluruh pasang mata yang ada di sana serentak menatap, seakan tengah menyaksikan sinetron dalam layar lebar.

Malam itu, menjadi malam tersial bagi Yesaya. Namun, menjadi malam yang terburuk bagi Alaska. 

"Hih! Nyesel gue bawa lo!" dengus Yesaya, ia meraih tasnya yang berada di atas meja makan dengan kasar lalu berjalan ke arah mobil yang terparkir.

Melihat kejadian itu, Alaska pun juga ikut terburu mengejar Yesaya yang tampak kesal dengan tingkahnya. Terlebih seluruh pasang mata juga ikut menatapnya tajam ketika mereka berlari ke arah mobil, sementara itu acara dinner malam ini belum usai. Padahal, bukannya Alaska ingin membuat suasana kacau, akan tetapi ia berasa dijadikan badut di antara kumpulan Yesaya. 

"Yesaya, tunggu!"

"Apaan lagi sih? Belum puas lo bikin gue malu di hadapan temen-temen gue? Kapan sih lo itu bisa berubah hah? Bisa jemput gue pake mobil lo, pake baju branded kayak pasangan temen-temen gue, kapan hah? Oh gak usah itu deh, rubah aja tu pola pikir kampungan lo itu! Dan sekarang lo bikin gue malu di depan orang banyak," omel Yesaya pada Alaska yang sontak bungkam.

Yesa menangis karenanya, sementara Alaska? Hanya menahan rasa sesak di dada karena pengakuan yang dilontarkan Yesaya padanya, cukup membuat hati dan jantungnya tersayat.

Mengatakan kalimat putus, lalu mencelanya berulang kali. Hal inilah yang acap kali membuat Alaska mengutuk dirinya sendiri. 

'Andai aja Yesaya ngerti, betapa hati mencintainya. Bagaimana rasanya tersenyum di saat hati hancur berkeping-keping. Tapi tak apa, jika ini takdirnya semoga Allah segera membangunkannya dari sebuah kesalahan yang pernah ada,' batin Alaska, ia menatap sendu pada kekasihnya itu. 

Alaska tau, bagaimana rasanya di posisi Yesaya. Memiliki pasangan yang serba kekurangan, bahkan untuk pergi ke kota ini saja, hanya membawa badan saja. Sangat sukar untuk diceritakan, dan hanya dapat dirasakan.

Begitulah sekiranya. 

"Iya udah, jangan nangis lagi ya by, Alaska minta maaf udah bikin sedih," tutur Alaska seraya mengusap air mata yang telah membasahi pipi gadisnya itu, akan tetapi Yesaya menolak dan menjauhkan wajahnya dari Alaska.

Tanpa berkutik apapun lagi, akhirnya Alaska mengendarai mobil Pajero itu menuju kostnya, Alaska ingin mengantarkan gadisnya pulang. Hanya saja, ia sadar, jika pemilik mobil Pajero putih itu bukanlah dirinya, akan tetapi masih terlist dalam daftar impian yang akan ia wujudkan di masa depan.

Di dalam mobil, tak ada sepatah kata pun yang keluar, entah dari Alaska atau pun Yesaya. Hening, diam dan membisu hanya itu yang terjadi di antara keduanya. Untuk bertanya pun Alaska merasa enggan karena ia tau jika Yesaya marah dengannya. Sementara itu, Yesaya memalingkan wajahnya dari hadapan Alaska, menatap ke sebelah kiri jendela, agar ia tak melihat wajah pria yang ada di sampingnya.

"Habis Alaska anter pulang, langsung pulang ya by," lirih Alaska, karena malam ini, terjadi perang dingin. Akan tetapi, ia khawatir jika gadisnya itu akan kenapa-kenapa.

Tapi nihil, tak ada jawaban dari Yesaya, hanya diam dan membisu.

Karena jarak rumah kost Alaska tak jauh lagi, pria itu sengaja memperlambat laju mobilnya, agar banyak waktu bersama dengan kekasihnya itu, yah walaupun Yesaya kesal dengannya. Tapi Alaska adalah salah satu pria yang dikenal dengan julukan 'Loyal man' dan mampu bertahan dengan semua kekurangan maupun kelebihan Yesaya.

"Jangan marah lagi ya by," lirih Yesaya lagi seraya menatap wajah Yesa yang masih datar bahkan tak memiliki raut sama sekali. Ingin rasanya memeluk Yesaya tapi rasanya mustahil.

Yesaya dan Alaska turun bersamaan untuk berganti posisi karena saat ini, Yesaya harus mengemudikan mobilnya sendiri ke rumah, sementara Alaska harus menunggunya memberi kabar.

Mobil Yesaya sudah mundur hingga hilang dari pandangan tapi Alaska tetap berada di sana, menatap lamat ke arah mobilnya, hingga ia harus tersadar ketika di kagetkan oleh Azka. 

"Heh, diem bae lo? Kenapa?" tutur Azka.

"Apaan sih Ka, nganggetin gue aja lo!" celetuk Alaska yang bergegas masuk dalam kamarnya.

"Ka, tunggu deh. Lo gak mau nikmatin kopi hangat bareng gue dulu gitu?" timpal Azka seraya memegang cangkir kopinya memeragakan pada Alaska yang masih tak peduli dengannya.

"Apaan sih Azka? Jangan ganggu gue deh! Gue mau istirahat nih!" tukas Alaska yang berjalan cepat menuju kamar.

"Gimana Dinnernya? Lancar kan?” Lagi-lagi Azka melontarkan pertanyaan yang membuat Alaska menjadi tambah bad mood. 

“Gue mau istirahat, jangan ganggu gue! Kalo lo masih belom mau tidur, sana! Di depan tv! Gue gak dianggap, puas lo!” jawab Alaska dengan suara yang lebih tinggi.

Lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

"Gak dianggap?” lirih pria itu sendiri, namun pada akhirnya memilih bungkam, karena Alaska tampak marah dengan pertanyaan yang ia lontarkan. Alaska memang dingin, namun jika marahnya yang datang, bulan pun bisa terbelah dibuatnya. 

Azka kini berada sendirian di tempat, ditemani oleh sunyi malam, ditambah juga dengan udara dingin yang mencekam membuat suasana menjadi horor. Azka masih berfikir akan peristiwa yang menimpa Alaska malam ini, bahkan ia tampak emosi dan kurang bahagia malam ini. 

Lelah teramat mematahkan raganya, bahkan rasanya tak sanggup untuk menahan luka dan remuknya jiwa.

Alaska menatap ke arah ponselnya, berharap jika Yesaya telah memberinya kabar jika ia sudah berada di rumah.

Dua puluh menit berlalu ...

Tapi masih belum ada kabar apapun dari Yesaya, yang membuat Alaska semakin gelisah. Kemana gerangan gadisnya itu, kenapa belum juga memberinya kabar. Hingga kantuk pun tiba-tiba menyerang Alaska yang merasakan lelah di seluruh tubuhnya, tapi ia berusaha untuk melawan agar tak terlelap, karena menunggu balasan dari gadisnya itu.

Namun, akhirnya Alaska dikalahkan juga oleh kantuk yang menyerangnya, hingga ia tertidur .

Satu jam berlalu ..

Ia menatap ke arah jam dinding yang berputar, alangkah terkejutnya ia ketika ia menatap jam waktu udah menunjukkan pukul 00.00 namun Yesaya masih juga belum ada kabar. Saat di liat, Azka pun juga sudah terlelap di sebelah Alaska yang tampak nyenyak. Berbanding terbalik dengan dirinya yang masih sibuk memikirkan Yesaya yang entah kemana belum memberinya kabar.

Alaska juga khawatir jika kalimat yang dilontarkan oleh kekasihnya tadi itu adalah nyata, jika Yesaya benar-benar meninggalkannya. 

Pikiran buruk itu semakin berkecamuk dalam diri Alaska hingga akhirnya ia kembali melacak ponselnya.

___________

Chat

By udah di mana?|Alaska

Namun centang abu tak bertanda dua, melainkan satu. Sementara Alaska tau, Yesaya tak pernah mematikan ponselnya. Dan itu membuat Alaska semakin khawatir, ingin rasanya menghampiri Yesaya, tapi ini sudah terlalu larut untuk dirinya menghampiri gadis itu ke rumahnya. Namun Alaska berharap agar pagi segera datang, ia ingin menemui cintanya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status