Suasana asri di tempat pengambilan gambar itu berubah Kaku. Kirana sempat terhenyak ketika Kania berteriak padanya.Beberapa orang sempat menoleh ke arah Kania yang berteriak pada Kirana meski tanpa sadar. Kania langsung menenangkan diri melihat reaksi orang-orang di sekitarnya."Justru karena aku asprimu jadi aku harus tau detail terkecil sekalipun tentang dirimu, Kania. Kamu gak bisa nutupin apapun dariku!" Kirana bicara dengan tegas.Kania menatap Kirana dengan berbagai macam perasaan yang kini makin berkecamuk dalam dadanya. Kania segera beranjak dari duduknya lalu berjalan menjauhi orang-orang. Kirana segera mengikuti langkah Kania. Mereka sampai di satu spot yang cukup rindang dan jauh dari orang-orang.Kania terdiam beberapa saat. Namun setelahnya dia menangis merasakan kegetiran hati yang selama beberapa bul
Kiranna mendengar pintu depan kamar kost-annya ada yang mengetuk. Dia beranjak keluar dari kamarnya dan bergegas mendekati pintu. Kiranna cukup terkejut melihat seseorang yang dikenalnya tengah berdiri di depannya sambil tersenyum."Jovan!""Hi, Kirana!""Kamu kok bisa tau kost-anku?" tanya Kirana yang masih terkejut."Aku pernah ngikutin kamu,""Ooh ....""Gak disuruh masuk nih?""Tapi Kamu gak bakal berbuat macam-macam 'kan?""Ya Allaah ... Tega banget sih fikiranmu? Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu kok. Aku gak seburuk itu Kirana," tegas Jovan dengan hati yang sedikit kesal.Kirana mempersilahkan Jovan masu
"Cepat bangun pemalas!" ucap Fero, sang ayah sambil memukulkan tiga buah lidi ke kaki Maharani kecil. Kania yang masih dalam keadaan kantuk berat segera membuka matanya. Padahal semalam dirinya memijat tubuh ayahnya yang setengah m∆-b√k hingga ayahnya terlelap. Mungkin jam 1 malam dia baru tidur. "Iya maaf, Pak. Aku bangun sekarang kok," ujar Kania kecil dengan penuh ketakutan. Dia kembali menguap karena memang masih ngantuk. "Malah nguap lagi!" bentak Fero, lalu melayangkan lagi tiga buah lidi itu ke kaki Kania berulang kali. "Ampun, Pak!" Teriakan Kania kecil sama sekali tidak menggugah hati Fero. Dia terus memukuli Kania dengan tiga buah sapu lidi. Ranti yang mendengar teriakan Kania segera berlari ke kamar putri pertamanya itu. "Makin hari makin gila aja kamu, Pak! Kania itu anakmu! Kenapa selalu kamu siksa seperti ini?!" hardik Ranti pada suaminya. "Dia bukan anakku! Kamu anggap aku bodoh ya? Dulu, saat malam pertama kamu sudah tidak p€-r∆-w∆n! Kamu cuma perempuan be-k
Kriiinkk ... Suara bel tanda masuk sekolah sudah terdengar, namun Kania tetap diam dalam duduknya di belakang gedung sekolah. Matanya terpejam, dahinya berkerut dan hatinya bergejolak. "Sakit," gumamnya. Masih terasa perih di pipinya ketika sebuah tangan mendarat telak di pipi kania. Sebuah tamparan keras yang dilayangkan Fero, bapaknya, tadi pagi sebelum pergi sekolah. Fero yang baru bangun tidur meminta Kania membuatkannya kopi. Karena terburu buru, Kania lupa, apakah telah memasukan gula atau belum, ke dalam kopi yang biasa di minum bapaknya. "Dasar anak gak berguna! Bikin kopi saja sampe kemanisan gini. Dasar anak bodoh!" ujar Fero sambil melayangkan tamparan keras ke wajah Kania, setelah itu mendorong tubuh tinggi ramping itu hingga terjerembab ke belakang. "Astaghfirullah, Pak. Benar-benar udah gila kamu itu," sahut Ranti yang langsung menyongsong tubuh Kania bersama Tiana. Kania membuka matanya. Dia masih berada di halaman belakang sekolah. Matanya melotot menatap ny∆-
"Kenapa saya di sini Bu?" Kania yang baru tersadar dari pingsannya, langsung bertanya pada seorang wanita yang memakai jas putih yang merupakan dokter di SMU tempat Kania bersekolah. "Tadi katanya kamu tiba-tiba pingsan. Untung ada temen kamu yang lihat. Jadi Pak Usman langsung membawa kamu ke sini," jawab dokter itu sambil tersenyum. "Sekarang apa yang kamu rasakan?" Dahi Kania sedikit berkerut, mengingat-ingat kenapa dirinya bisa pingsan. Ingatan terakhirnya, dia baru sampai di depan pintu gerbang sekolah sambil menangis. Tiba-tiba sekarang dirinya ada di ruang UKS. Kania menggelengkan kepalanya pelan, lalu berfikir kalau dia pingsan di depan gerbang sekolahnya. "Kania!" Kania dan dokter sekolah itu melihat Jovan muncul dan masuk begitu saja. Memang sudah beberapa bulan ini Jovan selalu ada di sekitar Kania. "Kamu ngapain ke sini?" tanya Kania. "Kok nanya?" Jovan balik bertanya. "Karena aku khawati sama kamu. Kalau gak khawatir, ngapain aku bela-belain ninggalin kelas coba?
Seorang laki-laki usia dua puluh tahun terlihat tengah berbaring di atas kasurnya sambil memandangi poto gadis di ponselnya. Waktu sudah menunjukkan jam 10.00 waktu Cambridge. Dia adalah Reza. Entah kenapa dia tampak sangat gelisah memikirkan gadis pemilik hatinya, KANIA. "Kania, kamu lagi ngapain sekarang? Lagi sama siapa sekarang? Masihkah kamu menungguku? Masihkan kamu ingat janji kita?" Reza bertanya pada dirinya sendiri. Dia terus berfikir keras. Kenapa Kania tidak bisa dihubungi? Apakah Kania sudah bersama laki-laki lain? Tak terasa air mata mengalir dari sudut matanya. Cepat-cepat dia usap air mata itu. Baru satu tahun dia berada di negara dengan umat muslim yang minoritas, namun kerinduannya terhadap Kania seperti sudah tak terbendung lagi. Sedangkan masih tersisa satu tahun lagi untuk Reza menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas di negara itu. "Astaghfirullahal adziim ... Kenapa perasaanku bisa secemas ini? Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Apal
Sepuluh menit sebelumnya."Jam segini baru pulang sekolah, Tiana?" tanya Bu Tita. Tetangga di lingkungan tempat Tiana dan keluarganya tinggal."Iya nih, Bu. Kebetulan setelah beres jam sekola, aku langsung ikutan ekskul basket," jawab Tiana."Enggak kerasa ya, sekarang kamu sudah pake seragam putih abu. Dulu kakak kamu yang pake putih abu, sekarang adiknya. Masuk SMA yang sama juga sama kakak kamu?" tanya Ibu itu lagi."Enggak, Bu. Nilai ujianku enggak cukup buat masuk ke situ. Aku masuk SMU Negri yang bukan favorite, Bu," jawab Tiana."Ya udah enggak apa-apa, Tiana. Mau SMA favorite mau SMA bukan favorite, keduanya sama saja kok. Yang penting belajar
Suara adzan subuh berkumandang keras bersahutan. Dinginnya udara pagi buta itu membuat siapa saja yang merasakannya akan sangat enggan untuk melepaskan selimut tebalnya. Udara dingin itu terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.Tampak sesosok tubuh tengah tergeletak di teras rumah tak berpenghuni. Bola matanya mulai bergerak. Bulu matanya yang lentik pun ikut bergerak seiring dengan pergerakan kedua bola matanya.Perlahan namun pasti, mata itu terbuka. Tatapannya sendu. Dia melihat sekitarnya, hanya gelap dan dingin. Dia meraba-raba apa saja yang bisa dirabanya."Rumput lagi?" tanya sosok itu pada dirinya sendiri.Sudah kesekian kalinya sosok itu menemukan dirinya sendiri di sebuah tempat yg sama. Dinginnya udara pagi itu membuat kedua tangannya bert