Amalia terbangun pukul setengah tiga dini hari. Segera dia menuju kamar utama. Cuci muka, gosok gigi dan berwudu. Setelahnya ia masuk ke kamar depan untuk melaksanakan salat lail empat rakaat ditutup witir tiga rakaat.
Pukul tiga lewat sedikit, Amalia menuju ke dapur menyalakan kedua tungku kompor sekaligus. Ia meletakkan wajan untuk menumis bumbu soto, sedangkan tungku sebelah dipakai untuk merebus air untuk kuah soto. Selesai menumis bumbu soto, ia tuangkan dalam air sebelahnya yang mulai mendidih. Amalia mencuci wajan untuk membuat cap jay dan terakhir digunakan untuk memasak sambal goreng kentang. Selesai membuat kuah soto dan sambal goreng kentang. Amalia bersiap memasak nasi. "Ayamnya disembelih sekarang kah, Bu Alia?" tanya Reza menghampiri Amalia yang sudah menurunkan nasi aron dari kompor, kemudian menaruh dandang untuk menanak nasi. "Boleh, Pak Reza. Ajak Pak Agus, biasanya di rumah dia yang eksekusi ayam kampung. Saya siapkan air panas dulu, ya." "Oh, iya. Siap. Kita sembelih dulu, Bu Alia." "Oke. Nanti kalau sudah selesai dibersihkan. Kasih tahu saya, nanti saya lihat dipotong berapa bagian ayamnya." Amalia mematikan kompor, tetap saat Agus masuk dapur menanyakan air yang direbus olehnya. "Airnya tolong sekalian tuangkan sini, Bu Alia." Agus meletakkan dua ayam di dalam baskom hitam. Yang biasa digunakan untuk mencuci piring di rumah itu. "Ayamnya besar ya, Pak Agus?" Amalia memperhatikan ayam yang dibiarkan terendam air panas sesaat itu. "Besar ini, Bu Alia." "Potong enam belas kalau begitu, Pak." "Oke, siap." "Bumbunya sudah jadi. Saya tinggal mandi dulu, biar enggak tergesa-gesa salat Ied nanti." Pamit Amalia meninggalkan Agus dan Reza yang mulai mencabuti bulu ayam bangkok itu. 🌹🌹🌹 Jam setengah enam, semua masakan sudah tersaji di meja makan. Ada soto, opor ayam, sambal goreng kentang, capjay dan kerupuk. Nasi dan buras ditata bersebelahan dengan tumpukan piring dan tempat sendok. Base camp yang disewa Ardin, berempat rekannya merupakan rumah singgah yang siap huni dengan fasilitas lengkap di dalamnya. Jadi, untuk peralatan dapur dan perkakas untuk makan sudah tersedia. Dan rumah singgah ini disewa sejak awal puasa hingga September bulan depan. "Ayo cepatan sarapannya. Enggak usah dikenyangi. Takutnya, tertidur di lapangan nanti." Aziz menginstruksi rekan-rekannya. "Kalau di Jawa biasanya dimulai jam 6.30 salat Iednya. Di sini jam enam kita sudah mulai bergerak ke perkampungan muslim." "Oke, siap. Ndan!" jawab mereka serempak. Jam enam kurang, keempat belas calon guru muda itu keluar rumah. Berjalan beriringan menuju perkampungan muslim yang berjarak sekitar satu kilo dari base camp. Memasuki pemungkiman mereka disambut suara takbir yang menggema. Suasana lebaran yang sangat berbeda mereka rasakan tahun itu. Idul Fitri adalah hari kemenangan umat muslim. Yang mana telah berhasil mengalahkan hawa nafsu sebulan penuh di bulan Ramadan. Antusias warga setempat terlihat jelas di depan masjid tersebut perkampungan muslim di Siau itu. Sebelum berpisah di pelataran masjid, Aziz mendekati Hadinda seraya melempar senyum. "Nanti saya tunggu di sini," katanya. Hadinda mengangguk seraya membalas senyum kekasihnya itu. Amalia menyenggol bahu sahabatnya itu, ketika berbaur kembali di shaf untuk wanita. "Janjian ni, ye ...." goda Amalia. "Ah, enggak. Cuma ngasih tahu. Nanti pulangnya mereka nunggu kita di sana. Supaya barengan lagi balik ke base camp." Amalia mengangguk mengerti, lalu keduanya berbaur kembali di shaf wanita. Masing-masing menghampar sajadahnya, siap melaksanakan salat Ied dengan khusyuk. Pagi itu, suasana sangat tenang. Semua orang menjalankan salat Ied dengan khidmat. Takbir mengalun dari bibir imam, diikuti oleh jamaah. Setelah salat, mereka mendengarkan khutbah. Semilir angin sejuk berembus, menyapa wajah-wajah cerah para pengabdi negara itu. Di bawah bentangan langit biru yang jernih, awan tipis berarak pelan, tidak menghalangi hangatnya matahari pagi. Hari kemenangan itu terasa syahdu sekali, penuh kedamaian. Selesai salat Ied, Amalia saling berpelukan dan bersalaman dengan semua rekannya. Senyum lebar menghiasi wajah mereka, memancarkan kebahagiaan. Mereka juga menebar senyum dan anggukan pada warga yang memperhatikan keenam calon guru muda itu. Warga Siau yang ramah membalas senyuman mereka, merasa bangga dengan kehadiran para pemuda-pemudi yang akan menjadi pendidik di daerah mereka. Setelah itu, mereka berjalan menuju titik temu yang sudah dijanjikan Aziz. Lelaki berkoko putih itu sudah menunggu bersama rekan pria lainnya. Kali ini, mereka mengambil rute yang berbeda untuk kembali ke base camp, melewati jalan lain yang menawarkan pemandangan berbeda. Sepanjang jalan, mereka masih diselimuti aura kebahagiaan. Tawa dan obrolan tak henti, seolah mereka tak ingin kehilangan momen kebersamaan yang berharga ini. Begitu memasuki teras rumah, Reza berseru, suaranya lantang dan bersemangat, "Aiits... sebelum kita saling bermaafan. Lebih dahulu telepon orang tuanya masing-masing. Meminta maaf pada mereka. Masak iya, maafan sama kalian dulu, ibuku belakangan." Ucapan Reza disambut acungan jempol oleh teman-temannya. Mereka setuju. Momen Idul Fitri adalah saat yang tepat untuk meminta maaf dan bersilaturahmi dengan keluarga, terutama orang tua yang telah membesarkan mereka. Mereka pun berpencar, mencari tempat yang tenang untuk menghubungi keluarga masing-masing. Kebetulan mereka berada di pusat kota Siau, di mana sinyal telepon sangat lancar. Amalia memilih duduk di teras belakang, di bawah pohon mangga yang rindang. Ia menelepon Sinta, mamanya Syaiba. Suaranya bergetar menahan haru. "Ma, mohon maaf lahir dan batin ya," ucapnya, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Sinta di seberang sana menjawab dengan suara penuh kasih, "Sama-sama, Nak. Mama juga mohon maaf ya kalau ada salah." Percakapan beralih ke Syaiba dan Kanzu. Walaupun berbincang singkat, singkat, karena mereka harus pergi ke rumah keluarga Santosa. Momen itu adalah pelepas rindu yang tak terbayarkan. Lain lagi dengan Aziz. Ia menelepon ayahnya, mengabarkan bahwa ia dan teman-temannya baik-baik saja di Siau. Ayahnya berpesan agar ia selalu menjaga diri dan tetap semangat mengabdi. Ardin, Reza, dan yang lainnya juga melakukan hal yang sama. Mereka berbagi cerita singkat tentang suasana lebaran di Siau, tentang masakan Amalia yang enak, dan tentang rencana mereka ke depan. Setelah melepas kangen via telepon, mereka semua berkumpul di ruang tengah. Suasana hening sejenak, penuh kehangatan. Mereka kemudian mulai bersalaman, saling memaafkan. Para calon bapak guru berpelukan erat dengan rekannya, demikian juga dengan para calon ibu guru. Ada titik keharuan yang sama-sama mereka rasakan. Jejak air mata yang menetes saat berpelukan, segera dihapus. Mereka tahu, di balik kebahagiaan ini, ada rasa rindu yang mendalam kepada keluarga di rumah. "Selamat Hari Raya Idul Fitri, kawan-kawan. Mohon maaf lahir dan batin," ucap Ardin, mewakili semuanya. "Sama-sama, Din. Mohon maaf lahir dan batin juga," jawab yang lain serempak. Di tengah kebersamaan itu, mereka merasa beruntung bisa merayakan Idul Fitri bersama. Jauh dari rumah, mereka menemukan keluarga baru. Persahabatan mereka terjalin semakin erat, seperti ikatan keluarga yang tak terpisahkan. Hidangan lezat buatan Amalia terasa semakin nikmat, mengobati kerinduan mereka akan masakan rumah. Momen itu menjadi pengingat bagi mereka semua. Bahwa di mana pun mereka berada, selama ada kebersamaan dan rasa persaudaraan, Idul Fitri akan selalu terasa istimewa. Esok hari, mereka akan kembali pada rutinitas mereka sebagai pengajar. Namun, kenangan Idul Fitri di Siau ini akan selalu mereka simpan. Sebagai cerita yang akan mereka bagikan suatu saat nanti, sebagai bagian dari perjalanan mereka mengabdi untuk negeri.Pembelian rumah telah disahkan oleh pihak notaris. Mengenai pembayaran, saat Kakek Rahmat hendak membayar untuk mereka. Kanzu menolak secara halus."Rumah yang kami tempati ini, biarlah menjadi tanggungjawab saya sebagai kelapa rumah tangga, Kek. Bukankah, sudah menjadi kewajiban saya menyediakan sandang, pangan dan papan untuk mereka.""Kakek bangga padamu, Kanzu. Seperti inilah, ayahmu dulu. Sangat bertanggungjawab dengan keluarganya. Kakek tenang, Saka dalam pengasuhan kalian berdua. Semua Kanaya mendapatkan jodoh sebaik kamu dan ayahnya," ungkap Kakek Rahmat dengan mata berkaca."Andai dia mengatakan siapa pria yang bertanggungjawab atas kelahiran Saka. Kakek ingin menemui pria itu, jika memang mereka dulu melakukan atas dasar suka. Kakek ingin mereka berdua menikah."Pasti kamu tahu, beban mental yang ditanggung olehnya bila dinikahi selain pria itu. Orang melihat dia sebagai gadis baik, dari keluarga baik. Tetapi, tidak bisa menjaga kehormat
Peristiwa penculikan Wafa, sengaja tidak dibahas lebih lanjut. Bahkan saat Bu Syaiba dan Kakek Rahmat mampir berkunjung ketika kembali dari Swiss di hari Ahad, mereka tidak diberitahu mengenai musibah yang menimpa Wafa.Walaupun Bu Ambar pada akhirnya tahu oleh Pak Basir, ayah Mahesa sendiri. Karena penyelidikan yang dilakukan oleh pihak berwajib pada kasus kriminal yang dilakukan anak bungsunya itu. Kakek Rahmat dan Bu Syaiba sengaja singgah ke apartemen Kanzu untuk melihat Saka. Melihat sang cucunya gembira tinggal bersama orang tuanya membuat hati Bu Syaiba tenang."Saka sepertinya nyaman tinggal bersama kalian. Bunda titip dia, ya ... di sini dia mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya. Walaupun kalian berdua bukan orangtua kandungnya," ungkap Bu Syaiba dengan wajah sendunya."Bunda jangan berbicara seperti itu, nyatanya antara saya dan Saka masih terhubung pertalian darah yang sama. Darah Ayah Ghizra. Dan sudah menjadi kewajiban
Kanzu menatap wajah Mahesa dan Ibam yang telah dibuatnya babak belur. Bahkan ia larang Leo dan Satria turut menghajar dua pria di hadapannya itu."Ini pertama dan terakhir kali, kau menyentuh keluargaku, Mahesa." Kembali Kanzu melayangkan pukulan ke wajah Mahesa. "Leo, bawa kemari koper itu," pinta Kanzu pada Leo yang di sebelahnya teronggok tas berisi uang yang berhasil dirampasnya dari kawan preman tadi.Kanzu membuka retsleting koper, lantas tangannya mencakup penuh gepokan uang ratusan ribu dari dalam koper itu."Hanya karena ini, kamu tega berlaku keji pada saudaramu, Mahesa." Kanzu melempar gepokan uang ke arah Mahesa. Mungkin ada sepuluh gepok yang ia lempar ke tubuh pria itu."Polisi sebentar lagi tiba, Kanzu. Kamu segera jemput Wafa saja. Kita yang akan urus mereka di sini," ujar Leo mencoba menenangkan sahabatnya."Iya, tolong urus mereka untukku, Leo. Satria terima kasih, sudah membantuku."Satria menganggukk
Setibanya di stasiun Kanzu segera menemui Ibam. Tidak nampak Mahesa ikut serta. Apakah tebakkannya salah. Karena kalau hanya berdasarkan nomer Mahesa tidak bisa dijadikan bukti yang kuat.Sekarang ini, nomer mati karena tak lama kita isi pulsa. Lantas kita memilih membeli nomer baru. Nomer mati milik kita dulu, akan diterbitkan lagi menjadi kartu baru. Bukankah kemungkinan akan dibeli orang lain dan akan digunakan."Mana istriku?" tanya Kanzu melempar tas berisi uang dua milyar ke arah Ibam."Dia sudah kami bebaskan. Sebentar lagi, pasti sudah sampai rumah.""Jangan bercanda! Kalian sudah mendapatkan uangnya. Kenapa istriku tidak ada di sini?" tanya Kanzu geram.Ibam menyeringai, diambilnya tas yang dilempar Kanzu lalu membukanya. Nampak tumpukan uang merah berbendel di dalamnya. "Kita bukan orang bodoh, Bro. Kalau kami membawa istrimu, dan kamu menyerahkan uang ini. Bisa menjadi bukti, bila tertangkap tangan sebagai kasus pemerasan.
Kanzu memperhatikan jam di dinding kantin dengan cemas, di depannya duduk Leo dan Satria. "Uang sudah siap, kenapa dia tidak menghubungi kita lagi," ucap Kanzu gelisah.Masalah uang senilai dua milyar tadi langsung diselesaikan oleh Pak Faiz dan Ryan. Kanzu tinggal mengganti setelah Wafa kembali ke pelukannya dengan selamat."Tenanglah, Kanzu. Aku yakin, mereka tidak mungkin berani menyakiti Wafa," ujar Leo menenangkan sahabatnya. Satria yang duduk di samping Leo, memperhatikan ponsel milik Wafa. Ia pun sudah menghubungi Kirana. Satria meminta tolong pada wanita itu, melacak keberadaan preman yang menyekap Wafa."Tidak ada jejak sama sekali. Apakah kita hanya bisa menunggu telepon dari penculik saja," ujar Kanzu geram seraya memukulkan tinju pada pahanya."Kenapa aku berpikir yang melakukan ini, bukan orang asing. Tetapi, yang sudah mengenal Wafa. Bukankah, tas Wafa diletakkan di teras samping tadi. Pastilah dia tahu, Wafa bers
Derap langkah dari beberapa kaki yang menapaki lantai kayu tua semakin lama semakin mendekat. Suara langkah-langkah itu berat, berirama, seolah mengisyaratkan keberadaan lebih dari satu orang. Jantung Wafa berdetak tak karuan. Ia hanya bisa menebak-nebak, sebab matanya tertutup kain yang diikat sangat rapat, dan mulutnya dibungkam dengan lakban. Rasa takut dan cemas merayap di seluruh tubuhnya. Ia tahu dirinya berada di sebuah ruangan gelap dan pengap. Bau apek, debu, dan lembap menekan indra penciumannya. Wafa duduk di lantai dingin, dengan kaki dan tangan diikat jadi satu. Ikatan tali itu terasa sangat kencang, membuat pergelangan tangan dan kakinya kebas. Sejak sadar, ia sudah berusaha sekuat tenaga melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Gesekan tali pada kulitnya membuat tangannya lecet dan perih, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya ia menyerah karena rasa dahaga dan lapar yang amat sangat. Tidak ada yang memberinya makan dan minum. Ia harus menjaga diri agar