MasukHari raya kedua, Agus mengajak Aldory dan rekannya menyiapkan bakaran ikan. Amalia bersama Ardin berbagi tugas memasak kare, cumi asem pedas, sambal dan lalapan. Begitu selesai memasak menu masakan. Semua disajikan di meja makan. Anik bertiga Yuni dan Hadinda membuat es mentimun dan gorengan.
Sekitar jam sepuluh pagi, semua berkumpul di ruang tengah. Menikmati hidangan yang telah disiapkan bersama-sama tadi. Kebersamaan yang mungkin akan selalu diingat oleh mereka berempat belas. Rasa persaudaraan di tempat pengabdian. Malamnya setelah berjamaah salat Isya, semua berkumpul di ruang tengah. Ada keseruan setiap bercerita mengenai suka dan duka melewati tantangan di tempat tugas. "Kalau aku berdua Yuni sering melow, karena kita di tempatkan berdua. Cewek semua lagi. Tapi, tetap masih beruntung enggak sendirian juga. Ada cerita paling berkesan kita. Ini baterai hapeku mau habis, Yuni juga tinggal dua balok. Baru jadwalnya kita 'ngota' masing dua hari lagi. Nah, mikir gini ... bagaimana caranya SMS bapak ojek, andai baterai kita habis dua hari kemudian." Anik menjeda ceritanya untuk meneguk air mineral di depannya. "Eh, tiba-tiba ada bapak pendeta nyamperin mes kita. Ngajak ngobrol malam itu. Kalau di gereja 'kan ada genset. Jadi, kita minta tolong sama bapak pendeta bawa hape kita berdua. Numpang ngecas di sana. Begitu, bapak pendeta pergi membawa hape kita. Kita bilanglah pendeta tadi, Malaikat tak bersayap." "Lha, secara kita enggak mungkinlah pergi ke Gereja ya, enggak," tambah Yuni kemudian. "Aku pernah marah-marah saat absen muridku. Jumlah siswanya 'kan ada sebelas anak. Hari itu yang sakit dua anak, satu izin ke ladang bantu orang tuanya panen. Nah, ada tiga anak waktu tak absen enggak ada. Dijawab 'nginap, Bu Ardin' sama mereka. Menginap? Maksudnya apa ... tanyaku dengan nada agak heran waktu itu. Terus itu Wati jawab gini, 'Kemarin Ibu yang menyuruh kami fotokopi bahan. Karena fotokopi di Paseng tutup, jadi mereka ke kampung sebelah untuk fotokopi. Sampai di sana sudah malam, Bu, jadi mereka menginap dulu,' Allahurobbi ... aku langsung terdiam dan tidak tahu meski berkata apa, mendengar penjelasan Wati. Kok bisanya aku lupa desa itu tak punya listrik, mana ada mesin fotokopi. Mereka pergi di pusat kecamatan, tutup. Ngejar fotokopi ke kampung sebelah. Sekalinya udah tutup, karena kemalaman. Padahal cuma fotokopi lima lembar bahan rangkuman. Setelah itu aku ingat betul-betul. Enggak minta mereka fotokopi lagi." "Kalau di SD tempatku bertugas bareng Mas Aziz. Anak-anaknya semangat banget nuntut ilmunya. Sayangnya, gurunya yang malas datang ngajar. Bayangkan dari sembilan siswa kelas enam, hanya tiga orang yang bisa membaca. Dan itu kelas enam ya, Gaess ... Tiga anak ini bisa membaca pun tidak begitu lancar. Mereka juga masih kesulitan untuk menuliskan kata yang diucapkannya sendiri. Terus aku ngomong sama Mas Aziz, bagaimana solusinya anak-anak ini. Guru di sana jarang datang, bilangnya sedikit murid yang datang. Nah, kita tanya anak-anak. Sering pula ke sekolah enggak ada gurunya, yang ngajar. Jadi, anak-anak sampai sekolah main. Akhirnya kita berdua, datangi orang tua murid. Intinya sih, itu anak-anak dibiarkan saja sama orang tuanya. Karena ya, orang tuanya kurang menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Kita mikir, harus ada yang membenahi. Wesslah, anggap ini jihad kita. Bismillah ... kita berdua buat program tambahan belajar untuk membaca di jam istirahat. Target utama adalah siswa kelas empat, lima dan enam. Alhamdulillah, bisa dikatakan awalnya sulit, karena enggak didukung oleh guru di sekolah. Tapi, Subhanallah. Pertolongan itu datang dari petugas kecamatan. Itu para guru di sekolah segan sama petugas ini. Akhirnya program yang kita rencanakan, pelan-pelan mulai dijalankan bersama-sama. Ujian kelulusan dan kenaikan kelas kemarin. Para siswa bisa melaksanakan ujian dengan baik. Melihat mereka mencermati soal dan berusaha mengerjakannya adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untuk kami berdua. Apalagi, guru-guru yang kesannya enggak peduli, bersedia hadir dan mendampingi mereka. Membacakan soal ujian dan menjelaskan pilihan jawabannya ...." "Eh, sebentar. Perasaanku, ini kita kok serasa di kapal , ya." Amalia menyela sahabatnya berkisah pengalaman. "Astaghfirullah, gempa ini! Ayo, cepat keluar dari rumah!" Ardin berteriak panik seraya menarik lengan Amalia dan Hadinda yang berada di sebelah kiri dan kanannya. Semua histeris karena panik. Gempa cukup kuat dengan durasi agak lama membuat mereka hanya terduduk lemas sambil berdzikir di halaman rumah. Amalia berenam temannya saling berpelukan dengan tungkai kaki sama-sama gemetaran. Begitu gempa reda. Mereka menyaksikan gunung Karangetang mengeluarkan laharnya. Gunung Karangetang yang dikenal dengan nama Api Siau itu meletus. Gunung api aktif yang menjadi ikon Pulau Siau. Dimana Siau ini, menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sitaro. "Mau lari kemana coba kita ini. Ke laut ada tsunami, di daratan kena lahar gunung api." Sempatnya Pramono nyeletuk saat mereka melihat erupsi Karangetang siang itu. "Subhanallah ...." gumam sebagian rekan Amalia. "Karangetang batuk. Mama Tiara, pemilik rumah singgah ini bilang. Karangetang sudah biasa gempa dan keluar lahar. Biasanya kalau ada kejadian seperti ini, pertanda pelanggaran kesusilaan telah terjadi di tengah masyarakat. Istilah lumrahnya kumpul kebo. Dan aktivitas erupsi berhenti jika pelaku asusila ketahuan. Wallahu alam." Ardin menggidikkan bahunya usai bercerita barusan. "Hayo, yang baru jadian jaga diri ya, jangan sampai Karangetang batuk lagi." Agus kembali bersuara dengan mengarahkan telunjuk mengitari rekan-rekannya. "Huuu ... Pak Agus, makin ngacau ngomongnya." Yuni bersuara paling kenceng diikuti sorakan rekannya yang lain untuk rekan seperjuangan Amalia di Tagulandang itu. Next...Satria membiarkan Kanaya kembali berbaring santai setelah menandaskan tiga potong kue dan satu gelas jus jeruk. Ia menyalakan ponselnya lagi, memeriksa rentetan pesan masuk yang didominasi ancaman Kanzu dan deretan pertanyaan dari Daffa, berselang-seling dengan notifikasi panggilan tak terjawab dari Ghea.Satria berlalu ke ruang duduk, menatap layar ponselnya. Foto tangannya dan Kanaya, serta cincin kawin mereka berdua.Bunda Syaiba calling...Satria membiarkan panggilan itu berhenti berdering, lalu menyandarkan punggung dan mendongak menatap langit-langit artistik dengan cahaya lembut yang menenangkan. Ia tidak ingin membawa Kanaya kembali, namun terus memaksakan keadaan pun terasa menyakitkan.Satria memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas berulang kali hingga merasa siap menghadapi sisa permasalahan yang menunggunya nanti.Terdengar suara ponsel berdering kembali. Satria memeriksa, ternyata Fran yang menghubungi.“Halo...” sapa Satria pelan, menempelkan ponsel ke telinga ag
“Mas Kanzu tahu kondisi Kanaya sekarang.”“Tapi kalau aku nyerah, pasti makin susah untuk bisa sama-sama seperti sebelumnya,” kata Satria. Ia tahu benar arah pembicaraan itu.“Makanya menyerahnya bukan sekadar menyerah,” ujar Ghea sambil menunduk. “Minta maaf, perbaiki, dan kalau perlu menangislah.”“Apa?” seru Daffa, kaget. “Bby, kamu tahu, Kanaya juga melakukan beberapa hal yang—”“Dia pintar, ingat? Mustahil dia enggak melakukan apa-apa sementara kamu selalu seenaknya,” potong Ghea santai. “Dia harus bisa bertahan di segala keadaan, makanya ngajak cerai itu ide paling tolol, Mas!”“Apa ingatannya udah pulih sepenuhnya?” tanya Satria.Ghea menggeleng. “Belum. Dokter bilang Kanaya kadang masih kewalahan dengan beberapa potongan dan kilas balik ingatan. Dia juga berkomitmen meminimalisasi penggunaan obat, jadi fokusnya sekarang cuma terapi dan relaksasi.”“Kalau ingatannya utuh, dia pasti tahu aku enggak serius sama rencana cerai itu.”Daffa menyipitkan mata. “Bukannya kalau ingatanny
"Pak…” ucap Fran, menghentikan mobil di area lobi rumah sakit. “Pak Satria menunggu di Suite Room lantai delapan.” Kanzu menipiskan bibir dan melepas sabuk pengamannya. “Bapak sejak tadi memang tidak bertanya-tanya, namun saya sungguh bersaksi bahwa hingga siang tadi Ibu Kanaya masih sangat baik-baik saja bersama Pak Satria dan—” “Dan kenyataannya sekarang terjadi hal sebaliknya,” sela Kanzu sambil menyelipkan ponsel ke saku celana belakang dan keluar dari mobil. “Mas Kanzu!” panggil Ghea yang bergegas mendekat begitu Kanzu menuju lift. Daffa yang bersamanya segera membuntuti. “Kanaya?” tanya Kanzu. “Baik, stabil. Dia dirawat di Gedung Selatan,” jawab Ghea sambil menunjuk arah seberang, ke koridor besar menuju gedung perawatan. “Ayo, kita ke—” “Aku akan menemuinya setelah membereskan Satria,” potong Kanzu. Daffa menahan. “Situasi Satria juga enggak
“Terima kasih sudah menelepon. Bunda akan siapkan keperluan tidurnya Saka. Kanaya juga sudah tidur?” “Iya, pulas sejak sejam lalu. Saya janji, Bund ... Kanaya akan baik-baik saja.” Bunda Syaiba mengangguk. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya, karena itu segera mematikan sambungan telepon. “Ayo, ambil Grimlock di kamar Papa Kanzu,” ajak Saka bersemangat. “Iya…” ucap Bunda Syaiba sambil menurunkan cucunya dari pangkuan dan membawanya keluar kamar, meski saat sampai di tangga ternyata Sus Neta sudah membawa barang-barang yang diperlukan. Saka tampak tenang kembali ke tempat tidur. Ia mengenakan kaus kaki, memeluk robot dinosaurusnya, dan diselimuti dengan quilt dari kamar Kanaya. Suara petir bersahutan beberapa kali, namun Saka tidak lagi menangis. Ia hanya mendekut semakin rapat di balik selimut bersama robot Grimlock. “Kenapa?” tanya Bu Syaiba saat cucunya terlihat membuka mata lagi. “Lampunya dimatiin,” jawab Saka sambil tersenyum. Saka udah bobok pakai selimu
"Kanaya!" seru Satria begitu sadar dari pingsannya. Daffa yang duduk di sisi kiri tempat tidur menghela napas pendek. "Dia baik-baik saja. Ghea bersamanya." "Aku mau—" Daffa dengan mudah menahan bahu Satria, membuatnya kembali rebah di tempat tidur. "Dokter obgyn mengonfirmasi kehamilannya, sekitar lima sampai enam minggu kalau dilihat dari hasil USG. Kantong kehamilan dan embrionya sudah terlihat. Jadi ...." "Anakku," lirih Satria. Daffa sempat diam, lalu mengangguk pelan. Sahabatnya tampak tenang menerima situasi. "Mama sudah menelepon. Ghea tidak banyak cerita. Kamu beruntung, dokter memutuskan Kanaya harus bedrest minimal seminggu." Satria mengangguk. Itu berarti istrinya harus beristirahat hingga pulih. "Ghea dan Kanaya sudah video call dengan Saka. Dia terus bertanya kenapa kalian belum pulang. Untungnya, hujan deras. Jadi, bisa dibuat alasan. Mas Kanzu juga baru bisa berangkat besok, sepertinya." Satria menggeleng. "Kalau tidak bisa naik pesawat, dia akan n
RS Premier Surabaya Ghea dan Daffa sama-sama butuh tempat untuk duduk sekaligus menenangkan diri. Dua jam lalu, begitu mobil mereka tiba, Satria justru sedang membopong Kanaya keluar dari rumah, langsung masuk ke kursi belakang, meneriakkan perintah untuk pergi ke rumah sakit. Ghea langsung bertanya apa yang terjadi, namun Satria menyuruhnya diam dan sibuk menghubungi Sus Neta agar segera membawa Saka ke rumah mereka.. “Apa pun yang terjadi, Saka harus kembali padaku, mengerti?” Ghea agak bergidik mendengar seruan itu, ditambah Satria yang kemudian sibuk menghubungi dr. Jihan meminta rekomendasi dokter di Surabaya untuk menangani keadaan Kanaya. Dan di sinilah mereka sekarang, salah satu rumah sakit terbaik di kota Pahlawan. Kanaya menjalani pemeriksaan awal di IGD dan dipindahkan ke Presidential Room setelah dipastikan kondisinya stabil. Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga ia sadar. “Kamu aja dulu, Sayang ... yang ajak ngomong,” ucap Daffa karena ponselnya mulai berdering-d







