Share

14. Pengalaman Berharga

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2025-08-16 16:00:36

Angin malam berembus sejuk, membawa aroma laut dan kebun cengkeh yang khas dari Pulau Tagulandang. Di ruang tengah sebelas guru SM-3T berkumpul. Mereka duduk melingkar di atas karpet, ditemani camilan dan teh hangat. Di sudut ruangan, sebuah panci besar berisi buras tengah dimasak di atas kompor gas, mengeluarkan aroma gurih yang menggugah selera.

"Pengalaman yang sangat berharga kita ikut program SM-3T ini. Jauh dari keluarga, meninggalkan kemewahan, dan kenyamanan. Jujur nih, ya ... sebesar ini. Baru kali ini merasakan tinggal di mess. Enggak ada listrik, sinyal sulit, air bersih terbatas." Yuni berkisah dengan senyum terukir di bibirnya.

"Hmm ... Iya, benar. Pengalaman yang sangat berharga sekali. Meski di awal tugas banyakan ngeluh dan berkeluh kesahnya." Sahut Gufron mencebik ke arah Yuni. Seakan mengejek wanitanya itu.

"Cie, cie ... langsung nyambung. Wkwkwk ...." Tawa dan tepukan tangan menyoraki mereka. Sudah menjadi rahasia umum. Antara keduanya terlibat cinta lokasi di lapangan.

Agus, yang duduk di seberang mereka, menyela, “Namanya juga area berbukit-bukit. Kalau sinyal sulit, ya wajar. Kami di Batumawira juga sama, HP canggih cuma berfungsi buat kamera doang.” Ia mengangkat telepon genggamnya, menunjukkan layar yang tak ada sinyal.

Bambang, yang bertugas di Biaro, mengangguk setuju. “Tapi tempat Pak Agus, Pak Aldory, dan Bu Alia ini masih lumayan, lho. Cuma sinyal aja kendalanya. Waktu main ke rumah Batumawira, rasanya kayak pindah tidur. Tempat tinggalnya bagus, listrik aman, air bersih lancar. Di Biaro tempat kami bertugas, listrik sama sinyal enggak ada sama sekali, Kawan!”

Ia melanjutkan ceritanya dengan dramatis, "Mau ambil air bersih empat jeriken aja, harus jalan sekilo ke tempat penampungan air. Itu pun antreannya panjang. Kadang pernah, kita sampai sana kehabisan air. Bayangin, pulang dengan jeriken kosong!" Bambang menatap teman-temannya yang bertugas di Biaro, Aziz dan Pramono, yang mengangguk dengan ekspresi lelah.

"Kalau Bu Ardin, bagaimana pengalamannya selama tugas di Siau?" Amalia mencoba mengalihkan pembicaraan, menggali pengalaman Ardin, rekannya dari Samarinda.

Ardin tersenyum, "Kurang lebih seperti kalian juga. Enggak ada listrik, air bersih juga harus antre. Kalau sinyal, kita bisa naik ke lantai dua. Biar begitu, kami tetap bersyukur warga sekitar sangat baik. Di rumah itu, tugasku hanya bangunkan para bapak untuk ambil air, karena kalau pagi antrean enggak terlalu panjang.

"Kalau aku, sih," lanjut Ardin, matanya berbinar. "Malah terkesan sama kepedulian Bang Marcel, Angga, dan Prima sama diriku. Aku tuh di rumah enggak pernah masak. Jadi, pertama kali masak buat kita berempat, sayur yang kubuat mubazir. Rasanya aneh. Setelah itu, mereka bertiga yang gantian masak. Aku cuma diminta cuci piring sama beresin rumah."

Mereka semua tertawa membayangkan Ardin memasak. Kisah-kisah ini bukan hanya tentang kesulitan, tapi juga tentang persahabatan dan kebaikan hati yang tumbuh di antara mereka.

Anik, yang bertugas di Malaheli, menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. "Jujur, yang paling bikin syok tugas di Malaheli itu adalah perjuangan kita mendapatkan air bersih. Pernah waktu musim kemarau, untuk mendapatkan air bersih, kita harus jalan hampir dua setengah kilo. Jadi, habis Subuh, ketiga bapak-bapak ini, Pak Satria, Pak Rangga, sama Pak Zaki, nyamperin mes kita sambil pukul-pukul panci biar kita bangun buat cari air.

"Mereka yang bawa jeriken, aku berdua Bu Yuni yang nyenterin jalan. Gelap banget, lho, jalannya. Perjuangan mencari air di musim kemarau itulah, yang membuat saudara kita ini bertemu jodohnya," cerita Anik sambil melirik ke arah Yuni dan Gufron. Gelak tawa pun kembali pecah.

"Sebenarnya aku itu, mau nembak Bu Anik," tiba-tiba Satria menyela, sukses membuat suasana hening. "Cuma aku jaga perasaan Reza. Takut dia ngenes, terbawa perasaan karena dianya jadi jomlo tunggal. Hahaha..." Satria tertawa renyah, sementara Reza hanya bisa menggelengkan kepala. Kedua pipi Anik merona merah.

"Ada yang ungkapi perasaan, diterima enggak, Bu Anik?" tanya Hadinda menggoda.

"Iya, Bu Anik terima saja! Seperti Bu Hadinda yang resmi jadian sama Pak Aziz kemarin," Nura menambahkan fakta baru yang membuat suasana semakin ramai.

"Asyik! Ada yang cinlok lagi!" seru Agus, "Tapi sebelumnya pada single 'kan, ya?" celotehan Agus itu membuat suasana hening sejenak. Ia tertegun. "Wah, parah ini. Gara-gara SM-3T banyak pasangan yang putus nanti."

"Halah, palingan Pak Agus naksir sama Bu Alia, tapi ditolak," Reza tiba-tiba meledek, membuat Agus mendelik.

"Hust! Ngawur Pak Reza ini!" Amalia membantah, "Yang benar, aku tuh dititipi Bu Anggun untuk awasi Pak Agus supaya tetap berada di jalan yang lurus." Wajah Agus memerah.

Reza sok menganggukkan kepalanya, "Oalah, begitu ceritanya."

Aldory, yang sedari tadi diam, ikut bersuara, "Bu Alia ditaksir tuan muda Simarmata di sana." Ia menunjuk ke arah jendela. "Tapi Bu Alia enggak mau. Padahal baik lho, orangnya. Berwibawa sekali si Marmit itu. Sudah cocoklah kalau mereka menikah gitu."

"Ngawur!" Amalia melemparkan wortel yang akan diiris ke arah Aldory. "Insyaallah fokus ke pengabdian dan PPG dulu kalau saya. Lagian Bang Marmit non-muslim, kita enggak mungkin bersatu, Aldory Febian."

"Wow, keren!" seru mereka semua serempak

Mereka bercerita hingga satu persatu mulai terlelap. Malam itu, baik rekan cewek maupun cowok Amalia memilih tidur di ruang tengah semuanya. Karena buras membutuhkan waktu yang cukup lama untuk masak. Sebagai bentuk solidaritas rekan cewek, mereka berenam tidak ada yang tidur di kamar utama, sebagaimana malam sebelumnya.

Amalia dan Hadinda menemani Anik yang masih terjaga menunggu masaknya buras. Tadi, sore sesudah berbuka puasa. Amalia mengaktifkan nomernya untuk membuka beberapa pesan yang masuk.

Ada lima pesan dari nomer yang tak di simpannya. Empat pesan berisi salinan SMS banking. Satu pesan yang barusan masuk tadi, mengucapkan permohonan maaf, atas keikhilafannya enam tahun ini.

[Aku sudah memaafkanmu, Mas Ghizra. Semoga kalian selalu berbahagia]

Amalia membalas SMS Ghizra. Kemudian dia matikan kembali ponselnya. Perasaannya campur aduk. Ia tahu, masa lalu memang telah berlalu, tetapi sesekali kenangan itu datang kembali. Namun, ia tidak sendiri. Di sampingnya, Hadinda dan Anik tertidur pulas. Di sekelilingnya, ada teman-teman yang kini menjadi keluarga.

Pengalaman di Tagulandang telah mengajarinya banyak hal, termasuk bagaimana melepaskan masa lalu dan memeluk kebahagiaan yang ada di depan mata.

.

.

Next

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   60. Menjaga Cinta

    Satria membiarkan Kanaya kembali berbaring santai setelah menandaskan tiga potong kue dan satu gelas jus jeruk. Ia menyalakan ponselnya lagi, memeriksa rentetan pesan masuk yang didominasi ancaman Kanzu dan deretan pertanyaan dari Daffa, berselang-seling dengan notifikasi panggilan tak terjawab dari Ghea.Satria berlalu ke ruang duduk, menatap layar ponselnya. Foto tangannya dan Kanaya, serta cincin kawin mereka berdua.Bunda Syaiba calling...Satria membiarkan panggilan itu berhenti berdering, lalu menyandarkan punggung dan mendongak menatap langit-langit artistik dengan cahaya lembut yang menenangkan. Ia tidak ingin membawa Kanaya kembali, namun terus memaksakan keadaan pun terasa menyakitkan.Satria memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas berulang kali hingga merasa siap menghadapi sisa permasalahan yang menunggunya nanti.Terdengar suara ponsel berdering kembali. Satria memeriksa, ternyata Fran yang menghubungi.“Halo...” sapa Satria pelan, menempelkan ponsel ke telinga ag

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   59. Dia Pintar

    “Mas Kanzu tahu kondisi Kanaya sekarang.”“Tapi kalau aku nyerah, pasti makin susah untuk bisa sama-sama seperti sebelumnya,” kata Satria. Ia tahu benar arah pembicaraan itu.“Makanya menyerahnya bukan sekadar menyerah,” ujar Ghea sambil menunduk. “Minta maaf, perbaiki, dan kalau perlu menangislah.”“Apa?” seru Daffa, kaget. “Bby, kamu tahu, Kanaya juga melakukan beberapa hal yang—”“Dia pintar, ingat? Mustahil dia enggak melakukan apa-apa sementara kamu selalu seenaknya,” potong Ghea santai. “Dia harus bisa bertahan di segala keadaan, makanya ngajak cerai itu ide paling tolol, Mas!”“Apa ingatannya udah pulih sepenuhnya?” tanya Satria.Ghea menggeleng. “Belum. Dokter bilang Kanaya kadang masih kewalahan dengan beberapa potongan dan kilas balik ingatan. Dia juga berkomitmen meminimalisasi penggunaan obat, jadi fokusnya sekarang cuma terapi dan relaksasi.”“Kalau ingatannya utuh, dia pasti tahu aku enggak serius sama rencana cerai itu.”Daffa menyipitkan mata. “Bukannya kalau ingatanny

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   58. Beri Kesempatan

    "Pak…” ucap Fran, menghentikan mobil di area lobi rumah sakit. “Pak Satria menunggu di Suite Room lantai delapan.” Kanzu menipiskan bibir dan melepas sabuk pengamannya. “Bapak sejak tadi memang tidak bertanya-tanya, namun saya sungguh bersaksi bahwa hingga siang tadi Ibu Kanaya masih sangat baik-baik saja bersama Pak Satria dan—” “Dan kenyataannya sekarang terjadi hal sebaliknya,” sela Kanzu sambil menyelipkan ponsel ke saku celana belakang dan keluar dari mobil. “Mas Kanzu!” panggil Ghea yang bergegas mendekat begitu Kanzu menuju lift. Daffa yang bersamanya segera membuntuti. “Kanaya?” tanya Kanzu. “Baik, stabil. Dia dirawat di Gedung Selatan,” jawab Ghea sambil menunjuk arah seberang, ke koridor besar menuju gedung perawatan. “Ayo, kita ke—” “Aku akan menemuinya setelah membereskan Satria,” potong Kanzu. Daffa menahan. “Situasi Satria juga enggak

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   57. Akan Aku Hadapi

    “Terima kasih sudah menelepon. Bunda akan siapkan keperluan tidurnya Saka. Kanaya juga sudah tidur?” “Iya, pulas sejak sejam lalu. Saya janji, Bund ... Kanaya akan baik-baik saja.” Bunda Syaiba mengangguk. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya, karena itu segera mematikan sambungan telepon. “Ayo, ambil Grimlock di kamar Papa Kanzu,” ajak Saka bersemangat. “Iya…” ucap Bunda Syaiba sambil menurunkan cucunya dari pangkuan dan membawanya keluar kamar, meski saat sampai di tangga ternyata Sus Neta sudah membawa barang-barang yang diperlukan. Saka tampak tenang kembali ke tempat tidur. Ia mengenakan kaus kaki, memeluk robot dinosaurusnya, dan diselimuti dengan quilt dari kamar Kanaya. Suara petir bersahutan beberapa kali, namun Saka tidak lagi menangis. Ia hanya mendekut semakin rapat di balik selimut bersama robot Grimlock. “Kenapa?” tanya Bu Syaiba saat cucunya terlihat membuka mata lagi. “Lampunya dimatiin,” jawab Saka sambil tersenyum. Saka udah bobok pakai selimu

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   56. Anakku

    "Kanaya!" seru Satria begitu sadar dari pingsannya. Daffa yang duduk di sisi kiri tempat tidur menghela napas pendek. "Dia baik-baik saja. Ghea bersamanya." "Aku mau—" Daffa dengan mudah menahan bahu Satria, membuatnya kembali rebah di tempat tidur. "Dokter obgyn mengonfirmasi kehamilannya, sekitar lima sampai enam minggu kalau dilihat dari hasil USG. Kantong kehamilan dan embrionya sudah terlihat. Jadi ...." "Anakku," lirih Satria. Daffa sempat diam, lalu mengangguk pelan. Sahabatnya tampak tenang menerima situasi. "Mama sudah menelepon. Ghea tidak banyak cerita. Kamu beruntung, dokter memutuskan Kanaya harus bedrest minimal seminggu." Satria mengangguk. Itu berarti istrinya harus beristirahat hingga pulih. "Ghea dan Kanaya sudah video call dengan Saka. Dia terus bertanya kenapa kalian belum pulang. Untungnya, hujan deras. Jadi, bisa dibuat alasan. Mas Kanzu juga baru bisa berangkat besok, sepertinya." Satria menggeleng. "Kalau tidak bisa naik pesawat, dia akan n

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   55. Gila dan Bodoh

    RS Premier Surabaya Ghea dan Daffa sama-sama butuh tempat untuk duduk sekaligus menenangkan diri. Dua jam lalu, begitu mobil mereka tiba, Satria justru sedang membopong Kanaya keluar dari rumah, langsung masuk ke kursi belakang, meneriakkan perintah untuk pergi ke rumah sakit. Ghea langsung bertanya apa yang terjadi, namun Satria menyuruhnya diam dan sibuk menghubungi Sus Neta agar segera membawa Saka ke rumah mereka.. “Apa pun yang terjadi, Saka harus kembali padaku, mengerti?” Ghea agak bergidik mendengar seruan itu, ditambah Satria yang kemudian sibuk menghubungi dr. Jihan meminta rekomendasi dokter di Surabaya untuk menangani keadaan Kanaya. Dan di sinilah mereka sekarang, salah satu rumah sakit terbaik di kota Pahlawan. Kanaya menjalani pemeriksaan awal di IGD dan dipindahkan ke Presidential Room setelah dipastikan kondisinya stabil. Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga ia sadar. “Kamu aja dulu, Sayang ... yang ajak ngomong,” ucap Daffa karena ponselnya mulai berdering-d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status