Home / Rumah Tangga / AMBISI WANITA SIMPANAN / BAB 1. Waktunya Merebut Status Istri Sah

Share

AMBISI WANITA SIMPANAN
AMBISI WANITA SIMPANAN
Author: Mayangnoura

BAB 1. Waktunya Merebut Status Istri Sah

Author: Mayangnoura
last update Last Updated: 2025-03-09 07:41:38

Rini memperhatikan Galih yang sedang mengenakan pakaiannya dengan seksama. Laki-laki itu terlihat memesona dengan ketampanannya. Tapi bukan karena itu dia rela menjadi wanita simpanan Galih. Dia tidak peduli seberapa tampan dan gagah seorang laki-laki. Satu-satunya hal yang menjadi perhatiannya adalah seberapa tebal dompet laki-laki. Jika Galih tidak kaya, mana mungkin dia mau dijadikan pelampiasan hawa nafsu tanpa ikatan yang sah.

No! Dia bukan wanita bodoh!

Dan misinya sekarang adalah ingin merebut status istri sah dari istri Galih. Dia merasa lebih pantas menyandangnya karena selain cantik, dia memiliki pekerjaan meskipun hanya sebagai sales promotion girl (SPG). Tidak seperti istri sah Galih yang hanya seorang wanita pengangguran yang hanya bisa menghabiskan uang suami saja.

"Baru juga selesai, mas. Langsung pergi saja," ucap Rini dengan suara yang manja. Dia sendiri masih berada di bawah selimut.

"Aku tidak boleh keluar toko lebih dari satu jam. Nanti khawatir karyawan akan curiga."

"Khawatir karyawan akan curiga atau khawatir istrimu yang curiga?" Rini menyingkap selimut yang berada di atas tubuhnya dan kemudian turun dari tempat tidur untuk memungut semua pakaiannya.

"Keduanya. Kalau karyawan curiga bukan tidak mungkin akan menyampaikan kecurigaan mereka pada istriku. Bahaya kan?"

"Kalau khawatir terus, kapan kita akan memiliki waktu bersama yang lebih panjang?" Rini mulai mengenakan pakaiannya.

"Nantilah aku cari-cari dulu alasannya. Mungkin dengan alasan keluar kota untuk suatu yang harus diurus atau apa."

"Berarti belum pasti bisa tidaknya ya mas. Kamu sepertinya tidak pernah merindukan aku mas."

"Ck!" Galih berdecak. Dia kemudian mendekati Rini dan menangkup wajah wanita itu dengan kedua tangannya sebelum akhirnya ditatap dengan seksama. "Kamu kok bisa punya pikiran seperti itu sih, Rin? Aku selalu merindukanmu. Itu sebabnya, aku selalu mengajakmu check in seminggu dua kali."

Rini membalas tatapan Galih dengan tatapan yang tak kalah lekat. "Itu rindu apa nafsu, mas?"

"Keduanya. Aku selalu rindu dan selalu menginginkanmu."

"Cih, gombal!" Rini berbalik badan membelakangi Galih tapi kedua tangan terus bekerja mengenakan pakaian. "Sudah jelas-jelas yang selalu mas inginkan adalah istri Mas itu."

"Kalau itu sih jelas. Aku kan sudah bilang ke kamu kalau aku tidak mau bercerai dengan istriku."

"Dan selamanya akan menjadikannya sebagai wanita simpanan?"

"Kamu kok bertanya seperti itu sih? Bukankah ini sudah menjadi bagian dari perjanjian kita? Toh, yang penting aku terus mentransfer kamu."

'Berarti kamu tidak ada keinginan sedikit pun untuk menikahi aku, Mas?' sahut Rini dalam hati. 'Oke, tak apa. Aku yang akan bekerja sendiri untuk mendapatkan posisi sebagai istri sah kamu.'

"Dariku kamu sudah punya mobil, perhiasan, dan barang-barang mewah lainnya kan?" lanjut Galih.

Rini tersenyum. Dia menyembunyikan niat jahatnya dengan senyumannya itu sebelum akhirnya dia kembali berbalik menghadap Galih. "Oke. Meskipun sebenarnya aku sedih tidak bisa memiliki kamu, tak apa. Yang penting mas tidak melupakan janji mas untuk membelikanku rumah."

"Pasti. Tapi kamu harus bersabar dulu untuk yang ini. Untuk sebuah rumah, aku harus mengeluarkan uang yang banyak. Kalau tidak bisa bermain cantik, Citra bisa tahu."

'Sial! Bahkan istri tidak berguna itu bisa mengatur keuangan kamu, mas?!' tanya Rini dalam hati kembali. 'Benar-benar enak sekali hidup wanita itu! Sudah tidak berguna, bisa menguasai uang kamu lagi! Aku harus cepat-cepat merebut posisinya! Kalau diundur terus khawatir kamu keburu mencampakkan aku!'

Rini cepat-cepat tersenyum lebar. "Baiklah. Seperti biasa, aku akan bersabar menunggu kamu menepati janjimu, mas."

"Bagus. Kalau begitu aku pergi ya." Galih mengecup bibir Rini sekilas.

Rini mengangguk dengan senyum menawan. "Ya, mas. Hati-hati di jalan."

Setelah mengambil ponsel dan kunci mobilnya, Galih keluar dari dalam kamar itu.

Sesaat setelah tubuh Galih menghilang di balik pintu, Rini menyeringi penuh arti. "Tidak! Aku tidak akan bersabar lagi, mas! Sudah waktunya aku merebut kemewahan yang kamu berikan pada istri kamu yang tidak berguna itu!"

Sementara itu, beberapa menit sebelumnya, seorang wanita tampak berjalan tergesa melewati koridor yang di sisi kanan kirinya adalah kamar-kamar yang disewakan di hotel ini. Di tangannya sebuah ponsel menempel di telinganya.

"Iya, ini aku sudah ada di lantai empat kok. Sebentar lagi juga sampai di kamar kamu," ucap wanita itu pada orang yang suaranya ada di ponsel.

"Oke deh. Kalau begitu aku tunggu kamu di kamar."

Panggilan itu pun diputus tiba-tiba. Bersamaan dengan ponselnya hendak dijauhkan dari telinga, kakinya mendadak berhenti melangkah karena melihat pemandangan yang mengejutkan. Di sana, di jarak beberapa meter darinya, seorang pria yang sangat dikenalnya baru saja keluar dari sebuah kamar. Pandangannya pun langsung menyipit.

"Lho, itu kan Mas Galih. Kenapa dia bisa ada di sini dan keluar dari kamar itu?" tanya wanita itu pada dirinya sendiri. Dia baru akan memanggil pria yang dilihatnya itu tapi terlambat karena pria itu telah hilang di balik dinding yang menutupi koridor lain.

"Yah, keburu pergi. Ya sudahlah." Wanita itu pun kembali berjalan menuju kamar tujuan. Tapi setelah beberapa langkah, dia menoleh ke belakang lagi. Tepatnya ke pintu kamar tempat Galih keluar karena dia baru saja mendengar suara pintu itu dibuka. Kali ini dia benar-benar syok sampai tidak bisa berkata-kata begitu mendapati seorang wanita cantik dan seksi, keluar dari sana.

***

"Mama!"

Seorang gadis kecil berusia 7 tahun, tampak berlari kecil mendekati Citra. Gadis kecil itu bernama Manisa.

Citra tersenyum lebar. Dia menyambut Manisa putrinya dengan pelukan sekilas sebelum akhirnya ditatap lekat. "Bagaimana sekolahmu hari ini? Ada kendala?"

Manisa menggeleng dengan penuh keyakinan. "Tidak dong. Aku kan pintar. Aku mendapatkan nilai-nilai yang bagus hari ini. Ya seperti biasa."

Citra kembali tersenyum. "Mama suka jawabanmu. Kita langsung pulang?"

Manisa mengangguk cepat. "Hum."

Keduanya pun kemudian masuk ke dalam mobil yang diparkir di tepi jalan di luar area sekolah. Tapi baru saja Citra menyalakan mesin dan AC mobil, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Citra pun menunda melajukan mobil dan memilih untuk menerima panggilan itu dulu.

"Ya, Us? Ada apa?" tanya Citra pada orang yang menelponnya.

"Kamu dimana?" balas orang tersebut.

"Di depan sekolah Manisa. Baru jemput dia pulang."

"Berarti kamu tidak di toko dong?"

"Ya tidaklah. Kan aku baru bilang kalau aku ada di depan sekolah Manisa. Lagian kamu kan tahu sejak hamil aku jarang ke toko. Mas Galih yang mengurus toko itu."

"Ya aku tahu itu. Aku hanya mau memastikan saja. Berarti kamu tidak tahu sekarang Mas Galih ada dimana kan?"

"Ya... di toko mungkin. Kamu kenapa bertanya seperti ini sih? Pertanyaan kamu aneh tahu."

"Maaf sebelumnya ya, Cit. Tapi aku baru saja melihat suami kamu di hotel tempatku berada sekarang bersama seorang wanita cantik dan seksi."

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 39. Meminta Kesempatan

    "Aku terbawa kesal, bu. Habisnya aku merasa dia bodoh sekali sudah memberikan tubuhnya padahal laki-laki itu tidak memberikan apa-apa. Terus menyamakan aku dengan pria brengsek itu. Aku akui aku nakal, bu. Tapi aku masih menghargai wanita. Aku memakai Rini dengan imbalan yang lebih. Aku membelikannya mobil dan lain-lain walaupun sebagiannya bukan uangku.""Masalahnya sekarang itu yang harus kamu fokuskan adalah bagaimana caranya apa yang sedang dialami oleh Gina ada jalan keluarnya.""Nah, ini juga masalahnya, bu. Bagaimana mau mendapatkan jalan keluar kalau laki-laki itu saja tidak diketahui keberadaannya? Ibu dengar sendiri kan kalau Gina tidak tahu dimana rumah pria itu dan tempat kerjanya? Ibu pikir aku Intel bisa cari rumah pria brengsek itu tanpa diberitahu?""Aku mengerti maksudnya. Mencari orang yang tidak kita kenal memang tidak mudah atau bahkan rumit. Tapi tidak juga dengan cara mencela adik kamu. Adik kamu memang salah. Tapi jangan disudutkan. Saat ini dia pasti sedih, bin

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 38. Semuanya Sama Saja

    Bagai petir di siang hari. Galih dan Marni kaget luar biasa begitu mendengar cerita Gina. Mau tidak percaya tapi Gina sendiri yang bercerita. Apa ini hanya prank?"Kamu jangan main-main dengan kami, Gin," ucap Galih sembari melangkah mendekati tempat tidur.Gina mengalihkan pandang pada Galih. "Tapi aku tidak main-main, mas. Aku serius. Saat ini aku memang sedang hamil anak dia.""Kalau begitu beritahu padaku siapa namanya dan alamatnya. O ya, nomer ponselnya saja dulu. Aku akan menelponnya.""Untuk apa mas menelponnya?""Tentu saja untuk meminta pertanggungjawaban atas kehamilan kamu!" sahut Galih dengan suara meledak. "Kenapa harus ditanyakan lagi sih?!""Tapi dia sudah punya istri dan anak, mas. Tadi kan aku sudah bilang.""Mau dia punya istri sepuluh dan anak seratus sekali pun, aku akan tetap menghubungi dia! Dia harus mempertanggung jawabkan apa yang terjadi sama kamu!""Maksud mas, dia tetap harus menikahi aku meskipun sudah punya anak dan istri? Aku jadi istri keduanya begitu

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 37. Muncul Masalah Lain

    Bahu Galih mengendik. "Tidak taulah, bu. Kan Gina juga baru datang. Belum sempat nanyain ada apa. Tapi sepertinya terjadi apa-apa karena wajahnya basah dengan airmata dan rambut awut-awutan.""Duh, kenapa ya?" tanya Marni pada dirinya sendiri dengan perasaan khawatir."Baiknya ibu tanyakan langsung sekarang pada Gina. Takutnya memang sudah terjadi sesuatu sama dia.""Iya, deh." Marni pun masuk ke dalam kamar Gina disusul oleh Galih yang hanya sampai di pintu saja. Menurut Galih lebih baik ibunya saja yang bertanya karena sama-sama perempuan sedangkan dia hanya akan memperhatikan saja. Dan yang pertama kali mereka lihat adalah Gina sedang menangis dalam keadaan berbaring miring membelakangi pintu sambil memeluk bantal guling."Gin, ada apa kamu pulang dalam keadaan menangis begini?" tanya Marni sembari mengambil duduk di tepi tempat tidur. Gina tak menjawab. Gadis itu terus saja menangis. Malah tangisnya bertambah sedikit mengencang. Mendapati hal itu, Marni semakin penasaran dengan

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 36. Kembali Ke Rumah Ibu

    "Kalau begitu tak ada gunanya kamu menjadi suami Rini!" sahut Siti dengan wajah marah dan tidak terima. "Rini butuh suami yang kaya! Bukan suami miskin!"Galih menelan saliva. "Kenapa ibu bisa bicara seperti itu? Memangnya siapa yang menginginkan aku menjadi suaminya Rini? Kalian bukan? Bahkan kalian memaksa aku untuk segera menikahi Rini."Mata Siti melebar mendengar jawaban itu sebagai ekspresi tak menyangka. Mulutnya pun turut menganga. "Apa kamu bilang?! Berani kamu menjawab seperti itu?!""Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, bu.""Yang membuat kami kesal adalah kenapa kamu tidak mengatakan kebenaran ini dari dulu?! Kalau Rini tahu kamu pria miskin, tentu dia tidak mau ada hubungan dengan kamu! Apalagi sampai hamil anak kamu!""Aku tidak pernah mengatakan pada Rini kalau aku pria kaya, bu. Rini sendiri yang mengambil kesimpulan kalau aku pria kaya. Terus, yang menginginkan kehamilan adalah Rini sendiri. Aku sering mengingatkannya untuk tidak lupa meminum pil KB. Eh, dia malah ti

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 35. Hanya Pria Miskin

    Mendengar itu, tubuh Rini gemetar. Dia merasa langit baru saja runtuh. Bagaimana tidak, dia sudah memberikan diri sepenuhnya pada Galih dan menaruh harapan yang sangat besar pada pria itu demi bisa hidup tak berkekurangan. Tapi tiba-tiba dia mendengar pengakuan Galih kalau suaminya itu pria miskin yang tidak memiliki apa-apa."Kamu jangan membohongi aku, mas. Bilang kalau kamu bukan pria miskin. Bilang juga kalau rumah ini dan toko adalah milik kamu," ucap Rini menggebu. Dia menolak untuk menerima kenyataan yang sudah dijelaskan oleh semua orang yang sekarang ada di rumah ini."Tapi memang bukan aku pemilik rumah ini dan toko. Rumah ini dan toko adalah warisan orangtua Citra untuk Citra. Aku tidak membawa apa-apa masuk rumah ini selain mahar yang tidak seberapa.""Jadi kalau toko itu milik Citra, usahamu sekarang apa, mas?"Galih menelan saliva. Sebenarnya dia malu untuk mengakui. "E... aku sedang nganggur sekarang. Belum tau mau buka usaha apa. Bagaimana bisa aku harus mengakui rumah

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 34. Mengakui Kebenaran

    "Apa-apaan ini?! Astaga! Kenapa kamu mengeluarkan semua barang-barang Citra dari kamarnya, Rin?!"Suara yang tiba-tiba muncul itu membuat semua orang menoleh ke sumbernya. Tampak Galih berjalan mendekati Rini dengan wajah syok."Apa perlu kamu tanyakan kenapa aku mengeluarkan semua barang-barang calon mantanmu itu dari kamar ini, mas? Tentu saja karena aku mau memakainya. Sekarang itu aku sudah jadi istri sah kamu. Aku berhak atas rumah dan kamar ini. Wanita itu harus keluar dari rumah ini. Begitu pun dengan pembantu tuanya itu. Aku tidak sudi mempunyai pembantu pembangkang seperti dia," jawab Rini dengan wajah tidak bersalah."Masalahnya kamu tidak bisa mengusir Citra dari rumahnya sendiri, Rin!" sahut Galih dengan nada tinggi tertahan. Dia bisa ada di sini sekarang karena Citra yang menelponnya. Citra melaporkan apa yang dilaporkan Sumi dan memintanya untuk membawa Rini pulang. "Kenapa tidak bisa?! Ini kan rumah kamu dan hasil kerja keras kamu, mas! Hanya karena ada Manisa di rumah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status