"Kamu yakin dia istri pelanggan dari luar kota itu? Kamu yakin tidak membohongiku kan, mas? Wanita itu bukan.... selingkuhan kamu kan?"
Galih terhenyak. Dia merasa sangat tertohok kali ini. "Ba-bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu, Cit? Kamu kan tahu kalau aku sangat menyayangi dan mencintai kamu. Jadi tidak mungkin kalau wanita itu adalah selingkuhanku." Citra tak merespon. Memilih diam sembari terus menatap Galih sebagai jawaban. Dua kali ralatan kebohongan Galih di obrolan ini membuatnya mulai merasa curiga. Galih mengerti maksud dari tatapan Citra. Dia pun mendengkus frustasi. "Ayolah, Cit. Percaya padaku. Pelanggan yang aku temui di hotel itu memang laki-laki dan wanita itu adalah istrinya. Bukan selingkuhanku seperti yang kamu pikirkan. Aku bersumpah tidak berkhianat sama kamu karena aku sangat mencintai kamu dan Manisa." Mendengar sumpah Galih, kecurigaan Citra sedikit menyurut. Biar begitu, hatinya masih tidak tenang. "Kalau kamu tidak lagi ada rasa percaya kepadaku, maka rumah tangga kita tidak akan lagi berjalan dengan baik-baik saja. Karena saling percaya adalah kunci dalam keharmonisan rumah tangga. Lagian mau membantah seperti apa pun kalau kamu tidak percaya lagi, ya... percuma. Sekarang terserah kamu saja." Citra menghela nafas berat. Dia mencoba untuk mempercayai pengakuan Galih yang tidak mengkhianatinya dan wanita itu hanyalah istri pelanggan toko dari luar kota. Dan Usi salah kira karena memang kejadiannya mengundang rasa curiga. "Aku percaya kok, mas," ucap Citra tak terduga. Membuat Galih langsung merasa agak lega. "Tapi tolong ke depannya untuk tidak melakukan sesuatu yang membuat orang jadi salah paham begini. Jika mas mau menemui pelanggan di tempat lain selain di toko kita, ajaklah salah satu karyawan laki-laki kita. Dengan begitu, ada satu saksi yang bisa membuktikan kalau kamu tidak selingkuh." Galih mengangguk cepat dengan sebuah senyum getir di bibir. "Iya, baik. Ke depannya aku akan membawa salah satu karyawan laki-laki jika mau bertemu pelanggan di luar toko. Tapi kamu benar-benar sudah percaya kalau aku tidak selingkuh kan?" Citra mengangguk. "Iya." "Syukurlah. Aku senang mendengarnya." Citra tersenyum samar. Dia kemudian melanjutkan makannya yang entah mengapa jadi terasa hambar. *** 'Mas Galih mengaku kalau dia memang datang ke salah satu hotel. Tapi untuk menemui seorang pelanggan toko kami dari luar kota. Nah, wanita cantik yang kamu lihat itu adalah istri pelanggan itu.' Citra mengirimkan pesan di atas pada Usi. Hanya beberapa saat, langsung mendapatkan balasan. 'O... istri pelanggan. Bikin kaget saja. Syukurlah kalau memang begitu. Aku lega sekarang,' balas Usi. Usi bisa merasa lega. Tapi tidak begitu dengan dirinya. Dia masih menaruh curiga pada suaminya. 'Iya. Tapi aku berpesan padanya untuk ke depannya membawa salah satu karyawan laki-laki kami jika mau bertemu pelanggan di luar toko. Dengan begitu, orang-orang yang mengenalnya yang secara tidak sengaja melihatnya, tidak salah paham lagi.' 'Benar itu. Memang harus seperti itu. Kalau begitu, aku minta maaf karena sudah membuat kamu terkejut. Jujur aku tidak ada maksud buruk. Aku melakukannya karena kamu sahabat aku.' 'Tidak perlu minta maaf. Kamu tidak salah. Yang kamu lakukan sudah benar. Kalau aku jadi kamu, aku pasti juga akan melakukan hal yang sama.' 'Terima masih kamu memahami aku.' 'Aku yang harus berterima kasih karena kamu sudah perhatian sama aku.' Citra menghela nafas panjang sembari menurunkan tangan yang memegang ponsel ke atas pangkuannya. Tatapannya kemudian mengarah ke depan. Nanar. Kecurigaannya siang tadi memang sudah terjawab. Bahwa wanita itu adalah istri pelanggan. Tapi... kenapa hatinya masih tidak tenang? Citra baru akan mengalihkan pandangan ke Manisa yang sedang mengerjakan PR ketika ponselnya berdenting. Citra pun mengangkat kembali tangannya yang memegang benda pipih itu untuk dilihat siapa yang baru saja mengirim pesan tersebut. Dia sih menduga itu Usi. Tapi begitu melihat notifikasinya, ternyata dari satu nomor yang belum tersimpan di kontak ponselnya. Dan notifikasinya menunjukkan kalau nomor asing itu mengirimkan pesan foto. "Nomor siapa ini? Dia mengirim foto apa?" tanya Citra lirih pada dirinya sendiri. Kemudian dengan rasa penasaran, dia membuka kolom pesan itu untuk mengetahui fotonya. 'Astaga!' Citra tersentak kaget luar biasa di dalam hati begitu melihat foto itu. Dunia seakan runtuh. Bagaimana tidak, di foto itu tampak Galih sedang berpose mesra dengan seorang wanita cantik dan seksi. 'Ini....' Hati Citra bergemuruh seketika sekaligus ingin menangis. Rasanya seperti mimpi. Tapi kenyataannya ini bukan mimpi. Pria yang ada di foto itu benar-benar Galih. 'Apa ini benar-benar Mas Galih?' Masih setengah tak percaya, dia bertanya pada dirinya sendiri. 'Kalau iya, bukankah tadi waktu makan malam dia bersumpah kalau dia tidak selingkuh? Tapi foto ini?' Bingung dan nyeri hati Citra melihat foto itu. Rasanya dia ingin menunjukkan foto itu kepada Galih sebagai bukti kalau pria itu memang selingkuh. Kata lainnya, Galih sudah membuat dengan mengaku kalau pria itu tidak selingkuh. Tapi begitu ingat tadi Galih sudah bersumpah kalau dirinya tidak selingkuh, Citra pun gamang. Citra jadi belum bisa memastikan apakah Galih memang selingkuh atau tidak meskipun sudah ada bukti foto. 'Sebaiknya aku jangan bertindak gegabah. Aku harus mencari tahu dulu apakah Mas Galih memang berkhianat atau ada orang yang berniat untuk menghancurkan rumah tangga ini. Bukankah di zaman seperti itu, foto bisa diedit?' Sementara itu di tempat lain, Rini tersenyum miring begitu mendapati pesan fotonya telah dilihat oleh Citra. Dia yakin saat ini Citra merasa hatinya hancur mendapati kenyataan kalau suami tercinta telah mendua. Atau Citra bertindak lebih cepat. Yaitu sudah memarahi Galih dengan airmata yang mengalir dari hati yang terluka. "Marahlah pada Suami pengkhianatmu itu wanita tidak berguna! Lampiaskan semua emosi kamu dengan sepuasnya! Buat suamimu itu mengakui perbuatannya sehingga kamu menyadari bahwa kehadiranmu tidak mampu membuatnya setia! Kalau perlu, kamu langsung siapkan berkas perceraian ke pengadilan agama. Dengan begitu, posisimu akan tergantikan olehku." Perlahan Rini merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Pandangannya menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Dia membayangkan hidupnya setelah menjadi istri Galih. Tinggal di rumah bagus yang sekarang ditempati oleh Galih dan Citra, lalu dipanggil nyonya oleh pembantu dan para karyawan Galih. Ah, benar-benar hidup yang dia impian selama ini. "Tidak lama lagi, kehidupanku akan berubah menjadi berstatus Nyonya Galih. Aku yakin itu. Mas Galih boleh tidak menginginkan aku menjadi istrinya karena dia terlalu menyayangi istrinya. Tapi apa yang aku lakukan ini, akan membuat Mas Galih mau tidak mau akan menikahi aku." Bersambung."Sayang, aku mau. Ayo kita lakukan dengan bersemangat," ucap Galih sembari memeluk Citra dari belakang. Sebenarnya dia sedang tidak berharap pada istrinya itu. Sebab hasratnya sudah terpenuhi tadi siang. Tapi gara-gara ketahuan bertemu dengan Rini, dia memaksakan diri untuk melakukannya. Tujuannya untuk menyenangkan Citra karena menurutnya kalau wanita telah dipuaskan, seluruh amarah dan kecurigaan wanita akan sirna. Kalau pun masih ada, hanya tinggal sisa-sisa.Citra yang belum bisa tidur karena merasa gamang, menjawab. "Maaf, mas. Malam ini aku capek sekali. Lain kali saja ya." Bohong! Dia berbohong. Sebenarnya dia tidak merasa capek. Tapi karena beberapa jam lalu dia melihat foto mesra suaminya itu dengan seorang wanita cantik, kecurigaannya kembali muncul. Hanya saja dia tidak mau jujur dengan rasa kecurigaanya itu karena memiliki alasan."Kenapa? Apa karena kamu masih memikirkan laporan Usi yang melihat aku bersama seorang wanita tadi? Kamu curiga? Kamu marah? Katanya kamu sudah
Beberapa saat sebelumnya."Nya, sarapan sudah siap," ucap Sumi di pintu kamar Manisa.Citra yang baru saja selesai merapikan rambut Manisa menoleh. "Iya, bi. Ini kami mau ke meja makan.""Baik, Nya. Tuan mau bibi panggilkan juga?""Biar aku saja, bi. Bibi lanjutkan pekerjaan saja.""Oh, baiklah, Nya. Kalau begitu, bibi kembali ke dapur." Sumi berbalik badan dan kemudian tubuhnya menghilang di balik tembok.Citra menatap Manisa yang sudah selesai dirias. "Kamu ke meja makan sekarang sendirian ya. Mulai sarapan saja. Mama mau memanggil papa dulu."Manisa mengangguk. "Iya, ma."Citra tersenyum. Dia kemudian meninggalkan kamar Manisa menuju kamarnya. Tapi begitu sampai di depan pintu yang sedikit terbuka, langkah Citra terhenti tiba-tiba begitu mendengar suara Galih yang sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Suaranya sih lirih. Tapi Citra masih bisa mendengarnya."Apa-apaan kamu menelponku Pagi-pagi begini?! Aku kan sudah bilang sama kamu untuk tidak menghubungi dan mengirim pes
Citra mendengkus pelan. Dia tidak punya jawaban pasti saat ini. Lebih baik dia hentikan obrolan ini mengingat dirinya harus mengantar Manisa pergi ke sekolah. "Aku datang untuk mengajak mas sarapan. Mungkin Manisa sudah di meja makan sekarang," ucap Citra sebelum akhirnya berbalik badan keluar dari dalam kamar itu. "Sial!" hardik Galih pada dirinya sendiri begitu Citra menghilang di balik pintu. "Sepertinya Citra benar-benar curiga. Ini gara-gara Rini. Sudah dibilang jangan menelponku di waktu pagi seperti ini, eh, malah melakukannya. Aku harus menegurnya sebelum dia membuat masalah yang lebih besar." Setelah memasukkan dompet dan ponsel ke saku celana serta mengambil kunci mobil, Galih keluar kamar menuju meja makan. Dia mendapati Citra dan Manisa sedang menikmati sarapan mereka tanpa suara. Citra dan Manisa sempat meliriknya. Tapi hanya sekilas sebelum kembali melanjutkan makan mereka. Galih menipiskan bibir mendapati reaksi Citra itu. Rasanya dia ingin bersumpah sekali lagi ba
Kening Usi mengerut dalam mendengar ucapan Citra. Dia tidak mengerti maksudnya. Meskipun begitu, dia mencoba untuk tidak panik agar tidak memperburuk emosi Citra. Dia mengusap punggung Citra dengan lembut hingga sahabatnya itu tampak sedikit tenang. Setelah itu, barulah dia membawa Citra ke ruangannya dan menyilahkan wanita itu duduk di sofa yang ada di sana."Ceritakan padaku apa yang menyebabkan kamu seperti ini?" tanya Usi tegas. Walaupun Citra baru saja selesai menangis, dia tahu Citra seperti dirinya. Yaitu wanita yang tidak menyek-menyek. Bukan tanpa sebab dia berpikir begitu, selama mereka bersahabat, baru kali ini Citra menangis.Citra mengusap basah di wajahnya dengan tisu yang diberi oleh Usi. "Aku bingung harus cerita darimana. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan mendapati kenyataan ini.""Kenyataan apa?""Kenyataan kalau... Mas Galih sepertinya memang benar-benar selingkuh."Usi tersentak kaget. "Bagaimana kamu bisa mengambil kesimpulan ini? Bukankah waktu itu kamu b
Citra menatap layar ponselnya lekat-lekat. Dia menunggu jawaban atas pesan balasan yang dia kirim pada wanita pemilik nomer asing yang mengirimkan foto dan video mesum antara suaminya dengan seorang wanita yang tidak dikenal itu. Dia begitu penasaran dengan orang ini dan siapa dirinya.Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya pesan balasan yang ditunggu-tunggunya datang juga. Dia langsung membaca pesan itu meskipun dengan hati yang sedikit berdebar. 'Aku telah mengirimkan foto dan video suamimu. Respon kamu seperti ini? Kamu tidak terkejut? Marah? Syok? Sakit hati? Atau yang lainnya?'Citra tersenyum miring. Jari-jarinya kemudian membalas. 'Kenapa kamu mau tahu apa yang aku rasakan? Pentingkah perasaanku buat kamu? Terus, memangnya kamu siapa mau tahu perasaanku? Bukan siapa-siapaku kan?'Jawaban Citra sontak membuat Rini menggeram kesal. Rahang wanita itu sampai mengencang dan wajahnya memerah karena sangking menahan marah. "Kurang ajar! Belum tahu saja kamu siapa aku! Nanti kalau
Galih menyudahi obrolannya dengan Citra dengan senyum penuh arti. Bagaimana tidak, sepertinya istrinya itu sudah baik-baik saja meskipun tadi pagi ada kejadian yang cukup mengkhawatirkan. Tapi dia yakin, setelah pulang dari mall, keadaan akan semakin baik."Aku hanya perlu membelikan semua yang dia inginkan di mall nanti. Setelahnya, beres. Dan satu hal yang penting, aku masih bisa berhubungan dengan Rini. Soal permintaan Citra yang menyuruhku membawa satu karyawan pria ketika mau bertemu pelanggan di luar, itu mah gampang. Aku hanya perlu menyuap salah satu karyawan. Beres."Senyum Galih kian lebar. Dia merasa pintar.Singkat cerita. Galih dan Citra sudah bertemu di mall. Mereka bahkan sudah berbelanja. Semua barang yang dibelanjakan adalah barangnya Citra. Sayangnya raut wajah Citra tampak tidak sumringah. Terlihat biasa saja. Hal itu membuat Galih merasa tidak nyaman. "Kamu kenapa sih, sayang?" tanya Galih kemudian. Yaitu saat mereka sudah duduk di sebuah tempat makan dan makanan
'Kamu bisa cek pada ahlinya kalau foto dan video syur yang aku kirimkan padamu itu asli dan bukan editan.' Rini menatap pesannya yang dia kirim ke Citra sore tadi. Masih belum ada balasan. Bahkan dibaca saja tidak. Hal itu membuat Rini jadi merasa resah, gelisah, marah, penasaran bercampur aduk menjadi satu. "Ukh!" Rini melempar ponselnya. "Menyebalkan sekali sih dia! Tidak mau mundur meskipun aku sudah mengirimkan foto dan videoku dengan Mas Deni! Aku yakin dia juga tahu kalau foto dan video itu asli dan bukan editan! Dia hanya pura-pura tidak percaya karena tidak mau melepaskan hidup mewahnya! Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?! Apa aku harus mendatanginya langsung?! Tapi kalau itu aku lakukan, bagaimana kalau ketahuan Mas Galih? Nanti bukannya menjadi istri sahnya, eh malah ditinggalkan. Aduh, jadi aku harus melakukan apa?" Sementara itu, Citra menatap layar ponselnya dengan tersenyum samar. Dia sangat senang karena bisa membuat panik Galih dan selingkuhannya hari ini.
Citra masuk ke dalam ruangannya yang sejak hamil ditempati oleh Galih. Dia sangat merindukan ruangan itu yang dulu adalah tempatnya menghabiskan waktu dari pagi sampai sore. Bekerja dengan sungguh-sungguh. Bahkan sering sampai malam. Tapi keadaan ruangan sudah jauh berbeda. Dia nyaris tak mengenalinya. Semerawut dan tampak tidak terurus meskipun bersih dari sampah dan debu. Rasanya dia ingin marah dengan keadaan ruangan yang jadi seperti ini. Namun, ini bukan saatnya mempermasalahkan ruangan. Ada hal yang lebih penting yang akan dilakukannya selama beberapa jam ke depan. Di belakangnya, Galih mengiringi langkah Citra dengan hati yang berdebar-debar. Rasanya dia ingin melarang Citra memegang komputer yang ada di ruangan ini agar kecurangannya selama ini tidak diketahui oleh sang istri. Tapi jika dia melakukan itu, dikhawatirkan Citra justru curiga dan malah mengeceknya. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah berdoa agar Citra tidak menyalakan komputer. Kalaupun melakukannya, hanya
Galih menghela nafas berat. Tujuannya datang ke sini yang belum membuahkan hasil membuatnya merasa bosan bermain dengan Manisa. Apalagi permainan yang sedang mereka lakukan adalah permainan anak perempuan."Sebenarnya ibu kamu kemana sih, sayang?" tanya Galih akhirnya. Tak sanggup lagi untuk menahan tanya."Ada di kamar," jawab Manisa enteng. Tak memindahkan pandang pada dari mainannya."Kenapa dia di kamar terus?""E... mungkin mama capek." Barulah kemudian Manisa menatap Galih. "Memang kenapa papa tanya tentang mama? Papa ingin ketemu sama mama?"Galih mengangguk. "Sebenarnya begitu. Kamu mau tidak bilang ke mama kalau papa ingin bicara?"Manisa mengangguk cepat. "Mau kok, pa."Galih tersenyum samar mendengar itu. Akhirnya, beberapa menit kemudian, dia sudah duduk di teras bersama Citra."Apa yang mau mas sampaikan kepadaku?" tanya Citra tanpa senyuman sama sekali."Jangan nodong begitu, Cit. Kita nikmati suasana malam dulu ya?""Ini sudah malam, mas. Aku mau beristirahat bukan mau
"Suka-suka ibu mau menyebut dia apa. Pelac*r kek. Ani-ani kek. Wanita simpanan kek. Yang pasti mau tidak mau lusa malam aku akan datang ke rumah orangtuanya untuk melamarnya. Dan ibu, harus ikut aku."Pandangan Marni langsung menyipit. "Kenapa ibu harus ikut kamu? Kamu kan bisa pergi sendiri?""Ya tidak bisa begitu dong, bu. Masak aku datang sendiri untuk melamar? Setidaknya aku bawa satu orang bersamaku. Orangtua Rini juga akan tersinggung kalau aku datang sendirian.""Datang hanya berdua juga akan membuat mereka tersinggung kok. Masak lamaran hanya berdua?""Setidaknya aku tidak sendiri. Masih bawa keluarga. Mereka juga maklum kenapa tidak datang membawa banyak orang. Karena aku baru keluar dari penjara, lamaran ini mendadak, dan aku masih berstatus menikah. Kalau pun memang tersinggung, itu bukan urusan aku lagi. Masak mereka tidak maklum dengan keadaanku. Sudah datang mau melamar saja sudah syukur. Besok ibu persiapkan apa kira-kira yang harus kita bawa."Marni melenguh tak senang
Pertanyaan Manisa membuat Citra membisu. Bagaimana tidak, Citra tak mampu mengungkapkan hal yang sebenarnya. Bahwa Galih di dalam penjara. Dan yang memenjarakan Galih adalah dirinya. "E... mungkin papa sedang ada kesibukan. Jadi tidak bisa ambil barang-barangnya sendiri.""Tapi bukan mama yang mengusir papa dari rumah kan?"Manisa menelan saliva. Pertanyaan Citra menyudutkannya. "E... seperti yang kamu tau kalau papa dan mama itu akan berpisah. Karena itu, kami tidak boleh tinggal bersama lagi.""Tapi kenapa mama dan papa harus bercerai? Mama selalu mengajarkan aku untuk memaafkan tapi kenapa kalian tidak mau saling memaafkan demi aku?""Ini bukan tentang kenapa kami tidak mau saling memaafkan. Papa sudah mempunyai wanita lain yang dicintainya. Jadi mama harus mengalah." Citra terpaksa mengatakan ini daripada membuat Manisa salah paham.Kening Manisa mengerut. "Siapa?""Kamu tidak perlu tahu soal itu karena nanti juga kamu bakal tahu."Manisa terdiam. Penjelasan Citra membuatnya sedih
"Syukurlah." Citra meninggalkan meja makan menuju ruang tamu. Dia tidak mau pembicaraannya didengar oleh Manisa. "Kalau begitu, kamu angkut barang-barangnya Mas Galih hari ini juga.""Kalau soal barang Mas Galih nanti saja, mbak. Biarkan saja di sana. Kapan-kapan saja mengambilnya.""Oh, tidak bisa. Kalau barang-barang Mas Galih masih ada di sini semua, otomatis Mas Galih jadi punya alasan untuk sering datang ke sini selain ingin bertemu Manisa. Aku sudah tidak mau satu rumah dengan Mas Galih lagi. Jadi silahkan ambil semua barangnya. Kalau barang-barang Mas Galih masih ada di sini, aku belum mau menarik gugatan. Jadi silahkan pikirkan. Kalau mau Mas Galih cepat keluar dari penjara, berarti harus cepat pula barang-barang Mas Galih diambil.""Oh, baiklah kalau begitu. Mungkin nanti malam aku ke sana untuk mengambil barang-barang Mas Galih.""Ya. Jangan sampai lupa ya agar aku cepat mencabut gugatan.""Iya iya, mbak."Sementara itu di tempat lain, Gina menarik ponselnya dari telinga den
"Ya Tuhan, kenapa harus bercerai sih? Kalian itu sudah punya Manisa. Kasihan dia kalau kedua orangtuanya berpisah. Suami istri itu harus saling memaafkan. Manusia tidak luput dari kesalahan.""Aku sudah memaafkan Mas Galih. Tapi bukan berarti tetap mau menjadi istrinya Mas Galih. Keputusanku untuk bercerai dari Mas Galih sudah bulat.""Kamu itu diam-diam egois, Cit. Mudah sekali menceraikan suami.""Kalau aku egois, Mas Galih apa, bu? Yang selingkuh dan korupsi uang toko itu dia bukan aku.""Iya, ibu tau itu. Tapi kan Galih semalam sudah minta maaf. Dia juga sudah berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Kenapa sih kamu tidak mau memberinya kesempatan?""Karena selingkuhannya sudah hamil. Mas Galih harus mempertanggungjawabkannya.""Galih tetap bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya pada wanita itu tanpa harus menceraikan kamu kok.""Maksud ibu, aku harus mengizinkan Mas Galih menikah lagi sementara aku masih jadi istrinya?""Ya tidak masalah kan?""Jelas masalah, bu. Dia i
Apakah masih ada yang ingin kalian sampaikan?" tanya yang memecah sunyi itu, Citra tujukan pada Galih, Marni, Gina, dan Marni. Tapi semuanya membisu. "Kalau tidak ada, aku akan pulang karena ini sudah malam. Oya, Din." Pandangan Citra beralih pada Dina. "Karena mulai malam ini Mas Galih tidak akan tinggal denganku lagi, tolong kamu ambil barang-barangnya di rumah secepatnya."Dina tak menjawab. Dia yang masih bingung dengan apa yang sedang terjadi, memilih diam."Karena sepertinya memang tak ada lagi yang ingin kalian tanyakan, aku akan pulang sekarang." Citra beranjak dari duduknya sebelum akhirnya melangkah pelan keluar dari ruangan yang menyesakkan itu. Jelas menyesakkan. Karena meskipun bukan dia yang sedang bermasalah, usai melihat suami bersama wanita lain di dalam kamar hotel adalah perkara yang menyakitkan. Kalau bisa memilih, dia tidak mau mengalami peristiwa buruk ini. Karena sejak awal menikah dengan Galih, dia berpikir kalau suaminya itu adalah pria yang setia dan berkarak
Citra tersenyum geli sekaligus miris mendengar apa yang dikatakan oleh Marni barusan. Bagaimana tidak, bisa-bisanya ibu mertuanya ini memarahinya padahal belum tahu apa yang menyebabkan putranya berada di kantor polisi.“Apa tidak sebaiknya ibu tanya dulu secara baik-baik kenapa Mas Galih bisa ada di sini sebelum marah-marah?” tanya Citra kemudian.“Tanpa bertanya pun ibu tahu kenapa kamu sampai mempidanakan ini. Memangnya apa lagi kalau bukan karena uang toko?!”Citra tersenyum miring. “Ibu yakin?”“Yakin dong!”“Kalau begitu, coba ibu tanyakan dulu pada Mas Galih kenapa dia ada di sini.”Tak mendekati Galih, Marni justru tercenung bingung. Dia kemudian mengalihkan pandang pada putranya itu. “Benar kan tebakan ibu kalau kamu di sini karena masalah uang toko?”Galih menggeleng pelan. “Bukan, bu.”“Jadi karena apa?”Galih menggigit bibir bawahnya. “E... karena....”“Mas Galih tertangkap basah sedang bersama selingkuhannya di sebuah kamar hotel, bu,” sela Citra.Bagai tersambar petir Ma
Citra tersenyum miring melihat reaksi terkejut Galih. "Kenapa? Mas kaget aku bisa ada di sini?"Tak langsung menjawab, Galih justru mematung karena syok dengan apa yang terjadi. Dia benar-benar tidak menyangka kalau di hadapannya berdiri wanita yang selama ini menghidupinya tapi telah dikhianatinya."Ba-bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Galih dengan suara yang gemetar."Ya tentu saja untuk membuktikan apakah benar Mas atau bukan orang yang menyewa kamar ini dengan...." Citra menatap Galih tajam. "Selingkuhanmya.""Tapi dari siapa kamu tahu aku ada di sini?""Itu tidak penting. Lebih baik sekarang Mas menyingkir karena aku mau masuk."Bukannya menyingkir, Galih justru berdiri di tengah-tengah pintu dengan kedua tangan yang merentang. "Tidak. Kamu tidak boleh masuk.""Kenapa tidak boleh masuk? Apa karena di dalam kamar memang ada orang lain?""Kamu tidak perlu tahu di dalam ada orang lain atau tidak. Yang pasti, kamu tidak boleh masuk. Kamu pulanglah sekarang! Nanti aku akan menyu
'Karena aku merasa heran. Bagaimana bisa seorang istri diam saja ketika sudah tahu suaminya selingkuh? Apa... istrinya memang tidak keberatan kalau suaminya selingkuh asalkan tetap bisa hidup mewah?''Hah? Apa maksudmu dengan mengatakan aku membiarkan suamiku selingkuh agar bisa hidup mewah? Anda harus tahu ya, nona. Bahwa tanpa suamiku pun aku bisa hidup mewah. Ada baiknya kamu mencari tahu dulu sebelum bicara.''Oya? Apa karena kamu merasa cantik sehingga bisa mendekati laki-laki kaya selain Mas Galih?''Itu hanya ada dalam pemikiranmu, nona. Begini saja, sekarang katakan apa maumu sebenarnya, nona. Jangan berbelit-belit.''Oke, kalau itu mau kamu. Aku mau kamu melepaskan suami kamu karena sudah jelas suami kamu itu lebih mencintai aku daripada kamu. Jadi, cepat atau lambat, kamu bakal dibuang juga. Jadi, sebagai sesama wanita yang punya harga diri, lebih baik kamu pergi lebih dulu sebelum dibuang.''Tidak semudah itu. Kalau hanya dengan bukti-bukti video dan foto yang kamu berikan,