"Sayang, aku mau. Ayo kita lakukan dengan bersemangat," ucap Galih sembari memeluk Citra dari belakang. Sebenarnya dia sedang tidak berharap pada istrinya itu. Sebab hasratnya sudah terpenuhi tadi siang. Tapi gara-gara ketahuan bertemu dengan Rini, dia memaksakan diri untuk melakukannya. Tujuannya untuk menyenangkan Citra karena menurutnya kalau wanita telah dipuaskan, seluruh amarah dan kecurigaan wanita akan sirna. Kalau pun masih ada, hanya tinggal sisa-sisa.
Citra yang belum bisa tidur karena merasa gamang, menjawab. "Maaf, mas. Malam ini aku capek sekali. Lain kali saja ya." Bohong! Dia berbohong. Sebenarnya dia tidak merasa capek. Tapi karena beberapa jam lalu dia melihat foto mesra suaminya itu dengan seorang wanita cantik, kecurigaannya kembali muncul. Hanya saja dia tidak mau jujur dengan rasa kecurigaanya itu karena memiliki alasan. "Kenapa? Apa karena kamu masih memikirkan laporan Usi yang melihat aku bersama seorang wanita tadi? Kamu curiga? Kamu marah? Katanya kamu sudah percaya kalau aku tidak selingkuh?" tanya Galih dengan perasaan ketar ketir. "Sumpah, dia itu istri pelanggan toko kita!" 'Kalau kamu tidak selingkuh, terus siapa wanita yang berfoto mesra denganmu itu, mas? Apa foto itu hanya editan?' sahut Citra dalam hati. "Tidak. Bukan karena itu, mas. Aku memang sedang capek. Bukan karena laporan Usi itu." "Syukurlah kalau memang begitu. Aku khawatir kamu menolak aku karena belum percaya dengan pengakuanku," ucap Galih lega. Tapi dia berjanji ke depannya, dia akan lebih berhati-hati ketika bertemu Rini. Dia tidak mau kejadian terlihat oleh orang lain saat sedang bersama Rini terulang lagi. "Oya, bagaimana kalau besok lusa kita ke mall? Sudah lama kita tidak pacaran berdua ke mall." Citra tak langsung menjawab. Dia justru termenung. Haruskah dia mengiyakan ajakan Galih di saat hatinya sedang kacau seperti ini? Rasanya tidak masalah. Karena kalau dia menjauh atau menjaga jarak, justru dia akan sulit dalam mencari tahu apakah suaminya memang selingkuh atau tidak. "Boleh. Sepertinya aku memang sedang butuh hiburan." "Sip." "Ada lagi? Kalau tidak ada, bolehkah aku sekarang tidur?" "Ya, boleh. Tidurlah. Aku tidak akan mengganggu kamu." Citra pun mengatupkan kedua kelopak matanya meskipun dia tidak tahu apakah bakal bisa tidur atau tidak. *** Hal pertama yang dilakukan oleh Rini ketika membuka mata adalah mengecek ponselnya. Dia ingin melihat apakah Citra membalas pesan foto yang dikirimnya semalam atau tidak. Sebab sejak dia mengirimkan pesan itu, belum mendapat tanggapan dari Citra. Rasanya tidak mungkin kalau Citra diam saja setelah melihat foto mesra dirinya dan Galih tersebut. Minimal wanita itu bertanya siapa dirinya sang pengirim foto. Tapi setelah dia mengecek kolom pesan Citra, Rini menyeringai. "Sial nih cewek. Ternyata dia tidak membalas pesanku?! Memangnya dia tidak penasaran dengan siapa pengirim pesan foto itu?!" Rini geleng-geleng kepala. Nyaris tak percaya. Tapi ini membuatnya sadar kalau Citra bukan wanita bodoh yang mudah tersulut emosinya. Sepertinya dia sedang berhadapan dengan lawan yang berat. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah aku harus mengirim video mesum itu saat ini juga? Tidak. Tidak. Meskipun wanita tidak berguna itu tidak membalas pesanku, bisa jadi di sana sudah terjadi perang dunia ketiga karena foto itu. Baiknya aku harus memastikannya dulu." Rini hendak mengirim pesan pada Galih ketika dia mengurungkannya. "Baiknya aku langsung menelponnya saja untuk mengetahui keadaan di sana. Kalau hanya mengobrol via pesan, tidak seru. Sekarang lebih baik aku mandi dulu. Aku akan menelponnya setelahnya." Rini pun beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Satu jam kemudian saat dia sedang merias wajahnya dan berhadapan dengan cermin, barulah dia menelpon Galih dengan mode pengeras suara karena tangannya sibuk dengan alat make up. Satu kali panggilannya tidak ditanggapi. Begitu pun yang kedua kali. Rini tahu kenapa panggilannya tidak juga diterima oleh Galih. Ya karena sudah dibuat perjanjian kalau dia tidak boleh menelpon di waktu-waktu tertentu. Salah satunya adalah di pagi hari saat Galih masih di rumah. Tapi kali ini, dia benar-benar penasaran untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dengan Galih dan Citra. Itu sebabnya, dia melakukan panggilan untuk yang ketiga kalinya. Kali ini diterima oleh Galih meskipun nada suara Galih terdengar tidak senang. "Apa-apaan kamu menelponku Pagi-pagi begini?! Aku kan sudah bilang sama kamu untuk tidak menghubungi dan mengirim pesan padaku di waktu aku sedang di rumah!" Rini tersenyum miring begitu mendengar marah tertahan Galih barusan. "Aduh, jangan marah-marah dong, mas. Ini masih pagi lho." "Bagaimana tidak marah?! Kita kan sudah membuat kesepakatan tentang waktu kamu boleh menelpon dan mengirim pesan padaku!" "Iya iya aku ingat. Tapi entah mengapa aku kangen, mas. Rasanya tidak tertahan lagi. Makanya aku menelpon, mas," ucap Rini bohong. Mana ada dia kangen pada Galih karena yang ada dalam pikiran dan hatinya hanyalah uangnya Galih. "Apapun yang kamu rasa, sekali lagi aku bilang ke kamu untuk tidak menelpon dan mengirim pesan padaku di waktu aku sedang di rumah! Kamu harus pegang teguh perjanjian itu!" "Oke. Tapi ... bagaimana kalau lusa sore kita jalan-jalan ke mall, mas? Sudah lama sekali kita tidak melakukannya." "Tidak bisa! Lusa sore justru aku janjian pacaran ke mall dengan Citra!" Rini terhenyak. Jawaban Galih barusan langsung membuat tangannya berhenti bergerak. Bukan tanpa sebab, jawaban Galih ini menunjukkan kalau hubungan pria itu dan istrinya baik-baik saja atau tanpa masalah. Kalau begitu, apa dampak foto yang telah dia kirim pada Citra? Tidakkah Citra merasa marah setelah melihat foto itu sehingga masih bisa pacaran ke mall dengan Galih? 'Sial! Ternyata wanita itu tangguh juga. Melihat foto mesra suaminya dengan wanita lain masih bisa bersikap tenang dan malah mengajak Mas Galih jalan-jalan ke mall. Atau jangan-jangan dia memang tidak peduli dengan apa yang dilakukan Mas Galih di luar rumah? Yang penting, uang lancar dan bisa hidup nyaman tanpa beban hidup. Berarti dia wanita yang licik juga kalau begitu?' "Kenapa kamu diam saja, Rin? Apa kamu sudah mengerti dengan kesalahan kamu hati ini?" Rini terhenyak dari lamunannya. "Ma-af kalau begitu, mas. Ya sudah, kalau mas memang sudah janjian dengan Citra, apa boleh buat? Aku juga tidak bisa melarang kamu." "Syukurlah kamu mengerti. Tapi ingat, untuk ke depannya jangan lagi kamu menelponku pada saat aku masih di rumah seperti ini. Aku tidak mau Citra mendengar dan kemudian curiga kepadaku." "Iya, mas. Kalau begitu aku sudahi ya mas." Tep. Obrolan terhenti sampai di sini. Rini menyudahi panggilannya. Sementara itu di seberang, Galih berdecak sembari menjauhkan ponsel dari telinganya. "Masak sih doa tidak bisa menahan bertemu denganku? Untung saja Citra tidak tahu." "Tidak tahu apa, mas?" Bersambung.Beberapa saat sebelumnya."Nya, sarapan sudah siap," ucap Sumi di pintu kamar Manisa.Citra yang baru saja selesai merapikan rambut Manisa menoleh. "Iya, bi. Ini kami mau ke meja makan.""Baik, Nya. Tuan mau bibi panggilkan juga?""Biar aku saja, bi. Bibi lanjutkan pekerjaan saja.""Oh, baiklah, Nya. Kalau begitu, bibi kembali ke dapur." Sumi berbalik badan dan kemudian tubuhnya menghilang di balik tembok.Citra menatap Manisa yang sudah selesai dirias. "Kamu ke meja makan sekarang sendirian ya. Mulai sarapan saja. Mama mau memanggil papa dulu."Manisa mengangguk. "Iya, ma."Citra tersenyum. Dia kemudian meninggalkan kamar Manisa menuju kamarnya. Tapi begitu sampai di depan pintu yang sedikit terbuka, langkah Citra terhenti tiba-tiba begitu mendengar suara Galih yang sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Suaranya sih lirih. Tapi Citra masih bisa mendengarnya."Apa-apaan kamu menelponku Pagi-pagi begini?! Aku kan sudah bilang sama kamu untuk tidak menghubungi dan mengirim pes
Citra mendengkus pelan. Dia tidak punya jawaban pasti saat ini. Lebih baik dia hentikan obrolan ini mengingat dirinya harus mengantar Manisa pergi ke sekolah. "Aku datang untuk mengajak mas sarapan. Mungkin Manisa sudah di meja makan sekarang," ucap Citra sebelum akhirnya berbalik badan keluar dari dalam kamar itu. "Sial!" hardik Galih pada dirinya sendiri begitu Citra menghilang di balik pintu. "Sepertinya Citra benar-benar curiga. Ini gara-gara Rini. Sudah dibilang jangan menelponku di waktu pagi seperti ini, eh, malah melakukannya. Aku harus menegurnya sebelum dia membuat masalah yang lebih besar." Setelah memasukkan dompet dan ponsel ke saku celana serta mengambil kunci mobil, Galih keluar kamar menuju meja makan. Dia mendapati Citra dan Manisa sedang menikmati sarapan mereka tanpa suara. Citra dan Manisa sempat meliriknya. Tapi hanya sekilas sebelum kembali melanjutkan makan mereka. Galih menipiskan bibir mendapati reaksi Citra itu. Rasanya dia ingin bersumpah sekali lagi ba
Kening Usi mengerut dalam mendengar ucapan Citra. Dia tidak mengerti maksudnya. Meskipun begitu, dia mencoba untuk tidak panik agar tidak memperburuk emosi Citra. Dia mengusap punggung Citra dengan lembut hingga sahabatnya itu tampak sedikit tenang. Setelah itu, barulah dia membawa Citra ke ruangannya dan menyilahkan wanita itu duduk di sofa yang ada di sana."Ceritakan padaku apa yang menyebabkan kamu seperti ini?" tanya Usi tegas. Walaupun Citra baru saja selesai menangis, dia tahu Citra seperti dirinya. Yaitu wanita yang tidak menyek-menyek. Bukan tanpa sebab dia berpikir begitu, selama mereka bersahabat, baru kali ini Citra menangis.Citra mengusap basah di wajahnya dengan tisu yang diberi oleh Usi. "Aku bingung harus cerita darimana. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan mendapati kenyataan ini.""Kenyataan apa?""Kenyataan kalau... Mas Galih sepertinya memang benar-benar selingkuh."Usi tersentak kaget. "Bagaimana kamu bisa mengambil kesimpulan ini? Bukankah waktu itu kamu b
Citra menatap layar ponselnya lekat-lekat. Dia menunggu jawaban atas pesan balasan yang dia kirim pada wanita pemilik nomer asing yang mengirimkan foto dan video mesum antara suaminya dengan seorang wanita yang tidak dikenal itu. Dia begitu penasaran dengan orang ini dan siapa dirinya.Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya pesan balasan yang ditunggu-tunggunya datang juga. Dia langsung membaca pesan itu meskipun dengan hati yang sedikit berdebar. 'Aku telah mengirimkan foto dan video suamimu. Respon kamu seperti ini? Kamu tidak terkejut? Marah? Syok? Sakit hati? Atau yang lainnya?'Citra tersenyum miring. Jari-jarinya kemudian membalas. 'Kenapa kamu mau tahu apa yang aku rasakan? Pentingkah perasaanku buat kamu? Terus, memangnya kamu siapa mau tahu perasaanku? Bukan siapa-siapaku kan?'Jawaban Citra sontak membuat Rini menggeram kesal. Rahang wanita itu sampai mengencang dan wajahnya memerah karena sangking menahan marah. "Kurang ajar! Belum tahu saja kamu siapa aku! Nanti kalau
Galih menyudahi obrolannya dengan Citra dengan senyum penuh arti. Bagaimana tidak, sepertinya istrinya itu sudah baik-baik saja meskipun tadi pagi ada kejadian yang cukup mengkhawatirkan. Tapi dia yakin, setelah pulang dari mall, keadaan akan semakin baik."Aku hanya perlu membelikan semua yang dia inginkan di mall nanti. Setelahnya, beres. Dan satu hal yang penting, aku masih bisa berhubungan dengan Rini. Soal permintaan Citra yang menyuruhku membawa satu karyawan pria ketika mau bertemu pelanggan di luar, itu mah gampang. Aku hanya perlu menyuap salah satu karyawan. Beres."Senyum Galih kian lebar. Dia merasa pintar.Singkat cerita. Galih dan Citra sudah bertemu di mall. Mereka bahkan sudah berbelanja. Semua barang yang dibelanjakan adalah barangnya Citra. Sayangnya raut wajah Citra tampak tidak sumringah. Terlihat biasa saja. Hal itu membuat Galih merasa tidak nyaman. "Kamu kenapa sih, sayang?" tanya Galih kemudian. Yaitu saat mereka sudah duduk di sebuah tempat makan dan makanan
'Kamu bisa cek pada ahlinya kalau foto dan video syur yang aku kirimkan padamu itu asli dan bukan editan.' Rini menatap pesannya yang dia kirim ke Citra sore tadi. Masih belum ada balasan. Bahkan dibaca saja tidak. Hal itu membuat Rini jadi merasa resah, gelisah, marah, penasaran bercampur aduk menjadi satu. "Ukh!" Rini melempar ponselnya. "Menyebalkan sekali sih dia! Tidak mau mundur meskipun aku sudah mengirimkan foto dan videoku dengan Mas Deni! Aku yakin dia juga tahu kalau foto dan video itu asli dan bukan editan! Dia hanya pura-pura tidak percaya karena tidak mau melepaskan hidup mewahnya! Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?! Apa aku harus mendatanginya langsung?! Tapi kalau itu aku lakukan, bagaimana kalau ketahuan Mas Galih? Nanti bukannya menjadi istri sahnya, eh malah ditinggalkan. Aduh, jadi aku harus melakukan apa?" Sementara itu, Citra menatap layar ponselnya dengan tersenyum samar. Dia sangat senang karena bisa membuat panik Galih dan selingkuhannya hari ini.
Citra masuk ke dalam ruangannya yang sejak hamil ditempati oleh Galih. Dia sangat merindukan ruangan itu yang dulu adalah tempatnya menghabiskan waktu dari pagi sampai sore. Bekerja dengan sungguh-sungguh. Bahkan sering sampai malam. Tapi keadaan ruangan sudah jauh berbeda. Dia nyaris tak mengenalinya. Semerawut dan tampak tidak terurus meskipun bersih dari sampah dan debu. Rasanya dia ingin marah dengan keadaan ruangan yang jadi seperti ini. Namun, ini bukan saatnya mempermasalahkan ruangan. Ada hal yang lebih penting yang akan dilakukannya selama beberapa jam ke depan. Di belakangnya, Galih mengiringi langkah Citra dengan hati yang berdebar-debar. Rasanya dia ingin melarang Citra memegang komputer yang ada di ruangan ini agar kecurangannya selama ini tidak diketahui oleh sang istri. Tapi jika dia melakukan itu, dikhawatirkan Citra justru curiga dan malah mengeceknya. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah berdoa agar Citra tidak menyalakan komputer. Kalaupun melakukannya, hanya
Citra menghela nafas berat beberapa kali. Kenyataan buruk yang dialaminya membuat dadanya sesak. Dia kemudian mencoba untuk kembali fokus dengan layar komputernya. Dia amati setiap huruf dan angka yang ada di sana. Awalnya, wajahnya tampak biasa saja. Lalu keningnya mulai mengerut. Dan setelah lama, matanya melebar."Aku hampir saja tidak mempercayai ini. Kemana hilangnya uang toko yang sebanyak ini? Apa mungkin Mas Galih yang mengambilnya? Kalau iya, berarti dia jahat sekali. Sudah selingkuh, punya niat memiliki toko ini, sekarang ketahuan telah mengambil uang toko. Aku tidak akan membiarkan ini. Aku akan bertindak secepatnya."Sementara itu di ruangan lain, Galih tampak gelisah. Bagaimana tidak, dia tahu kalau di ruangan sebelah, Citra sedang memeriksa pembukuan toko. Dia khawatir Citra mengetahui kecurangan yang sudah dia lakukan."Kalau Citra memang memeriksa pembukuan toko, sudah pasti dia akan tahu kecurangan yang sudah aku lakukan. Dia kan tidak bodoh. Dia lebih dulu mengendali
Galih menghela nafas berat. Tujuannya datang ke sini yang belum membuahkan hasil membuatnya merasa bosan bermain dengan Manisa. Apalagi permainan yang sedang mereka lakukan adalah permainan anak perempuan."Sebenarnya ibu kamu kemana sih, sayang?" tanya Galih akhirnya. Tak sanggup lagi untuk menahan tanya."Ada di kamar," jawab Manisa enteng. Tak memindahkan pandang pada dari mainannya."Kenapa dia di kamar terus?""E... mungkin mama capek." Barulah kemudian Manisa menatap Galih. "Memang kenapa papa tanya tentang mama? Papa ingin ketemu sama mama?"Galih mengangguk. "Sebenarnya begitu. Kamu mau tidak bilang ke mama kalau papa ingin bicara?"Manisa mengangguk cepat. "Mau kok, pa."Galih tersenyum samar mendengar itu. Akhirnya, beberapa menit kemudian, dia sudah duduk di teras bersama Citra."Apa yang mau mas sampaikan kepadaku?" tanya Citra tanpa senyuman sama sekali."Jangan nodong begitu, Cit. Kita nikmati suasana malam dulu ya?""Ini sudah malam, mas. Aku mau beristirahat bukan mau
"Suka-suka ibu mau menyebut dia apa. Pelac*r kek. Ani-ani kek. Wanita simpanan kek. Yang pasti mau tidak mau lusa malam aku akan datang ke rumah orangtuanya untuk melamarnya. Dan ibu, harus ikut aku."Pandangan Marni langsung menyipit. "Kenapa ibu harus ikut kamu? Kamu kan bisa pergi sendiri?""Ya tidak bisa begitu dong, bu. Masak aku datang sendiri untuk melamar? Setidaknya aku bawa satu orang bersamaku. Orangtua Rini juga akan tersinggung kalau aku datang sendirian.""Datang hanya berdua juga akan membuat mereka tersinggung kok. Masak lamaran hanya berdua?""Setidaknya aku tidak sendiri. Masih bawa keluarga. Mereka juga maklum kenapa tidak datang membawa banyak orang. Karena aku baru keluar dari penjara, lamaran ini mendadak, dan aku masih berstatus menikah. Kalau pun memang tersinggung, itu bukan urusan aku lagi. Masak mereka tidak maklum dengan keadaanku. Sudah datang mau melamar saja sudah syukur. Besok ibu persiapkan apa kira-kira yang harus kita bawa."Marni melenguh tak senang
Pertanyaan Manisa membuat Citra membisu. Bagaimana tidak, Citra tak mampu mengungkapkan hal yang sebenarnya. Bahwa Galih di dalam penjara. Dan yang memenjarakan Galih adalah dirinya. "E... mungkin papa sedang ada kesibukan. Jadi tidak bisa ambil barang-barangnya sendiri.""Tapi bukan mama yang mengusir papa dari rumah kan?"Manisa menelan saliva. Pertanyaan Citra menyudutkannya. "E... seperti yang kamu tau kalau papa dan mama itu akan berpisah. Karena itu, kami tidak boleh tinggal bersama lagi.""Tapi kenapa mama dan papa harus bercerai? Mama selalu mengajarkan aku untuk memaafkan tapi kenapa kalian tidak mau saling memaafkan demi aku?""Ini bukan tentang kenapa kami tidak mau saling memaafkan. Papa sudah mempunyai wanita lain yang dicintainya. Jadi mama harus mengalah." Citra terpaksa mengatakan ini daripada membuat Manisa salah paham.Kening Manisa mengerut. "Siapa?""Kamu tidak perlu tahu soal itu karena nanti juga kamu bakal tahu."Manisa terdiam. Penjelasan Citra membuatnya sedih
"Syukurlah." Citra meninggalkan meja makan menuju ruang tamu. Dia tidak mau pembicaraannya didengar oleh Manisa. "Kalau begitu, kamu angkut barang-barangnya Mas Galih hari ini juga.""Kalau soal barang Mas Galih nanti saja, mbak. Biarkan saja di sana. Kapan-kapan saja mengambilnya.""Oh, tidak bisa. Kalau barang-barang Mas Galih masih ada di sini semua, otomatis Mas Galih jadi punya alasan untuk sering datang ke sini selain ingin bertemu Manisa. Aku sudah tidak mau satu rumah dengan Mas Galih lagi. Jadi silahkan ambil semua barangnya. Kalau barang-barang Mas Galih masih ada di sini, aku belum mau menarik gugatan. Jadi silahkan pikirkan. Kalau mau Mas Galih cepat keluar dari penjara, berarti harus cepat pula barang-barang Mas Galih diambil.""Oh, baiklah kalau begitu. Mungkin nanti malam aku ke sana untuk mengambil barang-barang Mas Galih.""Ya. Jangan sampai lupa ya agar aku cepat mencabut gugatan.""Iya iya, mbak."Sementara itu di tempat lain, Gina menarik ponselnya dari telinga den
"Ya Tuhan, kenapa harus bercerai sih? Kalian itu sudah punya Manisa. Kasihan dia kalau kedua orangtuanya berpisah. Suami istri itu harus saling memaafkan. Manusia tidak luput dari kesalahan.""Aku sudah memaafkan Mas Galih. Tapi bukan berarti tetap mau menjadi istrinya Mas Galih. Keputusanku untuk bercerai dari Mas Galih sudah bulat.""Kamu itu diam-diam egois, Cit. Mudah sekali menceraikan suami.""Kalau aku egois, Mas Galih apa, bu? Yang selingkuh dan korupsi uang toko itu dia bukan aku.""Iya, ibu tau itu. Tapi kan Galih semalam sudah minta maaf. Dia juga sudah berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Kenapa sih kamu tidak mau memberinya kesempatan?""Karena selingkuhannya sudah hamil. Mas Galih harus mempertanggungjawabkannya.""Galih tetap bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya pada wanita itu tanpa harus menceraikan kamu kok.""Maksud ibu, aku harus mengizinkan Mas Galih menikah lagi sementara aku masih jadi istrinya?""Ya tidak masalah kan?""Jelas masalah, bu. Dia i
Apakah masih ada yang ingin kalian sampaikan?" tanya yang memecah sunyi itu, Citra tujukan pada Galih, Marni, Gina, dan Marni. Tapi semuanya membisu. "Kalau tidak ada, aku akan pulang karena ini sudah malam. Oya, Din." Pandangan Citra beralih pada Dina. "Karena mulai malam ini Mas Galih tidak akan tinggal denganku lagi, tolong kamu ambil barang-barangnya di rumah secepatnya."Dina tak menjawab. Dia yang masih bingung dengan apa yang sedang terjadi, memilih diam."Karena sepertinya memang tak ada lagi yang ingin kalian tanyakan, aku akan pulang sekarang." Citra beranjak dari duduknya sebelum akhirnya melangkah pelan keluar dari ruangan yang menyesakkan itu. Jelas menyesakkan. Karena meskipun bukan dia yang sedang bermasalah, usai melihat suami bersama wanita lain di dalam kamar hotel adalah perkara yang menyakitkan. Kalau bisa memilih, dia tidak mau mengalami peristiwa buruk ini. Karena sejak awal menikah dengan Galih, dia berpikir kalau suaminya itu adalah pria yang setia dan berkarak
Citra tersenyum geli sekaligus miris mendengar apa yang dikatakan oleh Marni barusan. Bagaimana tidak, bisa-bisanya ibu mertuanya ini memarahinya padahal belum tahu apa yang menyebabkan putranya berada di kantor polisi.“Apa tidak sebaiknya ibu tanya dulu secara baik-baik kenapa Mas Galih bisa ada di sini sebelum marah-marah?” tanya Citra kemudian.“Tanpa bertanya pun ibu tahu kenapa kamu sampai mempidanakan ini. Memangnya apa lagi kalau bukan karena uang toko?!”Citra tersenyum miring. “Ibu yakin?”“Yakin dong!”“Kalau begitu, coba ibu tanyakan dulu pada Mas Galih kenapa dia ada di sini.”Tak mendekati Galih, Marni justru tercenung bingung. Dia kemudian mengalihkan pandang pada putranya itu. “Benar kan tebakan ibu kalau kamu di sini karena masalah uang toko?”Galih menggeleng pelan. “Bukan, bu.”“Jadi karena apa?”Galih menggigit bibir bawahnya. “E... karena....”“Mas Galih tertangkap basah sedang bersama selingkuhannya di sebuah kamar hotel, bu,” sela Citra.Bagai tersambar petir Ma
Citra tersenyum miring melihat reaksi terkejut Galih. "Kenapa? Mas kaget aku bisa ada di sini?"Tak langsung menjawab, Galih justru mematung karena syok dengan apa yang terjadi. Dia benar-benar tidak menyangka kalau di hadapannya berdiri wanita yang selama ini menghidupinya tapi telah dikhianatinya."Ba-bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Galih dengan suara yang gemetar."Ya tentu saja untuk membuktikan apakah benar Mas atau bukan orang yang menyewa kamar ini dengan...." Citra menatap Galih tajam. "Selingkuhanmya.""Tapi dari siapa kamu tahu aku ada di sini?""Itu tidak penting. Lebih baik sekarang Mas menyingkir karena aku mau masuk."Bukannya menyingkir, Galih justru berdiri di tengah-tengah pintu dengan kedua tangan yang merentang. "Tidak. Kamu tidak boleh masuk.""Kenapa tidak boleh masuk? Apa karena di dalam kamar memang ada orang lain?""Kamu tidak perlu tahu di dalam ada orang lain atau tidak. Yang pasti, kamu tidak boleh masuk. Kamu pulanglah sekarang! Nanti aku akan menyu
'Karena aku merasa heran. Bagaimana bisa seorang istri diam saja ketika sudah tahu suaminya selingkuh? Apa... istrinya memang tidak keberatan kalau suaminya selingkuh asalkan tetap bisa hidup mewah?''Hah? Apa maksudmu dengan mengatakan aku membiarkan suamiku selingkuh agar bisa hidup mewah? Anda harus tahu ya, nona. Bahwa tanpa suamiku pun aku bisa hidup mewah. Ada baiknya kamu mencari tahu dulu sebelum bicara.''Oya? Apa karena kamu merasa cantik sehingga bisa mendekati laki-laki kaya selain Mas Galih?''Itu hanya ada dalam pemikiranmu, nona. Begini saja, sekarang katakan apa maumu sebenarnya, nona. Jangan berbelit-belit.''Oke, kalau itu mau kamu. Aku mau kamu melepaskan suami kamu karena sudah jelas suami kamu itu lebih mencintai aku daripada kamu. Jadi, cepat atau lambat, kamu bakal dibuang juga. Jadi, sebagai sesama wanita yang punya harga diri, lebih baik kamu pergi lebih dulu sebelum dibuang.''Tidak semudah itu. Kalau hanya dengan bukti-bukti video dan foto yang kamu berikan,