Panas matahari yang menyengat hari ini membuat keringat membasahi peluh Xaviera setelah tiga jam berada di ruang auditorium tanpa pendingin ataupun kipas angin.
Aletta memberikan pelukan terima kasih karena Xaviera mau menemaninya. Sebenarnya Aletta mampu mengendalikan semuanya seorang diri, hanya saja ia tidak seberani Xaviera saat melawan adik tingkat yang sedikit kurang ajar.
Bagi Xaviera, mereka adalah remaja yang baru saja tumbuh dewasa dan tentunya baru mengenal dunia perkuliahan. Dengan sikap keras dan tegas Xaviera, setidaknya membuat suasana terkendali dengan baik.
“Kerja bagus,” ujar Aletta memberikan satu kaleng minuman dingin padanya. Xaviera tersenyum hangat dan meminum beberapa tegukan.
“Kau tahu, menjadi asisten dosen tidak semudah yang dibayangkan,” ia melenguh pelan, menenggelamkan kepalanya di kedua tangannya yang bertumpu di meja kantin.
Memang benar, tidak ada yang mudah dalam melakukan segala sesuatu. Apalagi hanya mengeluh seperti yang baru saja Aletta lakukan.
“Jangan terlalu dipikirkan, ini sudah berlalu.”
Xaviera menguatkan dan menyembunyikan rasa lelahnya terhadap Aletta. Ketika mereka sedang asik bercengkrama, tiba-tiba terdengar teriakan seseorang di seberang.
“Aku akan kembali ke kelas, kau jangan lupa menaruh semua laporan di meja dosen ya, ra” ujarnya yang langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Xaviera.
Nayra, Chloe, dan Jovanka bertanya dalam sorot mata yang tajam. Xaviera mengangkat kedua bahunya, agar mereka tidak perlu melanjutkan keingintahuan yang tidak penting ini.
“Aletta memanfaatkanmu lagi?” suara yang terdengar sinis itu memecah keheningan.
“Mau sampai kapan dia terus mengandalkanmu?” kalimat Chloe membuat Xaviera menghembuskan napas panjang.
Chloe tidak membenci Aletta, hanya saja ia masih tidak suka dengan sikapnya terhadap Xaviera dulu.
Bagaimana tidak, karena kecantikan yang Xaviera miliki, ia bahkan menuduhnya memiliki hubungan dengan Mr. Grey selaku dekan Fakultas yang masih melajang.
Hal itu ia lakukan karena rasa cemburu. Ia menyukai Mr. Grey tetapi perasaannya hanya bertepuk sebelah tangan. Skandal itu menyebar cepat, menjadi tranding topic dan membuat heboh satu kampus dalam kurun waktu yang cukup lama.
"Aletta sudah meminta maaf. Jangan diungkit masa lalu,”
"Tetapi dia ular ra,” Chloe membela diri sambil memasukkan croissant ke dalam mulutnya.
“Kalau dia ular, bukankah tinggal kita kasih dia garam untuk mengusirnya?”
kali ini Jovanka angkat bicara. Memang ia akui, ia bangga memiliki sahabat yang sama gila seperti dirinya.
Xaviera memang bersahabat dengan mereka sejak pertama masuk kuliah. Pertemuan tidak sengaja saat ospek, membuat kedekatan mereka seerat lem dan perangko.
Mereka memang berbeda jurusan. Jovanka dan Chloe dari jurusan hukum, Nayra dari jurusan ekonomi, dan ia dari jurusan seni dan sastra.
Meskipun berbeda jurusan, mereka berdua selalu kompak dan menyempatkan waktu berkumpul bersama di tengah kesibukan tugas kuliah masing-masing.
"Kita cabik-cabik lalu potong tubuhnya menjadi beberapa bagian,” kali ini Nayra terlihat serius sambil menggenggam pisau mangundang gelak tawa.
Xaviera tidak mampu menahannya, jadi ia ikut tertawa lagi, jenis tawa yang setengah gembira dan setengah merana. Mungkin karena lelah lebih mendominasi dirinya.
“Kedengarannya sesuatu yang menarik,” Xaviera menambahkan dengan senyum jahil yang menyungging di bibirnya.
****
Urusannya di kampus hari ini telah selesai, saatnya ia pulang. Sambil menunggu sahabatnya keluar ruangan mereka masing-masing, Xaviera menunggu di parkiran dan meneduh di bawah pohon rindang yang ada di sana.
Pandangannya bergerak ke sana kemari memandangi teman-teman kampusnya yang juga bersiap untuk pulang.
“Murung banget wajahnya,”
Seorang laki-laki datang menghampiri sambil menempelkan satu kaleng minuman bersoda yang dingin ke pipi Xaviera.
“Ouch, dingin!” pekik Xaviera kaget. Laki-laki itu tertawa kemudian mencoba duduk di sebalahnya.
Namanya Jeffran Marchel Bagaskara.
Ia adalah salah satu orang pertama yang mengajaknya berkenalan dan pas sekali, satu jurusan dengannya. Perawakannya tinggi semampai dengan bola mata berwarna coklat. Bisa dibilang bahwa Jefrran ini adalah laki-laki paling tampan di jurusan seni dan sastra.
Ia berbanding terbalik dengan ciri khas anak sastra yang memiliki rambut panjang sebahu atau rambut ikal yang diikat. Rambut model Relaxed Quiff yang lebih menonjolkan dahi yang lebar, terkesan elegan dan menambah aura ketampanan Jeffran. Tentu saja, ia menjadi incaran para gadis dari jurusan lain.
“Belum pulang?” Jeffran membuka kaleng minuman dingin itu, kemudian diberikannya kepada Xaviera.
“Kalau masih di sini, berarti belum pulang ‘kan?”
Xaviera meneguk minuman itu beberapa tegukan. Mereka masih tidak menyadari bahwa Jovanka, Chloe, dan Nayra sudah berjalan mendekat dari arah belakang.
“Mau pulang bareng?” ajakan Jeffran berhasil membuat Jovanka mengetuk kepala laki-laki itu dengan buku di genggamannya. Alhasil, membuat Jeffran kaget dan mengeluh kesakitan.
“Nggak usah cari kesempatan dalam kesempitan,”
Sebenarnya semua orang tahu, bahwa Jeffran berhubungan baik dengan Xaviera meski setiap kali bertemu, selalu saja bertengkar untuk hal kecil seperti kartun tom and jerry.
“Hanya mengajaknya pulang jo, that’s it.”
“Bilang aja sekalian modus, ‘kan?” kali ini Nayra angkat bicara
“Emang ya, playboy kampus modusnya beda,” Chloe tak mau kalah.
Jika dalam situasi seperti ini, Jeffran tidak bisa apa-apa. Ia lebih baik diam daripada harus berdebat dengan tiga nenek lampir.
“Sudah, jangan berantem. Seperti anak kecil saja kalian ini.”
Xaviera mencoba melerai pertengkaran sengit yang hampir saja terjadi. Dari kejauhan, terdengar suara klakson motor Kawasaki Ninja H2R dari teman-teman Jeffran.
“Yakin, nggak mau pulang bareng?”
Jeffran mencoba kembali mengajak Xaviera. Melihat tatapan tajam dari sahabatnya, ia menggeleng pelan.
“Ya sudah, aku pulang duluan ya, bye nenek lampir!” ledek Jeffran puas sambil menjulurkan lidahnya.
“JEFFRAN!” pekik mereka bersamaan karena sudah berhasil dibuat naik pitam oleh Jeffran.
"Suka heran deh, kenapa semua perempuan di kampus ini suka sama dia? Apa yang bisa dibanggakan coba?" Chloe menggerutu seperti anak kecil, membuat Xaviera terkekeh geli.
"Tampan dan kaya, mungkin?"
"Excuse me?" Nayra sukses mengernyitkan kedua alis tipisnya, membuat Xaviera kini benar-benar tertawa lepas.
Sepuluh rapat telah ia ikuti hari ini. Beberapa pengajuan proposal pun ia tolak karena belum ada kematangan dalam menjalankan proyek yang mereka ajukan.Hal itu membuat Revan sedikit emosi atas ketidakbecusan sekretarisnya dalam menyortir dokumen yang masuk.Revan bangkit tak acuh dari kursi malasnya lalu menuju meja kerja. Tubuh laki-laki itu dihempaskan ke kursi putar bersandaran tinggi yang empuk. Mata hitamnya berkilat memerintahkan sekretarisnya untuk segera keluar dari ruangannya.Perempuan itu membungkuk memberi hormat sebelum membuka pintu dan mempersilakan Sean masuk dengan setelan jas biru navy untuk masuk ke dalam. Sang sekretaris mengangguk sopan dan bergegas meninggalkan ruangan.“Ada masalah lagi, tuan?”Revan tak menjawab pertanyaan itu. Ia memijat pelan kepalanya karena merasa pusing. Mungkin efek semalam atau akibat terlalu stress karena hari ini.Meskipun ia bersenang-senang sampai pagi, ketika di kantor ia teta
“Bagaimana film rekomendasiku?” Chloe membanggakan dirinya setelah mengajak teman-temannya menonton film kesukaannya di biskop.“Not bad,” Jovanka menjawab pelan sambil memakan sisa popcorn di tangannya.“Nay, kamu nggak papa kan?” panik Xaviera melihat sahabatnya yang diam dan berjalan seperti mayat hidup dengan mata merah dan membengkak.Chloe dan Jovanka reflex menoleh. Sesaat kemudian, mereka berdua tertawa lepas membuat beberapa pengunjung mall melihat mereka.Nayra ini adalah gadis yang memiliki sentimental paling tinggi. Tidak heran, hanya dengan melihat kucing yang sedang diam di pinggir jalan saja, mampu membuatnya menangis dalam dua jam.“Sudah Nay, itu hanya film” Chloe mencoba menenangkan.“Tapi tetap saja, disitu tertulis based on true story, buta kalian, hah?” kali ini Nayra meninggikan nada bicaranya.Tawa Chloe dan Jovanka kini sudah meledak.
Bus yang di naiki Xaviera berjalan pelan membelah jalanan malam yang sedikit macet. Hujan datang tiba-tiba ketika langit mulai gelap.Tetesan air hujan semakin deras dengan suara gemuruh yang bergetar. Begitu juga kilatan cahaya terang benderang yang datang sesekali.Xaviera mengeratkan cardigan tipisnya agar angin tidak terlalu masuk untuk menembus tulang-tulangnya. Pandangan kota dengan gemerlap lampu terlihat remang-remang di balik kaca mobil yang sedikit berembun.Mengingat kejadian tadi membuatnya tertawa kecil. Jika dibayangkan lagi, sikapnya tadi sedikit ceroboh. Jiwa simpatinya terlampau tinggi tanpa memperdulikan bahwa jika ia tidak berhati-hati maka dirinya dan juga bayi itu berada dalam bahaya.Pikirannya kemudian teralihkan kepada laki-laki tampan yang baru saja ia temui tadi.Ketampanan yang ia pancar menjadi daya tarik sendiri. Tampan dengan usia yang matang, dan dari sorot matanya terlihat bahwa ia bukanlah sembarangan orang.
Revan menatap pembantunya yang kini sedang berlutut sambil menangis tersedu. Ia tetap berdiri dengan tenang karena anaknya sedang tertidur di pelukannya.“Maafkan saya tuan, saya—”“Mau sampai kapan pun kamu meminta maaf, tidak akan saya maafkan!” tatapannya kini mengintimidasi.Semua pembantunya yang melihat kejadian itu, berpura-pura tidak tahu dan menghindar. Karena mereka takut akan menjadi incaran Revan selanjutnya.“Hiks, tolong jangan pecat saya tuan,”“Kalau memecahkan piring di rumah ini, saya maafkan. Tetapi, kamu hampir saja membuat nyawa anak saya diambang kematian dan itu tidak bisa saya maafkan!”“Saya tidak sengaja tuan, saya tadi—”“Apakah kau mengatakan hal itu karena saya tidak mengetahui apa yang kamu lakukan?! Kau sibuk bermesraan dengan kekasih barumu dan melupakan tugasmu. Apakah kau masih mengelak?”Mata perempuan di hadap
Mobilnya berhenti di apartemen mewah milik Liam tepat pukul sepuluh. Revan tahu karena ia telah memperhitungkan waktunya dengan sempurna. Untuk satu alasan, ia harus memberitahu Liam bahwa ia meminta bantuan kepadanya.Ketika berjalan di lorong apartemen, ia melihat seorang wanita dengan penampilan acak-acakan dan lipstik di bibirnya yang sudah pudar. Revan menghembuskan napas pelan.Pasti, ia berulah lagi.“Siapa perempuan itu?”Suara baritonnya berhasil membuat gelas yang berada di tangan Liam terjatuh ke lantai karena kaget.Ia kaget terlebih karena melihat Revan tengah berdiri diambang pintu dengan seorang bayi yang di gendong di depan dan beberapa perlengkapan bayi di tas yang ia pegang di tangan kanan dan kirinya. Sudah persis seperti ibu-ibu yang kerepotan membawa anak ketika keluar rumah.“Bisakah kau tidak mengagetkanku?!” ujarnya sambil mengelus dadanya pelan, mencoba mengatur detak jantungnya.
Perpustakaan saat jam makan siang sangat ramai dan penuh dengan kerumunan mahasiswa serta dosen. Xaviera menyapukan pandangan ke seluruh perpustakaan yang penuh. Tangannya mengetik tugas mata kuliah jurnalistik sambil memikirkan referensi apa yang akan ia pakai.Mata kuliah ini tidak semudah yang ia bayangkan, apalagi saat ada dosen yang menjelaskan dengan nama istilah yang tentu saja tidak ia mengerti. Tetapi setidaknya jurusannya tidak sesulit jurusan hukum di mana hampir seminggu sekali ada diskusi. Hari ini, ia sedang tidak bersama dengan sahabatnya. Dia sibuk mengerjakan tugas sebelum ujian akhir semester dua minggu ke depan. Inilah, risiko memiliki sahabat berbeda jurusan.“Ra, kamu mencatat semua materinya? Sepertinya catatanku hilang,” kata Ayra teman sekelasnya yang sama-sama sedang sibuk membuat esai.Xaviera langsung menyerahkan buku catatannya tanpa mengalihkan pandangan dari layar leptop.“Ada di halaman tengah menu
“YA AMPUN! APA-APAAN INI!”Revan yang berdiri di depan pintu apartemen Liam terkejut. Apartemen Liam kini sangat berantakan. Ia bahkan tidak tahu kata apa yang pantas untuk menggambarkan suasana saat ini.“Lihatlah nak, ayahmu sudah pulang,” Gabriel sedang menggendong Abian dengan santai, sudah seperti seorang istri yang menyambut suaminya pulang. Abian menatap ayahnya yang baru pulang dengan tatapan sendu dan sudut bibir yang sedikit terangkat.Volka, Adrian, David terlihat tertekan dan terkulai lemas di atas tumpukan mainan bayi. Revan melangkah masuk ke dalam apartemen, berjalan sedikit menjinjit menghindari untuk menginjak mainan yang berceceran kemudian meraih Abian dari Gabriel.“Apa-apaan kalian ini? Mengapa banyak sekali mainan di sini?”Revan bertanya dengan penuh selidik. Menatap satu-satu sahabatnya yang terlihat lelah mengurus Abian, anaknya. Ia tidak habis pikir akan menjadi seperti ini.
“Adrian stop! Where are you going?” “I said stop Mr. Anderson!” ucapannya kali ini menghentikan langkah kaki Adrian. Saat ini ia sudah seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Adrian menoleh, menatap Gabriel yang masih terengah-engah.“What? You want to hit me up, huh?”“Listen, I know you’re so mad, but you have to understand the situation. Revansedang lelah dan kau membahas hal yang sudah dilarang untuk dibicarakan oleh kita semua.”“Aku mengatakan hal itu, karena aku tidak ingin Revan seperti ini,”“I know, you reason that make sense but this is not a good time, Adrian.”Adrian menarik napasnya panjang. Gabriel sungguh memahami perasaan Adrian saat ini, ia tahu bahwa Adrian ingin memberikan yang terbaik buat Revan sama seperti yang lainnya.Ia menepuk pelan punggung Adrian, kemudian mengajaknya k