Sepuluh rapat telah ia ikuti hari ini. Beberapa pengajuan proposal pun ia tolak karena belum ada kematangan dalam menjalankan proyek yang mereka ajukan.
Hal itu membuat Revan sedikit emosi atas ketidakbecusan sekretarisnya dalam menyortir dokumen yang masuk.
Revan bangkit tak acuh dari kursi malasnya lalu menuju meja kerja. Tubuh laki-laki itu dihempaskan ke kursi putar bersandaran tinggi yang empuk. Mata hitamnya berkilat memerintahkan sekretarisnya untuk segera keluar dari ruangannya.
Perempuan itu membungkuk memberi hormat sebelum membuka pintu dan mempersilakan Sean masuk dengan setelan jas biru navy untuk masuk ke dalam. Sang sekretaris mengangguk sopan dan bergegas meninggalkan ruangan.
“Ada masalah lagi, tuan?”
Revan tak menjawab pertanyaan itu. Ia memijat pelan kepalanya karena merasa pusing. Mungkin efek semalam atau akibat terlalu stress karena hari ini.
Meskipun ia bersenang-senang sampai pagi, ketika di kantor ia tetap profesional menjalankan tugasnya sebagai pemilik perusahaan. Selain gila alkohol, ia juga gila kerja, tak jarang ia akan menghabiskan banyak waktu di kantor daripada di mansion mewahnya.
“Kau harus mengawasi Faras dalam mengelola data, aku tidak mau hal seperti ini terjadi lagi.”
Tiba-tiba sesuatu bergetar di saku celananya. Dengan cepat, ia menerima telepon yang masuk.
“Maaf tuan, saat ini saya sedang berada di bengkel. Kemungkinan akan terlambat menjemput tuan muda.” Supir pribadi anaknya memberikan laporan.
Lelaki tinggi dengan kemeja yang dilipat sampai lengan itu berusaha mengontrol emosinya.
“Saya saja yang menjemputnya setelah satu lagi urusan saya selesai. Bapak urus saja mobil itu. jika tidak bisa diperbaiki, beli yang baru.”
Revan memutuskan panggilan itu secara sepihak. Dengan malas ia kemudian bangkit dari tempatnya dan mengambil kunci mobil dari dalam laci meja kerjanya.
“Untuk jadwal selanjutnya, batalkan saja.” Pesannya kepada Sean.
Dengan tergesa, Revan melangkah menuju mobil hitam yang terparkir rapi di tempat khusus. Dengan cepat, mobil itu melaju dan membelah jalanan.
“Bagaimana film rekomendasiku?” Chloe membanggakan dirinya setelah mengajak teman-temannya menonton film kesukaannya di biskop.“Not bad,” Jovanka menjawab pelan sambil memakan sisa popcorn di tangannya.“Nay, kamu nggak papa kan?” panik Xaviera melihat sahabatnya yang diam dan berjalan seperti mayat hidup dengan mata merah dan membengkak.Chloe dan Jovanka reflex menoleh. Sesaat kemudian, mereka berdua tertawa lepas membuat beberapa pengunjung mall melihat mereka.Nayra ini adalah gadis yang memiliki sentimental paling tinggi. Tidak heran, hanya dengan melihat kucing yang sedang diam di pinggir jalan saja, mampu membuatnya menangis dalam dua jam.“Sudah Nay, itu hanya film” Chloe mencoba menenangkan.“Tapi tetap saja, disitu tertulis based on true story, buta kalian, hah?” kali ini Nayra meninggikan nada bicaranya.Tawa Chloe dan Jovanka kini sudah meledak.
Bus yang di naiki Xaviera berjalan pelan membelah jalanan malam yang sedikit macet. Hujan datang tiba-tiba ketika langit mulai gelap.Tetesan air hujan semakin deras dengan suara gemuruh yang bergetar. Begitu juga kilatan cahaya terang benderang yang datang sesekali.Xaviera mengeratkan cardigan tipisnya agar angin tidak terlalu masuk untuk menembus tulang-tulangnya. Pandangan kota dengan gemerlap lampu terlihat remang-remang di balik kaca mobil yang sedikit berembun.Mengingat kejadian tadi membuatnya tertawa kecil. Jika dibayangkan lagi, sikapnya tadi sedikit ceroboh. Jiwa simpatinya terlampau tinggi tanpa memperdulikan bahwa jika ia tidak berhati-hati maka dirinya dan juga bayi itu berada dalam bahaya.Pikirannya kemudian teralihkan kepada laki-laki tampan yang baru saja ia temui tadi.Ketampanan yang ia pancar menjadi daya tarik sendiri. Tampan dengan usia yang matang, dan dari sorot matanya terlihat bahwa ia bukanlah sembarangan orang.
Revan menatap pembantunya yang kini sedang berlutut sambil menangis tersedu. Ia tetap berdiri dengan tenang karena anaknya sedang tertidur di pelukannya.“Maafkan saya tuan, saya—”“Mau sampai kapan pun kamu meminta maaf, tidak akan saya maafkan!” tatapannya kini mengintimidasi.Semua pembantunya yang melihat kejadian itu, berpura-pura tidak tahu dan menghindar. Karena mereka takut akan menjadi incaran Revan selanjutnya.“Hiks, tolong jangan pecat saya tuan,”“Kalau memecahkan piring di rumah ini, saya maafkan. Tetapi, kamu hampir saja membuat nyawa anak saya diambang kematian dan itu tidak bisa saya maafkan!”“Saya tidak sengaja tuan, saya tadi—”“Apakah kau mengatakan hal itu karena saya tidak mengetahui apa yang kamu lakukan?! Kau sibuk bermesraan dengan kekasih barumu dan melupakan tugasmu. Apakah kau masih mengelak?”Mata perempuan di hadap
Mobilnya berhenti di apartemen mewah milik Liam tepat pukul sepuluh. Revan tahu karena ia telah memperhitungkan waktunya dengan sempurna. Untuk satu alasan, ia harus memberitahu Liam bahwa ia meminta bantuan kepadanya.Ketika berjalan di lorong apartemen, ia melihat seorang wanita dengan penampilan acak-acakan dan lipstik di bibirnya yang sudah pudar. Revan menghembuskan napas pelan.Pasti, ia berulah lagi.“Siapa perempuan itu?”Suara baritonnya berhasil membuat gelas yang berada di tangan Liam terjatuh ke lantai karena kaget.Ia kaget terlebih karena melihat Revan tengah berdiri diambang pintu dengan seorang bayi yang di gendong di depan dan beberapa perlengkapan bayi di tas yang ia pegang di tangan kanan dan kirinya. Sudah persis seperti ibu-ibu yang kerepotan membawa anak ketika keluar rumah.“Bisakah kau tidak mengagetkanku?!” ujarnya sambil mengelus dadanya pelan, mencoba mengatur detak jantungnya.
Perpustakaan saat jam makan siang sangat ramai dan penuh dengan kerumunan mahasiswa serta dosen. Xaviera menyapukan pandangan ke seluruh perpustakaan yang penuh. Tangannya mengetik tugas mata kuliah jurnalistik sambil memikirkan referensi apa yang akan ia pakai.Mata kuliah ini tidak semudah yang ia bayangkan, apalagi saat ada dosen yang menjelaskan dengan nama istilah yang tentu saja tidak ia mengerti. Tetapi setidaknya jurusannya tidak sesulit jurusan hukum di mana hampir seminggu sekali ada diskusi. Hari ini, ia sedang tidak bersama dengan sahabatnya. Dia sibuk mengerjakan tugas sebelum ujian akhir semester dua minggu ke depan. Inilah, risiko memiliki sahabat berbeda jurusan.“Ra, kamu mencatat semua materinya? Sepertinya catatanku hilang,” kata Ayra teman sekelasnya yang sama-sama sedang sibuk membuat esai.Xaviera langsung menyerahkan buku catatannya tanpa mengalihkan pandangan dari layar leptop.“Ada di halaman tengah menu
“YA AMPUN! APA-APAAN INI!”Revan yang berdiri di depan pintu apartemen Liam terkejut. Apartemen Liam kini sangat berantakan. Ia bahkan tidak tahu kata apa yang pantas untuk menggambarkan suasana saat ini.“Lihatlah nak, ayahmu sudah pulang,” Gabriel sedang menggendong Abian dengan santai, sudah seperti seorang istri yang menyambut suaminya pulang. Abian menatap ayahnya yang baru pulang dengan tatapan sendu dan sudut bibir yang sedikit terangkat.Volka, Adrian, David terlihat tertekan dan terkulai lemas di atas tumpukan mainan bayi. Revan melangkah masuk ke dalam apartemen, berjalan sedikit menjinjit menghindari untuk menginjak mainan yang berceceran kemudian meraih Abian dari Gabriel.“Apa-apaan kalian ini? Mengapa banyak sekali mainan di sini?”Revan bertanya dengan penuh selidik. Menatap satu-satu sahabatnya yang terlihat lelah mengurus Abian, anaknya. Ia tidak habis pikir akan menjadi seperti ini.
“Adrian stop! Where are you going?” “I said stop Mr. Anderson!” ucapannya kali ini menghentikan langkah kaki Adrian. Saat ini ia sudah seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Adrian menoleh, menatap Gabriel yang masih terengah-engah.“What? You want to hit me up, huh?”“Listen, I know you’re so mad, but you have to understand the situation. Revansedang lelah dan kau membahas hal yang sudah dilarang untuk dibicarakan oleh kita semua.”“Aku mengatakan hal itu, karena aku tidak ingin Revan seperti ini,”“I know, you reason that make sense but this is not a good time, Adrian.”Adrian menarik napasnya panjang. Gabriel sungguh memahami perasaan Adrian saat ini, ia tahu bahwa Adrian ingin memberikan yang terbaik buat Revan sama seperti yang lainnya.Ia menepuk pelan punggung Adrian, kemudian mengajaknya k
Begitu tiba di depan gedung apartemen Liam, Gabriel langsung meletakkan mobilnya di parkiran. Dia mendongakkan kepala mendapati lift berjalan pelan hingga dentingan terdengar sebagai tanda bahwa ia telah sampai ke lantai yang dituju. Tanpa menunggu waktu lama, ia berjalan menuju apartemen Liam yang berjarak empat kamar sebelah kanan dari lift. Pintu apartemen terbuka. Gabriel menelisik keadaan di sekitar dan memastikan bahwa semua sudah dalam keadaan seperti semula. “Bagaimana Adrian?” celetuk Volka yang datang menghampiri Gabriel dengan raut wajah khawatir. Ia sangat mengenal laki-laki berambut blonde itu ketika marah. Adrian ketika marah seperti dewa Hades yang siap melahap dengan kobaran si jago merah yang panas. Tentu saja, Adrian bukan sosok yang mudah dikendalikan tetapi, ia tidak tahu apakah Gabriel mampu menenangkan Adrian atau membuat suasana semakin kacau. “Tenang saja, ia sudah aku kendalikan,” Gabriel tersenyum bangga membuat kelegaan terasa