Share

Bab 2

Sinar matahari beranjak tinggi dan tinggi di angkasa. Revandra Marchelino Bramantha merasakan ketegangan yang terbangun di antara laki-laki yang duduk bersamanya.

Udara pagi yang hangat membawa aroma musim semi sama sekali tidak membantu mereka. Waktu seperti sekarang ini membuat semua orang merasa gelisah. Hanya saja, Revan bisa berubah menjadi berbahaya jika ia merasa tidak tenang.

Revan melakukan taruhan untuk yang terakhir kali, meski ia sudah berkali-kali mengalahkan orang-orang di hadapannya, sehingga harus membuat mereka menghabiskan sampai jutaan dolar.

Pertarungan orang kaya memang berbeda. Kehilangan jutaan dolar untuk kesenangan pada malam ini seperti membayar satu minuman dingin di supermarket.

Ia juga tidak mengerti, mengapa kemenangan dan beberapa botol Billionaire Vodka tidak mampu menghilangan rasa kesepian dalam dirinya.

Darah bangsawan dan kekayaan yang tidak akan pernah habis sampai tujuh turunan itu, tidak membuatnya terjerat untuk menjadi laki-laki yang elegan dan patuh terhadap aturan. Ia terkenal cukup bebas di kehidupannya saat ini.

“Anda sudah mabuk tuan,” Sean, tangan kanannya itu menegur pelan.

Sambil merendahkan tangannya sedikit menutupi mata, Revan bersandar di kursi panjang bar dan membiarkan kantuk menidurkannya. 

"Berikan aku waktu lima menit untuk memejamkan mata,” ujarnya dengan suara parau mendapat persetujuan dari Sean.           

Dari dinding ruangan bar, terdengar suara tawa yang bersahutan. Merasa terganggu, ia kemudian duduk kembali dan meneguk air putih untuk mengurangi pening di kepalanya.

Gabriel yang duduk di seberang, angkat bicara.

“Sudah lama sekali sejak aku berhubungan dengan perempuan, aku kacau seperti singa jantan yang ingin kawin.”

Tidak jauh disampingnya, Adrian menghisap rokok dan berkata,

“Terakhir kali aku bersama seorang gadis, aku sangat mabuk, esok paginya aku bahkan tidak bisa mengingat apakah aku sudah melakukan sesuatu dengan perempuan itu atau tidak. Aku meninggalkannya sambil merasa kacau sama seperti saat aku datang.”

David kemudian mendengus jijik, “Di saat seperti ini, kau akan membayar mahal untuk mabuk berat seperti itu.”

“Benarkah? Bagaimana menurutmu?” tantang Liam.

“Kau akan terikat dengan penyakit, begitulah. Kau akan bangun di suatu pagi dan ‘pedangmu’ akan berkarat.”

“Apa yang bisa kau harapkan dari lima dolar?” gerutu Volka.

“Satu bungkus makanan yang berisi empat sehat lima sempurna, mungkin?”

Liam terkekeh. Bahkan harga diri perempuan malam lebih murah dibandingkan lima dolar.

“Hey, David!” Gabriel berteriak.

“Apa ‘pedangmu’ akhir-akhir ini berkarat? Kau tahu, ‘pedang’ Liam bahkan bersih dari karat!”

Tawa pun meledak.

Mereka bertukar cerita tentang perempuan bayaran. Revan mendengarkan.

Baginya, itu bukanlah candaan yang tabu bagi laki-laki berumur hampir kepala tiga. Jika tidak membicarakan perempuan, itu lebih menakutkan baginya.

Ia tidak mau lagi berurusan dengan laki-laki mabuk ini, ia memutuskan untuk pergi meninggalkan bar lebih dahulu daripada mereka, kawannya itu.

“Kau akan pulang lebih dulu? Ayolah Revan, satu putaran lagi,” Revan menjentikkan jarinya di dahi Volka cukup keras membuatnya mengaduh kesakitan.

“Berhenti bertingkah seperti anak kecil, kau bahkan terlihat menjengkelkan ketika mabuk. Sudah kalah, masih saja ngajak bertaruh,” ujarnya yang kemudian menutup pintu dengan keras.

Bergaul dengan mereka selama beberapa tahun membuatnya hafal dengan sikap dan kepribadian masing-masing. Membuatnya harus terus beradaptasi jika sewaktu-waktu sisi lain dari diri mereka keluar. Sedikit saja percikan mampu membuat mereka menjadi gila. 

Untuk sesaat, Revan mendapati dirinya berharap, seandainya waktu bisa diputar kembali dan ia tidak bertemu dengan orang-orang seperti mereka, mungkin ia tidak bisa merasakan apa rasanya menjadi manusia tanpa aturan.

Dari kejauhan, terdengar beberapa suara orang-orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Revan sebenarnya tidak suka melewati kota ketika matari sudah mulai meninggi, dengan keadaannya sekarang yang berantakan. Tetapi, suasana perjalanan di pagi hari selalu menghipnotisnya untuk melupakan sejenak urusan duniawi.

Termasuk ego dan gengsinya.

Ia membuka sedikit kaca mobil, kemudian menghirup dalam-dalam aroma sejuk dari tanah basah dan aroma masakan dari rumah-rumah yang ia lewati. Ia menggerakan jarinya di sepanjang rahangnya yang tegas. Saat ini ia bisa memulai hari dengan mandi dan sebotol kecil wine yang rasanya enak.

Tiba-tiba pikirannya terpaku kepada seseorang yang ia tinggalkan sendirian di mansion membuatnya tersenyum. Sudah beberapa hari ia pergi meninggalkannya untuk urusan bisnis, dan sedikit urusan kesenangan pribadi. 

"Sean?"

"Yes, sir." pemuda yang lebih muda tiga tahun darinya sedikit menoleh ke belakang dengan masih tetap berfokus pada kemudi. 

"Istirahatlah." suara Revan memelan. 

"Aku akan menghubungimu saat di kantor," ujarnya sembari membuka pintu mobil. Dengan pakaian yang sedikit acak-acakan, Revan masuk ke dalam mansion megah dan langsung menuju kamar yang di dominasi warna putih dengan beberapa mainan bayi di sana.

Hatinya kemudian merasakan kedamaian tatkala melihat wajah mungil yang sedang tertidur di keranjang bayi. Ia kemudian mengangkat bayi itu ke dalam pelukannya dan menciumnya pelan.

“Daddy pulang, sayang”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status