Sinar matahari beranjak tinggi dan tinggi di angkasa. Revandra Marchelino Bramantha merasakan ketegangan yang terbangun di antara laki-laki yang duduk bersamanya.
Udara pagi yang hangat membawa aroma musim semi sama sekali tidak membantu mereka. Waktu seperti sekarang ini membuat semua orang merasa gelisah. Hanya saja, Revan bisa berubah menjadi berbahaya jika ia merasa tidak tenang.
Revan melakukan taruhan untuk yang terakhir kali, meski ia sudah berkali-kali mengalahkan orang-orang di hadapannya, sehingga harus membuat mereka menghabiskan sampai jutaan dolar.
Pertarungan orang kaya memang berbeda. Kehilangan jutaan dolar untuk kesenangan pada malam ini seperti membayar satu minuman dingin di supermarket.
Ia juga tidak mengerti, mengapa kemenangan dan beberapa botol Billionaire Vodka tidak mampu menghilangan rasa kesepian dalam dirinya.
Darah bangsawan dan kekayaan yang tidak akan pernah habis sampai tujuh turunan itu, tidak membuatnya terjerat untuk menjadi laki-laki yang elegan dan patuh terhadap aturan. Ia terkenal cukup bebas di kehidupannya saat ini.
“Anda sudah mabuk tuan,” Sean, tangan kanannya itu menegur pelan.
Sambil merendahkan tangannya sedikit menutupi mata, Revan bersandar di kursi panjang bar dan membiarkan kantuk menidurkannya.
"Berikan aku waktu lima menit untuk memejamkan mata,” ujarnya dengan suara parau mendapat persetujuan dari Sean.
Dari dinding ruangan bar, terdengar suara tawa yang bersahutan. Merasa terganggu, ia kemudian duduk kembali dan meneguk air putih untuk mengurangi pening di kepalanya.
Gabriel yang duduk di seberang, angkat bicara.
“Sudah lama sekali sejak aku berhubungan dengan perempuan, aku kacau seperti singa jantan yang ingin kawin.”
Tidak jauh disampingnya, Adrian menghisap rokok dan berkata,
“Terakhir kali aku bersama seorang gadis, aku sangat mabuk, esok paginya aku bahkan tidak bisa mengingat apakah aku sudah melakukan sesuatu dengan perempuan itu atau tidak. Aku meninggalkannya sambil merasa kacau sama seperti saat aku datang.”
David kemudian mendengus jijik, “Di saat seperti ini, kau akan membayar mahal untuk mabuk berat seperti itu.”
“Benarkah? Bagaimana menurutmu?” tantang Liam.
“Kau akan terikat dengan penyakit, begitulah. Kau akan bangun di suatu pagi dan ‘pedangmu’ akan berkarat.”
“Apa yang bisa kau harapkan dari lima dolar?” gerutu Volka.
“Satu bungkus makanan yang berisi empat sehat lima sempurna, mungkin?”
Liam terkekeh. Bahkan harga diri perempuan malam lebih murah dibandingkan lima dolar.
“Hey, David!” Gabriel berteriak.
“Apa ‘pedangmu’ akhir-akhir ini berkarat? Kau tahu, ‘pedang’ Liam bahkan bersih dari karat!”
Tawa pun meledak.
Mereka bertukar cerita tentang perempuan bayaran. Revan mendengarkan.
Baginya, itu bukanlah candaan yang tabu bagi laki-laki berumur hampir kepala tiga. Jika tidak membicarakan perempuan, itu lebih menakutkan baginya.
Ia tidak mau lagi berurusan dengan laki-laki mabuk ini, ia memutuskan untuk pergi meninggalkan bar lebih dahulu daripada mereka, kawannya itu.
“Kau akan pulang lebih dulu? Ayolah Revan, satu putaran lagi,” Revan menjentikkan jarinya di dahi Volka cukup keras membuatnya mengaduh kesakitan.
“Berhenti bertingkah seperti anak kecil, kau bahkan terlihat menjengkelkan ketika mabuk. Sudah kalah, masih saja ngajak bertaruh,” ujarnya yang kemudian menutup pintu dengan keras.
Bergaul dengan mereka selama beberapa tahun membuatnya hafal dengan sikap dan kepribadian masing-masing. Membuatnya harus terus beradaptasi jika sewaktu-waktu sisi lain dari diri mereka keluar. Sedikit saja percikan mampu membuat mereka menjadi gila.
Untuk sesaat, Revan mendapati dirinya berharap, seandainya waktu bisa diputar kembali dan ia tidak bertemu dengan orang-orang seperti mereka, mungkin ia tidak bisa merasakan apa rasanya menjadi manusia tanpa aturan.
Dari kejauhan, terdengar beberapa suara orang-orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Revan sebenarnya tidak suka melewati kota ketika matari sudah mulai meninggi, dengan keadaannya sekarang yang berantakan. Tetapi, suasana perjalanan di pagi hari selalu menghipnotisnya untuk melupakan sejenak urusan duniawi.
Termasuk ego dan gengsinya.
Ia membuka sedikit kaca mobil, kemudian menghirup dalam-dalam aroma sejuk dari tanah basah dan aroma masakan dari rumah-rumah yang ia lewati. Ia menggerakan jarinya di sepanjang rahangnya yang tegas. Saat ini ia bisa memulai hari dengan mandi dan sebotol kecil wine yang rasanya enak.
Tiba-tiba pikirannya terpaku kepada seseorang yang ia tinggalkan sendirian di mansion membuatnya tersenyum. Sudah beberapa hari ia pergi meninggalkannya untuk urusan bisnis, dan sedikit urusan kesenangan pribadi.
"Sean?"
"Yes, sir." pemuda yang lebih muda tiga tahun darinya sedikit menoleh ke belakang dengan masih tetap berfokus pada kemudi.
"Istirahatlah." suara Revan memelan.
"Aku akan menghubungimu saat di kantor," ujarnya sembari membuka pintu mobil. Dengan pakaian yang sedikit acak-acakan, Revan masuk ke dalam mansion megah dan langsung menuju kamar yang di dominasi warna putih dengan beberapa mainan bayi di sana.
Hatinya kemudian merasakan kedamaian tatkala melihat wajah mungil yang sedang tertidur di keranjang bayi. Ia kemudian mengangkat bayi itu ke dalam pelukannya dan menciumnya pelan.
“Daddy pulang, sayang”
Panas matahari yang menyengat hari ini membuat keringat membasahi peluh Xaviera setelah tiga jam berada di ruang auditorium tanpa pendingin ataupun kipas angin.Aletta memberikan pelukan terima kasih karena Xaviera mau menemaninya. Sebenarnya Aletta mampu mengendalikan semuanya seorang diri, hanya saja ia tidak seberani Xaviera saat melawan adik tingkat yang sedikit kurang ajar.Bagi Xaviera, mereka adalah remaja yang baru saja tumbuh dewasa dan tentunya baru mengenal dunia perkuliahan. Dengan sikap keras dan tegas Xaviera, setidaknya membuat suasana terkendali dengan baik.“Kerja bagus,” ujar Aletta memberikan satu kaleng minuman dingin padanya. Xaviera tersenyum hangat dan meminum beberapa tegukan.“Kau tahu, menjadi asisten dosen tidak semudah yang dibayangkan,” ia melenguh pelan, menenggelamkan kepalanya di kedua tangannya yang bertumpu di meja kantin.Memang benar, tidak ada yang mudah dalam melakukan segala sesuatu. Ap
Sepuluh rapat telah ia ikuti hari ini. Beberapa pengajuan proposal pun ia tolak karena belum ada kematangan dalam menjalankan proyek yang mereka ajukan.Hal itu membuat Revan sedikit emosi atas ketidakbecusan sekretarisnya dalam menyortir dokumen yang masuk.Revan bangkit tak acuh dari kursi malasnya lalu menuju meja kerja. Tubuh laki-laki itu dihempaskan ke kursi putar bersandaran tinggi yang empuk. Mata hitamnya berkilat memerintahkan sekretarisnya untuk segera keluar dari ruangannya.Perempuan itu membungkuk memberi hormat sebelum membuka pintu dan mempersilakan Sean masuk dengan setelan jas biru navy untuk masuk ke dalam. Sang sekretaris mengangguk sopan dan bergegas meninggalkan ruangan.“Ada masalah lagi, tuan?”Revan tak menjawab pertanyaan itu. Ia memijat pelan kepalanya karena merasa pusing. Mungkin efek semalam atau akibat terlalu stress karena hari ini.Meskipun ia bersenang-senang sampai pagi, ketika di kantor ia teta
“Bagaimana film rekomendasiku?” Chloe membanggakan dirinya setelah mengajak teman-temannya menonton film kesukaannya di biskop.“Not bad,” Jovanka menjawab pelan sambil memakan sisa popcorn di tangannya.“Nay, kamu nggak papa kan?” panik Xaviera melihat sahabatnya yang diam dan berjalan seperti mayat hidup dengan mata merah dan membengkak.Chloe dan Jovanka reflex menoleh. Sesaat kemudian, mereka berdua tertawa lepas membuat beberapa pengunjung mall melihat mereka.Nayra ini adalah gadis yang memiliki sentimental paling tinggi. Tidak heran, hanya dengan melihat kucing yang sedang diam di pinggir jalan saja, mampu membuatnya menangis dalam dua jam.“Sudah Nay, itu hanya film” Chloe mencoba menenangkan.“Tapi tetap saja, disitu tertulis based on true story, buta kalian, hah?” kali ini Nayra meninggikan nada bicaranya.Tawa Chloe dan Jovanka kini sudah meledak.
Bus yang di naiki Xaviera berjalan pelan membelah jalanan malam yang sedikit macet. Hujan datang tiba-tiba ketika langit mulai gelap.Tetesan air hujan semakin deras dengan suara gemuruh yang bergetar. Begitu juga kilatan cahaya terang benderang yang datang sesekali.Xaviera mengeratkan cardigan tipisnya agar angin tidak terlalu masuk untuk menembus tulang-tulangnya. Pandangan kota dengan gemerlap lampu terlihat remang-remang di balik kaca mobil yang sedikit berembun.Mengingat kejadian tadi membuatnya tertawa kecil. Jika dibayangkan lagi, sikapnya tadi sedikit ceroboh. Jiwa simpatinya terlampau tinggi tanpa memperdulikan bahwa jika ia tidak berhati-hati maka dirinya dan juga bayi itu berada dalam bahaya.Pikirannya kemudian teralihkan kepada laki-laki tampan yang baru saja ia temui tadi.Ketampanan yang ia pancar menjadi daya tarik sendiri. Tampan dengan usia yang matang, dan dari sorot matanya terlihat bahwa ia bukanlah sembarangan orang.
Revan menatap pembantunya yang kini sedang berlutut sambil menangis tersedu. Ia tetap berdiri dengan tenang karena anaknya sedang tertidur di pelukannya.“Maafkan saya tuan, saya—”“Mau sampai kapan pun kamu meminta maaf, tidak akan saya maafkan!” tatapannya kini mengintimidasi.Semua pembantunya yang melihat kejadian itu, berpura-pura tidak tahu dan menghindar. Karena mereka takut akan menjadi incaran Revan selanjutnya.“Hiks, tolong jangan pecat saya tuan,”“Kalau memecahkan piring di rumah ini, saya maafkan. Tetapi, kamu hampir saja membuat nyawa anak saya diambang kematian dan itu tidak bisa saya maafkan!”“Saya tidak sengaja tuan, saya tadi—”“Apakah kau mengatakan hal itu karena saya tidak mengetahui apa yang kamu lakukan?! Kau sibuk bermesraan dengan kekasih barumu dan melupakan tugasmu. Apakah kau masih mengelak?”Mata perempuan di hadap
Mobilnya berhenti di apartemen mewah milik Liam tepat pukul sepuluh. Revan tahu karena ia telah memperhitungkan waktunya dengan sempurna. Untuk satu alasan, ia harus memberitahu Liam bahwa ia meminta bantuan kepadanya.Ketika berjalan di lorong apartemen, ia melihat seorang wanita dengan penampilan acak-acakan dan lipstik di bibirnya yang sudah pudar. Revan menghembuskan napas pelan.Pasti, ia berulah lagi.“Siapa perempuan itu?”Suara baritonnya berhasil membuat gelas yang berada di tangan Liam terjatuh ke lantai karena kaget.Ia kaget terlebih karena melihat Revan tengah berdiri diambang pintu dengan seorang bayi yang di gendong di depan dan beberapa perlengkapan bayi di tas yang ia pegang di tangan kanan dan kirinya. Sudah persis seperti ibu-ibu yang kerepotan membawa anak ketika keluar rumah.“Bisakah kau tidak mengagetkanku?!” ujarnya sambil mengelus dadanya pelan, mencoba mengatur detak jantungnya.
Perpustakaan saat jam makan siang sangat ramai dan penuh dengan kerumunan mahasiswa serta dosen. Xaviera menyapukan pandangan ke seluruh perpustakaan yang penuh. Tangannya mengetik tugas mata kuliah jurnalistik sambil memikirkan referensi apa yang akan ia pakai.Mata kuliah ini tidak semudah yang ia bayangkan, apalagi saat ada dosen yang menjelaskan dengan nama istilah yang tentu saja tidak ia mengerti. Tetapi setidaknya jurusannya tidak sesulit jurusan hukum di mana hampir seminggu sekali ada diskusi. Hari ini, ia sedang tidak bersama dengan sahabatnya. Dia sibuk mengerjakan tugas sebelum ujian akhir semester dua minggu ke depan. Inilah, risiko memiliki sahabat berbeda jurusan.“Ra, kamu mencatat semua materinya? Sepertinya catatanku hilang,” kata Ayra teman sekelasnya yang sama-sama sedang sibuk membuat esai.Xaviera langsung menyerahkan buku catatannya tanpa mengalihkan pandangan dari layar leptop.“Ada di halaman tengah menu
“YA AMPUN! APA-APAAN INI!”Revan yang berdiri di depan pintu apartemen Liam terkejut. Apartemen Liam kini sangat berantakan. Ia bahkan tidak tahu kata apa yang pantas untuk menggambarkan suasana saat ini.“Lihatlah nak, ayahmu sudah pulang,” Gabriel sedang menggendong Abian dengan santai, sudah seperti seorang istri yang menyambut suaminya pulang. Abian menatap ayahnya yang baru pulang dengan tatapan sendu dan sudut bibir yang sedikit terangkat.Volka, Adrian, David terlihat tertekan dan terkulai lemas di atas tumpukan mainan bayi. Revan melangkah masuk ke dalam apartemen, berjalan sedikit menjinjit menghindari untuk menginjak mainan yang berceceran kemudian meraih Abian dari Gabriel.“Apa-apaan kalian ini? Mengapa banyak sekali mainan di sini?”Revan bertanya dengan penuh selidik. Menatap satu-satu sahabatnya yang terlihat lelah mengurus Abian, anaknya. Ia tidak habis pikir akan menjadi seperti ini.