ANAK 50 JUTA
“Stop, Mas! Dia bukan anakmu! Ayah anak ini sudah mati lima tahun yang lalu.” Kurebut erat Miko---anak lelakiku dari laki-laki yang akhir-akhir ini datang dan mengaku sebagai ayahnya.“Jangan bohong kamu, Anita! Dia bahkan sangat mirip denganku,” ucap Mas Rafi.“Dasar tak tau malu! Bukankah dulu statusmu sudah ditukar dengan uang 50 juta?” tegasku.“Lupakan masa lalu, Anita! Anak ini butuh seorang ayah.”“Tidak! Lebih baik kamu pulang, Mas! Jangan pernah ganggu kami lagi.”Kutinggalkan Mas Rafi yang masih berdiri di halaman rumah. Aku tak mau Miko semakin penasaran dengan sosok yang beberapa hari ini selalu mendatanginya.Setelah sekian lama menghilang, entah mengapa lelaki yang paling aku benci di dunia ini hadir kembali. Bak menabur garam pada luka yang belum kering, kedatangan Mas Rafi mau tak mau membuka kenangan pahit enam tahun yang lalu. Awal mula kehancuran hidupku.“Tadi itu siapa, Mbak?” tanya Ari---adikku.“Mas Rafi,” jawabku.“Jangan biarkan dia menemui Miko, Mbak! Aku tahu dia akan mengambil Miko.”“Maksudnya?”“Dengar-dengar, istrinya enggak hamil-hamil padahal sudah hampir lima tahun menikah.”Aku tersenyum sinis mendengar cerita Ari. Jadi begitu rupanya tujuan Mas Rafi sering ke sini. “Jangan sampai lengah, Mbak! Orang-orang kayak mereka akan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya,” ujar Ari.“Tenang saja, Ri! Anita yang sekarang bukan wanita lemah seperti dulu,” tegasku.Memang benar dunia itu berputar. Sekian lama aku menahan luka akhirnya tiba juga saat-saat di mana aku akan membalaskan rasa sakit hatiku.Dulu Mas Rafi dan keluarganya tak mau menerima aku dan anak dalam kandunganku. Mereka menghina dan menyebar fitnah atas kehamilanku. Yang paling menyakitkan, mereka memberiku uang dengan syarat aku tak boleh menganggap Mas Rafi sebagai ayah dari bayi dalam kandunganku.Setiap melihat wajah bayi yang aku lahirkan, aku selalu berniat membunuhnya. Wajahnya selalu saja mengingatkanku pada sosok yang telah menghancurkan hidupku. Beberapa kali aku juga berusaha untuk mengakhiri hidup. Jika saja bukan karena dukungan keluarga, mungkin saat ini aku sudah terkubur bersama anakku. Memang tidak mudah membesarkan anak yang jelas-jelas di buang oleh ayahnya. Sudah menjadi rahasia umun kalo aku memang menerima uang tutup mulut sebesar lima puluh juta yang diberikan keluarga ayahnya. Bahkan hingga sekarang anakku masih terkenal dengan sebutan ‘anak lima puluh juta’.**[Maafkan aku Anita. Izinkan aku bertanggung jawab pada anakku]Kubaca pesan yang baru saja masuk ke ponselku. [Jangan egois Anita. Jangan menyiksaku seperti ini.]Sekali lagi pesan masuk, langsung kuhapus dan kublokir nomor tersebut. Beberapa hari ini Mas Rafi rutin mengirimiku pesan. Entah dari mana Mas Rafi tahu nomor ponselku yang jelas hal itu semakin membuatku takut jika ia akan mengambil Miko.Kalo memang Mas Rafi dan istrinya tak bisa mempunyai anak, mengapa mereka tak mengadopsi saja. Bukankan keluarga Mas Rafi mempunyai banyak uang. Jika mereka tak segan mengeluarkan uang untuk membuang anak, seharusnya mereka mudah saja mengeluarkan uang untuk membeli anak.Memang benar semua yang terjadi adalah takdir yang terbaik untuk diri kita. Mungkin Tuhan tak membiarkan aku mati dulu karena ingin menunjukkan kehancuran Mas Rafi. Akan kubuat Mas Rafi dan keluarganya membayar mahal atas apa yang mereka lakukan padaku dulu. Tak akan kubiarkan Mas Rafi menyentuh Miko walau hanya keringatnya.“Jika aku tak bisa menghancurkan hidupmu, maka anak lima puluh jutaku yang akan menjadi sumber kehancuranmu, Mas!”Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c
“Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw
“Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t
“Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”
"Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra