Share

BAB 2

Author: Putri putri
last update Last Updated: 2023-02-04 16:36:39

Pagi ini udara terasa begitu sejuk. Suasana khas pedesaan di hari minggu seperti sekarang ini membuat jalan sedikit sepi. Tak banyak kendaraan berlalu lalang. Terlihat beberapa orang sedang berolahraga ringan atau hanya berjalan-jalan untuk menikmati hari libur. 

Aku duduk terdiam di sebuah bangku di tepi lapangan desa. Kuperhatikan anak-anak yang sedang berlari kejar-kejaran. Aku melambaikan tangan pada seorang anak berbaju kuning, berkulit bersih dan rambut sedikit ikal di antara mereka. Di hanya membalas dengan senyuman dengan tangan membentuk hati. Ya dia Miko anak lima puluh jutaku.

Aku benci dengan senyuman Miko yang selalu mengingatkanku pada Mas Rafi. Mengapa wajah mereka begitu mirip? Mata, hidung dan bibirnya tak ada beda sama sekali. 

“Eh, Anita lagi ngajak Miko jalan-jalan, ya?” sapa Bu Yati yang  tiba-tiba datang bersama beberapa Ibu-ibu lainnya.

“Eh, Iya, Bu!” jawabku sopan.

“Kenapa Bapaknya enggak ikut, bukannya kemarin Bapaknya udah datang?” ucap Bu Yati.

“Bapak siapa ya, Bu?”

“Jangan pura-pura enggak tahu, kami semua tahu kalo si Rafi udah beberapa kali datang ke rumahmu.”

“Dia bukan Bapaknya Miko, Bu!” tegasku.

“Bukan Bapaknya gimana? Orang mirip gitu kok sama Miko. Eh dia nawarin uang lagi enggak?”

“Maksudnya apa ya, Bu?”

Aku berdiri menantang  Bu Yati. Sejak dulu memang hanya Bu Yati yang paling sering menyindirku. 

“Kalo di tawarin uang jangan mau kalo Cuma lima puluh juta. Minta seratus apa dua ratus. Biaya sekolah sekarang mahal. Kamu aja sampe kerja siang malam, padahal Miko baru aja mau masuk SD,” sindir Bu Yati.

“Tenang aja, Bu! Aku enggak Cuma minta dua ratus kok, aku malah mau minta hati dan jantungnya sekalian,” tandasku.

"Anakmu memang anak mahal ya, Nit! Sayang Mamanya murahan."

"Masih mending aku di kasih lima puluh juta, dari pada cuma dihamilin terus di tinggalin, Hati-hati Ibu juga punya anak perempuan loh!" 

Kutinggalkan Bu Yati beserta rombongannya yang sedang sibuk bisik-bisik mengataiku.

Untung saja hatiku sudah di tempa sekeras baja untuk menghadapi orang-orang seperti mereka.

**

Kuperhatikan sebuah kotak besar berwarna coklat yang baru saja di antar seorang kurir. 

''Untuk Miko, Semoga suka ya, Sayang."

kubaca tulisan yang menyertainya. Sudah kuduga pasti ini paket dari Mas Rafi. Dia benar-benar mulai beraksi mendekati Miko. Segera kusobek kertas pembungkusnya, terlihat satu paket mobil mainan besar berwarna merah dengan merek terkenal. Aku yakin harganya pasti lebih dari gajiku selama satu minggu.

"Paket dari siapa, Nit?" tanya Rendi yang tiba-tiba sudah berada di hadapanku.

"Em..., bukan dari siapa-siapa kok, Ren!" jawabku tergagap.

"Pasti dari Rafi, kan?"

Aku hanya mengangguk. 

"Aku enggak yakin Rafi punya niat baik sama kamu dan Miko."

"Aku juga enggak tahu, Ren."

"Hati-hati ya, Nit! Aku enggak mau terjadi apa-apa sama kamu dan Miko. Bagaimanapun juga Miko sudah aku anggap sebagai anakku sendiri."

"Iya, Ren! Terima kasih nasihatnya. Aku bisa jaga diri kok."

"Andai saja aku punya wewenang untuk menjaga kamu dan Miko. Pasti Rafi tidak akan berani mendekati kamu," lirih Rendi.

"Maaf, Ren!"

Aku tahu apa yang di maksud Rendi. Lebih dari tiga kali ia mengutarakan niatnya untuk melamarku namun hingga saat ini aku belum juga memberikan jawaban pasti. Selama ini Rendi selalu sigap jika aku memerlukan bantuan dan juga berperan layaknya ayah untuk Miko. 

Tak bisa dipungkiri aku juga butuh sosok yang bisa menjagaku dan Miko. Namun keraguan masih saja menyelimuti hatiku. Aku takut jika masa laluku akan menjadi masalah untuk kami ke depannya. Dan benar saja Mas Rafi datang lagi sekarang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ANAK 50 JUTA   JEBAKAN

    Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c

  • ANAK 50 JUTA   KENYATAAN DI MASA LALU

    “Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam

  • ANAK 50 JUTA   DENDAM

    “Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw

  • ANAK 50 JUTA   MASA LALU

    “Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t

  • ANAK 50 JUTA   BAHRI SUSANTO

    “Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”

  • ANAK 50 JUTA    IBu

    "Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status