"Kamu!"Ucap Kami berbarengan. Meski telah bertahun-tahun lamanya kami tak berjumpa tapi aku ingat betul pria tampan dengan bekas luka di pelipis kiri itu."El. ." gumamku tak lepas menatap wajah tampan itu."Jenong?"Plak!Reflek aku melayangkan pukulan ke bahu kirinya dengan cepat mendengar ia masih menyebutku dengan panggilan itu."Ya Allah! Dunia sempit banget ya! Atau kita memang ditakdirkan untuk berjodoh?" ucapnya tak tahu tempat.Seketika mataku melebar sempurna mendengar guyonan unfaedahnya itu. Bertahun tak bertemu tapi sengkleknya masih melekat, atau memang penyakit khasnya itu kekal abadi mendiami otaknya yang sudah gak penuh lagi? Entahlah!"Apaan sih! Masih gesrek aja kamu! Aku pikir setelah sekian tahun tak bertemu, otakmu udah penuh. Tahunya malah makin parah!" cibirku kembali berbalik badan dan berniat segera melanjutkan pekerjaanku yang tertunda itu."Eh Jenong, kamu kerja di sini?" tanyanya tetiba duduk di salah satu kursi yang mejanya sedang aku bersihkan."Iya!" j
Hari yang melelahkan namun membahagiakan sekaligus menegangkan telah berhasil aku lewati.Bertemu kembali dengan El atau sekarang lebih tenar dengan nama Hanan. Ah, aku saja baru tahu kalau dia punya nama sebagus itu, EL HANAN ABIMAYU. Menghadirkan getar rasa yang tak bisa aku jabarkan. Dia tak banyak berubah, hanya sekarang jauh lebih dewasa dan tampan, eh!Usai jam kerja, aku berencana segera pulang. Tak sabar rasanya melihat keluarga cemara nan harmonis dan bahagia itu kelabakan karena kalah taruhan denganku. Meski aku yakin saat ini mereka masih berada di rumahku. Melangkah pelan menuju loker untuk mengambil tasku, tetiba Suara Aldi menghentikan langkahku."Zahra!"Aku menoleh dan mendapati Aldi berjalan ke arahku."Eh, Ra! Udah tahu belom kalau si Risma itu gak cuma ngelon*e tapi juga make?" ucapnya pelan nyaris berbisik sembari matanya melirik sekitar.Aku menghela nafas besar lantas mengangguk pelan. Sontak matanya membulat sempurna."Gila!" umpatnya "Kamu tahu darimana, Di?"
Sepanjang perjalanan pulang tak sedikit pun bibir ini terkatup, hingga gigiku kering rasanya. Entah kebaikan apa yang ku perbuat di masa lalu hingga Tuhan berikan kebahagiaan yang berlipat-lipat demikian."Zahra, will you marry me?" Lamaran mendadak yang El lakukan tadi membuat jantungku berdetak berkali lipat lebih cepat. Wajahku memanas, tubuhku mematung seketika. "Zahra, please! Aku mau jawaban kamu!" paksanya dengan mengampit jemariku yang berada di atas meja. Ia menatapku penuh permohonan, ku selami mata indah itu dan ku temukan kesungguhan di dalamnya.Salahkah jika kali ini aku ingin menjawab, iya?Ada keraguan tapi lebih banyak keyakinan dalam hatiku. Entahlah, rasanya berbeda dengan kala Hadi melamarku waktu itu."Tapi-""Oke, kalau kamu butuh waktu, tolong pikirkan dulu. Tapi, aku harap sebelum aku kembali ke Batam, kamu harus sudah menjawabnya." pintanya lagi seolah mengerti akan apa yang aku pikirkan."Ra, udah dari dulu aku menyukaimu. Aku pikir rasa ini hanya rasa seme
Kumandang azan subuh saling sahut-sahutan dari pengeras suara masjid komplek. Sejenak merenggangkan otot yang terasa kaku sebelum bangkit dan meninggalkan kenyamanan untuk melaksanakan ibadah wajib.Seperti biasa, rumah masih dalam keadaan sepi dan sunyi. Aku abaikan dulu dan gegas menegakkan shalat 2 rekaatku.Usai shalat, aku menuju kamar paling depan sebelah kanan, dimana Raka dan istrinya berada di sana.BrakBrakBrak"Bangun woiii!!!!" teriakku sembari menggebrak pintu kamarnya.Hening, tak ada reaksi atau jawaban apapun. Aku ulangi sampai 3x barulah ada jawaban dari dalam."Apa sih teriak-teriak gak jelas gini!" sungut Desi dengan wajah kesal."Apa suamimu gak bilang peraturan yang sudah aku katakan semalam?" Desi mencebik kesal."Bangunin atau keluar dari rumahku!" ancamku. Matanya melebar sempurna, menatapku tak percaya. Ia mengumpat kesal dan berbalik badan membangunkan suaminya itu, aku masa bodo. Gegas ke dapur dan membuat teh manis, melewati kamar Risma dan Ibu. Biarlah
Jam istirahatku tiba begitu cepatnya. Sepanjang jam kerja, tak ku lihat El keluar dari ruangannya dan tak mengganggu ataupun menjahiliku. Dia begitu profesional dalam bekerja, pantaslah usaha yang ia kelola melaju dengan pesat.Denting ponsel pertanda pesan masuk mengalihkan perhatianku. Rupanya El yang mengirimkan pesan.[Makan di luar yuk?]Aku tersenyum melihat pesannya, aneh saja. Di sini pun menyediakan menu makan siang lengkap kenapa malah ngjak keluar? Dan lagi jam istirahatku hanya 30 menit saja karena harus gantian sama yang lain. Belum lagi, sebentar lagi jam makan siang, kafe pasti mulai ramai. [Gaklah! Lain kali saja.]Balasku menolaknya, gegas aku mengambil makanan dan mencari tempat bersama Rika di sudut pantry. Beruntungnya, semua karyawan di sini bebas makan apapun yang menjadi menu di kafe ini. Jadi, tak payah keluar hanya untuk cari makan. Dan baiknya lagi semuanya gratis. Jadi, gaji tetap utuh meski tak banyak."Zahra! Tu ada yang nyariin kamu?" ujar Aldi tiba-tiba
Hari berlalu begitu cepatnya, hari ini adalah hari terakhir El berada di kota ini. Kami sepakat untuk menjalani hubungan jarak jauh yang kata orang benar-benar sulit dan penuh tantangan. Tapi, bagiku dengan begini adalah caraku menyakinkan diri dan menguji kesetiaan. Bukan hanya kesetiaannya padaku melainkan kesetiaanku juga padanya.Selepas jam kerja, El memintaku mengantarkannya ke bandara untuk dia bertolak kembali ke Batam. Dia sengaja mengambil penerbangan paling akhir yaitu di jam 9 malam."Sayang, jaga dirimu baik-baik ya! Aku gak bisa janjikan apapun, tetapi akan aku usahakan bulan depan aku akan kembali lagi sama Kakek untuk melamarmu pada keluargamu!" ucapnya penuh kesungguhan. Wanita mana yang tak melayang dengan kata kesungguhan begitu. Termasuk aku pun tersenyum senang mendengarnya.Sepulang mengantar El, aku segera pulang ke rumah dengan menaiki mobil grab. Terdengar keributan saat kaki ini melangkah menuju teras."Apa ini?! Jawab!" suara Raka terdengar nyaring di gendan
Satu alamat lengkap masuk melalui chat yang Ibu Hanum kirimkan setelah aku berhasil berbicara dengan beliau. Tak bisa aku jelaskan bagaimana perasaanku saat ini. Bahagia dan takut bersamaan kala ingat akan ucapan Bu Hanum tadi."Kondisi Pak Herman sekarang kurang baik, Mbak. Sudah satu bulan ini beliau sakit dan kondisinya semakin menurun." Ya Allah, aku mohon beri kesehatan untuk Ayah, dan aku mohon beri kesempatan untuk kami saling berpelukan erat. Aku harus segera ke sana! Aku tak mau kehilangan kesempatan yang sudah aku nantikan sepanjang hidupku.Segera aku menghubungi El untuk meminta pendapatnya. "Halo, Sayang! Tumben mau telepon!" sapanya dengan lembut di seberang sana."El, ada kabar baik mengenai keberadaan Ayah! Tapi, kondisi beliau saat ini kurang baik. Aku harus segera ke sana!" jelasku langsung pada intinya."Sungguh? Dimana, Sayang?" tanyanya sedikit terkejut.Aku menyebut sebuah kota di Kalimantan Tengah lengkap dengan alamatnya. Aku sedikit ragu, pasalnya aku sama s
Lemas tubuhku kian terasa manakala nomor ponsel Bu Hanum tak bisa dihubungi, aku coba kirim pesan chat juga centang 1. Ya Tuhan, lelucon macam apa ini? Aku nampak seperti orang bodoh, aku terlalu gegabah hingga tak memikirkan segala kemungkinannya. Tega sekali orang yang dengan sengaja mempermainkanku seperti ini.Tanpa dikomando, air mata meluncur dengan bebasnya membasahi kedua pipiku. El membawaku ke dalam pelukannya, tangisku kian menjadi dalam pelukannya. Ku rasakan usapan di kepalaku menenangkan.Cukup lama larut dalam isakan, akhirnya El membawaku meninggalkan rumah itu. Berat dan tak rela, tapi aku bisa apa? Yang ku cari pun tak ada di sana, bahkan menurut cerita pemilik rumah tak ada satupun bernama Herman di kawasan ini.Kami berjalan bersisian dengan menarik koper kami masing-masing. Menyusuri jalanan hingga dampai di ujung gang tempat pangkalan ojek berada."Bang, mau tanya? Sekitar sini ada gak penginapan atau hotel gitu?" tanya El pada beberapa tukang ojek."Hotel? Ada B