"Kenapa orang itu ada di sini?" batinku sembari mematikan mesin kuda besiku.Bang Mada, anak pertama suami Ibu. Yang itu artinya dia adalah kakak Raka dan Risma. Sudah hampir 1 tahun kami tak bersua karena beliau tinggal di lain kota bersama keluarga dan Ibunya. Sedangkan, ayahnya yang juga ayahRaka dan Risma tak tahu dimana rimbanya. Itu sekilas yang beliau ceritakan dulu padaku. Entah jika sekarang!Melihatku datang, kedua pria dewasa itu menghentikan obrolannya. Aku segera naik ke teras sembari mengucap salam."Asalamualaikum!""Walaikumsalam!" jawab keduanya berbarengan."Bang," sapaku pada Bang Mada."Hai, Ra! Apa kabar?" tanyanya balik."Baik, Bang! Abang kok ada di sini?" "Iya, kebetulan ada urusan sama Aksa, jadi mampir ke sini. Pas mau pulang, Ika bilang kalau kamu mau datang. Jadi, Abang sengaja nunggu kamu datang." jelasnya dengan senyum yang masih sama seperti dulu. Ramah dan baik sama seperti ayahnya padaku."Oh, gimana kabar Mbak Sita dan anak-anak, Bang? Juga Tante Ra
Sepulang kerja aku segera tancap gas menuju rumah Kakek Beno, jika tidak macet maka aku akan sampai sekitar jam setengah enam. Saat hendak menstarter motor, Rika memanggilku dengan keras."Apa?" jawabku saat ia sudah berdiri di dekat motorku."Kamu mau langsung pulang?" tanyanya."Enggak aku ada urusan bentar, kenapa?""Oh, itu tadi Mbak Nurma pesan katanya besok pemilik cafe mau datang. Jadi kita diminta datang lebih awal, jam 7 udah harus datang katanya." jelasnya."Bang Haikal?" tanyaku memastikan."Bukan! Bang Hanan, pemiliknya sendiri yang mau datang." "Oh!" "Oh doang?" "Ya terus?""Au Ah! Yaudah, aku mau pulang. Besok jangan telat!""Oke!" Setelahnya gegas aku melajukan motor meninggalkan halaman kafe menuju kota S, rumah Kakek Beno.Sepanjang perjalanan, mendadak aku kepikiran soal Ayah kandungku. Sejujurnya aku sangat penasaran siapa sebenarnya dia? Kata Kakek Beno, dulu Ayah mau bertanggung jawab sama Ibu dan aku tapi faktor ekonomi yang menghalanginya. Itu artinya, belia
"Apa-Apaan ini?!"Aku kembali memungut lembaran kertas itu dengan senyum menyeringai."Bisa baca bukan?" ucapku tenang menatap tajam mata Raka yang kian memerah. "Jadi, diperbolehkan berkemas dan tinggalkan rumahku!" lanjutku tegas.Desi bangkit berdiri di samping suaminya, dia nampak gusar dengan ancamanku. Pun dengan Risma yang sama gelisah, tapi tidak dengan Ibu. Justru beliau diam tak melakukan pembelaan pada putra kebanggaannya itu. Apakah sejatinya beliau sudah tahu jika surat rumah ini atas namaku?"Hei, kamu ini kenapa sih? Jahat banget sama adik sendiri!" bentak Desi dengan suara bergetar. Bahkan di saat seperti ini saja mereka tak sudi memanggilku dengan sebutan yang lebih baik untuk ditujukan kepada orang yang statusnya lebih tua dari mereka, atau sekedar menyebut namaku saja tak mereka lakukan."Aku punya nama, Nona!" ucapku sembari bersedekap dada. "Dan apa kamu bilang tadi? Aku jahat?" ulangku lantas aku tertawa keras."Ya, aku jadi jahat sebab ulah kalian sendiri! Kali
"Kamu!"Ucap Kami berbarengan. Meski telah bertahun-tahun lamanya kami tak berjumpa tapi aku ingat betul pria tampan dengan bekas luka di pelipis kiri itu."El. ." gumamku tak lepas menatap wajah tampan itu."Jenong?"Plak!Reflek aku melayangkan pukulan ke bahu kirinya dengan cepat mendengar ia masih menyebutku dengan panggilan itu."Ya Allah! Dunia sempit banget ya! Atau kita memang ditakdirkan untuk berjodoh?" ucapnya tak tahu tempat.Seketika mataku melebar sempurna mendengar guyonan unfaedahnya itu. Bertahun tak bertemu tapi sengkleknya masih melekat, atau memang penyakit khasnya itu kekal abadi mendiami otaknya yang sudah gak penuh lagi? Entahlah!"Apaan sih! Masih gesrek aja kamu! Aku pikir setelah sekian tahun tak bertemu, otakmu udah penuh. Tahunya malah makin parah!" cibirku kembali berbalik badan dan berniat segera melanjutkan pekerjaanku yang tertunda itu."Eh Jenong, kamu kerja di sini?" tanyanya tetiba duduk di salah satu kursi yang mejanya sedang aku bersihkan."Iya!" j
Hari yang melelahkan namun membahagiakan sekaligus menegangkan telah berhasil aku lewati.Bertemu kembali dengan El atau sekarang lebih tenar dengan nama Hanan. Ah, aku saja baru tahu kalau dia punya nama sebagus itu, EL HANAN ABIMAYU. Menghadirkan getar rasa yang tak bisa aku jabarkan. Dia tak banyak berubah, hanya sekarang jauh lebih dewasa dan tampan, eh!Usai jam kerja, aku berencana segera pulang. Tak sabar rasanya melihat keluarga cemara nan harmonis dan bahagia itu kelabakan karena kalah taruhan denganku. Meski aku yakin saat ini mereka masih berada di rumahku. Melangkah pelan menuju loker untuk mengambil tasku, tetiba Suara Aldi menghentikan langkahku."Zahra!"Aku menoleh dan mendapati Aldi berjalan ke arahku."Eh, Ra! Udah tahu belom kalau si Risma itu gak cuma ngelon*e tapi juga make?" ucapnya pelan nyaris berbisik sembari matanya melirik sekitar.Aku menghela nafas besar lantas mengangguk pelan. Sontak matanya membulat sempurna."Gila!" umpatnya "Kamu tahu darimana, Di?"
Sepanjang perjalanan pulang tak sedikit pun bibir ini terkatup, hingga gigiku kering rasanya. Entah kebaikan apa yang ku perbuat di masa lalu hingga Tuhan berikan kebahagiaan yang berlipat-lipat demikian."Zahra, will you marry me?" Lamaran mendadak yang El lakukan tadi membuat jantungku berdetak berkali lipat lebih cepat. Wajahku memanas, tubuhku mematung seketika. "Zahra, please! Aku mau jawaban kamu!" paksanya dengan mengampit jemariku yang berada di atas meja. Ia menatapku penuh permohonan, ku selami mata indah itu dan ku temukan kesungguhan di dalamnya.Salahkah jika kali ini aku ingin menjawab, iya?Ada keraguan tapi lebih banyak keyakinan dalam hatiku. Entahlah, rasanya berbeda dengan kala Hadi melamarku waktu itu."Tapi-""Oke, kalau kamu butuh waktu, tolong pikirkan dulu. Tapi, aku harap sebelum aku kembali ke Batam, kamu harus sudah menjawabnya." pintanya lagi seolah mengerti akan apa yang aku pikirkan."Ra, udah dari dulu aku menyukaimu. Aku pikir rasa ini hanya rasa seme
Kumandang azan subuh saling sahut-sahutan dari pengeras suara masjid komplek. Sejenak merenggangkan otot yang terasa kaku sebelum bangkit dan meninggalkan kenyamanan untuk melaksanakan ibadah wajib.Seperti biasa, rumah masih dalam keadaan sepi dan sunyi. Aku abaikan dulu dan gegas menegakkan shalat 2 rekaatku.Usai shalat, aku menuju kamar paling depan sebelah kanan, dimana Raka dan istrinya berada di sana.BrakBrakBrak"Bangun woiii!!!!" teriakku sembari menggebrak pintu kamarnya.Hening, tak ada reaksi atau jawaban apapun. Aku ulangi sampai 3x barulah ada jawaban dari dalam."Apa sih teriak-teriak gak jelas gini!" sungut Desi dengan wajah kesal."Apa suamimu gak bilang peraturan yang sudah aku katakan semalam?" Desi mencebik kesal."Bangunin atau keluar dari rumahku!" ancamku. Matanya melebar sempurna, menatapku tak percaya. Ia mengumpat kesal dan berbalik badan membangunkan suaminya itu, aku masa bodo. Gegas ke dapur dan membuat teh manis, melewati kamar Risma dan Ibu. Biarlah
Jam istirahatku tiba begitu cepatnya. Sepanjang jam kerja, tak ku lihat El keluar dari ruangannya dan tak mengganggu ataupun menjahiliku. Dia begitu profesional dalam bekerja, pantaslah usaha yang ia kelola melaju dengan pesat.Denting ponsel pertanda pesan masuk mengalihkan perhatianku. Rupanya El yang mengirimkan pesan.[Makan di luar yuk?]Aku tersenyum melihat pesannya, aneh saja. Di sini pun menyediakan menu makan siang lengkap kenapa malah ngjak keluar? Dan lagi jam istirahatku hanya 30 menit saja karena harus gantian sama yang lain. Belum lagi, sebentar lagi jam makan siang, kafe pasti mulai ramai. [Gaklah! Lain kali saja.]Balasku menolaknya, gegas aku mengambil makanan dan mencari tempat bersama Rika di sudut pantry. Beruntungnya, semua karyawan di sini bebas makan apapun yang menjadi menu di kafe ini. Jadi, tak payah keluar hanya untuk cari makan. Dan baiknya lagi semuanya gratis. Jadi, gaji tetap utuh meski tak banyak."Zahra! Tu ada yang nyariin kamu?" ujar Aldi tiba-tiba