Kumandang azan subuh saling sahut-sahutan dari pengeras suara masjid komplek. Sejenak merenggangkan otot yang terasa kaku sebelum bangkit dan meninggalkan kenyamanan untuk melaksanakan ibadah wajib.Seperti biasa, rumah masih dalam keadaan sepi dan sunyi. Aku abaikan dulu dan gegas menegakkan shalat 2 rekaatku.Usai shalat, aku menuju kamar paling depan sebelah kanan, dimana Raka dan istrinya berada di sana.BrakBrakBrak"Bangun woiii!!!!" teriakku sembari menggebrak pintu kamarnya.Hening, tak ada reaksi atau jawaban apapun. Aku ulangi sampai 3x barulah ada jawaban dari dalam."Apa sih teriak-teriak gak jelas gini!" sungut Desi dengan wajah kesal."Apa suamimu gak bilang peraturan yang sudah aku katakan semalam?" Desi mencebik kesal."Bangunin atau keluar dari rumahku!" ancamku. Matanya melebar sempurna, menatapku tak percaya. Ia mengumpat kesal dan berbalik badan membangunkan suaminya itu, aku masa bodo. Gegas ke dapur dan membuat teh manis, melewati kamar Risma dan Ibu. Biarlah
Jam istirahatku tiba begitu cepatnya. Sepanjang jam kerja, tak ku lihat El keluar dari ruangannya dan tak mengganggu ataupun menjahiliku. Dia begitu profesional dalam bekerja, pantaslah usaha yang ia kelola melaju dengan pesat.Denting ponsel pertanda pesan masuk mengalihkan perhatianku. Rupanya El yang mengirimkan pesan.[Makan di luar yuk?]Aku tersenyum melihat pesannya, aneh saja. Di sini pun menyediakan menu makan siang lengkap kenapa malah ngjak keluar? Dan lagi jam istirahatku hanya 30 menit saja karena harus gantian sama yang lain. Belum lagi, sebentar lagi jam makan siang, kafe pasti mulai ramai. [Gaklah! Lain kali saja.]Balasku menolaknya, gegas aku mengambil makanan dan mencari tempat bersama Rika di sudut pantry. Beruntungnya, semua karyawan di sini bebas makan apapun yang menjadi menu di kafe ini. Jadi, tak payah keluar hanya untuk cari makan. Dan baiknya lagi semuanya gratis. Jadi, gaji tetap utuh meski tak banyak."Zahra! Tu ada yang nyariin kamu?" ujar Aldi tiba-tiba
Hari berlalu begitu cepatnya, hari ini adalah hari terakhir El berada di kota ini. Kami sepakat untuk menjalani hubungan jarak jauh yang kata orang benar-benar sulit dan penuh tantangan. Tapi, bagiku dengan begini adalah caraku menyakinkan diri dan menguji kesetiaan. Bukan hanya kesetiaannya padaku melainkan kesetiaanku juga padanya.Selepas jam kerja, El memintaku mengantarkannya ke bandara untuk dia bertolak kembali ke Batam. Dia sengaja mengambil penerbangan paling akhir yaitu di jam 9 malam."Sayang, jaga dirimu baik-baik ya! Aku gak bisa janjikan apapun, tetapi akan aku usahakan bulan depan aku akan kembali lagi sama Kakek untuk melamarmu pada keluargamu!" ucapnya penuh kesungguhan. Wanita mana yang tak melayang dengan kata kesungguhan begitu. Termasuk aku pun tersenyum senang mendengarnya.Sepulang mengantar El, aku segera pulang ke rumah dengan menaiki mobil grab. Terdengar keributan saat kaki ini melangkah menuju teras."Apa ini?! Jawab!" suara Raka terdengar nyaring di gendan
Satu alamat lengkap masuk melalui chat yang Ibu Hanum kirimkan setelah aku berhasil berbicara dengan beliau. Tak bisa aku jelaskan bagaimana perasaanku saat ini. Bahagia dan takut bersamaan kala ingat akan ucapan Bu Hanum tadi."Kondisi Pak Herman sekarang kurang baik, Mbak. Sudah satu bulan ini beliau sakit dan kondisinya semakin menurun." Ya Allah, aku mohon beri kesehatan untuk Ayah, dan aku mohon beri kesempatan untuk kami saling berpelukan erat. Aku harus segera ke sana! Aku tak mau kehilangan kesempatan yang sudah aku nantikan sepanjang hidupku.Segera aku menghubungi El untuk meminta pendapatnya. "Halo, Sayang! Tumben mau telepon!" sapanya dengan lembut di seberang sana."El, ada kabar baik mengenai keberadaan Ayah! Tapi, kondisi beliau saat ini kurang baik. Aku harus segera ke sana!" jelasku langsung pada intinya."Sungguh? Dimana, Sayang?" tanyanya sedikit terkejut.Aku menyebut sebuah kota di Kalimantan Tengah lengkap dengan alamatnya. Aku sedikit ragu, pasalnya aku sama s
Lemas tubuhku kian terasa manakala nomor ponsel Bu Hanum tak bisa dihubungi, aku coba kirim pesan chat juga centang 1. Ya Tuhan, lelucon macam apa ini? Aku nampak seperti orang bodoh, aku terlalu gegabah hingga tak memikirkan segala kemungkinannya. Tega sekali orang yang dengan sengaja mempermainkanku seperti ini.Tanpa dikomando, air mata meluncur dengan bebasnya membasahi kedua pipiku. El membawaku ke dalam pelukannya, tangisku kian menjadi dalam pelukannya. Ku rasakan usapan di kepalaku menenangkan.Cukup lama larut dalam isakan, akhirnya El membawaku meninggalkan rumah itu. Berat dan tak rela, tapi aku bisa apa? Yang ku cari pun tak ada di sana, bahkan menurut cerita pemilik rumah tak ada satupun bernama Herman di kawasan ini.Kami berjalan bersisian dengan menarik koper kami masing-masing. Menyusuri jalanan hingga dampai di ujung gang tempat pangkalan ojek berada."Bang, mau tanya? Sekitar sini ada gak penginapan atau hotel gitu?" tanya El pada beberapa tukang ojek."Hotel? Ada B
Kami serempak menoleh ke kiri dan mendapati seorang wanita cantik berpakaian khas tenaga kesehatan nampak berjalan dari arah garasi sepertinya."Hanan! Jadi bener kamu Hanan? Ngapain di sini?"ucap wanita itu girang."Ayu?" gumam El memastikan."Iya! Ya ampun! Kamu masih inget aku?" senyum wanita bernama Ayu itu mengembang. Lantas ia menjabat tangan El masih dengan senyum mengembang."Loh, Ujang sudah kenal sama Non Tyas?" sahut Pak Kardi. "Iya, Pak! Hanan ini teman kuliah saya waktu di Batam. Gak nyangka sekarang ketemu lagi di sini?" jawab wanita itu. Aku heran dibuatnya, tadi Ayu sekarang Tyas, mana yang benar?"Iya, aku juga gak nyangka. Ternyata dunia sesempit ini." sahut El."Oh iya, kenalin! Ini Zahra, calon istri aku!" kenal El membuatku turut tersenyum mendengarnya mengenalkanku sebagai calon istrinya."Oh, hai! Saya Ayu Ning Tyas, boleh panggil Ayu, boleh Tyas!" kenalnya dengan senyum ramah."Zahra!" aku turut tersenyum dan membalas jabatan tangannya."Ngomong-omong, ngapai
Satu minggu sudah kami di Kalimantan Tengah, tepatnya di sebuah kota di Kabupaten Sukamara. Selama satu minggu itu pula, kondisi Ayah semakin baik dan terus membaik. Bahkan, sore ini Ayah sudah diperbolehkan pulang.Aku begitu bahagia dan bersyukur dengan kondisi Ayah yang kian membaik. Tak hanya aku, keluarga Pak Indarto dan keluaraga Bu Hanum pun demikian. Setiap hari Pak Supri dan Pak Indarto mengunjungi Ayah di rumah sakit tepatnya di kamar rawat Ayah, karena rupanya rumah sakit ini adalah milik putra ketiga beliau yang merupakan suami Ayu. Itulah mengapa, Ayu tak mengijinkanku menebus obat Ayah menggunakan uangku sendiri, satu kalipun.Selama di sini segala kebutuhan dan keperluanku benar-benar terjamin. Ayu menempatkan Ayah di ruang VVIP dengan kualitas kamar yang sangat mewah. Segalanya sudah tersedia di sini, sedangkan untuk makanku, hampir setiap hari Bu Hanum mengirimkan aneka masakannya untukku juga untuk El. Sungguh aku sangat bersyukur akan segala kemudahan yang Allah b
Ada pertemuan, ada pula perpisahan. Kini keluarga Pak Indarto melepas kepergian kami di bandar udara Iskandar Pangkalan Bun untuk kami bertolak ke Semarang, kembali ke kampung halaman.Tangis haru Pak Indar melepas Ayah, setelah lebih dari 20 tahun bekerja tanpa sekalipun pergi dari rumah beliau. Namun, kini beliau harus melepas Ayah untuk tak kembali lagi ke rumah beliau.Tak kalah haru dengan sang majikan, Pak Supri yang sudah bekerja dengan Ayah selama 8 tahun lamanya pun turut menangis haru sebab harus merelakan teman ngopi di kala senggangnya untuk pergi meninggalkan kota yang penuh dengan kenangan itu.Hari ini, tepat 5 hari setelah Ayah keluar dari rumah sakit. Kami harus bertolak ke Semarang, meninggalkan kota penuh kenangan bagi Ayah dan juga bagiku ini. Dalam hati aku berjanji, jika ada umur panjang suatu hari nanti aku pasti kembali ke kota ini.El telah lebih dulu bertolak ke Batam dua hari yang lalu, setelah memastikan rumah yang akan aku dan Ayah tempati di Semarang siap