“Ayo, masuk, Imas.” Azzam menyambut kedatangan sahabat istrinya itu dengan hangat, wanita bermata bulat itu mengangguk lantas masuk ke dalam sebuah rumah kecil yang dikontrak oleh pasutri baru.“Abelnya masih di kamar mandi. Kamu mau minum apa?” tawarnya.“Jangan repot-repot, Pak.” Imas menjawab dengan enteng, Azzam tersenyum lalu menuangkan air putih pada gelas kosong di atas meja.“Tidak repot, Imas.” Tangan Azzam meraih stoples berisi camilan di kolong meja, kemudian menyuguhkannya pada wanita yang sempat bertakhta di hatinya dengan waktu begitu lama.“Bagaimana keadaan Abel sekarang?” tanya Imas seraya melepas tas ranselnya yang berukuran kecil lalu meletakkannya di samping tubuh.“Masih sama seperti kemarin. Belum masuk nasi.”“Loh, terus makan apa, dong?” tanya Imas bingung.“Paling makan buah-buahan atau roti, Imas. Kemarin sih suka minum susu juga, tapi sekarang malah jadi mual katanya kalau nyium bau susu.”“Ya Allah,” tutur Imas khawatir.“Teteh!” Kedua manusia itu menoleh b
Imas POVSelama hidup di dunia, aku mencoba menerapkan prinsip untuk tak membenci siapa pun atau menumbuhkan dendam di dalam hati ini.Aku sudah melalui banyak derita, dan aku tidak mau menambah luka dengan perasaan itu sendiri. Tak pernah kusimpan amarah di dalam jiwa, termasuk pada lelaki yang banyak memberiku nestapa.Iya, hatiku hancur lebur kala waktu itu terasa dibuang begitu saja. Padahal saat itu ada benih dirinya yang tertanam di rahimku, juga cintanya yang mengakar di dalam hatiku. Duniaku seakan runtuh kala dia dengan begitu mudah mengakhiri ikatan rumah tangga kami.Akhirnya aku harus berjuang sendiri, terseok-seok menghadapi satu demi satu kepedihan yang tak ada sudahnya. Sebisa mungkin aku tak membiarkan perasaan dengki menguasai diri.Sampai akhirnya aku tahu, jika dia melakukan ini hanya untuk melindungi, bukan semata-mata karena inginnya sendiri.Pastinya hatiku akan lebih hancur jika sudah telanjur membencinya, karena aku sendiri tidak pantas melakukannya, sebagai m
Emmeryl POV“Emmeryl! Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” Suara yang tentu tidak asing di telinga itu terdengar menggema, aku hanya bisa menghela napas sambil memegangi erat helm di genggaman.“Kerja, Pa. Dari mana lagi?” sahutku pelan.“Kerja? Jadwalmu di rumah sakit itu hanya sampai jam delapan malam. Jangan membodohi Papamu, Emmeryl!” bentaknya seolah tak bosan.“Kamu pasti habis main motor lagi, ‘kan?” tebaknya. Aku diam karena malas berdebat.“Emmeryl!” pekiknya saat aku hendak melangkah.“Sudah malam, Pa. Lebih baik Papa istirahat,” kataku dengan nada rendah.“Mau jadi apa sebenarnya kamu ini, Emmeryl? Susah sekali diatur! Besok keluarga Pak Anjaya akan datang ke mari bersama calon istrimu. Seharusnya kamu bisa pulang lebih awal untuk mempersiapkan diri karena akan bertemu dengan Salma.”“Emmeryl tidak punya calon istri, Pa.”“Jangan membantah!” bentaknya lagi, aku hanya bisa menelan ludah.Entah sudah berapa belas tahun aku hidup di bawah ketiak seorang lelaki yang tak
"Euis, piring di belakang sudah numpuk, tuh!" ucap nenekku pada ibu, yang tak lain tak bukan adalah mertuanya. "Iya, Bu. Euis cuci sebentar lagi." Seraya mengukir senyum ibuku menjawab. "Kok sebentar lagi? Nanti kalau ada tamu yang datang lagi mau makan pakai apa?" sahut nenek terdengar kesal, padahal beliau tahu sendiri ibuku sedang sibuk membungkus makanan, itu pun atas perintahnya. "Biar Imas saja yang cuci piring, Nek." Aku menimpali. "Ya sudah, cepetan! Tuh, udah ada tamu lagi di depan!" sungutnya, kemudian kembali pergi ke ruang depan. "Biar Ibu saja, Mas." Ibu menahan lenganku untuk tidak beranjak. "Nggak apa-apa, Bu. Ibu selesaikan saja dulu pekerjaan ini." "Tapi cucian piringnya banyak, Imas. Sudah, biar Ibu saja." Aku menggeleng, lantas melepas pegangan Ibu dengan lembut. "Sudah, Bu. Nggak apa-apa." Aku mengulas senyum, sementara Ibu hanya terlihat pasrah. Tanpa menunggu lama, aku pun berjalan ke arah belakang, tepatnya keluar dapur, menyambangi tempat khusus cuci
"Imas? Imas siapa, Azzam?" kata Pak Suryana membuat beberapa orang menolehku, termasuk Ibu. "Ya Imas putrinya Pak Muslihin, Pak. Bukan Neneng." Kang Azzam menjawab dengan ekspresi wajah yang tak bisa kujelaskan. "Jangan ngawur kamu, Zam. Pak Muslihin itu cuma punya satu putri, yaitu Nyai Neneng. Anak bungsunya Hasbi, masih kelas satu MTs. Benar begitu bukan, Pak?" tandasnya seraya menatap Wa Muslihin, membuat semua orang saling berbisik hingga keadaan terasa riuh kembali. "Betul, Pak." "Tuh, dengar!" ucap Pak Suryana cepat. "Tapi ...," ucap Uwa lagi membuat semua menoleh padanya. "Memang, ada nama Imas di sini. Dia anak adik saya." Seraya melirikku Wa Muslihin berujar, otomatis semua mata tertuju padaku yang masih duduk di paling ujung ini. "Maaf, bukannya Imas itu anak Bapak, ya? Dulu sewaktu sekolah, saya sering lihat Imas diantar sama Bapak." Kang Azzam bersuara lagi. Sejenak aku berpikir, sejak kapan dia melihatku sering diantar Wa Emus? Sejak kapan dia tahu namaku? Sunggu
“Seharusnya kemarin kamu tidak menampar Neneng, Mas.” Sembari menuangkan teh hangat pada gelas di hadapanku Ibu berujar.“Tapi dia sudah keterlaluan, Bu. Nggak rela Imas kalau dia ngehina orang tua Imas,” kataku seraya menarik gelas, sisa-sisa amarah itu masih terasa di dalam hati ini.“Iya, Neneng memang sudah keterlaluan.” Bapak menyahut seraya mengunyah singkong rebus yang masih hangat.“Tapi bagaimana kalau nanti Kang Muslihin nggak ngajak kamu kerja lagi, Kang? Akang tahu sendiri ‘kan, bagaimana sikap Teh Muniroh? Dia pasti akan tambah benci karena kejadian ini.” “Ya mau bagaimana lagi, Is? Tidak apa-apa jika Kang Emus berhenti ngajak Akang kerja, masih banyak pekerjaan lain di luar sana,” jawab Bapak terdengar begitu enteng.Bapak memang salah satu pekerja di tempat grosir milik Wa Emus, kakak lelaki Bapak itu sebenarnya memiliki sikap yang baik, hanya saja dia memiliki istri dengan perangai buruk menurutku. Tak jarang Wa Muniroh menghasut suaminya itu agar mengeluarkan Bapak d
“Tidak mungkin, Wa. Tiga hari lalu Imas baru saja menerima lamaran Kang Azzam,” ucapku mencoba mengeluarkan suara.“Jangan ngarang kamu, Imas. Orang semalam Azzam dan orang tuanya datang ke sini nentuin tanggal pernikahan dengan Neneng,” jawab Wa Muniroh membuatku semakin tak mengerti.Semalam, katanya? Tapi semalam Kang Azzam masih mengirimiku pesan, bahkan dia berkata akan membelikanku ponsel baru. Tapi, sedari Subuh tadi memang dia tak memberiku kabar. Ada apa sebenarnya? Kenapa semuanya jadi seperti ini.“Imas nggak ngarang, Teh. Tiga hari lalu Azzam memang ke rumah dan meminta jawaban Imas perihal lamaran waktu itu.” Ibu menimpali dengan suara gemetar, sepertinya Ibu juga sama terkejutnya denganku.“Lagi pada ngomongin apa ini?” tanya Nenek yang tiba-tiba datang.“Ini, Bu. Euis sama Imas nggak percaya kalau Neneng sama Azzam bakal menikah, malah bilang tiga hari lalu katanya Azzam ke rumah mereka buat minta jawaban Imas.” Mendengar perkataan Wa Muniroh, Nenek terkekeh cukup lama.
“Imas, tolong simpan kado-kado ini di kamar Neneng, ya?” Sejenak aku tertegun mendengar perintah Wa Muniroh.“Malah bengong! Ayo simpan ke sana, Imas!” “Tapi kenapa harus sama Imas, Wa? Kenapa nggak sama Uwa saja?” tanyaku langsung, merasa aneh saja dengan perintahnya.“Ih, teu sopan kamu teh, Imas! Disuruh sama orang tua malah nyuruh balik!” ucapnya nyaring.“Justru Imas merasa tidak sopan kalau masuk ke kamar pengantin, Wa.”“Ya bilang permisi saja, atuh. Lagi pula ini masih sore, Neneng sama Azzam belum tidur, pintu kamarnya saja masih sedikit kebuka,” jawabnya membuatku menoleh pada daun pintu yang atasnya terdapat hiasan bunga khas kamar pengantin baru.“Ayo, Imas! Uwa masih banyak tamu di depan, takut keburu pulang!” katanya membuatku memalingkan pandangan dari pintu kamar.Belum sempat aku menjawab, Wa Muniroh menyodorkan beberapa bungkus kado padaku, refleks aku menengadahkan kedua tangan untuk menahan.Wa Muniroh pun kembali pergi ke luar rumah, dari balik kaca jendela yang