Share

Kartu Keluarga

last update Last Updated: 2023-09-16 17:44:33

Aku menghela napas beberapa kali. Sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak. Ingin rasanya memaki, namun memilih diam karena keputusan Mas Arif tak bisa diganggu gugat.

Hening, mobil ini berjalan lambat. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Bahkan tak ada alunan lagu yang terdengar. Tegang, itu yang kami rasakan saat ini.

Ingin rasanya lari, atau mungkin menghilang dalam sekejap. Namun lagi-lagi tubuh terpatri. Sungguh, aku benci keadaan ini.

Pernikahan adalah menyatukan dua orang untuk hidup bersama dalam istana yang dibangun atas dasar cinta dan kepercayaan. Mulanya aku percaya penuh jika istanaku akan berdiri kokoh. Namun rupanya aku salah, istana kami dibangun dengan pondasi kebohongan, perlahan bangunan itu mulai rapuh bahkan nyaris roboh.

Semenjak kedatangan Cintya, rumahku bak neraka. Amarah dan kebencian justru semakin kuat mengakar. Tuhan, apa yang harus aku lakukan saat rasa percaya nyaris hilang?

Aku duduk tepat di samping Mas Arif, namun tak sedikit pun aku meliriknya. Jalanan jauh lebih menarik dibandingkan lelaki penuh sandiwara seperti dia. Alasan itu pula membuatku memilih tidur sekamar dengan Talita.

"Masih lama, Pa? Cintya gak sabar pengen lihat sekolah baru."

Cintya dengan antusias menanyakan sekolah barunya. Pertanyaan-pertanyaan yang kian menyiksa hati. Akankah aku bisa berdamai dengan kenyataan ini?

"Kita akan sama-sama terus, Dek."

Talita hanya diam, dia memilih menatap ke luar jendela. Sakit saat melihat putri kecilku menjadi pendiam begini. Tawa yang selalu hadir seakan bersembunyi atau mungkin hilang oleh luka yang Mas Arif torehkan.

Dua puluh menit perjalanan terasa begitu lama. Hingga akhirnya kami sampai di halaman sekolah. Mas Arif menepikan mobil tak jauh dari kantor.

Talita segera turun dari mobil. Tanpa berpamitan dia berlari menuju kelasnya.

Aku menghela napas beberapa kali. Berusaha menghilangkan rasa kesal. Namun justru kian dalam tertanam.

"Kita keluar, Dek!" pinta Mas Arif seraya melepas sabuk pengaman.

"Kamu saja yang masuk. Aku tunggu di sini."

Mas Arif menghentikan gerakan tangannya, seketika menoleh ke arahku. Lelaki yang sudah menemaniku beberapa tahun ini menatap tajam. Seolah apa yang aku katakan adalah sebuah kesalahan. Tidakkah dia tahu siapa yang salah sebenarnya?

Delapan tahun aku hidup dengan kebohongan. Harusnya aku yang marah bahkan memakinya. Namun aku memilih diam, karena tak tahu harus berbuat apa?

"Sekarang kamu mamanya, Rin. Kamu berhak tahu bagaimana dan seperti apa pendidikan Cintya. Karena tak tiap hari aku berada di rumah. Kamulah yang bertugas mengawasi pendidikan Talita dan Cintya."

Mas Arif mulai menurunkan nada bicaranya. Tak ada tatapan tajam yang sempat ia berikan padaku. Dia mengalah untuk menenangkan hariku atau untuk membujukku?

"Dari begitu banyak sekolah, kenapa harus di sekolah ini, Mas?"

Pertanyaan yang sedari tadi menyiksa benakku keluar sudah. Tak ada gunanya juga menjaga perasaannya. Toh Mas Arif tak bisa menjaga perasaanku. Lalu untuk apa aku diam dengan ketidakadilan ini?

Mas Arif diam sesaat, mengatur napas yang terasa begitu berat.

"Kenapa aku memilih sekolah ini untuk Cintya? Harusnya kamu tahu jawabannya, Rin."

Tahu dia bilang? Harusnya dia tahu kenapa aku menanyakan hal itu? Haruskan Talita berkorban untuk Cintya?

"Aku ingin Talita dan Cintya semakin dekat. Cintya bisa menjaga dan melindungi Talita. Kamu juga lebih mudah mengantar jemput mereka karena berada di sekolah yang sama."

"Apa kamu tahu konsekuensi apa yang akan terjadi dengan keputusan sepihak kamu, Mas?"

"Maksudnya? Jangan membuatku bingung, Rin. Aku gak ngerti!"

"Talita semakin tertekan dengan keberadaan Cintya. Kamu mikir gak, temen-temen Talita akan bertanya siapa Cintya? Kenapa dia tinggal satu rumah dengan Talita? Mikir sampai situ gak kamu, Mas?"

"Tinggal jawab saja Cintya itu kakak Talita, apa yang bingung? Jangan mempersulit apa yang sebenarnya mudah, Rin."

Aku menghela napas, tanpa sadar tangan kanan mengepal di samping. Namun memilih diam, membiarkan Mas Arif dengan pendapatnya. Bukan ... bukan karena aku pasrah, tapi lelah mulai merasuki jiwa. Aku berada di titik lelah. Bahkan mulai kesal dengan hubungan ini.

Tuhan, haruskan aku bertahan saat rasa percayaku telah sirna?

"Ayo, turun!"

Mas Arif dan Cintya turun terlebih dahulu. Sesaat aku atur napas, menghirup oksigen sebanyak mungkin agar sesak dalam dada sedikit berkurang. Sebenarnya aku tahu, bukan kekurangan oksigen yang membuatku sulit bernapas, melainkan rasa sakit yang bertahta dalam dada.

"Karina, ayo!"

Mas Arif membalikkan badan seraya memanggil namaku untuk kesekian kalinya.

Segera kuhapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku tak ingin orang lain tahu rapuhnya istanaku. Pura-pura tertawa meski hati terluka, bukankah seperti seorang wanita. Tertawa di hadapan dunia namun menangis di kesunyian malam.

Setelah cukup tenang, aku pun keluar dari mobil. Kupaska kaki melangkah mengikuti Mas Arif dan Cintya, meski sebenarnya enggan.

"Pak Arif, Bu Kirana ada perlu apa?" tanya seorang guru saat berpapasan dengan kami.

"Saya ingin mendaftarkan putri kami."

Guru yang bernama Pak Husain menautkan dua alis. Sebuah tanda tanya tergambar jelas di netranya.

"Bukankah Talita sudah daftar, ya, Pak, Bu? Kenapa mau daftar ulang?"

Ketakutan yang sempat hadir kini justru menjadi sebuah kenyataan. Kalau sudah begini, apa yang akan kamu jawab, Mas?"

"Bukan Talita, Pak ... tapi kakaknya, Cintya."

Aku mengalihkan pandangan, pura-pura tak melihat ekspresi terkejut Pak Husein. Malu, aku sangat malu. Bahkan ingin kusembunyikan wajahku dari tatapan penuh tanda tanya itu.

"Mari silakan masuk, Pak, Bu."

Kami berjalan mengikuti Pak Husein. Lelaki berperawakan tinggi kurus itu tersenyum lalu mempersilakan kami duduk di sofa, di ruangan kepala sekolah. Seulas senyum ia berikan sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami bertiga.

Aku diam, menatap setiap inci ruangan kepala sekolah. Sofa berwarna coklat berada tepat di depan meja kepala sekolah. Dua rak buku menempel di dinding. Berbagai jenis buku tertata rapi di sana. Entah buku apa, aku tak memperhatikan dengan detail. Satu yang pasti, bukan buku cerita atau novel yang ada di salah satu rak tersebut.

"Sekolahnya bagus, ya, Pa."

Cintya berkata setelah mengamati sekolah ini.

"Cintya suka?"

Sebuah anggukan menjadi jawaban pasti.

Setelah 15 menit menunggu, seorang perempuan berpenampilan anggun masuk ke dalam ruangan. Seulas senyum dia berikan untuk menyambut kedatangan kami. Bu Fatia, nama kepala sekolah.

"Ada yang bisa saya bantu Ibu, Bapak?" tanyanya ramah.

"Kami ingin mendaftarkan putri kami, Bu." Mas Arif menyentuh pundak Cintya.

"Kakaknya Talita?" tanyanya sedikit ragu.

Sudah kuduga, semua orang akan bertanya mengenai hal ini. Dalam kartu keluarga, hanya Talita yang tertulis sebagai anak. Lalu tiba-tiba kami mendaftarkan Cintya dan mengatakan dia adalah kakak Talita. Sudah pasti akan menimbulkan masalah.

"Em ... Sudah membawa persyaratannya? Kartu keluarga dan lain sebagainya?"

Seketika Mas Arif menatapku lekat, namun aku justru membuang pandangan. Biar saja Mas Arif yang menyelesaikan masalah ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   Ekstra Part

    Pov Arif"Kenapa kamu bohongi aku, Rif? Katanya motret ... gak taunya mau kawin lagi. Apa aku kurang?"Aku diam, tak lagi menjawab ucapan Sasa. Pikiranku justru melayang, membayangkan wajah Karina.Bodoh, satu kata yang pantas menggambarkan diriku. Melepas berlian hanya untuk perak semata. Ingin kembali tapi nyatanya tak bisa. "Diem terus! Diem terus! Ngomong, Rif!" hardik Sasa. "Maaf, Sa ... maaf."Dari ribuan kata, hanya itu yang terlintas di kepala. Maaf ... maaf karena aku membuka pintu hingga kisah lama kembali berseru. Berharap rangakaiannya akan indah dan sempurna, tapi nyatanya berbeda. Sasa mendengus kesal, memiih diam sepanjang perjalanan Boyolali sampai Jakarta. Aku sendiri tenggelam dalam bayangan penyesalan yang tak bertepi. Sasa duduk di samping Cintya, tepat berhadapan denganku. Beruntung anak itu terlelap saat perdebatan terjadi di antara kami. Kini aku memilih memejamkan mata, menikmati jalannya kereta hingga sampai kota tujuan. ***"Aku berangkat dulu, Rin!" uca

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   ENDING

    "Sa--Sasa...," panggilnya terbata. Mas Arif gelagapan, wajahnya seketika menegang. Ada gurat ketakutan di sana. Entah ke mana tampang penuh percaya diri itu? Sasa mendekat, tanpa diminta dia duduk tepat di samping Mas Arif. Kedatangan Sasa membuat bapak dan ibu kebingungan. Sementara Talita meremas pakaianku dengan kencang. “Ini siapa, Nak Arif?”Bapak menatap tanda tanya pada perempuan yang duduk di samping mantan suamiku. Aku diam, memberi ruang dua orang itu untuk bicara. Saatnya menyaksikan pertunjukan.“Jelaskan, Nak Arif.” Ibu ikut menanyakan hal yang sama. Mereka sangat penasaran.“I-Ini ....”“Saya Sasa, istri Mas Arif. Lebih tepatnya istri di bawah tangan.”Spontan kedua mata mereka melotot. Wajah bapak pun menegang dengan mata menatap tajam dua insan di hadapan kami. Kaget kan, pak? Ya, seperti itu sikap menantu kesayangan kalian.“Istri Arif?”“Iya, Tante. Saya istri baru Arif. Kemarin dia bilang akan melakukan pemotretan, tapi malah datang kemari untuk melamar Karina.

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   Lamaran Arif

    "Bapak bicara dengan siapa?" "Bukan dengan siapa-siapa." Bapak pun mematikan sambungan teleponnya. "Sudah beli baksonya? Enak, to?"Aku mengangguk. Tidak lama bapak pergi menjauh. Meninggalkan tanda tanya yang kucoba tutupi. Lebih tepatnya menepis prasangka yang ada. Dering ponsel membangunkan diriku dari lelapnya tidur siang. Sudut bibir tertarik ke atas kala melihat gambar Talita di layar ponsel. "Kamu baik-baik saja, Rin?" tanya Fajar dari sambungan telepon. Entah kenapa kali ini ada bunga yang bermekaran. Padahal lelaki itu hanya menanyakan kabar. Apa sudah ada rasa untuknya? "Baik, Jar. Maaf, aku belum menjelaskan kepada orang tuaku. Aku masih menunggu waktu yang tepat. Setidaknya hingga marahnya mereda.""Aku menanyakan kabarmu, bukan masalah itu."Kami mulai mengobrol, tak hanya masalah pernikahan ... hal kocak lainnya menjadi topik pembicaraan. Bersama dia aku seperti memilki sahabat. Bukan sekedar calon suami. Benar kata orang, menikah itu sepenuhnya mengobrol. Bukan ha

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   Bab 31

    “Kamu yakin, Jar?”Lelaki di hadapanku menoleh, meletakkan koper kemudian menatapku lekat. Sebuah lengkungan tergambar jelas di wajahnya. Tanpa ragu dia mengatakan iya. Fajar akan melamarku di hadapan kedua orang tuaku.Sejenak aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Dalam diam hatiku bergejolak. Benarkah apa yang aku lakukan saat ini? Benarkah keputusan untuk menerima lamaran Fajar?“Semua akan baik-baik saja,Rin.” Fajar mengelus pelan pundakku. Dia seolah tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini.Semua barang sudah kami masukkan ke mobil. Talita pun sudah anteng duduk di jok belakang. Kami siap berangkat ke Boyolali, kota kelahiranku.Perjalanan menuju kota kelahiran membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Perjalanan panjang untuk kami dalam kecanggungan. Jujur saja ... hatiku belum sepenuhnya terbuka untuk Fajar. Masih ada luka masa lalu yang membekas. Entah kapan sakit itu akan hilang sepenuhnya.Belum setengah perjalanan kami berhenti d

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   Talita Mau, Om

    "Benar itu, Rin?, Kalian akan segera menikah?""Iya, Mas. Kami akan segera menikah, secepatnya."Mas Arif mengusap wajah kasar. Tanpa berpamitan ia pergi meninggalkan ruang rawat inapku. Sebongkah batu yang memenuhi dadaku seketika hilang. Bersamaan dengan perginya lelaki bergelar mantan suami. Lega karena dia tak muncul di hadapanku lagi. Denting jam terdengar begitu keras. Seolah mengisi keheningan karena kami memilih saling diam. Sejujurnya aku tidak tahu harus berkata apa, bingung. "Fajar ....""Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, Rin. Kamu tak sungguh-sungguh dengan perkataanmu, kan? Kamu lakukan untuk mengusir Arif."Kata-kata itu menampar telak diriku. Menciptakan rasa malu. Andai bisa berlari, ingin kutenggelamkan muka ini ke dasar bumi. "Maafkan aku, Jar."Aku menunduk, meremas jemari, menghilangkan perasaan bersalah. Nyatanya semakin besar aku mencoba menghilangkan, rasa itu kian jauh dalam tertanam. "Kenapa diam sih, Rin? Aku lho gak mempermasalahkan itu."Aku mendonga

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   Fajar vs Arif

    "Bagaimana nasib Talita, Jar?"Aku kian khawatir. Menunggu lelaki itu bicara, tapi tak sepatah kata keluar dari mulutnya. "Talita gak kenapa-kenapa, Rin. Dia baik-baik saja.""Tapi tadi ....""Talita bersama Cantika di rumahnya. Ada yang usil sama kamu. Dia bilang Talita kecelakaan, kan? Padahal putri kamu baik-baik saja."Perkataan Fajar benar. Kalau dipikir ulang memang ada kejanggalan tentang kejadian tadi. Panik membuat aku tak sadar jika Talita masih berada di sekolah. Logika kalah dengan kecemasan. Kabar yang kudengar bak nyata. Sehingga kepala tak bisa berpikir dengan benar. "Kenapa kamu bisa sampai seperti ini, Rin?"Aku menggeleng, tak bisa berkata apa pun. Kejadian ini terlalu cepat. Sehingga aku tak tahu apa yang terjadi. "Aku harus pulang, Jar. Kasihan Talita sendirian di rumah."Aku hendak bergerak tapi sebuah tangan menahan gerakanku. Disusul tatapan tajam dengan gelengan kepala dari lelaki itu. Fajar melarang aku bergerak, apalagi meninggalkan ruangan ini. "Lalu T

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status