Share

Kartu Keluarga

Aku menghela napas beberapa kali. Sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak. Ingin rasanya memaki, namun memilih diam karena keputusan Mas Arif tak bisa diganggu gugat.

Hening, mobil ini berjalan lambat. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Bahkan tak ada alunan lagu yang terdengar. Tegang, itu yang kami rasakan saat ini.

Ingin rasanya lari, atau mungkin menghilang dalam sekejap. Namun lagi-lagi tubuh terpatri. Sungguh, aku benci keadaan ini.

Pernikahan adalah menyatukan dua orang untuk hidup bersama dalam istana yang dibangun atas dasar cinta dan kepercayaan. Mulanya aku percaya penuh jika istanaku akan berdiri kokoh. Namun rupanya aku salah, istana kami dibangun dengan pondasi kebohongan, perlahan bangunan itu mulai rapuh bahkan nyaris roboh.

Semenjak kedatangan Cintya, rumahku bak neraka. Amarah dan kebencian justru semakin kuat mengakar. Tuhan, apa yang harus aku lakukan saat rasa percaya nyaris hilang?

Aku duduk tepat di samping Mas Arif, namun tak sedikit pun aku meliriknya. Jalanan jauh lebih menarik dibandingkan lelaki penuh sandiwara seperti dia. Alasan itu pula membuatku memilih tidur sekamar dengan Talita.

"Masih lama, Pa? Cintya gak sabar pengen lihat sekolah baru."

Cintya dengan antusias menanyakan sekolah barunya. Pertanyaan-pertanyaan yang kian menyiksa hati. Akankah aku bisa berdamai dengan kenyataan ini?

"Kita akan sama-sama terus, Dek."

Talita hanya diam, dia memilih menatap ke luar jendela. Sakit saat melihat putri kecilku menjadi pendiam begini. Tawa yang selalu hadir seakan bersembunyi atau mungkin hilang oleh luka yang Mas Arif torehkan.

Dua puluh menit perjalanan terasa begitu lama. Hingga akhirnya kami sampai di halaman sekolah. Mas Arif menepikan mobil tak jauh dari kantor.

Talita segera turun dari mobil. Tanpa berpamitan dia berlari menuju kelasnya.

Aku menghela napas beberapa kali. Berusaha menghilangkan rasa kesal. Namun justru kian dalam tertanam.

"Kita keluar, Dek!" pinta Mas Arif seraya melepas sabuk pengaman.

"Kamu saja yang masuk. Aku tunggu di sini."

Mas Arif menghentikan gerakan tangannya, seketika menoleh ke arahku. Lelaki yang sudah menemaniku beberapa tahun ini menatap tajam. Seolah apa yang aku katakan adalah sebuah kesalahan. Tidakkah dia tahu siapa yang salah sebenarnya?

Delapan tahun aku hidup dengan kebohongan. Harusnya aku yang marah bahkan memakinya. Namun aku memilih diam, karena tak tahu harus berbuat apa?

"Sekarang kamu mamanya, Rin. Kamu berhak tahu bagaimana dan seperti apa pendidikan Cintya. Karena tak tiap hari aku berada di rumah. Kamulah yang bertugas mengawasi pendidikan Talita dan Cintya."

Mas Arif mulai menurunkan nada bicaranya. Tak ada tatapan tajam yang sempat ia berikan padaku. Dia mengalah untuk menenangkan hariku atau untuk membujukku?

"Dari begitu banyak sekolah, kenapa harus di sekolah ini, Mas?"

Pertanyaan yang sedari tadi menyiksa benakku keluar sudah. Tak ada gunanya juga menjaga perasaannya. Toh Mas Arif tak bisa menjaga perasaanku. Lalu untuk apa aku diam dengan ketidakadilan ini?

Mas Arif diam sesaat, mengatur napas yang terasa begitu berat.

"Kenapa aku memilih sekolah ini untuk Cintya? Harusnya kamu tahu jawabannya, Rin."

Tahu dia bilang? Harusnya dia tahu kenapa aku menanyakan hal itu? Haruskan Talita berkorban untuk Cintya?

"Aku ingin Talita dan Cintya semakin dekat. Cintya bisa menjaga dan melindungi Talita. Kamu juga lebih mudah mengantar jemput mereka karena berada di sekolah yang sama."

"Apa kamu tahu konsekuensi apa yang akan terjadi dengan keputusan sepihak kamu, Mas?"

"Maksudnya? Jangan membuatku bingung, Rin. Aku gak ngerti!"

"Talita semakin tertekan dengan keberadaan Cintya. Kamu mikir gak, temen-temen Talita akan bertanya siapa Cintya? Kenapa dia tinggal satu rumah dengan Talita? Mikir sampai situ gak kamu, Mas?"

"Tinggal jawab saja Cintya itu kakak Talita, apa yang bingung? Jangan mempersulit apa yang sebenarnya mudah, Rin."

Aku menghela napas, tanpa sadar tangan kanan mengepal di samping. Namun memilih diam, membiarkan Mas Arif dengan pendapatnya. Bukan ... bukan karena aku pasrah, tapi lelah mulai merasuki jiwa. Aku berada di titik lelah. Bahkan mulai kesal dengan hubungan ini.

Tuhan, haruskan aku bertahan saat rasa percayaku telah sirna?

"Ayo, turun!"

Mas Arif dan Cintya turun terlebih dahulu. Sesaat aku atur napas, menghirup oksigen sebanyak mungkin agar sesak dalam dada sedikit berkurang. Sebenarnya aku tahu, bukan kekurangan oksigen yang membuatku sulit bernapas, melainkan rasa sakit yang bertahta dalam dada.

"Karina, ayo!"

Mas Arif membalikkan badan seraya memanggil namaku untuk kesekian kalinya.

Segera kuhapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku tak ingin orang lain tahu rapuhnya istanaku. Pura-pura tertawa meski hati terluka, bukankah seperti seorang wanita. Tertawa di hadapan dunia namun menangis di kesunyian malam.

Setelah cukup tenang, aku pun keluar dari mobil. Kupaska kaki melangkah mengikuti Mas Arif dan Cintya, meski sebenarnya enggan.

"Pak Arif, Bu Kirana ada perlu apa?" tanya seorang guru saat berpapasan dengan kami.

"Saya ingin mendaftarkan putri kami."

Guru yang bernama Pak Husain menautkan dua alis. Sebuah tanda tanya tergambar jelas di netranya.

"Bukankah Talita sudah daftar, ya, Pak, Bu? Kenapa mau daftar ulang?"

Ketakutan yang sempat hadir kini justru menjadi sebuah kenyataan. Kalau sudah begini, apa yang akan kamu jawab, Mas?"

"Bukan Talita, Pak ... tapi kakaknya, Cintya."

Aku mengalihkan pandangan, pura-pura tak melihat ekspresi terkejut Pak Husein. Malu, aku sangat malu. Bahkan ingin kusembunyikan wajahku dari tatapan penuh tanda tanya itu.

"Mari silakan masuk, Pak, Bu."

Kami berjalan mengikuti Pak Husein. Lelaki berperawakan tinggi kurus itu tersenyum lalu mempersilakan kami duduk di sofa, di ruangan kepala sekolah. Seulas senyum ia berikan sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami bertiga.

Aku diam, menatap setiap inci ruangan kepala sekolah. Sofa berwarna coklat berada tepat di depan meja kepala sekolah. Dua rak buku menempel di dinding. Berbagai jenis buku tertata rapi di sana. Entah buku apa, aku tak memperhatikan dengan detail. Satu yang pasti, bukan buku cerita atau novel yang ada di salah satu rak tersebut.

"Sekolahnya bagus, ya, Pa."

Cintya berkata setelah mengamati sekolah ini.

"Cintya suka?"

Sebuah anggukan menjadi jawaban pasti.

Setelah 15 menit menunggu, seorang perempuan berpenampilan anggun masuk ke dalam ruangan. Seulas senyum dia berikan untuk menyambut kedatangan kami. Bu Fatia, nama kepala sekolah.

"Ada yang bisa saya bantu Ibu, Bapak?" tanyanya ramah.

"Kami ingin mendaftarkan putri kami, Bu." Mas Arif menyentuh pundak Cintya.

"Kakaknya Talita?" tanyanya sedikit ragu.

Sudah kuduga, semua orang akan bertanya mengenai hal ini. Dalam kartu keluarga, hanya Talita yang tertulis sebagai anak. Lalu tiba-tiba kami mendaftarkan Cintya dan mengatakan dia adalah kakak Talita. Sudah pasti akan menimbulkan masalah.

"Em ... Sudah membawa persyaratannya? Kartu keluarga dan lain sebagainya?"

Seketika Mas Arif menatapku lekat, namun aku justru membuang pandangan. Biar saja Mas Arif yang menyelesaikan masalah ini.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status