“Kamu yakin, Jar?”Lelaki di hadapanku menoleh, meletakkan koper kemudian menatapku lekat. Sebuah lengkungan tergambar jelas di wajahnya. Tanpa ragu dia mengatakan iya. Fajar akan melamarku di hadapan kedua orang tuaku.Sejenak aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Dalam diam hatiku bergejolak. Benarkah apa yang aku lakukan saat ini? Benarkah keputusan untuk menerima lamaran Fajar?“Semua akan baik-baik saja,Rin.” Fajar mengelus pelan pundakku. Dia seolah tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini.Semua barang sudah kami masukkan ke mobil. Talita pun sudah anteng duduk di jok belakang. Kami siap berangkat ke Boyolali, kota kelahiranku.Perjalanan menuju kota kelahiran membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Perjalanan panjang untuk kami dalam kecanggungan. Jujur saja ... hatiku belum sepenuhnya terbuka untuk Fajar. Masih ada luka masa lalu yang membekas. Entah kapan sakit itu akan hilang sepenuhnya.Belum setengah perjalanan kami berhenti d
"Bapak bicara dengan siapa?" "Bukan dengan siapa-siapa." Bapak pun mematikan sambungan teleponnya. "Sudah beli baksonya? Enak, to?"Aku mengangguk. Tidak lama bapak pergi menjauh. Meninggalkan tanda tanya yang kucoba tutupi. Lebih tepatnya menepis prasangka yang ada. Dering ponsel membangunkan diriku dari lelapnya tidur siang. Sudut bibir tertarik ke atas kala melihat gambar Talita di layar ponsel. "Kamu baik-baik saja, Rin?" tanya Fajar dari sambungan telepon. Entah kenapa kali ini ada bunga yang bermekaran. Padahal lelaki itu hanya menanyakan kabar. Apa sudah ada rasa untuknya? "Baik, Jar. Maaf, aku belum menjelaskan kepada orang tuaku. Aku masih menunggu waktu yang tepat. Setidaknya hingga marahnya mereda.""Aku menanyakan kabarmu, bukan masalah itu."Kami mulai mengobrol, tak hanya masalah pernikahan ... hal kocak lainnya menjadi topik pembicaraan. Bersama dia aku seperti memilki sahabat. Bukan sekedar calon suami. Benar kata orang, menikah itu sepenuhnya mengobrol. Bukan ha
"Sa--Sasa...," panggilnya terbata. Mas Arif gelagapan, wajahnya seketika menegang. Ada gurat ketakutan di sana. Entah ke mana tampang penuh percaya diri itu? Sasa mendekat, tanpa diminta dia duduk tepat di samping Mas Arif. Kedatangan Sasa membuat bapak dan ibu kebingungan. Sementara Talita meremas pakaianku dengan kencang. “Ini siapa, Nak Arif?”Bapak menatap tanda tanya pada perempuan yang duduk di samping mantan suamiku. Aku diam, memberi ruang dua orang itu untuk bicara. Saatnya menyaksikan pertunjukan.“Jelaskan, Nak Arif.” Ibu ikut menanyakan hal yang sama. Mereka sangat penasaran.“I-Ini ....”“Saya Sasa, istri Mas Arif. Lebih tepatnya istri di bawah tangan.”Spontan kedua mata mereka melotot. Wajah bapak pun menegang dengan mata menatap tajam dua insan di hadapan kami. Kaget kan, pak? Ya, seperti itu sikap menantu kesayangan kalian.“Istri Arif?”“Iya, Tante. Saya istri baru Arif. Kemarin dia bilang akan melakukan pemotretan, tapi malah datang kemari untuk melamar Karina.
Pov Arif"Kenapa kamu bohongi aku, Rif? Katanya motret ... gak taunya mau kawin lagi. Apa aku kurang?"Aku diam, tak lagi menjawab ucapan Sasa. Pikiranku justru melayang, membayangkan wajah Karina.Bodoh, satu kata yang pantas menggambarkan diriku. Melepas berlian hanya untuk perak semata. Ingin kembali tapi nyatanya tak bisa. "Diem terus! Diem terus! Ngomong, Rif!" hardik Sasa. "Maaf, Sa ... maaf."Dari ribuan kata, hanya itu yang terlintas di kepala. Maaf ... maaf karena aku membuka pintu hingga kisah lama kembali berseru. Berharap rangakaiannya akan indah dan sempurna, tapi nyatanya berbeda. Sasa mendengus kesal, memiih diam sepanjang perjalanan Boyolali sampai Jakarta. Aku sendiri tenggelam dalam bayangan penyesalan yang tak bertepi. Sasa duduk di samping Cintya, tepat berhadapan denganku. Beruntung anak itu terlelap saat perdebatan terjadi di antara kami. Kini aku memilih memejamkan mata, menikmati jalannya kereta hingga sampai kota tujuan. ***"Aku berangkat dulu, Rin!" uca
"Aku mau tema princes, Ma."Talita mengguncangkan tubuhku. Dia merengek meminta tema pesta ulang tahunnya princes seperti dongeng yang sering kali aku bacakan."Beneran mau dirayakin?"Sebuah anggukan dan tatapan penuh harap terlihat jelas di netranya. Aku memutar tubuh hingga berhadapan dengannya. Guling yang menjadi pembatas sudah berpindah tepat. Di ranjang Talita kami membicarakan pesta ulang tahunnya.Bulan depan adalah bulan kelahiran Talita. Tinggal menghitung hari Talita genap berusia tujuh tahun. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa bayi yang dulu kugendong kini sudah duduk di bangku SD. Aku dan Mas Arif sudah merencanakan akan merayakan ulang tahunnya. Namun belum menemuka tema yang tepat. Beruntung Talita memberikan sebuah masukan sehingga kami tak kebingungan. "Tapi bilang papa dulu, ya.""Mama aja deh."Talita membalikkan badan, mulut yang sedari tadi asyik membicarakan pesta seketika bungkam. Putri kecilku menunduk seraya memainkan ujung baju yang ia kenakan. "K
"Papa?"Mas Arif terdiam, keringat sebesar biji jagung memenuhi sekujur tubuhnya. "Siapa dia, Mas? Kenapa anak itu memanggil kamu papa?"Suaraku bergetar, namun sekuat tenaga kutahan bulir bening yang terus memaksa untuk keluar. Aku tak boleh menangis di hadapan Talita dan semua orang, meski tak dapat kupungkiri hatiku hancur. Sangat hancur. "Akan aku jelaskan, tapi tidak sekarang Rin," bisiknya namun masih dapat kudengar dengan jelas. "Dia adik aku, Pa?"Anak perempuan itu mendekat, menggenggam erat tangan suamiku. Kedekatan mereka membuat Talita mundur beberapa langkah. Dia pun bersembunyi di belakang punggungku. Tangannya mencengkeram kuat ujung tunik yang aku kenakan. Dalam kurasakan Talita marah dan kecewa. Bisik-bisik para ibu-ibu tak dapat terelakkan. Bahkan ada teman Talita yang lantang menanyakan siapa anak yang dibawa suamiku. Ya Tuhan ... apa ini? "Em ... acaranya akan saya mulai lagi, ya."Eka kembali mengalihkan perhatian. Dia mencoba mencairkan ketegangan yang melan
"Cintya anakku!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Bahkan seperti kaset yang diputar berulang. Namun bukan bosan yang aku rasakan, melainkan luka yang tak mampu aku jelaskan. Denting jam berbentuk hellokitty terdengar jelas di tengah keheningan malam. Namun jarum jam seolah berjalan lambat. Biar saja malam bejalan lebih lama, toh aku tak mengharapkan pagi segera datang. Aku enggan bertatap muka Mas Arif apalagi anak itu. Aku mengubah posisi, sedikit miring menghadap Talita. Bulir demi bulir jatuh saat melihat wajah polos putri kecilku. Sesak jika mengingat kenyataan ini. "Cintya anakku!""Cukup!"Cukup menghantui diriku. Cukup membuatku tersiksa dengan kenyataan pahit ini. Jangan lagi kamu siksa aku dengan ucapan itu. Aku beranjak, berjalan keluar meninggalkan Talita yang masih terlelap di atas ranjang. Ya, aku memilih tidur dengan Talita. Rasanya tak sudi jika tidur satu kamar bahkan satu ranjang dengan lelaki pembohong.Pintu kamar kubuka perlahan. Gelap, hanya sinar
"Urus saja anak kamu sendiri!"Mobil segera kujalankan meninggalkan halaman rumah. Aku abaikan wajah mengiba Mas Arif. Lelaki itu kenapa memikirkan perasaannya sendiri, tak tahukan betapa hancur hatiku ini. Hening, tak satu kata yang mampu keluar dari mulutku. Talita sendiri asyik dengan ponsel. Seolah tak ada masalah yang menimpanya. Sejujurnya aku ingin kembali seperti anak kecil. Mereka bisa tersenyum meski kenyataan tak seindah khayalan. Mereka mudah menangis, namun dalam sekejap dapat tertawa hanya karena hal konyol. Dewasa menyakitkan, apalagi jika takdir mempermainkan hidup dan hati. Ingin memaki, tapi tidak tahu pada siapa? Menjerit pun percuma. Nyatanya berdamai dengan keadaan tak semudah mengomentari kehidupan orang lain. Taman terbilang sepi saat kami tiba. Mungkin karena ini hari kerja sehingga tak banyak orang yang bermain di sini. "Talita mau main apa?""Prosotan sama ayunan, Ma.""Mama tunggu di sini, ya."Talita mengangguk, lalu berlari menuju tempat bermain. Aku