Share

Mendaftarkan Sekolah

last update Last Updated: 2023-09-16 17:42:53

"Urus saja anak kamu sendiri!"

Mobil segera kujalankan meninggalkan halaman rumah. Aku abaikan wajah mengiba Mas Arif. Lelaki itu kenapa memikirkan perasaannya sendiri, tak tahukan betapa hancur hatiku ini.

Hening, tak satu kata yang mampu keluar dari mulutku. Talita sendiri asyik dengan ponsel. Seolah tak ada masalah yang menimpanya.

Sejujurnya aku ingin kembali seperti anak kecil. Mereka bisa tersenyum meski kenyataan tak seindah khayalan. Mereka mudah menangis, namun dalam sekejap dapat tertawa hanya karena hal konyol.

Dewasa menyakitkan, apalagi jika takdir mempermainkan hidup dan hati. Ingin memaki, tapi tidak tahu pada siapa? Menjerit pun percuma. Nyatanya berdamai dengan keadaan tak semudah mengomentari kehidupan orang lain.

Taman terbilang sepi saat kami tiba. Mungkin karena ini hari kerja sehingga tak banyak orang yang bermain di sini.

"Talita mau main apa?"

"Prosotan sama ayunan, Ma."

"Mama tunggu di sini, ya."

Talita mengangguk, lalu berlari menuju tempat bermain. Aku melangkah gontai, duduk tepat di bawah pohon rindang. Sedikit lega saat melihat senyum Talita yang begitu lebar. Seolah luka yang Mas Arif torehkan telah hilang.

Kebanyakan pengunjung taman adalah ibu-ibu yang tengah menyuapi anaknya. Tak aku temukan anak-anak seuasia Talita. Ya, karena mereka pasti sekolah.

Aku diam, menatap Talita yang asyik bermain. Sesekali tawa lepas keluar dari mulutnya.

"Siapa Cintya, Mas?"

"Dia anakku, Dek."

Mas Arif menundukkan kepala, suaranya bergetar lalu bulir demi bulir jatuh dari sudut netra.

"An ... anakmu?"

Suaraku bergetar. Tanpa diminta bulir demi bulir air bening jatuh. Sesak, seolah paru-paru tak mampu menampung oksigen. Bahkan kepala mulai berputar-putar. Tuhan, kenyataan apa ini?

"Maaf, Rin. Maaf."

Sesaat aku diam, tenggelam dalam luka yang tak mampu aku jelaskan. Delapan tahun usia pernikahan kami. Selama itu Mas Arif membohongiku. Apa dia pikir aku tak bisa menerima jika ia duda sekali pun? Tapi kenapa harus berbohong?

"Di mana ibunya? Kenapa dia harus dibawa kemari?"

Selama delapan tahun, kenapa sekarang dia mengakuinya? Kenapa di saat ulang tahun Talita? Kenapa?

"Ibunya meninggal, Rin. Jadi tolong terima dia sebagai anak kita."

"Kenapa kamu tak mengatakan jika punya anak sebelum menikah denganku? Kenapa status kamu masih bujangan saat itu? Kalian berzina?"

"Mama ... huhuhu...."

Aku terperanjak, tangisan anak kecil menyentak lamunanku. Menghilangkan kenangan malam itu. Seketika aku menatap ayunan. Putri kecilku masih asyik main ayunan. Tangisan itu berasal dari seorang balita yang terjatuh tak jauh dari tempatku duduk.

Setelah lelah bermain di taman, kami pun pergi ke minimarket terdeket untuk membeli minum. Sejenak menyenangkan diri tak masalah.

***

Tepat pukul lima sore kami tiba di rumah. Mas Arif tengah duduk di teras seraya menatap tak suka pada kami. Namun sorot mata itu tak membuatku ketakutan. Justru kebencian yang semakin besar tertanam.

"Talita langsung mandi, ya."

Talita mengangguk, belanjaan miliknya ia bawa. Dengan cepat dia berjalan dan menghilang di balik pintu. Sengaja dia kuminta pergi karena Mas Arif sudah menunjukkan amarah. Aku tak mau Talita mendengar pertengkaran kami.

Pertengkaran orang tua adalah luka bagi anak. Mungkin dia diam, namun kepalanya akan selalu mengingat kejadian itu. Selama ini aku selalu menjauhi perdebatan. Namun kenapa justru Mas Arif yang melakukannya?

"Kenapa lama sekali, Dek? Mana kamu gak masak."

Aku menghela napas, entah kenapa pertanyaan itu sangat menyakitkan? Tak tahukah apa yang aku lakukan saat ini? Mencoba menenangkan hati agar bisa berdamai dengan kenyataan. Namun tak semudah itu Bambang! Tak semudah membalikkan telapak tangan.

"Kamu bisa beli online kan, Mas? Atau mungkin beli di rumah makan."

Aku kembali melangkah seraya membawa barang belanjaan.

"Gak begitu juga cara kamu, Dek."

Seketika kuhentikan langkah kaki ini. Kembali memutar badan, menatap tajam lelaki yang berdiri tepat di hadapanku.

"Sebelum kamu berkomentar ini dan itu, harusnya kamu ngaca, Mas! Apa yang kamu lakukan selama ini padaku, pada Talita!"

Aku tinggalkan Mas Arif yang diam mematung di depan pintu.

Sayur dan buah kutata di dalam kulkas. Sabun dan bahan pokok yang lain masih berada di atas meja. Aku menata satu persatu karena tak ada yang membantu.

"Boleh aku bantu, Ma."

Aku menghentikan gerakan tangan lalu menoleh ke samping kanan. Anak itu sudah berdiri di sampingku. Lengkungan indah tergambar di wajahnya.

Ah, apa-apaan ini, kenapa aku justru memperhatikannya dengan detail?

"Boleh Cintya bantu, Ma?"

"Gak usah! Aku bisa sendiri! Satu lagi ... jangan panggil aku mama, aku bukan mama kamu!"

Senyum yang sempat tergambar indah seketika lenyap. Hanya mendung yang nampak di sorot mata itu.

"Pergi sana! Jangan ganggu!"

Cintya berlari menuju kamar tamu. Ah, kenapa aku jadi jahat begini? Dia hanya anak kecil yang tak tahu apa pun. Harusnya yang kubenci orang tuanya, bukan dia. Tapi karena dia, Talita menangis.

Sudahlah, tak penting mengurusi anak itu. Biar saja Mas Arif yang melakukan tugas itu.

"Mama!"

Belum selesai aku meletakkan belanjaan tapi teriakan Talita menghentikan gerakan tangan ini. Sabun kembali kuletakkan di atas meja. Gegas kulangkahkan kaki menuju kamar Talita.

"Kenapa teriak, Nak?" tanyaku seraya membuka pintu kamar.

Talita dan Cintya sudah berdiri berhadapan di sebelah ranjang. Putri kecilku menggenggam erat boneka beruang kesukaannya. Sementara Cintya hanya diam seraya menundukkan kepala.

"Talita kenapa teriak?"

"Dia mau ambil mainanku!" Talita menunjuk Cintya.

"Aku cuman pinjam. Aku ...."

Cintya berlari tanpa melanjutkan kata-kata. Melihat netranya yang mengembun membuatku merasa bersalah. Ah, untuk apa aku memikirkannya?

"Kenapa Talita gak pinjamkan?"

"Ini punyaku, Ma! Bukan punya dia."

Aku menghela napas, bingung harus bagaimana? Talita harus belajar berbagi, namun apa bisa? Aku saja belum bisa menerima keberadaannya. Ini terlalu menyakitkan untuk kami.

Tuhan, kapan ini berakhir?

***

Pagi-pagi aku sudah disibukkan dengan kegiatan rumah. Masak adalah prioritas pertama sebelum melakukan kegiatan yang lain. Ya, karena Talita butuh asupan gizi sebelum berangkat sekolah.

Semalam aku sudah membujuknya, untungnya dia mau bersekolah kembali. Ya, walaupun harus membawa bekal sendiri. Tak apalah repot sebentar, semua demi masa depannya.

Sarapan sudah tertata rapi di atas meja. Tak lupa segelas susu untuk Talita.

"Sayang, sarapannya sudah siap!"

"Iya, Ma!"

Tak lama terdengar langkah kaki mendekat. Bukan hanya satu, melainkan beberapa langkah kaki. Aku menoleh, benar saja Mas Arif dan Cintya yang datang terlebih dahulu.

Tunggu, ada yang aneh dari penampilan Mas Arif kali ini. Kemeja dan celana panjang kain melekat di tubuhnya. Aroma maskulin juga tercium kala suamiku mendekat.

"Kamu mau ke mana, Mas?"

Kalimat itu meluncur begitu saja. Meski sudah kucoba untuk bungkam dan diam. Namun rasa penasaran menghapuskan keinginan itu.

"Aku mau daftarkan Cintya sekolah. Dia akan sekolah di sekolah yang sama dengan Talita."

"Apa!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   Ekstra Part

    Pov Arif"Kenapa kamu bohongi aku, Rif? Katanya motret ... gak taunya mau kawin lagi. Apa aku kurang?"Aku diam, tak lagi menjawab ucapan Sasa. Pikiranku justru melayang, membayangkan wajah Karina.Bodoh, satu kata yang pantas menggambarkan diriku. Melepas berlian hanya untuk perak semata. Ingin kembali tapi nyatanya tak bisa. "Diem terus! Diem terus! Ngomong, Rif!" hardik Sasa. "Maaf, Sa ... maaf."Dari ribuan kata, hanya itu yang terlintas di kepala. Maaf ... maaf karena aku membuka pintu hingga kisah lama kembali berseru. Berharap rangakaiannya akan indah dan sempurna, tapi nyatanya berbeda. Sasa mendengus kesal, memiih diam sepanjang perjalanan Boyolali sampai Jakarta. Aku sendiri tenggelam dalam bayangan penyesalan yang tak bertepi. Sasa duduk di samping Cintya, tepat berhadapan denganku. Beruntung anak itu terlelap saat perdebatan terjadi di antara kami. Kini aku memilih memejamkan mata, menikmati jalannya kereta hingga sampai kota tujuan. ***"Aku berangkat dulu, Rin!" uca

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   ENDING

    "Sa--Sasa...," panggilnya terbata. Mas Arif gelagapan, wajahnya seketika menegang. Ada gurat ketakutan di sana. Entah ke mana tampang penuh percaya diri itu? Sasa mendekat, tanpa diminta dia duduk tepat di samping Mas Arif. Kedatangan Sasa membuat bapak dan ibu kebingungan. Sementara Talita meremas pakaianku dengan kencang. “Ini siapa, Nak Arif?”Bapak menatap tanda tanya pada perempuan yang duduk di samping mantan suamiku. Aku diam, memberi ruang dua orang itu untuk bicara. Saatnya menyaksikan pertunjukan.“Jelaskan, Nak Arif.” Ibu ikut menanyakan hal yang sama. Mereka sangat penasaran.“I-Ini ....”“Saya Sasa, istri Mas Arif. Lebih tepatnya istri di bawah tangan.”Spontan kedua mata mereka melotot. Wajah bapak pun menegang dengan mata menatap tajam dua insan di hadapan kami. Kaget kan, pak? Ya, seperti itu sikap menantu kesayangan kalian.“Istri Arif?”“Iya, Tante. Saya istri baru Arif. Kemarin dia bilang akan melakukan pemotretan, tapi malah datang kemari untuk melamar Karina.

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   Lamaran Arif

    "Bapak bicara dengan siapa?" "Bukan dengan siapa-siapa." Bapak pun mematikan sambungan teleponnya. "Sudah beli baksonya? Enak, to?"Aku mengangguk. Tidak lama bapak pergi menjauh. Meninggalkan tanda tanya yang kucoba tutupi. Lebih tepatnya menepis prasangka yang ada. Dering ponsel membangunkan diriku dari lelapnya tidur siang. Sudut bibir tertarik ke atas kala melihat gambar Talita di layar ponsel. "Kamu baik-baik saja, Rin?" tanya Fajar dari sambungan telepon. Entah kenapa kali ini ada bunga yang bermekaran. Padahal lelaki itu hanya menanyakan kabar. Apa sudah ada rasa untuknya? "Baik, Jar. Maaf, aku belum menjelaskan kepada orang tuaku. Aku masih menunggu waktu yang tepat. Setidaknya hingga marahnya mereda.""Aku menanyakan kabarmu, bukan masalah itu."Kami mulai mengobrol, tak hanya masalah pernikahan ... hal kocak lainnya menjadi topik pembicaraan. Bersama dia aku seperti memilki sahabat. Bukan sekedar calon suami. Benar kata orang, menikah itu sepenuhnya mengobrol. Bukan ha

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   Bab 31

    “Kamu yakin, Jar?”Lelaki di hadapanku menoleh, meletakkan koper kemudian menatapku lekat. Sebuah lengkungan tergambar jelas di wajahnya. Tanpa ragu dia mengatakan iya. Fajar akan melamarku di hadapan kedua orang tuaku.Sejenak aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Dalam diam hatiku bergejolak. Benarkah apa yang aku lakukan saat ini? Benarkah keputusan untuk menerima lamaran Fajar?“Semua akan baik-baik saja,Rin.” Fajar mengelus pelan pundakku. Dia seolah tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini.Semua barang sudah kami masukkan ke mobil. Talita pun sudah anteng duduk di jok belakang. Kami siap berangkat ke Boyolali, kota kelahiranku.Perjalanan menuju kota kelahiran membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Perjalanan panjang untuk kami dalam kecanggungan. Jujur saja ... hatiku belum sepenuhnya terbuka untuk Fajar. Masih ada luka masa lalu yang membekas. Entah kapan sakit itu akan hilang sepenuhnya.Belum setengah perjalanan kami berhenti d

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   Talita Mau, Om

    "Benar itu, Rin?, Kalian akan segera menikah?""Iya, Mas. Kami akan segera menikah, secepatnya."Mas Arif mengusap wajah kasar. Tanpa berpamitan ia pergi meninggalkan ruang rawat inapku. Sebongkah batu yang memenuhi dadaku seketika hilang. Bersamaan dengan perginya lelaki bergelar mantan suami. Lega karena dia tak muncul di hadapanku lagi. Denting jam terdengar begitu keras. Seolah mengisi keheningan karena kami memilih saling diam. Sejujurnya aku tidak tahu harus berkata apa, bingung. "Fajar ....""Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, Rin. Kamu tak sungguh-sungguh dengan perkataanmu, kan? Kamu lakukan untuk mengusir Arif."Kata-kata itu menampar telak diriku. Menciptakan rasa malu. Andai bisa berlari, ingin kutenggelamkan muka ini ke dasar bumi. "Maafkan aku, Jar."Aku menunduk, meremas jemari, menghilangkan perasaan bersalah. Nyatanya semakin besar aku mencoba menghilangkan, rasa itu kian jauh dalam tertanam. "Kenapa diam sih, Rin? Aku lho gak mempermasalahkan itu."Aku mendonga

  • ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU   Fajar vs Arif

    "Bagaimana nasib Talita, Jar?"Aku kian khawatir. Menunggu lelaki itu bicara, tapi tak sepatah kata keluar dari mulutnya. "Talita gak kenapa-kenapa, Rin. Dia baik-baik saja.""Tapi tadi ....""Talita bersama Cantika di rumahnya. Ada yang usil sama kamu. Dia bilang Talita kecelakaan, kan? Padahal putri kamu baik-baik saja."Perkataan Fajar benar. Kalau dipikir ulang memang ada kejanggalan tentang kejadian tadi. Panik membuat aku tak sadar jika Talita masih berada di sekolah. Logika kalah dengan kecemasan. Kabar yang kudengar bak nyata. Sehingga kepala tak bisa berpikir dengan benar. "Kenapa kamu bisa sampai seperti ini, Rin?"Aku menggeleng, tak bisa berkata apa pun. Kejadian ini terlalu cepat. Sehingga aku tak tahu apa yang terjadi. "Aku harus pulang, Jar. Kasihan Talita sendirian di rumah."Aku hendak bergerak tapi sebuah tangan menahan gerakanku. Disusul tatapan tajam dengan gelengan kepala dari lelaki itu. Fajar melarang aku bergerak, apalagi meninggalkan ruangan ini. "Lalu T

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status