Anila mengisak ingusnya beberapa kali, air matanya deras terurai.
Para juri sudah berkaca-kaca. Menunggu kelanjutan lagu yang dinyanyikan oleh Anila.
"Ayo, Anila!" desus sang pembawa Acara geram. Sekolahnya harus menang, dan mengapa mengapa ia menghentikan lagunya di tengah jalan seperti ini.
Aldrich menatap Anila sendu, Ia mengulum senyum di antara kerumunan. Tangannya tetap tersaku, dan tudungnya tetap utuh, walau beberapa kali ia menunduk terbawa perasaan oleh gadis cantik yang bernyanyi di hadapannya.
Instrument tetap berjalan kosong.
Aldrich kembali tersenyum simpul.Aldrich mengisi nada yang kosong dengan suaranya.°°°
.•♫ It's time to face the music, you're my inspiration.•♫
(Ini saatnya untuk menghadapi musiknya, kamu adalah inspirasiku.).•♫ In another life, you would be my girl.•♫
(Di kehidupan selanjutnya, kamu akan menjadi kekasihku).•♫ We keep all our promises, be us aga
Baca bab 14 dan 15 jangan dipisah ya, gabisa soalnya mereka berhubungan wkwk>< Btw, refresh kembali bab 14, soalnya kemarin salah salin :) ~ Thank u Readers♡
Anila menatap sejenak kotak sampah di depan langkahnya. Tetapi tiba-tiba ia merasa ada yang aneh.Saat Anila berniat mengintai sekitar, ternyata itu, tangannya. Tangannya mulai menghilang."Oh, Tidak! Bukankah ini belum waktunya? Ini masih siang, dan matahari masih terik di atas," kata Anila terkejut. Dengan sigap, dirinya menutupi tangannya di depan, membawanya berlari,"Tasku!" Anila mengambil tasnya saat melewati kelas, membawanya masuk ke kamar mandi. Banyak siswa menatap heran, sikapnya sungguh tak biasa bagi mereka.Anila menutup pintu, dia harus mengerti apa yang harus segera dia lakukan. Mencoret asal pada buku 'Mereya' itu. Sesegera mungkin, sebelum seluruh tubuhnya benar-benar raib. "Apa kalian melihat Anila?" tanya salah satu siswa pada murid yang berlalu-lalang. "Dia masuk ke kamar mandi, sebelah sana, sepertinya," "Terima kasih," ucapnya. "Anila! Apakah kamu di dalam? Dirimu menang lomba solo
Deg!Matanya kembali terbuka. Anila tersadar, dan dia mengerti sekarang. Semuanya tampaknya lebih mudah dari yang dia bayangkan. Menemukan orang? Memasuki orang tersebut? Itu sangat mudah bukan? Intinya, yang terpenting adalah dia harus selalu berada dalam keramaian orang-orang. Harus selalu berada di sisi seseorang untuk menjaganya tetap menjadi manusia. "Yas!" Anila mengepalkan tangannya, memasukkan buku 'Mereya' itu kembali ke dalam tas. Sekarang dia tahu bagaimana caranya berubah dari angin menjadi manusia tanpa harus bolak-balik dari Alam buku. Yaitu, menumpang jiwa ke manusia lain, memasukinya. Buku itu banyak membantunya, saat Anila menuliskan '3A' di atasnya. Anila selalu menemukan jawaban atas apa yang dipikirkannya, begitupun dengan detik ini. Babak kedua pertandingan bola basket telah usai. Aldrich memang menang babak pertama, babak kedua team-nya kalah.Bukan sebab kemampuannya berkurang. Team SMA Alegars bermain dengan tidak s
Anila duduk di meja belajarnya, menghadap sebuah buku 'Mereya' dan beberapa buku pelajaran.Niatnya belajar, tapi pikirannya ruwet. Tiap kali dia membaca sebuah judul dan sedikit penjabaran. Otaknya selalu berkeliling ingin mengartikan penjabaran tersebut secara lebih detail dari yang dituliskan. "Halah! Taulah!" Anila menutup buku sekolahnya, melemparkannya di meja, sembarang. Bergantian mengambil pena. Lebih baik dia menulis puisi saja, jika begini. "Kakak! Kakaaaakk!!" teriakan tidak sabaran Ayar terdengar dari balik pintu. "Apa, sih.... Masuk Ayar sayang, masuk...." ucap Anila berusaha menetralkan kembali emosinya. Ayar duduk di ranjang Anila. Mukanya menyiratkan rasa sebal kepada seseorang, pipinya ditahan membesar. Matanya hampir hilang tertutup besarnya pipi chubby-nya itu. Anila mencubitnya, "Ada apa? Kenapa si Adikku sayaaang...?" "Ayar sebel kak," dengusnya. Anila ikut duduk di samping Ayar. Kakinya disatuk
"Kakak! Itu Ayar–" Candra menunjuk Ayar yang berada sedikit jauh dari posisi Anila berdiri. "–dan itu kakaknya, dia berniat memarahiku sedemikian rupa, makanya aku mengadu pada kakak dan meminta kakak kemari. Untung saja kakak tadi datang tepat waktu," jelas Candra dengan nada manja, tetap memeluk erat pinggang Aldrich. Ayar tak mau kalah. Dia ikut menghampiri Anila lantas juga memeluknya. Candra dan Ayar saling mendengus satu sama lain. Sifat anak-anak mereka masih sangat tampak walaupun di usia yang sudah delapan tahun. Itu adalah usia sifat anak SD paling imut. "Jadi, kamu kakaknya gadis cantik ini?" Tangan Aldrich maju, mencubit pipi Ayar. Terpaut sebuah lesung pipi diwajah Ayar setelah Aldrich menarik kembali tangannya. "Ya, apakah pria menggemaskan ini adalah pangeran kecilmu?" Anila mengikuti gaya Aldrich, menarik ke bawah topi yang digunakan Candra. Rambut tebalnya yang terlihat rapi, ikut tertarik ke bawah mata. Candra mengaduh, lantas memben
"Bagaimana pertandingannya? Apa tangannya masih terasa sakit jika untuk bermain?" Aldrich berhenti berpikir, "Oh, tidak. Tentu tidak, tadi pertandingan berlangsung baik–" melanjutkan perkataannya dalam batin, "–apalagi setelah kamu ikut duduk menontonnya," Aldrich tersenyum tipis. "Itu akan menjadi pertandingan yang baik dari yang terbaik" sambungnya lagi. "Kamu memang pemain basket yang handal. Wajar saja jika tadi kamu menang. Apalagi Smart Insani memang terkenal tidak terkalahkan." Anila berlanjut menyeruput minumannya. Saat Anila hendak mendekatkan sedotan ke bibirnya. Anila merasakan jari telunjuk nya sudah tidak nampak. Iya, mungkin akan baik-baik saja saat Anila menatapnya, tidak untuk orang lain. Jarinya sudah tidak berfungsi, seperti menghilang atau dipotong, tidak berwujud. Anila meng-hah kaget. Buru-buru ia menurunkan tangannya."Selalu saja, mengapa yang menghilang tangannya lebih dulu!" "Kenapa?" Adrich langsung m
Setelah tiga hari kemarin, Aldrich untuk pertama kalinya merasa penasaran terhadap seorang wanita. Sebelumnya, Aldrich sangat tak acuh pada hal-hal semacam itu. Sebenarnya, tidak serta-merta Aldrich penasaran kepada Anila karena parasnya. Aldrich lebih terfokus akan hal aneh yang terjadi, dan Anila menolak untuk menjelaskannya. Aldrich melihat Anila jalan kaki berangkat ke sekolah. Sengaja, Ia membiarkan Anila berjalan tanpa menawarkan tumpangan kepadanya. Aldrich mendahuluinya cepat, mengegas penuh kecepatannya. Anila yang sedang berjalan santai, wajahnya tampak murung hari ini, ia melihat Aldrich melintas, kebut. "Tumben," gumam Anila singkat, mood-nya sedang tidak baik hari ini. Tit Tit Tit!Jam Anila berbunyi menandakan sudah pukul delapan pagi. "Oh, Tidak! Ini sudah siang!" Anila berlari kencang, tanpa terkendali mengaktifkan kekuatan superspeednya supaya cepat sampai. Wussh!Secepat angin Anila melintasi kota. Hingg
"Aku manusia biasa. Apa yang kau tanyakan ini? Ada apa? Apa ada masalah? E-e... Ini sudah malam, mari kita pulang saja." Anila berdiri, niat hatinya hendak menjauhi pria di depannya itu. Dia lupa sekarang berada di mana. Kincir angin kembali naik ke atas.Gerakan kasar peralihan posisinya membuat tumpuan berdiri Anila rubuh. Tubuh Anila terdorong ke arah Aldrich duduk. Tangannya berusaha menopang wajahnya agar tidak menyatu dengan wajah Aldrich. Matanya tidak bisa mengelak, bola mata mereka saling menatap tajam satu sama lain. Hanya saja, ketajaman mata Anila tampak sangat khawatir. Aldrich seperti menyihir Anila,"Apa 3A itu?" Anila lantas tersadar, terburu-buru untuk membenahi posisinya, kembali duduk. "Ba-gai mana kau bisa tahu tentang itu?" Anila mengigiti bibirnya, merasa ketakutan. "Apa yang diinginkan Aldrich? Siapa dia? Bukankah dia orang yang baik?" Beribu pertanyaan menyelimuti wajah cemas Anila. Aldrich mengelu
"Baiklah, Pak saya akan segera menyelesaikan ceritanya minggu ini." "Iya, Pak, segera saya tamatkan. Terima kasih, bapak... Iya." Terdengar sebuah percakapan telepon pagi itu. "Apanya, Kak, yang mau kita diakhiri?" Ayar bertanya pada kakaknya, Anala. Yang barusan menutup teleponnya. "Udah diem! Anak kecil ga usah kepo!" Ayar memanyunkan bibirnya.Anila datang dari kamarnya, telah siap untuk berangkat ke sekolah.Wajahnya menunjukkan rasa sebal terhadap perilaku Anala. Hal itu harus dilihatnya, setiap hari. Meja makan telah siap. Ibunya kembali datang membawa persajian terakhir. "Kamu hari ini yang antar Ayar, Nay. Gue ada urusan, pulangnya paling nanti malam atau pagi," ucap Anala. "Mau kemana, Na?" sahut Ibunya, bertanya. "Mau jemput bos, Bu. Di bandara, barusan pulang dari luar kota. Kaya gitu aja ya... katanya cuma pengen di jemput aku, iih..." jawab Anala dengan nada bicaranya yang khas menyebalk