Aurora tidak pernah main-main dengan apa yang ia hendak lakukan. Malam itu juga, setelah kepergian Ratu Neoma dia langsung terbang menuju kota buku. Tempat di mana kerajaan Ratu Angin berada.Dahulu dia pernah dibesarkan di kota itu. Rumah-rumah buku, tanaman penghasil pengetahuan dan sungai aliran yang melukis keindahan alam penuh kecerdasan itu. Aurora jelas menyukai tinggal di sana penuh ramai, daripada Istana megahnya yang tetap membuatnya kesepian.“Guk! Guk!”Seekor anjing yang berjalan bersama Aurora menggonggong.“Diamlah, Ed. Ini tengah malam. Jangan membangunkan mereka. Kita akan mengunjungi keluargamu.” Aurora berjongkok, mengelus kepala Anjing bernama Ed. Anjing itu seakan mengerti dan bergonggong kecil. Kemudian kembali berjalan mengikuti tali pada leher yang ditariknya.Aurora dan anjingnya berhenti pada sebuah lubang besar. Seperti sebuah kanal, namun di dalamnya tidak terdapat air. Itu adalah tempat kematian terburuk di alam buku.“Kau berasal dari sana. Aku menghidupk
Ketegangan terjadi di sebuah padang salju. "Bodoh sekali dia, mau menuruti semua omonganku," gumam Aurora. "Apa lagi?" tanya seorang remaja pria padanya. "Cium dan cintai aku! Lupakan bahwa kau punya hati untuk orang lain. Hapus semua rasa cintamu kepada siapapun," pinta Aurora. Pria itu tidak menolak, ia langsung saja mengambil langkah mencium erat bibir gadis di hadapannya. Seorang gadis sebaya dengan pria itu tersimpuh rapuh memohon-mohon. "Jangan lakukan itu, aku mohon jangan cium dia!" pekiknya tak berdaya. Pria itu tidak menghirau sedikit pun. Ia benar-benar melupakan seluruh cinta dalam dirinya, dan secara rakus menikmati kejadian itu. Gadis yang tersimpuh itu beberapa kali mengerang semakin kesakitan saat pria itu semakin asyik dengan Aurora. Setelah beberapa waktu, Aurora melepaskan ciumannya. Memastikan tidak ada lagi cinta di dalam hati pria itu. Aurora membekukan tubuh sang pria i
Anila tidak menjawab pertanyaan Pak Malik, dirinya hanya terdiam menunduk. Erika dan teman-temannya menyeringai senang. "Lihatlah si Nenek reot itu, bukankah bodoh sekali dia?" ucap Erika tertawa sinis diikutitawa teman-temannya. Anila mulai melangkah pergi. "Oh iya, jangan lupa bawa kan bola kesayangan bapak di atas meja guru!" Anila berbalik sebentar, pandangannya tetap menunduk."Dan satu lagi, Anila, tidak boleh ada yang membantu. Kamu harus membawa semua itu sendiri karena ini adalah hukuman," tambah Pak Malik. Anila hanya mengangguk mengiyakan. Kakinya berjalan menuju ke gudang sekolah, pikirannya berkecamuk "Mengapa aku dihukum? Padahal aku hanya telat beberapa menit. Sedang kemarin, Erika dan teman-temannya bahkan membolos untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga tetapi mereka?" Muka Anila tampak sedih, "Ah sudahlah" Ia menangkis pikiran buruknya."Sadar diri saja Anila, kau ini siapa
Anak-anak berlarian keluar kelas, bel sekolah berdering tiga kali. Menandakan istirahat telah tiba. Ibu guru mengakhiri penjelasannya. Menutup buku, membawanya pergi kembali ke kantor. "Yee... Istirahat..." Anak-anak berkejaran menuju kantin sekolah. Beberapa yang lain besiap untuk makan bekalnya. "Hey Stevanus! Bawa sini loh," teriak Ilona, salah satu teman Erika. Ia mengejar sebuah barang yang dibawa lari Stevanus. "Bawa sini, jangan dibawa keluar," Stevanus malah langsung membawanya keluar. "Ini.... Ambil aja, cepet," ujar Stevanus. "Stevanus!" Ilona kembali berkejaran di teras sekolah, berteriak-teriak memperingatkan Stevanus yang tetap tak hirau. Berbolak-balik sedari tadi. "Stevanus, bawa sini! Kembalikan," kata Ilona tidak memperhatikan arah larinya. Tak beberapa lama, mereka berkejaran.Kaki Ilona tersandung kotak sampah besi.Ilona terjatuh, giginya me
Telah menjadi kebiasaan Anila mencurahkan semua keluh-kesahnya pada sebuah buku. Bukan karena tidak percaya pada orang lain, tetapi memang orang lain lah yang enggan membagi telinganya untuk mendengarkan Anila.Telinga terbaiknya kini telah pergi. Satu-satunya orang yang berbaik hati menyumbangkan seluruh panca indranya hanya untuknya. ~•~ [GATA] Anila mulai menulis sebuah puisi di buku diary aneh, yang tiba di kamarnya kemarin. [Setega itu dirimu hadir,dan setega itu pula dirimu menyingkir.] Tangannya masih terus menggores tinta, bahkan tinta dari matanya pun ikut keluar. [Bersuka ria kita hardik waktu bersama-samabisa-bisanya kau pergi hanya sebab ku pinta.] Otaknya mulai berantakan. Tidak mau berhenti memikirkan kejahatannya tidak mendengarkan penjelasan Gata kemarin. [Bukankah kamu temanku?atau dirimu sama seperti mereka yang hanya mema
Mereka membawa Anila pergi ke sebuah rumah. Rumah itu dibangun atas susunan beberapa buku sebagai batanya. Atapnya juga buku yang dibuka, beberapa tali penanda buku pada batanya keluar rumah.Ada sebuah teras kecil dari kayu dan tingkat kecil dari buku-buku kecil. Seorang wanita tua duduk di halaman rumah. Ia sedang membaca buku. Di hadapannya terdapat meja dengan tumpukan buku yang tingginya sekitar satu meter. Anila lagi-lagi dibuat heran dan takjub, yang dia tahu buku, ya hanya buku diary. Anila tidak pernah menyangka ada alam yang benar-benar menjaga buku. "Nenek," sapa kedua anak kembar itu. "Oh cucuku, kemarilah, Nak," hatur sang Nenek tua yang kulitnya telah keriput dan rambutnya yang panjang telah memutih. Anila melangkah."Siapa yang bersama kalian?," tanya sang nenek. "Maafkan kami nek," ujar salah satu dari mereka. "Ada apa, Cucuku?" "Semua ini salah Takbaku, Nek," tuduh salah sa
Terpaksa malam itu, anila harus makan dua kali. Walaupun, perutnya benar-benar menolak. Tetap saja dia harus makan. Akibatnya, selama 12 tahun dia bersekolah. Pagi ini Anila mencetak rekor pertamanya terlambat datang ke sekolah. "Hey, Anila kok bisa terlambat, biasanya kan jam enaman udah minta dibuka,–" tanya Pak Wandi "–Apa semalam kamu harus lembur juga keliling sekolahan gantiin bapak buat jaga? Hahaha," goda Pak Wandi terpaksa membuka ulang gerbang. Anila terburu-buru hanya menaikkan dagunya cemberut. Lantas berlari menuju kelas. * * 彡* * Hari ini diadakan ulangan harian. Anila yang menduduki absen termasuk abjad atas, membuatnya pindah menjadi barisan bangku paling depan. Kemarin lusa, Bu Guru meminta agar duduknya disusun menurut absen. Hari-hari Anila kini tampak sangat berat serta sulit tanpa kehadiran Gat
Anila kembali datang ke sekolah pagi ini dengan ceria, kemarin Baku dan Takbaku telah membuatnya berkeliling alam buku, melupakan beberapa masalahnya. Anila berjalan santai, hendak masuk ke dalam kelas. "Heh, Nenek reot, baca tuh tulisan di mading. Semoga nggak kena mental ya..." kata Erika yang dengan sengaja menabrak pundak Anila, menatap Anila sinis. Anila masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Erika barusan. Dia langsung saja bergegas berdiri di hadapan sebuah papan majalah dinding sekolah. "Lomba video content creator bersama ayah ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 12 sebagai syarat kelulusan." Anila melongo, mengerutkan dahinya, tidak menyangka ada sebuah kewajiban gila. "Ini pasti ulah Erika, mentang-mentang Ayahnya kepala sekolah, terus bisa seenaknya," batin Anila menarik dagunya ke atas. Anila masih terpaku di hadapan papan, membaca, memastikan tulisan di hadapannya itu ada dispensasi untuk tidak ikut.