"A..Anin.. ingin kak Rama."
Ahh rasanya ada yang membesut telingaku untuk berbuat semakin liar. Kupastikan, kamu akan tunduk padaku Anindya.
Kukecup bibirnya dengan haus yang teredam. Agar memeroleh kenyamanan sekaligus kehangatan.
Keningku terlipat begitu saja ketika tiba-tiba bibirku terbungkam tangan kecilnya.
"Kenapa Nin? Cup!" Tanyaku seraya menyingkirkan jemari itu. Menggantikannya dengan ciuman yang syahdu dan kelak mungkin menghasilkan rindu seorang pecandu.
"Jangan beri ludah lagi kak, Anin jijik. Anin tidak mau!" Pintanya dengan menyusupkan nada iba. Gelisah penuh keluh kesah.
Lugunya.. Gadis ini selalu dengan mudah menerbitkan senyumku. Menganjurkanku untuk membelai rambutnya agar bersembunyi dibalik telinga. Perlakuan yang menurunkan suhu panas di antara kami.
"Baiklah, apapun asal kamu menurut padaku."
Ta
Aku benar-benar termanjakan. Luar biasa gesekan tubuh kami. Terasa hangat menggelayut, aku pastikan malam ini tak akan lekas berhenti. Jack akan terpuaskan sampai pagi. "Enghh.." Anin hanya melenguh kecil. Menahan suaranya agar tak teruar bersama udara. Masih menggigit bibir bawahnya. Bukti bahwa dia mulai menikmati ritme permainanku. Yes! Aku tak salah dengar, Anin terus mendesah. Dia bisa merasakan nikmatnya hubungan kami malam ini, yang bisa jadi berlanjut di malam-malam selanjutnya. "Suka kan Nin?" Anin mengangguk cepat. Refleksnya bekerja normal. Wanita mana yang bisa memungkiri performa prima Jack. Shit! Anin terus meracau tak karuan. Nada-nada rendah dari kepolosannya mengobarkan gairahku untuk mempercepat gerakan. Semakin cepat tak terkontrol hingga bunyi mirip tamparan akibat pertemuan kulit kami pun kian memenuhi ruangan. Aku mendesahkan namanya. Desisan demi desisan kami bersahutan. Anin tak protes sedikitpun. Sekali
Aku melewati kamar Anin saat hendak turun. Entah mengapa hatiku tergelitik untuk kembali dan membuka pintu surga itu. Ini godaan yang tak bisa ditepis. Normal kan? Klek! Anin yang sedang berhadapan dengan meja rias sontak menatap gugup ke arahku. Bahasa tubuhnya yang mengaku kusambut dengan senyuman kecil, seraya menggeser slot pintu. Mencari aman dari ketahuan. Beberapa langkah kutapak untuk mendekatinya, berjongkok di depannya yang tampak tegang. Dari jatak ini saja aku bisa mencium harum tubuh belianya. Aku suka, Jack juga. Aku harus menyapa gadis manis yang semalaman memanjakan Jack dalam kepuasan dengan nada kelembutan. Membagi kenyamanan yang menegaskan rasa aman. "Pagi Nin.." "Pa..pagi juga Kak.." Jawabnya sambil terus menghindari tatapanku. Gugup itu tak bisa mengatup. Sementara hasratku padanya selalu meletup. "Maaf tadi meninggalkanmu sendiri, saat aku bangun sudah pukul empat subuh, jadi aku bergegas kembali ke kamar
*** Sepanjang perjalanan Anin hanya diam. Dia tak banyak menanggapi saat aku mencoba berbasa-basi untuk merilekskan suasana di antara kami. Sampai juga aku di depan sekolah Anin. Dia segera memutar tubuhnya untuk turun. Namun dengan sigap tanganku menahan lengannya. "Nin.." "Ehh.." Dia kaget. Kuputar kembali tubuhnya agar menghadapku. "Pulang jam berapa?" "Jam.. Jam lima." "Sore amat?" "Anin ada bimbel." "Oh.. Oke nanti aku jemput di tempat bimbelmu. Cendikia bimbel kan?" Anin mengangguk pelan. Sejenak kemudian dia berubah pikiran. "Anin bisa pulang sendiri. Kak Rama tidak usah jemput." "Tapi aku ingin menjemputmu." Jawabku santai. "Engg.. Kalau begitu terserah kak Rama saja.." Jawabnya malu-malu. Anin segera beranjak meninggalkanku tapi aku belum rela ditinggalkan. Masih ingin bersamanya, menghirup aromanya yang menggugah. Aku mencekal tangannya, memutar tubuhnya
*** Kueratkan pelukan pada tubuh mungil yang membelakangiku. Terus kukecupi rambutnya yang wangi. Terkadang berselang dengan tengkuknya yang masih menyisakan aroma membara kami. Hari ini entah sudah yang ke berapa kali kami beradu syahwat. Mencari gerakan demi gerakan yang mendatangkan nikmat. "Geli Kak Rama.." Protesnya lirih. Terdengar suaranya yang rendah, rentan, manja memanjang khas anak seusianya. "Geli tapi suka kan?" "Bukan begitu ih!" Tubuh kami memang sedang melekat satu sama lain, tanpa sehelai benangpun dengan selimut membalut. Tentu setelah beberapa seai panas kami lalui di hotel ini. Aku bahagia. Wajar. Bocah kecilku sudah takluk dan dengan rela hati melakukan semua. Semakin kupererat pelukan, seakan berusaha meremukkan tubuhnya. Sejujurnya aku gemas sekali setiap kali memeluknya. Tubuhnya sangat kecil, kontras dengan tubuhku yang berotot besar. Namun herannya di situlah letak letupan gairahku, pusaran naf
Gila! Jakarta sepanas ini menyambut kepulanganku. Mendidihkan aliran darah. Mungkin karena jauh dari Anindya juga. Seminggu rasanya sebulan kalau hanya kupakai berjauhan dari Anindya. Pasalnya hanya akan terbuang sia-sia untuk memikirkannya. Dia, gadis lugu yang menguasai pikiranku. Jangan, sebut dia bocah lugu saja. Kata gadis terlalu mengiaskan kalau aku mencintainya dan dia mencintaiku. Dan itu kemustahilan. Tidak ada dalam kamusku mencintai bocah. Walaupun memang, selama seminggu mengikuti simposium ini aku hampir tidak bisa berkonsentrasi. Hanya karena dia tidak bisa dihubungi sama sekali. Keluar dari bandara aku pulang ke rumah untuk mengambil mobil, lalu segera menjemputnya di sekolah. Drama sekali seperti kekasih yang memberi kejutan akan kepulangannya setelah lama bertugas. Anggap saja lucu-lucuan. Lumayan lama hingga aku karatan. Sudah satu jam seorang Rama harus kesekian kalinya bengong di dalam mobil menanti kedatangan Anindya. Aku tidak s
Kalau saja bukan karena harus menggantikan jadwal Raka di rumah sakit, mungkin saat ini aku masih mondar mandir di depan kamar Anindya untuk menunggunya keluar. Aku belum mengembalikan ponselnya. Tapi bukan itu alasan sebenarnya. Aku harus memastikan ayahnya belum tahu apa yang terjadi di antara kami. Aku hanya pulang sebentar ke rumah. Sejak Anindya melarikan diri dari hotel, aku belum bertemu dengannya lagi meskipun kata Mama dia sudah di rumah. Apalagi masih harus terdampar di rumah sakit gara-gara menggantikan Raka yang sibuk dengan kuliah spesialisnya. Saat kutanya perawat, ternyata masih ada lima antrean pasien lagi. Lumayan. Pasalnya pikiranku sendiri hampir tak bisa berkonsentrasi. Kacau. Teringat ancaman Anindya. "Kacau banget kamu?" Sapa seseorang yang mendekat seraya sibuk melipat lengan bajunya. Teman dekat yang boleh dibilang tidak dekat-dekat amat tapi sering merepotkan. "Syukurlah kamu datang.." Kedatangan Raka menyirat kebahagi
Aku tercekat dan hanya bisa menelan ludah yang terasa mengandung racun. Rasanya seperti tercekik hingga sulit bernafas. Situasi ini membuatku merasa baru pertama kali mendengar kata 'hamil'. Seakan kata 'hamil' itu mengandung bubuk sianida 100 miligram -tanpa kopi tentunya-. "Hamil Nin??" Anin mengangguk-anggung lengkap dengan derai air mata. Dia tergugu ketakutan. Tubuhku sendiri melemas pasrah. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis, dahi, juga tak ketinggalan di punggung. Ditambah lahi tifus membuat isi perutku bergejolak karena otak yang terus didesak berpikir keras dan cepat dalam waktu singkat. Mirip reaksi tubuh manusia saat lapar, di kepala ada pusing-pusingnya. Masalahnya pengakuan Anin ini tak bisa diatasi dengan sesobek roti atau sepiring nasi padang lauk rendang. Jika benar adanya, kondisi Anin adalah fatal. Kondisiku juga ya? Baru sadar. Baiklah, tifus dan syok sedang bersatu melemahkanku. Sungguh pagi buta yang gelap benar. Me
"Rama! Aku perlu bicara!" Suara wanita yang kukenal itu memperparah kegalauan karena batal melepas Anindya semalam. Ya, aku batal melepasnya pergi. Belum rela hati. Bukan karena takut kehilangan, hanya saja aku tidak tega jika harus menyaksikan tangis kecewanya. Aku pun menoleh ke belakang. Lalu menemukan wanita dengan getar suara yang masih dan mungkin akan selalu kuhafal. Mau apa dia memanggilku dengan nada setinggi itu? Kasar pula. Emosi berpijar di kedua bingkai matanya. Aku gerah karena dia terus saja memanggil namaku. Apa sih maunya? Daun telingaku saja malas menangkap getar suaranya. Stempel pengkhianat terukir jelas di dahinya. Membuat rasa cintaku dulu berubah menjadi rasa muak yang berkerak. Aku tak menghiraukan, terus berjalan ke kamar meskipun langkahnya terdengar membuntuti. Hingga baru kusadari sesuatu yang mencurigakan, dia baru saja keluar dari kamar Anindya. Lalu kuhubung-hubungkan dan muncul sebuah firasat buruk. Jangan-jangan...