(POV Nada)
Malam itu aku tidur dalam pelukan Reza. Tapi hatiku tak pernah benar-benar tidur. Mataku menatap langit-langit kamar, dan pikiranku terus mengulang-ulang kata-kata Mira… file yang ia kirimkan… dan cara Reza menjawab. Aku tidak tahu apakah aku lebih sakit karena apa yang ia lakukan, atau karena caranya menyembunyikan semuanya seolah-olah aku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan. Aku tidak rapuh. Aku hanya manusia. ** Pagi harinya, saat Reza sudah berangkat lebih dulu, aku duduk di depan laptopnya. Ada satu folder yang selalu dikunci password. Folder itu bernama “NYX.” Aku pernah tanya artinya, dan Reza bilang itu cuma nama acak. Tapi sekarang, aku tahu dia berbohong. Karena aku cek di G****e… dan Nyx adalah dewi malam dan rahasia dalam mitologi Yunani. Dan Reza memilih nama itu untuk menyembunyikan sesuatu. ** Aku mencoba beberapa kata: Mira. Tanggal ulang tahun. Nama ibunya. Nama proyek lama. Sampai akhirnya… aku coba satu kata: "Damar." Dan folder itu terbuka. Dunia berhenti sejenak. ** Di dalamnya, ada beberapa dokumen. Dan satu rekaman video. Aku klik videonya. Suara Reza terdengar samar di latar, tertawa bersama seseorang… suara pria lain—yang aku kenal. Itu Damar. Mereka tertawa, mabuk, bicara soal "proyek cepat kaya" dan "pemutihan dana." Lalu suara Mira masuk. “Kalau sampai bocor, kita semua bisa habis.” Video berhenti di sana. Tanganku gemetar. Reza, Damar, dan Mira… mereka satu tim. Dan aku berada tepat di tengah mereka sekarang, seperti pion dalam permainan yang tidak pernah aku pilih. ** Kulepaskan headset, menutup laptop pelan. Dan dalam diam, aku menatap wajahku sendiri di cermin. Mataku tidak terlihat sama. Ada sesuatu yang berubah. Aku tak tahu ini tentang kekecewaan, pengkhianatan, atau… rasa bersalah. Karena bagian tergelap dari diriku—bagian yang aku pendam selama ini—pelan-pelan ingin tahu… bagaimana rasanya kalau aku juga mulai bermain. Dan di sanalah aku buat keputusan. Aku akan cari tahu semuanya. Tentang Reza. Tentang Damar. Tentang Mira. Dan kalau perlu… aku akan membakar mereka satu-satu. Dengan caraku sendiri. --- Aku tidak menghubungi Damar. Tapi entah bagaimana dia tahu. Malam itu, saat aku sedang duduk sendiri di kafe kecil dekat kantor, dia muncul. Duduk begitu saja di hadapanku, seolah waktu tidak pernah membuat jarak. “Aku tahu kamu pasti bakal nyari aku.” Aku menatapnya lama. Wajahnya masih sama—tenang, licin, tapi ada luka samar di matanya yang hanya bisa dilihat oleh orang yang pernah mencintainya. “Aku nggak nyari kamu,” kataku datar. “Tapi mungkin… kamu jawaban dari semua yang Reza sembunyikan.” Damar tertawa kecil. “Dia mulai kebuka ya?” Aku mengerutkan dahi. “Kalian bertiga... kalian semua main bareng? Kamu, dia, Mira?” Damar menyender ke kursi. “Aku ikut awalnya karena uang. Mira ikut karena dendam. Reza ikut karena dia ambisius—dan butuh pengakuan.” Nada menahan napas. “Dan kamu? Kamu ikut juga bikin aku percaya semua itu nggak pernah terjadi?” Wajah Damar menegang. Ia menatapku, lebih dalam kali ini. “Aku berhenti karena kamu, Nad.” Hening. Lalu aku tertawa pelan. “Kenapa semua orang bilang mereka berubah karena aku? Seolah-olah aku ini semacam… obat penawar dosa.” Damar mencondongkan tubuh ke depan. “Karena kamu memang bisa menyembuhkan, Nada. Tapi kamu juga bisa menghancurkan. Dan kamu nggak sadar betapa kuatnya itu.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Kata-katanya menusuk. Bukan karena pujian, tapi karena kenyataan itu mungkin benar. “Jadi kenapa sekarang kamu muncul lagi?” tanyaku. “Apa kamu juga cuma mainin aku lagi?” Dia menghela napas. “Enggak. Aku cuma… aku nggak tahan lihat kamu jadi korban dari permainan yang sama. Mira main kotor. Reza nggak bersih. Tapi kamu, kamu masih bisa keluar dari semuanya. Kalau kamu mau.” Aku menatap matanya. Dalam. Berbahaya. “Tapi bagaimana kalau aku nggak mau keluar?” Damar diam. “Bagaimana kalau sekarang aku juga ingin bermain?” Aku tahu matanya berubah saat itu—ada percikan. Bukan cinta. Tapi sesuatu yang jauh lebih primal. “Kalau kamu main,” katanya pelan, “mainlah dengan benar. Jangan tanggung.” Aku tersenyum miring. “Ajarin aku.” Dan dalam senyuman itu… ada bagian dari diriku yang hancur. Tapi juga bagian lain yang mulai tumbuh. Mungkin inilah aku yang baru. Nada yang tak lagi menunggu kebenaran… tapi menciptakan kebenarannya sendiri. --- Kami meninggalkan kafe sekitar pukul delapan. Langit Jakarta kelabu, hujan menggantung tapi belum jatuh. Damar membuka pintu mobil untukku. Gaya lamanya—sopan tapi terlalu percaya diri. Di dalam mobil, hening menyelimuti kami. Hanya suara musik lembut yang mengisi ruang. “Kamu masih suka jazz ternyata,” kataku pelan. Dia tersenyum. “Dan kamu masih suka memperhatikan hal kecil yang orang lain abaikan.” Aku menoleh ke arahnya. “Damar, kenapa kamu benar-benar berhenti waktu itu? Jangan pakai alasan ‘karena aku’. Aku butuh kebenaran sekarang.” Dia memandang lurus ke depan. Tangannya menggenggam setir, rahangnya mengeras. “Karena aku takut.” “Takut?” “Takut kalau aku terus di dunia itu, aku bakal nyeret kamu masuk juga. Dan waktu itu, kamu terlalu bersih untuk disentuh.” Aku tertawa pelan, pahit. “Dan sekarang?” Dia menoleh. Matanya menusuk. “Sekarang kamu terlihat seperti seseorang yang sudah tersentuh... dan nggak lagi takut kotor.” Aku tak menyangkal. Kami tiba di apartemennya. Aku ikut. Bukan karena niat yang jelas. Tapi karena aku ingin tahu lebih banyak. Tentang Reza. Tentang Mira. Tentang sisi gelap yang selama ini berputar di belakang punggungku. ** Di dalam, ruangan itu masih sama seperti dulu. Bau parfum maskulin, sedikit tembakau, dan buku-buku berserakan. Damar menuangkan dua gelas wine. Kami duduk. Dekat. Terlalu dekat. “Apa kamu masih cinta sama aku?” tanyaku tiba-tiba. Dia tidak langsung menjawab. Hanya menatapku. “Kalau iya,” lanjutku, “apa kamu bakal rela lihat aku jatuh ke tangan Reza?” Damar tersenyum kecil. “Nada… kalau kamu jatuh, aku orang pertama yang bakal berdiri buat nangkep kamu. Tapi kalau kamu pilih jatuh ke pelukannya lagi, aku juga yang bakal bikin kamu sadar betapa sakitnya itu.” Aku diam. Lalu aku melangkah pelan, berdiri di depannya. Menatapnya. “Kamu bilang aku bisa menghancurkan.” Dia mendekat. Nafas kami hampir menyatu. “Kamu bisa.” “Kalau aku hancurin kamu juga… kamu bakal nyesel?” Dia tersenyum tipis. “Coba aja.” Tanganku menyentuh wajahnya. Sebentar. Lalu aku tarik kembali. “Kita lihat nanti siapa yang lebih kuat, Damar.” Aku meninggalkannya malam itu, tidak menginap. Tapi aku tahu… kami telah melintasi batas yang tak bisa dibalikkan. Dan di dadaku, sesuatu terasa hidup kembali—entah itu keberanian, atau mungkin… kehancuran versi yang lebih indah. (POV Reza) Nada pulang lebih malam dari biasanya. Wajahnya tetap tenang, senyumnya masih ada, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia menatapku. Bukan dingin. Bukan marah. Tapi… waspada. Seperti seseorang yang baru saja membuka pintu yang selama ini kukunci rapat. "Kamu makan malam?" tanyanya sambil membuka jaket. Aku mengangguk. "Udah. Kamu dari mana?" Dia diam sebentar, lalu menjawab santai, "Ketemu teman lama." Nadanya terlalu ringan. Tapi tubuhnya bicara lain. Gerakannya sedikit lebih tajam. Lebih sadar diri. Aku mengenal wanita ini terlalu baik. Dan malam ini… dia menyembunyikan sesuatu. ** Setelah dia tidur, aku duduk sendiri di balkon, rokok di tangan, pandangan menerawang ke lampu-lampu kota. Aku selalu tahu ini akan terjadi. Bahwa cepat atau lambat, Nada akan mulai mempertanyakan semuanya. Tapi aku tidak siap untuk kehilangan dia. Karena Nada bukan hanya pelarian. Dia adalah satu-satunya alasan aku merasa masih manusia. Aku ambil ponsel. Ada pesan baru dari Mira. > “Dia sudah bicara dengan Damar. Permainan dimulai. Siap atau tidak, kita akan terbuka semua.” Tanganku mengepal. Damar. Tentu. Si sok moral itu tidak akan tahan melihat Nada terluka. Aku tahu Damar masih menyimpan perasaan. Aku juga tahu Mira belum selesai dengan dendamnya. Tapi bagian terburuknya? Aku tahu… kalau Nada sampai tahu semua yang sebenarnya, aku bisa kehilangan dia selamanya. Dan yang lebih menakutkan dari kehilangan itu adalah... ...kalau Nada memutuskan melawan. Karena ketika wanita itu memutuskan berhenti mencintai dan mulai berpikir… dia bisa jadi jauh lebih berbahaya dari siapa pun yang pernah aku hadapi. ** Aku kembali ke kamar. Menatap wajahnya dalam tidur. Terlihat damai, tapi aku tahu di dalam pikirannya, badai sedang menggulung. Dan dalam hati aku berbisik: "Jangan pergi terlalu jauh, Nad. Karena kalau kamu mulai bermain api… aku juga bisa lebih kejam dari yang kamu kira."(POV NADA)Pagi itu seperti pagi biasa—matahari naik malas dari timur, embun tersisa di ujung daun, dan suara radio kecil tetangga yang menyetel lagu nostalgia terlalu keras. Tapi tubuhku tidak biasa.Mual.Pusing.Dan dada yang terasa penuh seperti menahan gelombang kecil yang enggan reda.Sudah tiga minggu aku menunda menyadari ini. Mungkin karena tidak siap, atau mungkin karena tidak ingin terbukti benar. Tapi pagi ini aku berjalan ke apotek kecil di ujung jalan, membeli satu hal yang selama ini hanya kulihat di film-film drama malam hari.Tes kehamilan.**Aku kembali ke kamar. Sunyi.Wastafel kecil menampung air putih, dan tanganku gemetar saat membuka bungkusnya.Satu menit pertama, aku duduk di lantai, menunduk.Dua menit berikutnya… aku menatapnya.> Dua garis.Satu garis kehidupan.Satu garis kenyataan.Aku tidak menangis. Tidak marah. Tidak panik.Tapi dadaku sesak.Bukan karena takut. Tapi karena tahu: aku tidak bisa berpura-pura lagi.**Aku berdiri, berjalan pelan ke jend
Langit Jogja pagi itu cerah tanpa ampun.Kereta berhenti perlahan di Stasiun Tugu, dan bersama embusan udara panas yang menyambut, aku turun dengan langkah ringan. Ransel di pundak, mata lelah, tapi hati—untuk pertama kalinya sejak lama—terasa lapang.Aku menginap di rumah singgah milik seorang teman seniman. Di pinggiran kota, dekat sawah, jauh dari suara klakson dan ritme hidup Jakarta yang menyesakkan. Tidak ada lift. Tidak ada ruangan kaca. Tidak ada Reza.Hanya suara jangkrik, harum tanah, dan waktu yang terasa lambat.**Di dinding kamar kecil itu tergantung lukisan cat air—potret seorang perempuan memejamkan mata di tengah angin.Seperti aku.Perempuan yang akhirnya belajar… bahwa untuk mencintai dunia, ia harus kembali mencintai dirinya sendiri lebih dulu.**Aku duduk di beranda, menggambar.Tanganku bergerak pelan di atas kertas. Sketsa wajah. Lembut, tajam, hidup.Itu wajahku sendiri. Bukan karena narsis—tapi karena aku ingin tahu siapa yang selama ini kulupakan.Lalu terde
(Pov NADA)Pagi itu aku terbangun di tempat yang asing.Bukan karena tempatnya benar-benar asing. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir… aku tidak perlu buru-buru bersiap untuk kantor, atau khawatir dengan pesan singkat dari Reza yang menuntut waktu, atau menghindari sorot mata Mira yang tajam.Pagi ini… hanya aku, dan napasku sendiri.**Aku menatap langit-langit kamar kos kecil yang kusewa seminggu sebelumnya. Sederhana. Catnya mulai mengelupas. Tapi di sini, aku merasa lebih tenang dari apartemen mewah manapun yang pernah aku tinggali.Ponselku sudah kupasang mode senyap sejak kemarin.Puluhan pesan dari Reza belum kubuka.Ada juga beberapa dari Mira. Dan bahkan satu dari Damar. Tapi aku belum siap.Bukan karena aku takut. Tapi karena aku masih menyusun kembali diriku—bagian-bagian yang sudah terlalu lama kutinggalkan demi menyenangkan semua orang kecuali diri sendiri.**Aku berjalan ke meja kecil dan membuka buku catatan.Sesuatu yang dulu selalu kulakuk
POV REZAAku memutar gelas kosong di atas meja makan. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, dan apartemen ini lebih dingin dari biasanya—bukan karena suhu ruangan, tapi karena tak ada suara dari kamar sebelah.Nada pergi.Dan yang lebih menyakitkan dari kepergiannya… adalah aku tahu dia benar untuk pergi.**Laptopku menyala. Halaman presentasi terbuka tapi tak satu pun kata yang masuk akal.Yang muncul di layar pikiranku hanyalah bayangan wajahnya:Saat ia membaca isi flashdisk itu. Saat matanya berubah dari lembut menjadi penuh luka.Lalu suara pintu tertutup.Lalu… hening.**Aku membuka pesan yang kukirim ke Nada.Masih centang dua. Belum dibaca.Tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di leherku. Bukan fisik. Tapi semacam kegelisahan yang tumbuh dari perasaan tertahan terlalu lama.Aku bangkit, membuka lemari, dan menarik kotak tua dari laci bawah.Kotak itu berisi berkas lama: foto-foto, catatan kantor… dan sepucuk surat dari Mira yang belum pernah kubuka sejak tahun lalu.Tanganku
Kafe makin sepi. Waktu berjalan pelan.Hanya suara sendok beradu dengan gelas, dan detak jantungku sendiri.Lalu pintu terbuka.Damar masuk. Basah kuyup. Jaketnya menggantung setengah, napasnya terburu.Mataku langsung bertemu matanya. Dan semuanya hening.Tak ada lagi ruang untuk berpura-pura.Dia duduk di depanku, tanpa banyak bicara.Tangannya gemetar, tapi bukan karena dingin.“Terima kasih udah datang,” kataku pelan.“Harusnya aku yang minta maaf.” suaranya rendah, serak.Aku memandangi wajah yang dulu pernah aku hafal luar kepala.Kini terasa asing, tapi tetap membuat jantungku sakit saat menatapnya terlalu lama.“Aku lihat rekamannya. Kamu dan Mira.”Damar mengangguk. Tidak membela diri.“Aku salah, Nad. Aku biarin semuanya jadi rumit. Aku pikir aku bisa... keluar tanpa menyakiti siapa-siapa.”Aku tersenyum tipis. “Tapi justru itu kesalahanmu. Kamu mencoba jadi orang baik di cerita yang kotor.”Damar menunduk.Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari saku—sebuah foto kecil yang su
(POV Nada)Tanganku gemetar saat mencolokkan flashdisk itu ke laptop.Aku belum siap. Tapi tidak ada lagi tempat untuk mundur.Folder terbuka:/PRIVATE_RECORDINGS/001-Damar_Mira_RAW.mp4002-Incident_0406.mov003-Audio_RezaConfession.m4aDan satu file teks:READ_ME_FIRST.txtKubuka yang terakhir lebih dulu. Tulisan di dalamnya singkat.Hanya dua kalimat:> “Jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan siapa, jangan hanya tonton. Dengarkan.”**Aku klik file pertama.Layar menyala.Rekaman dari kamera ruangan kantor tua. Waktu di pojok layar: 4 Juni 4 tahun lalu, 22:43.Mira masuk dengan langkah cepat, ekspresinya murka. Damar sudah di dalam, duduk di depan meja, wajahnya tegang. Ada botol minuman di meja, setengah kosong.“Kenapa kamu berhenti tiba-tiba? Setelah semuanya?” suara Mira keras.Damar berdiri. “Karena aku sadar ini salah.”“Salah?” Mira tertawa getir. “Jadi dua tahun hubungan kita itu... cuma salah langkah buat kamu?”Damar menunduk. Suaranya lebih pelan. “Kamu