Setelah menunaikan ibadah salat subuh aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Kabut tipis masih menyelimuti, cahaya kemerahan dari timur pun baru mulai menyinari separuh bagian desa. Cicit burung pipit dan gemericik air dari pancuran yang dipasang untuk mengairi sawah saling beradu. Subuhku yang tadinya memanas sedikit meredam. Merentangkan kedua tangan aku menyesapi angin yang berhembus di helai-helai rambutku. Segar
"Angin pagi Redan kurang baik bagi yang tidak terbiasa. Memakai jaket bisa dikatakan pilihan yang tepat." Aku terjengkit hampir berteriak terkejut kemunculannya. Ia berdiri tidak jauh di belakangku, kedua tangannya membetulkan tudung hoodie bewarna maroon di kepala.
Acuh, aku berlalu. "Banyak hal yang berubah dari desa kita." Ia berjalan di belakangku, kepalanya menengok ke kiri dan kanan, memindai keadaan sekitar. Masih pagi sekali, jadi belum banyak warga yang turun ke ladang.
"Di balik bukit sana, tepat di bawah akasia yang sering kita sambangi ada penginapan yang di bangun. Pantainya pun tak selayak dulu, lebih ramai. Kalau kau mau melihat-lihat aku bisa mengantarmu." Sambungnya menunjuk bukit di depan kami.
Mengantar kepalamu! Mana sudi aku berdua-duan denganmu. Menghirup udara yang sama saja aku terpaksa.
Kami belum jauh meninggalkan rumah ketika kakiku terhenti, mengepalkan tangan dengan geram, lalu memejam sejenak. "Berhenti membohongi diri seakan kita berdua baik-baik saja!" Aku berbicara tanpa repot-repot menoleh kebelakang menatap matanya.
Tubrukan kecil pada punggung, memaksa aku menoleh padanya. Ia tersenyum, menyeret kakinya satu langkah menjauh dariku, ia menatap lembut. "Kita memang tidak sedang baik-baik saja. Tapi aku sedang berusaha untuk membuat semua kembali baik-baik saja."
"Jangan bermimpi!" sengitku mendelik marah. Ingin sekali aku menampar bibir tipis itu. Dia pikir bahtera yang telah koyak dan lebur di pantai kembali dapat mengarungi samudra? Silahkan berkhayal!
"Aku tidak tidur. Jadi aku yakin, tidak sedang bermimpi." Ia mengerutkan kening lalu mengendikkan bahu. Bibirnya tersenyum miring seakan sedang mengejek diriku, membuat aku semakin ingin mengunting kecil-kecil bibir itu.
"Semoga tuan Yusuf tidak lupa alasan aku meninggalkan desa ini," desisku mendekat, lalu menegadah menatap tajam bola matanya. Darahku mendidih seakan sedang dipanaskan dalam tungku yang besar, tidak tahan melihat Yusuf yang bertingkah seakan tak pernah menoreh derita padaku,.
Bergeming di tempatnya dengan tatapan tak terbaca. "Kau... masih sangat membenciku?" tanyanya nanar. "Bahkan setelah dua belas tahun?" Mata itu memancarkan luka yang tak bisa disembunyikan setelah kalimatnya selesai.
"Katakan, apa alasanku untuk tidak membencimu?" desisku menantang. Kilatan dalam mataku harusnya menjawab tanyanya.
Awalnya aku tidak ingin memperlihatkan rasa benciku padanya, aku ingin ia tahu bahwa luka yang ia toreh dahulu sudah hilang. Aku adalah Aling yang baru, Aling yang telah melupakan pahit sembilu yang ia lilitkan dua belas tahun silam. Tapi menemukan Yusuf seperti ini, membuatku tak mampu untuk tak menyemburkan amarah.
"Banyak! Salah satunya karena membiarkan aku selama hampir tiga belas tahun ini berjuang sendiri," Ia menunduk menatap lekat mataku. Sial, hidung kami bersentuhan.
Cih. Membuangku dahulu, lalu sekarang berkata berjuang sendiri.
"Tak tau malu! Manusia yang paling tidak ingin aku temui setelah aku kembali adalah kamu, tapi rupanya kesialanku tak pernah ada habisnya." Aku mencecar dengan kalimat menusuk. "Asal kau tahu, melihatmu semalam membuatku menyesali keputusanku untuk pulang. Aku bahkan mengasihani diriku. Pernah menjadi bagian hidupmu sungguh menjijikan, Yusuf. Menjauhlah! Dorongku pada dadanya. "Kau menghalangi jalanku," bentakku sambil berlalu dengan wajah merah menahan murka oleh sentuhannya.
Ia terpaku.
Fakta bahwa aku masih menyimpan baik dendamku tak bisa kupungkiri. Ada bagian nan jauh di dalam sana yang sengaja tak kubalut agar lukannya jangan mengering.
Sebelum kembali memijakkan kaki di desa ini, aku mati-matian membenci tetesan perih itu, tapi sekarang aku bersyukur setidaknya tetesan itu menjadi mesin pengingat yang menyadarkan aku betapa kejamnya Yusuf dahulu. Ah, lihatlah bahkan menyebut namanya saja membuat ngilu seluru jaringan pembuluh darahku.
Pendar pagi mulai menyengat, hangatnya membelai permukaan kulit lengan. Gamis chiffon bercorak bunga sakura gugur yang aku kenakan melambai mengikuti arah angin. Langit Redan masih sama, biru dan indah. Wangi semilir anginnya pun masih sama, semilir yang memanggil para perantau pulang, sepertiku. Lucunya, aku pulang dan justru mendapati hatiku kembali berbaring lemah dalam lorong pesakitan tak berpintu, tersesat dan betah di sana.
Tidak jauh dari posisiku berpijak seorang petani sedang membersihkan gulma padi berjenis rumput banto. Terlihat cekatan, ia mencabut satu persatu lalu mengumpulkannya berbaris mengikuti jejeran tanaman kacang panjang pada bidang miring pematang. Aku berdoa dalam hati semoga ia tak melihat perdebatan kami.
Yusuf tak lagi mengikutiku, sepertinya dia tersinggung oleh bisa yang dikeluarkan bibirku. Jujur saja aku tidak perduli, aku suka jika ia tersinggung, itu pertanda aku berhasil menyakiti egonya sebagai pria?
Berdebat dengan Yusuf selalu menguras emosi, tidak dulu, tidak sekarang, sama saja. Aku berani bertaruh, jika bertahan lebih lama aku akan meledak. Mana tahu aku khilaf, lalu meraih cangkul yang bersandar pada pohon pisang di simpang jalan yang kulalui tadi, kemudian mencacah badannya menjadi bagian-bagian kecil agar bisa dinikmati tikus sawah. Lihatlah, bagaimana benciku benar-benar telah memekat. Aku bahkan memikirkan cara menyingkirkannya.
"Aling?" tanya ragu-ragu seorang pria dari balik kaca mobil avanza putih yang merayap pelan. Berlahan roda kuda besi itu berhenti berputar. Pengemudinya turun dan berjalan mendekat padaku.
Ia memindai dari ujung rambut sampai ujung kaki ketika sudah berdiri tepat di hadapanku. Aku risih dibuatnya. "Kenapa selama ini, Ling? Kupikir jodohmu bersama Yusuf benar-benar telah selesai," tatapnya tak percaya padaku.
Aku mengingat pria ini. Dia, Fajar sahabat Yusuf. Jenis pria yang mulutnya akan kaku jika sedetik saja tak mengeluarkan kata. "Maaf?" tanyaku menahan kesal.
"Yusuf pasti bahagia, kau akhirnya kembali. Terimakasih Aling. Sahabatku bisa kembali hidup." Antusiasnya tanpa melihat raut mukaku yang berubah masam. "Kau sudah bertemu Lan..."
"Sahabatmu itu tak sedang sekarat, yang aku lihat justru dia sehat walafiat, badannya berisi tidak kurus kerempeng seperti dulu. Jadi apa yang kamu khawatirkan dari dia? Jangan menghubung-hubungkan aku dengan pria yang kamu sebut sahabat itu. Aku tak mengenalnya! Permisi." Potongku sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, berlalu meninggakan dia yang masih tercenung melihat reaksiku.
"Kamu pergi. Bahkan bertahun-tahun tak ada berita. Menghilang begitu saja bagai di telan alam. Kesalahannya tak pantas dapat balas seperti ini, Ling. Kau justru berkali lipat jahatnya di bandingkan Yusuf. Kalau kamu tau apa yang sudah ia lalu selama ini, kamu akan merangkak memohon pengampunan padanya," kalimatnya tak urung menghentikan tungkaiku melangkah.
Fajar tampan seperti Yusuf, sayang ia memiliki mulut mematikan tak ubahnya sianida. Jika Yusuf menjijikan dengan tingkah lakunya maka ia menjijikan dengan mulut tak bersaringnya itu. Tak heran mereka menjadi sahabat. Sama-sama suka menyakiti hati orang lain.
"Seperti yang aku bilang, aku tidak mengenal pria yang kamu sebut namanya tadi. Jadi mana mungkin aku akan merangkak di kakinya? Sangat lucu mendengarkanmu mengatakan hal ini, tapi terimakasih, pagiku yang tadinya tegang kembali sedikit menyenangkan karena leluconmu itu. Hmm...." Aku memberi jeda, menarik-narik kecil payet pada pergelangan gamisku. "Dan kurasa kita tak cukup dekat untuk saling mengingatkan. Assalamualaikum," ucapku berlalu dengan menahan ngilu yang menguasai nadi.
"Kau egois, Ling! Lukamu sudah ia bayar lunas! Kau harus mencari tahu apa yang sudah ia lalui menunggumu kembali!" teriaknya yang kuabaikan.
Mana sudi aku mencari tahu. Katanya lukaku sudah Yusuf bayar lunas. Mengherankan sekali, bagaimana bisa terbayar lunas? Jika pelunasan yang paling sesuai hanyalah kematiannya.
"Berantem?" Kak Alfi menjatuhkan pantatnya pada susunan bambu bulat yang mejadi lantai dari gubuk tempatku melarikan diri setelah cekcok bersama Yusuf."Hm." Dia pura-pura bertanya, padahal tadi jelas dia melihat kami berkelahi."Mau cerita?" Aku menggeleng. Buat apa? Ujung-ujungnya aku juga di paksa mengalah."Kakak?""Apa?" tanyaku menoleh bingung."Yang cerita.""Kalau mau, silahkan. Tapi tidak janji setelah bercerita akan memberikan apresiasi melalui uang banyak. Adikmu pengangguran sekarang. Ceritalah. Tapi gratis," usahaku membangun obrolan sangat payah.Kak Alfi tertawa."Kakak tidak tahu, apa cerita ini sudah ada yang sampaikan padamu, Dek atau belum. Kakak hanya ingin menceritakan menurut versi Kakak." Kak Alfi menoleh tersenyum meminta pemakluman. Aku balas menarik sudut bibir sebagai tanda mempersilahkan."Kebun dan rumah kita dulu tergadai, Dek!" Netraku melebar. Kaget. "Penyakit Mamak butuh uang besar.
Sabar kuhampar tak ujung.Bencinya kutelan bagai bara merapi.Harga diri kutunduk serendah maunya.Harapku di akhir cerita kembali dapati hatinya.Sial...Dia memintaku mati.________________________________Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Kamu tega?Kamu tega?Kamu tega?Isi chat terakhir dari mas Sayhan menari di benakku. Aku mencibir pertanyaannya 'apa aku tega'? Hah, tentu saja! Aku tidak menginginkan bayi ini. Kalau menyingkirkannya dia mau menerimaku, akan kulakukan.Cinta butuh bukti bukan? Akan kubuktikan!Sepertinya aku benar-benar gila. Nuraniku sungguh habis tergilas kesumat bertahun. Bagaimana mungkin bibirku melengkung ke atas membayangkan hancur Yusuf saat kujatuhkan anaknya dari rahimku. Yusuf akan mati. Pasti dia mati!Deheman seseorang menarik kembali dari liar imajinasi. Sosok dalam pikiran muncul. Alis naik sebelah, heran melihat senyumk
Seminggu sudah aku di Redan. Sehari pertama yang kulakukan hanya mengamuk dan mengamuk. Langit sampai diungsikan ke rumah kak Alfi karena dikhawatirkan psikis-nya terganggu.Bagaimana tidak. Belum dua puluh empat jam aku di kampung ini. Kak Syahrin telah mengumpulkan para tetua adat di rumah mamak. Dihadapan seluruh keluargaku, kak Syahrin meminta Yusuf mengucapkan kata rujuk.Sama halnya ketika belahan jiwa kak Syahrin itu melafalkan kalimat kabul hampir empat bulan lepas. Enam hari lalu, lahir batinku juga terguncang maha dahsyat. Bahkan jauh lebih hebat, karena saat barisan kata yang keluar dari mulut Yusuf sampai di penghujung. Bersamaan dengan itu tubuhku kehilangan separuh fungsinya. Aku pingsan.Begitu sadar, aku langsung melompati yusuf. Kembali mengamuk. Kabar gembiranya, waktu itu aku beruntung bisa meninggalkan luka di wajah suami baruku. Lukisan kuku-ku menghias indah pipinya. Jangam lupakan hidungnya yang terkena tinjuku. Darah merah merembes dari s
"Capek?" Yusuf bertanya dari balik kemudi. "Kita bisa istirahat sebentar kalau mau. Bagaimana?"Seseorang menyentuh pundakku yang menghadap jendela. "Punggungmu sakit?" Istri kak Min bertanya. Aku menggeleng. "Lapar?" Kembali kepala bergerak kekanan dan kekiri. "Istirahat sebentar yah? Kita perlu magriban dan makan malam."Kenapa mereka bertanya padaku? Kenapa seolah-olah mereka mencari apapun yang membuatku nyaman. Aku tidak suka. Seharusnya lakukan saja apa kehendak mereka. Berpura-pura baik padaku tidak akan meruntuhkan secuil saja benciku pada keputusan egois mereka.Lagipula aku masih meratapi nasib karirku. Masih menangisi perjalanan kisah cinta kandasku. Apa mereka tidak bisa memberi sedikit saja ruang agar berpikir? Apa mata mereka buta untuk melihat keping-keping jantungku berserakan bersama bulir darah meranaku. Kenapa mereka menjadi sangat kejam. Kenapa?Minggu ba'da Azhar kami meninggalkan Samarinda. Dadaku menyempit menyaksikan kontrakan yang k
Aku sedang termangu menatap Yusuf dan kak Min memasukkan pakaian-pakaianku dalam tas juga koper.Sedari tadi mereka hilir-mudik menggeledah isi kontrakan ini demi mencari apa lagi kebutuhan yang akan aku bawa dan sekiranya bakal aku perlukan saat di Redan nanti.Hari ini terhitung satu minggu aku keluar rumah sakit, dan selama itu pula, tak sekalipun aku bertemu mas Sayhan.Sudah berkali bahkan tidak terhitung berapa jumlahnya jemari menekan tombol memanggil pada ponsel. Nihil, mas Sayhan tak bisa kuhubungi. Nomornya selalu di luar jangkauan,SMSdanchatku tak terkirim.Setiap hari aku menanyakan keberadaannya pada Niko, meneror mantan bawahanku itu melalui handphone layaknya rentenir menagih utang. Namun, semua orang bungkam, tidak hanya Niko, Ditha yang kuanggap keluargapun mengunci bibir rapat.Aku gelisah, setiap waktu terlewati dengan was-was. Otakku buntu untuk berpikir, belum lagi mual bawaan anak Yusuf di perut semakin membu
Kemarin, beberapa ribu jam yang laluKetika hujan masih asin dan air mata masih darahMenjelang dini hari di tepian mahakamMohonnya, tinggalkan lebam biru masalaluPilih dia, kemudian pelangi tanpa suram janji ia persembahkan.Lalu sekarang.... Siapa yang meninggalkan siapa?__________________________Jam menunjukkan pukul 20.00 Wita. Di luar hujan lebat, rintiknya keras memukul atap, berdentam sampai ke telinga. Tempias air mesrah mencumbu jendela, titik-titik beningnya ciptakan aliran panjang sebelum luruh menyentuh ubin.Suara TV dengan volume rendah mengisi ruang perawatan. Bau obat-obatan masih kental terhidu. Gorden-gorden coklat yang memanjat tepi jendela melambai lemah terkena angin Air Conditioner. Sesekali terdengar bunyi brankar di dorong melintasi ruangan.Aku sedang memperhatikan sosok di samping. Wajah rupawan pembuat taman hatiku selalu bermekaran jika memandang, kini diselimuti muram durja. Kemeja hitam polos tadi pagi masih meleka