“Maafin Ayah, Mahe! Daffa!” Aku keluar dari mobil dan berlari-lari menuju ke arah orang berkerumun. Mendengar anak lelaki itu meninggal. Rasanya seluruh duniaku hancur lebur. Senyuman manis Meli yang memabukkan, bahkan terasa menjadi memuakkan. Bukankah gara-gara dia aku menjadi terlambat mencari kedua buah hatiku. Bunyi ambulance meraung kencang. Aku terlambat. Ketiga korban tersebut sudah di evakuasi. “Mahe! Daffa!” Aku seperti orang gila. Berlari-lari mengejar ambulance yang sudah melesat membelah kemacetan.“Mas, Mas! Percuma, kalau lari gak akan ke kejar. Mas keluarga korban?” Seorang tukang ojek dengan jaket berwarna hijau meneriakiku. Aku berhenti mengejar. Kujatuhkan tubuh dan bersedeku di tanah. Rasanya percuma aku sekolah tinggi-tinggi, bahkan kini aku merasa benar-benar gagal menjadi seorang ayah. Sepeda motor dengan lelaki berjaket hijau itu berhenti di sampingku. Tanpa kuduga, dia menyodorkan helm padaku. “Ayo, Mas! Kita kejar ambulance nya. Paling dibawa ke rumah s
Aku berdecak. Sepertinya Meli sengaja hendak kembali menggagalkanku mencari keberadaan Mahendra dan Daffa. “Dengar, Mel! Saya harus cari anak saya! Dia lebih penting dari segalanya bahkan dari kamu! Paham?!” Tanpa terasa, emosi yang meluap tak tertahan. Untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar benci dengan yang namanya perempuan. “M--Mas t--tapi?” Kudengar Meli hendak bicara lagi. Namun, aku lekas mematikan sambungan telepon. Perset*n dengan bibir manisnya kali ini. Apa dia gak tahu aku hampir saja gila membayangkan Mahe dan Daffa yang terkapar di rumah sakit tadi. Andai tadi bukan salah orang? Mungkin aku tak akan pernah memaafkan diriku untuk selamanya. Aku pulang dengan lunglai, di antara rasa kacau yang semakin menjalar. Pintu terbuka dengan lebar, ruangan yang rapi dan bersih menjadi pemandangan yang kulihat. Entah kenapa, makin hari, pemandangan ini terasa membosankan. Aku merindukan remahan biskuit yang bercecer, aku merindu celotehan dua buah hatiku yang biasanya menya
Aku pun turun menghentikan mobil dan mengatur napas. Rasanya berdebar sekali mau ketemu dengan Mahe dan Daffa. Aku merapikan rambut, lantas menyemprot parfum juga pada badan. Aku tak mau, ketika anak-anak kupeluk, dia menjauh karena bau. Namun, baru saja aku hendak turun. Dari arah berlawanan, sebuah mobil Alphard dengan plat nomor yang kukenal tiba-tiba berhenti di depan gerbang. Seorang security jaga lekas-lekas membukakan pintunya. Aku memperhatikannya dengan seksama. Tak salah lagi itu mobilnya Bu Hana. Putri salah satu pemilik saham perusahaan ternama. Lalu, apa ini artinya jika Hana itu benar-benar Hanum? Ataukah Hanum memang bekerja di rumah Hana? Setelah alphard warna putih itu masuk, aku pun lekas melajukan fortunerku dan berhenti di depan gerbang. Lekas mematikan mesin mobil, berjalan keluar dan berdiri di depan gerbang. Seorang security menghampiri. “Selamat siang, Pak!”“Siang!” Aku mengangguk sopan, sementara itu kedua netraku memindai halaman luas yang tampak asri da
Pov Hanum Aku benar-benar tak habis pikir pada isi kepala lelaki seperti Mas Ramdan. Selalu saja menyalahkanku yang katanya gak bisa ngatur rumah, ngurus anak dan diri sendiri. Andai dia tahu, mengurus rumah sebesar itu dan harus menjaga dua anak kembar yang tengah aktif-aktifnya bahkan menyita sebagian besar waktuku.Di otaknya yang ada hanyalah yang capek itu dia karena habis kerja, sedangkan aku? Aku di rumah saja. Semua ini sebetulnya sudah sejak lama, hanya saja entah kenapa enam bulan terakhir ini semakin menjadi saja. Dia pun kerap menyendiri di ruang bawah dan bertelepon dengan entah siapa. Senyumannya lebar dan manis, seperti orang yang sedang jatuh cinta. Ah, andai … andai secuil saja dia berikan senyum itu buatku. Mungkin lelah dan capek setelah seharian pontang-panting mengurus rumah dan anak-anak, sedikit terobati. Aku tak minta banyak hal, tak minta juga diberikan ART. Hanya meminta pengertiannya saja ketika tak semua pekerjaan bisa kuselesaikan. Namun, nyatanya tida
Pov Hanum.Tak terasa aku sudah beberapa hari tinggal di rumah megah ini. Setiap hari dipenuhi rutinitas yang menguras tenaga. Hanya saja, entah kanapa aku terasa ringan menjalanknnya. Selain karena sikap ramah Bu Pramesti, mungkin bisa dikatakan jika pekerjaanku sekarang adalah pelarian diri dari masalah yang menyita energi dan pikiran. Pagi itu, aku baru selesai menyiapkan sarapan ketika kulihat wanita paruh baya itu tengah duduk di ruang tengah dan tengah membersihkan wajahnya. Pantas saja, setua ini mukanya tetap mengkilap dan kulitnya tampak bersih dan kenyal. Rupanya dia memang rutin melakukan perawatan. “Bu, sarapannya sudah siap.” Aku menghampirinya sambil membawa alat pembersih kaca. Hendak kubersihkan kaca yang ada di depan. “Hanum, sini!” Bu Pramesti menepuk sofa yang masih kosong. Aku menatapnya dan menautkan alis. “Iya, Bu? Ada apa?” tanyaku. “Ibu lihat, kamu jarang sekali merawat wajah. Padahal ‘kan kerjaan rumah juga ada beresnya.” Baru saja dia menutup cream skinc
Pov Hanum “Nah itu Mbak Hana datang!” Mas Rega tampak sumringah. Aku ikut-ikutan menoleh pada pintu mobil bagian depan yang terbuka. Seketika netraku membulat menatap sosok cantik yang turun dari balik kemudi. Bukan karena wajahnya yang glazed, bukan pula karena tas brandednya yang dia tenteng atau karena gamisnya yang terlihat mahal. Namun, aku seolah melihat wajahku dalam versi lainnya. Pantas saja Mas Rega mengira aku Mbak Hana. Kenapa bisa, aku dan dia begitu serupa? Bedanya dia cantik dan aku kumal, itu saja. “Hay, Ga! Dari tadi!” Yang pertama disapanya adalah Rega. “Hay juga, Mbak. Duh makin ngefans saja jadinya gue, ya ampuuun … punya Mbak bening kek gini, dah!” Rega langsung mengusap wajah dan menghela napas. Hana tampak terkekeh dan mendekat. “Biasa aja kali, Ga. Ya kali kita mau branding terkait skincare, terus diri kita gak mewakilinya. Bisa-bisa dihujat pasar, Ga.” Dia ikut duduk dan menemani kami. “Mbak Hanum, ya?” Dia melirik ke arahku. Inilah pertama kalinya kam
Bab 15 - Pov Hanum Beberapa hari berlalu dari kejadian itu. Namun, tak ada yang berubah. Kenyataan baru itu masih tetap sama. Bu Pramesti menyatakan kalau aku adalah putrinya yang hilang. Bahkan, esok hari, katanya seorang ART baru sudah didatangkan kembali dari yayasan. “Bu, katanya esok mau ada ART baru dari yayasan, ya? Lantas kerjaan saya gimana?” Sore itu, aku membawakan teh kamomil kesukaan Bu Pramesti. Sudah hapal lagi kebiasaannya jika setiap sore dia akan duduk di teras sambil menikmati kudapan ringan dan segelas teh beraroma kamomil. Dia bilang, teh herbal ini menjadi teman yang wajib. Semenjak mendiang suaminya berpulang dalam kecelakaan tragis di mana mobilnya rem blong dan akhirnya jatuh ke tebing. Menanti bayi Hana yang masuk ruang ICU terselamatkan dan mencari bayi Hanum yang tak kunjung ditemukan. Aroma daun teh herbal itulah yang menemaninya menghabiskan hari dalam penantian. Kata Bu Pramesti, aroma daun teh itu bisa mengatasi kecemasan dan sebagai terapi susah ti
Pov Ramdan Selamat Membaca! “Mahe … Daffa … kalian di mana, Nak?” Tiba-tiba ada yang merembes dari sudut mataku. Kecemasan serupa muncul mendengar penjelasan Ibu. Kenapa kini jadi kusut semrawut seperti ini kehidupanku?Mendengar kabar dari Ibu terkait Mahe dan Daffa yang kemungkinan diculik, aku urung beristirahat. Aku bangkit menuju kamar mandi lalu mencuci wajah. Sejuknya air sedikit mengusir rasa lelah. Kuraih kunci mobil dan melaju menuju rumah Ibu. Sekaligus aku akan membawanya ke dokter agar sakitnya tak tambah parah. Tiba di rumah Ibu, aku disambut Risna yang tampak panik. Ibu muntah-muntah terus dan gak masuk makanan. Aku bergegas menuju ke dalam kamar. Tampak wajahnya pucat dan lemas. “Dan, Cucu Ibu mana, Dan?” Suaranya lirih, lemah dan tampak sekali wajahnya penuh kelelahan. “Aku sudah cari, Bu. Jejak Hanum sudah ditemukan. Dia kerja di rumah orang kaya jadi pembantu, Bu. Aku akan -,” Belum sempat aku menuntaskan kalimat ku, Ibu memotongnya dan tampaknya dia kaget. “