Share

Bab 7

“T--tapi, Mas. Aku gak mau pergi. Aku mau, kamu tanggung jawab sama apa yang sudah kamu lakukan malam tadi!” pekiknya seraya menepis tanganku. Ya Tuhaaan! Hampir pecah kepalaku jadinya sekarang.

“Kita pergi dulu, ya! Aku gak mau ada keributan di sini. Masalah itu, kita urus nanti.” Aku mengisyaratkan agar Meli nurut. Dia tampak menghela napas panjang. Beruntungnya dia tak keras kepala, lalu mengangguk dan menuruti apa yang kukatakan.

Aku menatap Ibu ketika Meli pergi ke kamar.

“Aku akan ajak dia pergi, Bu. Tadi malam ada insiden. Pulang kerja nanti aku ceritakan.” Aku berucap sambil menunduk. Enggan menatap wajah Ibu yang diliputi kemarahan.

Namun tiba-tiba Ibu terduduk dan menangkup wajah. Aku yang kaget lekas membangunkan tubuhnya.

“Bu, jangan nangis.”

“Hanum ke mana, Dan? Gimana nasib Mahe sama Daffa? Kamu kenapa gak cari mereka?” Ibu terisak.

“Maafin aku, Bu. Hanum suka bikin gara-gara terus, sih. Aku jadinya kelepasan. Nanti aku cari lagi. Kemarin aku seharian sampai malam cari dia, tapi gak ketemu. Aku akan merujuknya.”

“A—Apa? J—jadi k—kamu ceraikan menantu Ibu?” Kedua bola mata itu menatapku tajam.

“Maaf, Bu. Hanum itu selalu bikin aku kesal. Aku kelepasan. Nanti aku jemput dia. Pasti dia mau pulang lagi. Secara dia kan yatim piatu, mana ada tempat dia untuk bernaung kalau bukan di rumah ini. Aku yakin, dia akan mau aku rujuk.” Aku mencoba meyakinkan Ibu. Berdasarkan analisaku, Hanum pasti mau. Dia gak kerja, gak punya pemasukan, lalu pergi bawa dua anak kembar kami yang sedang aktif-aktifnya. Pasti dia akan mempertimbangkanku lagi.

“Cepet cari mereka, Dan. Ibu gak mau cucu mantu Ibu kenapa-kenapa.” Ibu mengusap air matanya.

“Mas, ayo!” Kudengar suara Meli.

Aku menoleh pada Ibu. Lekas kucium tangannya dan berpamitan.

“Aku pergi dulu, Bu.”

Dia tak menjawab hanya memandang ke arah Meli dengan tampak kesal. Aku yang merasa iba pada Meli lekas menarik tangannya agar segera keluar dari rumah ini.

“Maaf, ya, Mel. Gak tahu, kenapa Ibu tiba-tiba ke sini.” Aku meminta maaf padanya.

“Gak apa, Mas.” Hanya itu yang dia jawab.

Kami bersama melaju menuju kantor. Satu mobil dengan Meli dan melihat wajahnya tampak murung membuatku tak tega. Lekas aku memutarkan music yang ritmenya cepat agar bisa memperbaiki mood Meli. Sedikit banyak, aku masih ingat tentangnya dan kebiasaannya. Termasuk dia suka mendengarkan music dengan ritme cepat ketika tengah bad mood.

“Makasih, Mas.” Dia seperti paham dan mengulas senyum padaku.

Pakaian Meli disimpan dalam bagasiku. Hari ini kami lewati dengan baik. Kesibukan membuat kami lupa pada apa yang terjadi semalam.

“Mel, pulang nanti bisa kan cari kosan sendiri? Mas harus cari Hanum. Ibu sudah marah-marah.” Aku menatapnya.

“Iya, Mas. Sudah dapat info dari temen. Nanti sekalian lewat saja anter ke sana. Memang mau cari Mbak Hanum ke mana, Mas?” Dia menatapku.

“Mungkin coba ke panti asuhan. Dulu sebelum diangkat anak oleh Paman dan Bibi, dia tinggal di sana. Hanya saja lokasinya berada di luar kota. Jadi harus cepat-cepat. Tiga jam saja sih dari sini kalau gak macet. Ya, kalau macet lain cerita. Bisa lima jam,” tukasku.

Hatiku mengatakan kalau Hanum ada di sana. Namun Meli menatapku dengan pandangan nanar.

“Mas, kalau kamu cari lagi Mbak Hanum, gimana nasib aku?” tanyanya.

Aku terdiam, kuhembuskan napas kasar. Kutatap wajah cantik itu lekat-lekat.

“Kita gak ngapa-ngapain, Mel. Kamu gak akan hamil.” Aku menatap wajahnya yang tampak mendung.

“Kamu bisa yakin kayak gitu, sih, Mas? Kamu sendiri saja gak sadar. Apa kamu gak kasihan sama aku, Mas?” Dia memelas.

“Sudah, sudah! Nanti aku pikirkan lagi, ya! Namun, aku harus tetap cari Hanum. Dia bawa anak-anakku soalnya.”

Meli beranjak pergi. Dia tak memaksakan lagi kehendaknya. Aku harap dia paham. Tak semudah itu juga aku menikahinya walau memang sudah kelepasan mengucap kata talak pada Hanum.

Pulang jam kerja, aku mengantar Meli. Rupanya cepat juga dia mendapatkan kosan. Lantas aku berpamitan padanya.

Mobil yang kutumpangi langsung membelah keramaian kota Bekasi. Cianjur menjadi tujuanku kali ini. Sebuah panti asuhan di mana dulu Hanum diambil oleh Paman dan Bibi.

Aku sudah mengajukan cuti, Rasanya aku akan menginap di sana. Sebelum ke Cianjur, aku sudah menelpon Ibu. Dia harus ikut. Hanum hanya takluk pada Ibu. Andai aku pergi sendiri, mungkin walaupun ada, dia tak akan mau menemuiku.

Ba’da maghrib kami berangkat. Risna tampak tak suka aku mencari keberadaan Hanum. Dia selalu mendukung Meli dan menjudge kalau Hanum adalah pelakor. Karena keberadaannya, aku dan Meli tak jadi menuju ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan.

Ya, aku tahu. Dia sudah sahabatan lama dengan Meli. Karena itu juga, Hanum gak betah tinggal di rumah Ibu karena Risna selalu bersikap judes padanya.

Perjalanan tiga jam kami lalui dengan selamat. Sekitar pukul sepuluh malam, kami tiba di depan sebuah rumah bercat putih. Gerbang berwarna biru yang tampak catnya sudah pudar sudah tertutup rapat. Rumah itu tampak sepi karena sudah waktu tidur semua pastinya.

“Bu, sudah pada tidur, gimana?” Aku melirik pada perempuan berusia sekitar lima puluh tahun yang merebahkan tubuhnya pada jok di sampingku.

“Sudah, nunggu saja di sini. Ibu bisa tidur di mobil. Nyari saja tempat parkir yang aman.”

Akhirnya aku setuju saran Ibu. Hanum, benar-benar merepotkan.

Keesokan harinya aku terbangun dengan tubuh terasa pegal. Tidur di jok mobil benar-benar tak nyaman. Andai lokasinya agak kota, mungkin sudah kucari penginapan. Namun, sayang, di sini kampung.

Pagi-pagi, Ibu sudah minta melajukan kembali mobil ke rumah panti tersebut. Benar saja, pintu pagar sudah terbuka. Tampak anak-anak berlarian pulang dari masjid yang lokasinya gak jauh dari sana. Dalam remang, kulihat sosok yang tak asing tengah menyapu halaman. Senyum pada bibirku mengembang. Lekas aku turun dan menghampirinya.

“Assalamuálaikum, Hanum!” sapaku pada perempuan yang dikerubuti anak kecil itu.

“Waálaikumsalam!” Aku sudah tersenyum senang. Tak salah lagi, itu adalah Hanum. Namun, ternyata bukan. Hanya postur tubuhnya saja yang mirip. Dia bukan Hanum. Dia orang lain. Mungkin otakku sudah gila, semua orang yang kutemui jadi mirip Hanum.

Aku pun bertanya padanya. Dia ternyata pekerja di panti asuhan tersebut. Dia membenarkan jika Hanum sempat datang, tetapi karena kondisi panti sedang kesulitan. Dia pun pergi lagi.

Aku menatap Ibu, dia bersandar lemas pada tepian gerbang. Rasa sesal kian melonjak. Apalagi Ibu yang sudah nangis-nangis terus memikirkan kondisi dua cucunya. Semua ini membuat kepalaku terasa hampir meledak.

“Kalau boleh tahu, ke mana katanya dia mau perginya, Bu?” tanyaku lagi pada perempuan itu.

“Kebetulan, kemarin ada dari orang yayasan pembantu memang sedang cari orang yang mau kerja. Hanum ada saya kasih alamatnya. Mungkin dia ke sana, Mas.”

“Boleh saya minta alamatnya, Bu?” tanyaku. Perempuan itu mengangguk, lalu sebuah kartu nama pun diberikan padaku.

“Jakarta?” Aku menatap sederet alamat itu. Lekas aku mengajak Ibu pulang kembali. Biar siang nanti aku sendiri yang mencarinya ke sana. Gila, masa dia mau bawa anak-anakku jadi pembantu. Ibu macam apa sih, dia?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yani Sugiani
bagus banget ceritanya
goodnovel comment avatar
Nur Hanif
cukup bagus buat bacaan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status