Share

Bab 8

***

Setelah nasihat panjang lebar dari Raina sore itu Arjuna masih belum tau mau bertindak seperti apa. Lia sudah dia hubungi berkali-kali tapi selalu di tolak. Setiap sosial media Arjuna bahkan diblokir oleh cewek itu. Juna sudah minta bantuan dari Ecan dan Saka namun keduanya bilang tidak bisa membantu. Itu titah Lia katanya. 

Dan malam ini langit jakarta sangat suram. Bukan suram karena mendung namun polusi dan suasana hati Juna yang sedang kacau. 

"Teh? Teteh?" teriak Arjuna dari pintu depan. Yang dipanggil muncul beberapa menit setelahnya. 

"Apa?" jawab sang empunya rumah. Namun tanpa dipersilahkan Arjuna melenggang masuk begitu saja. Kalo sudah di apartement Teh Aya, Juna tuh kadang lupa sama sopan santun. 

"Teh, mau curhat." 

"Kenapa lagi sama Lia?" 

"Dia minta break. Aku harus gimana?" jawab Arjuna sambil nyomot toples keripik tempe. Teh Aya duduk disebelahnya, mengambil toples berisi keripik singkong dan dengan apik keduanya larut dalam perbincangan. Berteman lagu galau dari ponsel Arjuna. 

Sepertinya banyak yang bingung kenapa Arjuna bisa begitu dekat dengan Teh Aya. Semua dimulai saat Arjuna terlibat masalah di sekolahnya. Biasa, karena Arjuna termasuk jancuk kesayangan sekolah maka kejahatan tentu saja seputar tawuran antar SMA. Sembunyi dibalik kata membela sekolah makanya anak-anak sampai berani tawuran sambil membawa gir dan balok kayu. 

Hari itu suasana chaos banget. Ada polisi yang membubarkan kerumunan pelajar tawuran lantas menangkap mereka satu persatu. Arjuna sedang tidak bawa motor jadi cuma bisa lari terbirit-birit menghindari kejaran polisi. Namun saat itu bak pahlawan Teh Aya melambatkan laju mobilnya. Menurunkan kaca mobil kemudian menyuruh Arjuna untuk naik ke mobilnya. Arjuna selamat dari kejaran polisi namun tak menjamin dia selamat dari introgasi. Belum lagi jika Teh Aya cerita ke Bang Banyu. Bisa tamat riwayatnya. Namun dengan negosiasi panjang nan melelahkan Arjuna bisa aman dari amukan bang Banyu atau Kak Lino dan Mas Abim. Namun gantinya, Arjuna harus terbuka tentang banyak hal pada Teh Aya. Awalnya Arjuna ragu, namun karena tahu bahwa Teh Aya adalah mahasiswi jurusan Psikologi makanya Arjuna oke oke aja. Itung-itung konsultasi gratis. Katanya, Teh Aya bukan mau tau soal kehidupan Arjuna. Hanya ingin tau untuk alasan apa cowok bisa berbeda dari bang Banyu atau Kak Lino yang sudah dikenal sangat dekat oleh Teh Aya. 

"Jadi, Raina ngasih nasihat apa?" tanya Teh Aya setelah Arjuna menjelaskan banyak hal soal hubungannya dengan Lia. 

"Kok jadi tanya Raina, Teh?" 

"Karena sejauh ini kamu selalu dengerin kata Raina daripada kata Lia." Teh Aya mengambil alih toples keripik tempe Arjuna kemudian menggantinya dengan toples berisi keripik singkong. "Dan Raina anak Psikologi juga, kan? Siapa tau nasihat dia bakal sama kayak nasihat teteh." 

Arjuna malah memikirkan kata-kata teh Aya. Apa Arjuna hanya  selalu mengikuti setiap kata Raina? Bukan Lia?

"Teteh setuju sama apa kata Raina." Ucap Teh Aya ketika Arjuna selesai dengan ceritanya. 

"Tapi Juna belum paham." 

"Manusia itu teka-teki. Semacam puzzle gitu. Kamu perlu banyak potongan supaya tau gambar sebenarnya. Sayangnya cuma kamu yang punya potongan kamu sendiri atau Lia yang punya potongannya sendiri. Kalian nggak pernah mau bertukar potongan puzzle." Teh Aya menyuapi Arjuna dengan keripik tempe. Dan dengan enteng mulut itu terbuka. "Sama kayak gini, Dek. Teteh punya ketipik tempe, kamu punya keripik singkong. Masing masing dari kita nggak akan pernah tau rasa milik orang lain kalo kamu nggak pernah mau berbagi." 

"Fix, Juna makin goblok. Sederhananya aja, Teh." 

Teh Aya malah menonyor kepala Arjuna. 

"Makanya ini otak dipake. Mikir bentaran aja nggak mau." 

"Teh Aya, bang Banyu nggak Mas Abim, hobi banget nonyor jidat. Kalo otak Juna geser, siapa mau tanggung jawab?" 

""Enggak bakal. Justru kalo sering di tonyor otak kamu bakal pindah ke tempatnya." Arjuna terdiam dengan kalimat Teh Aya. Seperti deja vu. Seolah seorang pernah berkata begitu sebelumnya. 

"Intinya gini, Arjuna. Kalo kamu mau tau banyak soal Lia, seenggaknya ijinkan dia tau banyak soal kamu juga. Kalo kamu pengen Lia paham keadaan kamu, seenggaknya kamu juga harus paham tentang Lia juga. Feedback, dek. Itu intinya." Teh Aya menyuapi Arjuna dengan keripik tempe sekali lagi. "Tapi teteh tau kamu nggak mau mikir kamu mau apain Lia sekarang. Iya, kan?" 

"Teh Aya tuh paling tau Juna, sumpah." 

"Untuk itu teteh nggak tau. Coba kamu pikir dengan otak kamu yang seadanya." 

Arjuna terdiam setelah menguyah keripik tempe yang disuapi teh Aya tadi. Kemudian memilih untuk menyandarkan tubuh pada bantalan sofa. Saatnya menggunakan otak Arjuna yang seadanya. 

Disaat seperti ini Arjuna jadi kangen Kak Lino. Dulu ketika kak Lino ada masalah dengan cewek, Arjuna datang menasihati. Namun kali ini, rasanya nasihat yang sering Arjuna lontarkan dulu ikutan musnah. Arjuna kembali menjadi awam.

***

"Lo mau nginep kos gue lagi?" tanya Saka saat keduanya keluar dari Starbucks. 

"Boleh?"

"Enggak. Lo harus pulang. Selesain apa yang jadi masalah lo." Saka melenggang enteng menuju motornya dan Raina hanya mengikuti. "Naik, gue anterin." 

"Nggak usah. Gue balik sendiri." 

"Rai?" Saka yang tadinya sudah naik ke motornya tiba tiba turun dan berjalan mendekatinya. Raina menunduk. Pasti Saka akan marah padanya. "Nyokap lo telfon gue." 

Oh, ternyata Saka tidak marah. 

"Dia khawatir. Dia minta lo buat pulang." 

"Bullshit. Jangan percaya sama apa yang dia bilang." Raina mendongak. Menatap wajah Saka yang lebih tinggi dari dirinya. 

"Raiinaaaa!" teriak seseorang. Raina yang merasa terpanggil menoleh kesana kemari kemudian mendapati Ecan yang sudah berjalan kearahnya. "Kalian disini juga. Mau masuk?" 

"Enggak. Gue udah mau balik. Lo kesini sama siapa?" Raina menjawab dengan tenang. Melupakan ketegangannya dengan Saka baru saja.

"Sama Lia. Sejak break sama Arjuna, gue jadi babu dia sekarang." Ecan menjawab lirih. 

Raina malah tertawa. Kemudian di detik berikutnya cewek itu memilih pamit. Saka ingin tinggal, entah untuk urusan apa. Raina tak peduli.

Di jalanan malam yang dingin. Langit tak berbintang dan bulan yang enggan menemani. Raina berjalan di trotoar jalan dengan lamunannya. 

Mama khawatir katanya. Cih, sejak kapan kata khawatir terselip diantara hubungannya dengan Mama. Selama ini Raina tak pernah tau jalan pikiran kedua orang tuanya. Mereka selalu bertengkar setiap bertemu, mendebatkan sesuatu yang begitu menggelikan. Mendebatkan Raina katanya. Persetan dengan kata itu. Karena faktanya Raina hanya kedok untuk kemarahan mereka. 

Entah sudah berapa lama Raina berjalan. Jalan yang tadinya ramai berubah menyepi. Lalu lalang kendaraan seolah lenyap atau hanya Raina yang berjalan terlalu jauh. 

Raina menoleh kesana kemari. Hanya ada kemuning lampu jalan. Sesekali kendaraan lewat cukup cepat. Memberi silau sesaat lantas gelap setelahnya.

Tiba-tiba Raina merasa sesak. Sepi selalu membuatnya takut. Gelap dan sendiri tak pernah bisa akrab dengan dirinya meski setiap hari kata itu terus menghantui. Raina takut. Ia takut akan gelap, sorot tajam kendaraan yang tidak berpihak padanya dan sepoi angin yang menambah aura kelam. Raina benci hidupnya. Benci takdir yang selalu bermain sangat apik diatas garis hidupnya. 

Sepi membuat Raina leluasa menjerit. Ah, ini saatnya sumpah serapah yang ia pendam sejak kemarin akhirnya keluar. Lantas Raina menangis, dengan keras ditemani makian. Raina muak dengan hidup, dengan keluarganya, dengan nasibnya yang tak pernah baik-baik saja.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status