Jam dinding di sebuah kamar menunjukkan pukul 10 malam ketika terdengar teriakan, "Nisa! Pergi ke Alfamart depan dan belikan aku mie instan!"
Seorang wanita setengah baya, membuka pintu kamar Anisa dan melemparkan uang kertas 5 ribu rupiah.
Dia kembali lagi dan melemparkan uang kertas 2 ribu rupiah, "Sekalian belikan adikmu susu saset di sana!"
Dengan lemas, Anisa yang memang sedang hamil tua berkata, "Ibu, sebentar... Ini sudah terlalu malam Bu, lagian di luar juga hujan. Kata Bidan, Ibu hamil tidak boleh keluar malam apalagi hujan-hujanan."
Wanita setengah baya itu bernama Minah, dan dia adalah Ibu dari suami Anisa, Tegar.
Mendengar yang dikatakan Anisa, Minah berbalik dan menatap tajam padanya. "Hei, Nisa. Dengar, bukan cuma kau yang pernah hamil! Jangan karena hamil kau jadi punya alasan untuk bermalas-malasan, ya! Sudah, sana berangkat! Aku sudah lapar dan adikmu juga sudah gak sabar mau minum susu. Jangan kelamaan, nanti keburu dia tidur."
Setelah mengatakan itu, Minah langsung pergi tanpa peduli dengan kondisi Anisa yang lemah karena sedang hamil tua.
Anisa, akhirnya hanya bisa menuruti permintaan Ibu mertuanya, karena dia tidak punya pilihan lain.
Dia pernah menunda perintah Ibu mertuanya itu, namun berakhir dengan dia hampir saja diusir dari rumahnya.
Itu adalah kejadian saat Anisa tinggal di rumah ini selama kurang lebih satu bulan. Hanya karena dia menunda mencuci baju milik adik iparnya, dia dimarahi habis-habisan. Bahkan pakaiannya sudah dilempar ke jalanan, dan dia hampir ditendang.
Saat itu, Tegar juga tidak membelanya sama sekali, dan malah menyalahkannya.
Jika bukan karena sedang hamil dan telah diusir oleh keluarganya, Anisa pasti sudah pergi sejak lama dari rumah ini. Karena selama dia tinggal di sini, dia tidak pernah diperlakukan seperti seharusnya seorang menantu. Dia lebih dianggap seperti pembantu, yang harus menuruti setiap perintah mereka.
Menarik nafas dalam-dalam, Anisa perlahan turun dari ranjangnya. Dia kemudian mengambil uang kertas yang saat itu tergeletak di lantai.
Anisa mengelus perut buncitnya dan bergumam, "Nak, kamulah yang membuat Ibu kuat tinggal di rumah yang seperti neraka ini. Kamu sehat-sehat di sana ya. Ibu akan lakukan apapun untukmu."
Setelah Anisa mengatakan itu dan seolah mengerti, bayi yang ada di dalam kandungan itu menendang-nendang dari dalam.
Dengan mata berkaca-kaca, Anisa tersenyum. "Ya, sayang. Kamu adalah harta paling berharga yang Ibu punya. Ibu akan menjagamu dengan baik."
Anisa keluar dari kamar dengan langkah yang berat, karena cukup sulit untuknya berjalan dengan keadaan perut besar seperti sekarang. Meski begitu, dia tidak punya pilihan lain selain tetap melakukannya.
Mengambil payung hitam di teras rumah, Anisa langsung menerobos hujan deras yang disertai kilat menyambar, di atas langit Kota Kendal.
Untung saat itu jalanan cukup sepi, jadi dia bisa segera menyeberang jalan tanpa harus menunggu terlalu lama.
Setelah mengambil mie instan dan susu saset pesanan Minah, Anisa pergi ke kasir.
"Jadi berapa?" tanyanya.
"Totalnya menjadi Rp 6.500, Mbak," jawab kasir dengan ramah.
Anisa menyerahkan uang kepada kasir dan menerima kembalian.
Saat bersiap untuk menyeberangi jalan lagi, Anisa melihat pemandangan yang luar biasa di depan rumahnya.
Ada seorang pria dan wanita baru saja turun dari mobil sedan berwarna hitam.
Pemandangan itu masih biasa, sebelum dia melihat pria dan wanita itu berciuman di sebelah mobil sedan, atau lebih tepatnya di teras rumahnya.
Dan tentu saja, pria itu adalah Tegar, suaminya. Sementara untuk wanitanya, Anisa benar-benar tidak kenal.
Dengan langkah buru-buru dan air mata yang sudah tidak bisa terbendung lagi, Anisa berlari tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Tegar!" Dia berteriak dalam larinya.
Tegar yang terkejut dengan teriakan Anisa, segera berbalik ke arahnya.
Saat itu, ada sebuah truk melaju dengan cepat. Tegar yang menyadarinya, segera memperingatkan Anisa, "Tunggu Nisa, berhenti di sana!"
Tidak memperdulikan peringatan Tegar, Anisa terus berlari hingga dia tersandung dan terjatuh di tengah jalan. Truk yang sedang melaju langsung menginjak rem dengan keras, namun terlambat untuk menghindari Anisa.
Truk itu akhirnya menabrak Anisa dengan kecelakaan yang mengerikan. Tubuh Anisa terpental beberapa meter menjauh, meninggalkan genangan darah di jalanan yang bercampur dengan air hujan.
"Nisa...!"
Tegar langsung berlari ke tempat Anisa, disusul wanita yang baru saja berciuman dengannya itu.
Mengangkat tubuh Anisa, Tegar berbalik menatap wanita itu, "Tolong, bantu aku membawanya ke rumah sakit!"
Wanita itu menjawab cepat, "Baik, ayo bawa masuk ke mobilku!"
Tegar segera berlari membawa tubuh Anisa yang tak sadarkan diri ke mobil wanita itu, sebelum membawanya ke rumah sakit.
Sampai di depan rumah sakit, Tegar membuka pintu mobil dengan cepat dan mengeluarkan tubuh Anisa. "Tolong, tolong cepat! Ada korban kecelakaan!" teriaknya begitu keras sehingga membuat beberapa perawat langsung keluar.
"Ayo, bawa ke ranjang dan segera masukan ke ruang gawat darurat!" perintah seorang dokter senior yang turut membantu saat itu.
Tegar dibantu beberapa perawat membawa tubuh Anisa ke sebuah ranjang rumah sakit, sebelum mendorongnya ke ruang gawat darurat.
Sampai di depan ruang gawat darurat, salah seorang perawat menghentikannya, "Tolong tunggu di sini, kami akan mencoba melakukan segala yang kami bisa untuk menyelamatkan nyawanya."
"Tolong... Tolong selamatkan bayinya juga, ah sial... Sebentar lagi dia melahirkan anakku! Tolong selamatkan anakku!" Tegar terlihat putus asa.
Perawat itu terlihat mengerti dan mengangguk, "Kami akan melakukan sebisa kami, anda tunggu dan berdo'alah untuk keselamatan Ibu dan bayinya."
Setelah mengatakan itu, perawat masuk ke ruang gawat darurat. Sementara Tegar menunggu di depan ruangan dengan tangan yang gemetar, penuh kekhawatiran.
"Sial! Apa yang sebenarnya dipikirkan wanita itu? Kenapa dia pergi keluar malam-malam begini dan di tengah hujan juga?" Tegar jelas menyalahkan Anisa.
Karena dia sebenarnya tidak menghawatirkan istrinya itu. Tegar lebih menghawatirkan bayi yang ada di dalam kandungannya.
Tegar berjalan ke sana ke mari dengan emosi yang sulit untuk diungkapkan. Wanita yang tadi berciuman dengannya hanya bisa diam, dan tidak mengganggunya.
Beberapa jam berlalu, detik demi detik terasa seperti sebuah zaman yang tak kunjung usai bagi Tegar.
Beberapa kali dia mencoba mengintip ke dalam ruang gawat darurat. Ingin mengetahui perkembangan kondisi Anisa dan bayinya.
Ketika pintu ruang gawat darurat terbuka dan dokter keluar, Tegar langsung mendekat dan bertanya, "Dok, bagaimana? Bagaimana dengan anakku?"
Dokter itu menghela nafas dan menjawab, "Dalam kecelakaan ini, pasien mengalami pendarahan yang cukup serius. Kami telah menghubungi dokter bedah dan dokter kandungan. Semoga mereka bisa secepatnya sampai di sini."
"Dok, tolong selamatkan anakku! Yang paling penting anakku, Dok. Anakku adalah segalanya, dia harus di selamatkan!"
Minah menjawab, "Sudah sebulan yang lalu. Ya, aku lupa mau memberitahu kamu. Kamunya juga sangat sibuk, jadi mana sempat aku bicara ke kamu. Lagian, aku tidak pernah berpikir semuanya akan jadi seperti ini. Aku tidak pernah berpikir kalau wanita itu akan seberani itu menuntut harta gono-gini padamu. Aku juga tidak mengira, kalau wanita itu akan bisa membayar seseorang pengacara besar seperti Pak Erickson. Melihat kondisinya, untuk membayar pengacara biasa saja sepertinya mustahil. Tapi bagaimana bisa dia tiba-tiba punya uang untuk membayar pengacara besar seperti Pak Erickson?"Hana yang dari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara, "Eh Kak Tegar, benarkah yang Kakak katakan? Si jalang itu membayar Pak Erickson sebesar 30 miliar hanya untuk menyelesaikan kasus perceraian ini? Lalu apa Kak Tegar percaya begitu saja?"Tegar menatap Hana, "Apa maksudmu?"Hana menghela nafas dan mulai menjelaskan, "Ya, secara... Seperti yang Ibu bilang barusan. Kita semua di sini tau kon
Anisa dan Safak mengangkat kepalanya bersamaan dan menatap Dilla. "Ya, ada apa?" tanya Anisa."Barusan Nona Widia sudah mengirim pesan, beliau menunggu saya di luar, jadi saya mau pamit pulang dulu sama Jihan," ujar Dilla.Anisa cukup terkejut mendengar yang dikatakan Dilla, "Apa? Widia sudah di luar?" Dia berdiri, "Di mana dia sekarang? Aku mau ketemu dia sebentar."Sementara itu, Safak hanya berpikir, 'Ohh, jadi anak itu sudah di luar? Ha ha... Dasar, tau juga kalau Kakaknya lagi pengen berduaan, jadi dia gak datang buat ganggu!'"Em, Nona Widia bilang, beliau tidak mau mengganggu pekerjaan anda, makanya beliau tidak masuk. Beliau juga meminta pada saya untuk menyampaikan pesan," jelas Dilla."Pesan? Pesan apa itu?" tanya Anisa."Beliau berpesan agar anda tetap melanjutkan pekerjaan Anda saja. Nona Widia tidak mau mengganggu pekerjaan Anda
Dengan perlahan, Anisa menatap Safak, matanya penuh dengan keraguan. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil sepotong makanan dan mencicipinya. Rasa makanan yang lezat langsung menyapa lidahnya, membuat Anisa tidak bisa mengangkat kedua alisnya, "Ini... Ini... Ini enak sekali! Bagaimana ada makanan seenak ini?"Safak merasa sangat puas dengan reaksi Anisa, dan dia tersenyum. "Lihat kan? Sudah kubilang, makanan ini sangar enak. Aku tidak mungkin ajak kamu makan di tempat yang asal. Aku pasti mencarikan yang terbaik buatmu."Menghembuskan nafasnya, Anisa membalas, "Hemm, mulai... mulai... dengar ya Safak, aku memaafkanmu hanya demi teman-temanku. Karena sebenarnya aku belum benar-benar memaafkan kamu. Jadi, jangan gombal-gombal gitu. Gak bakal ngaruh buat aku."Safak tersenyum kecut, "Iya deh iya. Terserah kamu, mau itu demi teman kamu atau demi siapapun. Yang penting sekarang, kita makan dulu. Kamu harus mengisi k
Anisa terdiam sejenak, matanya menatap Safak dengan penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, dia tersenyum kecut dan menghela nafas panjang. "Baiklah, aku maafkan kamu, Safak. Kita bisa makan siang bersama."Safak tersenyum lega, "Terimakasih, Nisa. Ayo, mari kita makan bersama-sama."Semua orang bersorak, "Yeay!"Safak lalu memberikan kode lewat kepalanya pada para pelayan, untuk meletakkan satu persatu makanan di tangan mereka ke meja kargembira. Dan para pelayan segera melakukan seperti yang diperintahkan. Dan mereka juga segera pergi begitu makanan sudah diletakkan di meja."Kita akan menikmati makanan yang seumur hidup tidak mungkin bisa kita nikmati!" ucap salah satu staff bernada sangat gembira.Staff lain menyahut, "Kita harus berterimakasih pada Anisa. Bagaimanapun ini berkat dia. Jika dia tidak mengenal Pak Safak dengan baik, huh kita ti
Orang itu menjawab, "Ya, siapa tau kan? Siapa tau...""Cukup! Tidak ada siapa tau siapa tau. Lebih baik kau diam, jika masih ingin bertahan bekerja di sini!" potong rekan kerjanya yang sebelumnya sambil melotot.Sementara itu, Safak dan semua orang yang dibawanya masih dengan sabar menunggu Anisa di luar ruangan tempat Anisa, Dilla, dan Jihan berada. Cukup lama untuk orang-orang itu menunggu, sebelum akhirnya Anisa keluar sendirian dari sana. Dan dia benar-benar terkejut saat melihat deretan pelayan yang membawa makanan di tangan mereka."Apa ini? Mereka... Mereka benar-benar mengantar semua makanannya?" tanya Anisa, sebelum menatap Safak.Safak tersenyum, "Tentu saja, mereka harus mengantarnya. Jika tidak, kita tidak akan bisa menikmati makan siang bersama yang sempat tertunda tadi.""Haaaa? Lupakan itu, aku tidak mau makan siang berdua denganmu lagi. Aku masih
Rianti langsung mengangguk, "Baik Pak, saya paham. Saya akan mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan identitas Anda." Setelah mengatakan itu, dia teringat sesuatu dan menambahkan, "Oh iya, lalu bagaimana dengan karyawan yang lain? Semua orang di sini sudah mengenal Anda, dan mengetahui kalau Anda adalah pemilik perusahaan. Bagaimana jika Nona Anisa sampai tau tentang identitas Anda dari mereka?""Nah, itu yang akan menjadi pekerjaanmu," ujar Safak.Rianti yang belum paham berkata, "Menjadi pekerjaan saya? Maksud Anda bagaimana ya? Saya tidak mengerti."Safak menghela nafa san berkata, "Kau ini, sudah menjadi Manager Operasional, tapi tidak paham juga masalah semudah ini. Ya kaulah yang akan memberitahu semua karyawan di sini, tentang mereka semua yang tidak boleh membocorkan identitasku pada Anisa. Aku beri tau kau, Anisa hanya tau, aku adalah orang kepercayaan Presiden. Jadi beri tau semua orang, kalau mulai sek
Meskipun masih tidak yakin, namun Anisa hanya berkata, "Jadi begitu? Ya sudah." Anisa yang teringat sesuatu langsung menambahkan, "Eh sebentar, Bu Rianti sebenarnya baru saja saya ingin menemui Ibu di kantor, karena ada yang ingin saya bicarakan dengan Ibu. Tapi karena kita sudah ketemu di sini, bisakah kita bicara di sini saja?"Melihat ke arah Safak sebentar, Rianti tersenyum dan menjawab, "Bisa, apa yang ingin kamu bicarakan?""Sebenarnya begini, Bu Rianti. Barusan anak saya rewel dan menangis terus, mungkin karena saya telat menyusuinya. Jadi saya mau minta ijin untuk beberapa saat menenangkan anak saya sambil menyusuinya. Bolehkan, Bu?" jelas Anisa.Sebenarnya, hal seperti ini belum pernah dilakukan perusahaan sebelumnya. Namun yang meminta ijin adalah Anisa, yang saat ini telah disadari Rianti kalau wanita ini ternyata punya hubungan dekat dengan pemilik perusahaan, jadi bagaimana mungkin dia tidak memberikan
Mendapatkan perintah dari pemimpinnya, semua pelayan itu langsung bergerak dan bergegas untuk mengantarkan hidangan khas Prancis ke perusahaan Tifana Group. Dengan langkah cepat, mereka segera bergegas menuju kendaraan untuk mengantar makanan tersebut.Sementara itu, Safak dan Anisa sudah sampai di depan perusahaan Tifana Group. Keduanya segera keluar dari mobil, begitu melihat Dilla ada di sana dan sedang mencoba menenangkan Jihan."Nyonya, akhirnya Anda kembali. Jihan rewel terus, sepertinya dia sudah laper," ujar Dilla."Aku mengerti, berikan padaku!" Anisa langsung mengambil Jihan dari tangan Dilla.Setelah Jihan ada di tangannya, Anisa juga langsung bersiap untuk menyusuinya. Hanya saja dihentikan oleh Safak, "Nisa, tunggu! Ayo kita ke atas, kita cari tempat tertutup untuk kalian. Lagian di sini kurang nyaman untuk menyusui bayi."Menghembuskan nafasnya, da
Safak pun terkekeh sebelum mencoba membujuk Anisa, "Hei, ayolah. Bukankah aku sudah minta maaf? Jangan ngambek gini ah. Mending kamu duduk dulu, lalu pesan makanan yang paling kamu suka."Safak kemudian memegang kedua bahu Anisa dari belakang. Dan dengan sedikit paksaan, dia mendudukkannya di kursi. Meskipun masih cuek dan cemberut, namun Anisa juga tidak menolak saat Safak melakukan itu."Ayo, kamu mau makan apa?" tanya Safak sambil menyerahkan menu pada Anisa.Tidak menjawab, Anisa kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.Safak yang melihatnya kembali terkekeh sebelum menghela nafas lalu berkata, "Baiklah, jika kamu tidak mau pesan sendiri. Biar aku saja yang pesan buat kamu." Safak menoleh ke arah resepsionis wanita, yang sedari tadi masih berdiri di sana, "Eh kamu, aku mau pesan semua hidangan khas yang ada di restoran ini. Pokoknya sajikan dengan cara yang paling spesia