Semua orang terdiam mendengar perkataan Tegar. Namun secara tiba-tiba, salah satu dari ibu-ibu di sana dengan sinis berkata, "Hey Tegar. Anisa istrimu? Lalu apakah kau pernah memperlakukan dia sebagai istri? Kami semua yang ada di sini tau, kau memperlakukan Anisa tidak lebih dari seperti seorang pembantu. Pembantu lebih baik, karena dia akan mendapatkan gaji. Namun Anisa, bukan hanya tidak pernah kau berikan dia uang, tapi juga kau siksa dengan pekerjaan-pekerjaan berat setiap hari! Apakah itu yang disebut istri?"
Meskipun memang salah, namun Tegar tetap berdalih, "Lah, bukankah memang sudah tugasnya istri untuk melayani suami dan keluarganya? Dia melakukan pekerjaan berat juga bukan karena paksaan dari kami. Dia melakukannya dengan sukarela, kami tidak pernah memaksanya."
Mendengar yang dikatakan Tegar, ibu-ibu tadi terkekeh, "Ha ha ha... Tegar... Oh Tegar... Kau pikir kami semua yang ada di sini tidak tau? Tidak dipaksa kau bilang? Dengan ancaman dia akan di usir jika tidak melakukan pekerjaan berat itu, apakah kau pikir itu bukan paksaan? Kau ini pura-pura bodoh atau benar-benar bodoh sih, sebenernya?"
Meskipun yang dikatakan ibu-ibu ini benar, namun Tegar masih saja berdalih, "Ha ha... Ya, mungkin jika melihatnya dari sudut pandang kalian semua, memang terlihat begitu. Tapi percayalah, kami sudah menjalani hubungan kami dengan baik. Anisa juga tidak pernah mengeluhkan pekerjaan-pekerjaan itu. Dan dia juga tahu, saya tidak melakukannya dengan maksud buruk. Jadi tidak usah terlalu banyak campur tangan dalam urusan keluarga kami, itukan masalah rumah tangga kami. Dan sekarang, maaf kami tidak bisa melayani kalian semua dengan sempurna. Semua tamu silakan pulang."
Ibu barusan tersenyum sinis, "Heh, sekarang sudah kelihatan kan Ibu-ibu, inilah sifat seorang Tegar yang sesungguhnya. Dia mengusir kita, padahal kita datang untuk berbela sungkawa padanya. Hanya karena kita sedikit membicarakannya, dia langsung tersinggung dan mengusir kita. Dari sini saja sudah terlihat, kalau yang kita bicarakan itu semuanya benar! Ayo kita pergi! Kita sudah tidak diinginkan lagi di sini!"
"Ya, Ibu benar. Kelihatan banget sifatnya. Mulai sekarang, aku tidak akan membiarkan anakku bergaul lagi dengan orang model begini!" sahut ibu-ibu lain.
"Aku juga, tidak akan membiarkan anakku bergaul dengan orang modelan gini!" sahut lainnya lagi.
Dan begitu seterusnya, sampai semua ibu-ibu di sana berdiri dan mulai melangkahkan kaki, pergi dari rumah Tegar.
Melihat para tetangga satu persatu pergi bahkan sebelum jenazah cucunya dimakamkan, Minah yang sedang menemani tamu lain segera bergegas mendekat. "Eh, Ibu-ibu sudah mau pulang saja?" Dia mencoba bersikap ramah.
"Ya. Kita memang tidak diinginkan di sini. Jadi buat apa berlama-lama di tempat ini?" jawab salah satu dari mereka, sinis.
Minah terlihat bingung karena tidak tahu apa yang terjadi, "Haaa? Apa maksud kalian? Kalian tentu sangat diinginkan. Hey, tung..." Minah menghentikan ucapannya, sebelum berbalik menatap Tegar dan bertanya, "Hey Tegar, ada apa ini sebenarnya? Kenapa para tetangga itu pergi, bahkan sebelum cucuku dimakamkan?"
Tegar menghela nafas dan menatap Minah, "Sudahlah Ibu... Biarkan saja orang-orang seperti mereka pergi! Mereka memang tidak seharusnya ada di sini."
Minah mengerutkan dahinya, "Hei, apa maksudmu bicara seperti itu? Mereka itu tetangga kita. Bagaimana bisa tidak seharusnya ada di sini? Apa yang sebenarnya telah kau katakan pada mereka? Sampai-sampai membuat mereka tersinggung dan pergi begitu saja?"
Belum sempat Tegar menjawab, seorang tamu tiba-tiba bediri dan berkata, "Bu Minah dan Tegar, kami turut berduka cita atas kejadian yang menimpa Anisa dan bayinya. Semoga keluarga diberikan kesabaran, Anisa juga lekas sembuh dan diberikan ketabahan. Sekarang, kami harus pamit, karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Sampai ketemu lagi di lain waktu dan dalam keadaan yang baik."
Minah dan Tegar tentu terkejut mendengar yang dikatakan tamu barusan. "Sekarang? Apakah benar-benar harus sekarang? Tidak bisa ditunda sebentar lagi?" tanya Minah.
"Tidak bisa, Ibu. Kami harus bekerja. Dan itu sudah tidak bisa ditunda lagi," jawab tamu tadi smbil tersenyum.
Meskipun dia tersenyum, namun sebenarnya dia merasa geram pada Tegar dan Ibunya. Setelah mendengar yang dikatakan tetangga-tetangganya tadi, semua tamu-tamu ini menjadi tahu kalau ternyata seperti inilah sifat asli Tegar dan keluarganya.
Lagian, sebagian besar tamu yang hadir adalah teman-teman Anisa. Saat mendengar kalau teman mereka selalu ditindas, tentu mereka merasa marah.
Membuat mereka merasa tidak ada alasan lagi untuk berlama-lama di tempat ini. Karena saat ini, Anisa juga tidak ada di sini dan masih dirawat di rumah sakit.
Tegar dan Minah tidak bisa berbuat apa-apa, saat orang-orang ini mulai berpamitan dan pergi satu persatu. Hingga di rumah itu, benar-benar tidak ada orang lain selain mereka dan Dinda saja.
"Lihatlah Tegar? Setelah semua tamu pergi, tidak ada lagi orang yang ada di rumah kita? Bicara apa kau dengan para tetangga, sehingga membuat mereka tersinggung dan pergi begitu saja?" tanya Minah benar-benar penasaran.
Minah menjawab, "Sudah sebulan yang lalu. Ya, aku lupa mau memberitahu kamu. Kamunya juga sangat sibuk, jadi mana sempat aku bicara ke kamu. Lagian, aku tidak pernah berpikir semuanya akan jadi seperti ini. Aku tidak pernah berpikir kalau wanita itu akan seberani itu menuntut harta gono-gini padamu. Aku juga tidak mengira, kalau wanita itu akan bisa membayar seseorang pengacara besar seperti Pak Erickson. Melihat kondisinya, untuk membayar pengacara biasa saja sepertinya mustahil. Tapi bagaimana bisa dia tiba-tiba punya uang untuk membayar pengacara besar seperti Pak Erickson?"Hana yang dari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara, "Eh Kak Tegar, benarkah yang Kakak katakan? Si jalang itu membayar Pak Erickson sebesar 30 miliar hanya untuk menyelesaikan kasus perceraian ini? Lalu apa Kak Tegar percaya begitu saja?"Tegar menatap Hana, "Apa maksudmu?"Hana menghela nafas dan mulai menjelaskan, "Ya, secara... Seperti yang Ibu bilang barusan. Kita semua di sini tau kon
Anisa dan Safak mengangkat kepalanya bersamaan dan menatap Dilla. "Ya, ada apa?" tanya Anisa."Barusan Nona Widia sudah mengirim pesan, beliau menunggu saya di luar, jadi saya mau pamit pulang dulu sama Jihan," ujar Dilla.Anisa cukup terkejut mendengar yang dikatakan Dilla, "Apa? Widia sudah di luar?" Dia berdiri, "Di mana dia sekarang? Aku mau ketemu dia sebentar."Sementara itu, Safak hanya berpikir, 'Ohh, jadi anak itu sudah di luar? Ha ha... Dasar, tau juga kalau Kakaknya lagi pengen berduaan, jadi dia gak datang buat ganggu!'"Em, Nona Widia bilang, beliau tidak mau mengganggu pekerjaan anda, makanya beliau tidak masuk. Beliau juga meminta pada saya untuk menyampaikan pesan," jelas Dilla."Pesan? Pesan apa itu?" tanya Anisa."Beliau berpesan agar anda tetap melanjutkan pekerjaan Anda saja. Nona Widia tidak mau mengganggu pekerjaan Anda
Dengan perlahan, Anisa menatap Safak, matanya penuh dengan keraguan. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil sepotong makanan dan mencicipinya. Rasa makanan yang lezat langsung menyapa lidahnya, membuat Anisa tidak bisa mengangkat kedua alisnya, "Ini... Ini... Ini enak sekali! Bagaimana ada makanan seenak ini?"Safak merasa sangat puas dengan reaksi Anisa, dan dia tersenyum. "Lihat kan? Sudah kubilang, makanan ini sangar enak. Aku tidak mungkin ajak kamu makan di tempat yang asal. Aku pasti mencarikan yang terbaik buatmu."Menghembuskan nafasnya, Anisa membalas, "Hemm, mulai... mulai... dengar ya Safak, aku memaafkanmu hanya demi teman-temanku. Karena sebenarnya aku belum benar-benar memaafkan kamu. Jadi, jangan gombal-gombal gitu. Gak bakal ngaruh buat aku."Safak tersenyum kecut, "Iya deh iya. Terserah kamu, mau itu demi teman kamu atau demi siapapun. Yang penting sekarang, kita makan dulu. Kamu harus mengisi k
Anisa terdiam sejenak, matanya menatap Safak dengan penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, dia tersenyum kecut dan menghela nafas panjang. "Baiklah, aku maafkan kamu, Safak. Kita bisa makan siang bersama."Safak tersenyum lega, "Terimakasih, Nisa. Ayo, mari kita makan bersama-sama."Semua orang bersorak, "Yeay!"Safak lalu memberikan kode lewat kepalanya pada para pelayan, untuk meletakkan satu persatu makanan di tangan mereka ke meja kargembira. Dan para pelayan segera melakukan seperti yang diperintahkan. Dan mereka juga segera pergi begitu makanan sudah diletakkan di meja."Kita akan menikmati makanan yang seumur hidup tidak mungkin bisa kita nikmati!" ucap salah satu staff bernada sangat gembira.Staff lain menyahut, "Kita harus berterimakasih pada Anisa. Bagaimanapun ini berkat dia. Jika dia tidak mengenal Pak Safak dengan baik, huh kita ti
Orang itu menjawab, "Ya, siapa tau kan? Siapa tau...""Cukup! Tidak ada siapa tau siapa tau. Lebih baik kau diam, jika masih ingin bertahan bekerja di sini!" potong rekan kerjanya yang sebelumnya sambil melotot.Sementara itu, Safak dan semua orang yang dibawanya masih dengan sabar menunggu Anisa di luar ruangan tempat Anisa, Dilla, dan Jihan berada. Cukup lama untuk orang-orang itu menunggu, sebelum akhirnya Anisa keluar sendirian dari sana. Dan dia benar-benar terkejut saat melihat deretan pelayan yang membawa makanan di tangan mereka."Apa ini? Mereka... Mereka benar-benar mengantar semua makanannya?" tanya Anisa, sebelum menatap Safak.Safak tersenyum, "Tentu saja, mereka harus mengantarnya. Jika tidak, kita tidak akan bisa menikmati makan siang bersama yang sempat tertunda tadi.""Haaaa? Lupakan itu, aku tidak mau makan siang berdua denganmu lagi. Aku masih
Rianti langsung mengangguk, "Baik Pak, saya paham. Saya akan mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan identitas Anda." Setelah mengatakan itu, dia teringat sesuatu dan menambahkan, "Oh iya, lalu bagaimana dengan karyawan yang lain? Semua orang di sini sudah mengenal Anda, dan mengetahui kalau Anda adalah pemilik perusahaan. Bagaimana jika Nona Anisa sampai tau tentang identitas Anda dari mereka?""Nah, itu yang akan menjadi pekerjaanmu," ujar Safak.Rianti yang belum paham berkata, "Menjadi pekerjaan saya? Maksud Anda bagaimana ya? Saya tidak mengerti."Safak menghela nafa san berkata, "Kau ini, sudah menjadi Manager Operasional, tapi tidak paham juga masalah semudah ini. Ya kaulah yang akan memberitahu semua karyawan di sini, tentang mereka semua yang tidak boleh membocorkan identitasku pada Anisa. Aku beri tau kau, Anisa hanya tau, aku adalah orang kepercayaan Presiden. Jadi beri tau semua orang, kalau mulai sek