Elina merasa perasaannya semakin panas. Sejak pagi tadi, segala sesuatunya terasa mengganggu, dan kini, setelah hampir keluar dari kantor, ada saja yang menghalangi. Kina yang tiba-tiba muncul dan bertanya dengan nada mencurigakan hanya menambah beban pikirannya."Hei, mau ke mana? Buru-buru sekali," kata Kina, matanya menyelidik Elina.Elina mengerutkan dahi. Rasanya sudah cukup dia diganggu pagi ini. "Aku tidak ingin mencari ribut, jadi menyingkir lah," jawabnya dengan nada dingin, langkahnya semakin cepat.Kina terkekeh, tidak terima dengan sikap Elina. "Cih, dasar sombong!" gumamnya, lalu menatap Elina dengan tatapan penuh sindiran.Elina sudah hampir mencapai pintu keluar, tetapi tiba-tiba seseorang memanggilnya. Belum sempat dia bernafas lega, suara Bela datang menyapanya dari belakang."Kamu baik-baik saja, Elina?" tanya Bela, dengan ekspresi yang sedikit khawatir, meski terlihat tidak begitu tulus.Elina menoleh, bingung dengan pertanyaan itu. Sejak kapan Bela peduli padanya?
Radit meminum obat tersebut dan kini merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ia merasa lega karena semuanya akhirnya berjalan dengan baik.Namun, tiba-tiba matanya menatap tajam ke arah Elina. "Kamu tidak memasukkan sesuatu ke makanan saya, kan?" tanyanya dengan nada datar, namun penuh curiga."Demi apapun, Pak Radit, saya tidak memasukkan apapun," Elina membela diri dengan tegas, merasa tidak bersalah sama sekali.Dr. Rian, yang ada di ruangan itu, segera mengambil tasnya dan berniat untuk pamit karena kondisi Radit sudah membaik."Sudah, Radit. Jangan terlalu terburu-buru menyalahkan Elina. Saya akan membantu untuk menyelidiki kasus ini," kata Dr. Rian, memberi dukungan pada Elina."Terima kasih banyak, Dr. Rian," jawab Radit dengan nada penuh rasa terima kasih.Elina merasa lega, terutama karena Dr. Rian mau membantu dirinya. Semoga saja semuanya terungkap, dan ia bisa membuktikan bahwa dia tidak salah dalam hal ini. Terlebi
Elina merasa lega karena akhirnya semua tugas di kantor selesai. Sejenak, dia membenarkan tas di bahunya dan menatap layar laptopnya yang sudah kosong. Pikirannya melayang ke rumah yang akan segera dia tempati bersama bosnya, Radit. Satu atap dengan pria itu... Elina menggigit bibir, tidak tahu harus bagaimana meresapi kenyataan ini."Pak Radit, saya pamit pulang dulu ya," ujarnya dengan suara pelan, namun yakin itu adalah keputusan yang tepat.Radit menoleh ke arahnya, matanya tetap tertuju pada layar laptop, tapi nada suaranya tetap tegas dan penuh kewibawaan. "Tunggu dulu, kamu tidak ingat akan tinggal bersama saya di rumah?" kata Radit, tanpa sedikit pun menunjukkan ekspresi berubah.Elina terdiam sesaat. Sesuatu di dalam dadanya terasa berat. Ya, dia ingat dengan jelas bagaimana Radit, setelah berbagai pertimbangan, memutuskan bahwa Elina akan tinggal bersama dengan dirinya. Namun, saat ini, apa yang ada di pikirannya tak bisa sekadar dicerna begitu saja. Apa yang akan terjadi se
Radit menghentikan mobilnya dengan perlahan ketika mereka sampai di halaman rumah besar miliknya. Rumah itu terlihat megah, dengan taman luas yang rapi dan sebuah kolam renang kecil di sudut kanan halaman. Elina yang semula tampak ragu-ragu, kini melangkah keluar dari mobil mengikuti langkah Radit, meski suasana hati sedikit berat. Perintah Radit untuk ikut ke rumahnya membuatnya terdiam, tetapi ia tahu, ini adalah bagian dari kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Radit menatapnya sekilas dan berkata dengan suara datar, "Baju-baju kamu yang sudah ada di koper tadi pagi sudah dibereskan oleh Lisa." Elina mengerutkan kening. "Apa kamu serius?" tanyanya, menatap wajah Radit penuh tanda tanya. Radit hanya mengangguk, ekspresinya tetap tenang. "Iya, saya serius. Kalau ada masalah, bisa katakan sekarang. Jangan ragu untuk berbicara," jawabnya, suaranya lebih lembut daripada yang Elina duga. Elina hanya tersenyum tipis. Ia sudah cukup lama mengenal Radit, dan meskipun ada ketegang
"Kenapa kamu mengusir saya, Elina? Bukannya waktu itu kamu juga pernah menyelinap ke kamar saya!" bentak Radit, nadanya tajam, matanya menatap Elina penuh tuduhan.Elina sontak terdiam. Jantungnya berdebar. Kalimat itu membangkitkan kembali ingatan yang sudah lama ia kubur. Ia memang pernah masuk ke kamar Radit diam-diam… tapi bukan karena keinginannya sendiri."Itu… itu salah paham. Lisa yang menyuruh aku ke kamar Pak Radit malam itu," ujar Elina pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Radit menghentikan langkahnya.Tatapan Radit berubah. Matanya kini menyipit, mencoba membaca raut wajah Elina. "Lisa yang menyuruh kamu?" tanyanya, suaranya turun satu oktaf, lebih tenang, tapi penuh tanda tanya.Elina mengangguk, menatap Radit dengan kebingungan. "Iya. Dia yang bilang harus ambil dokumen penting dari meja kerja kamu. Aku nggak ngerti kenapa harus buru-buru waktu itu. Tapi dia kelihatan panik."Radit terdiam. Ingatannya melayang pada malam itu—malam ketika pintu kamarnya terasa seperti a
Pagi hari yang cerah.Pagi hari yang cerah.Langit bersih tanpa awan, matahari menggantung rendah dengan sinarnya yang hangat menembus dedaunan dan menyentuh kap mobil hitam milik Radit yang terparkir rapi di depan rumah.Radit sudah duduk di balik kemudi, tapi mesinnya belum menyala. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir, sementara matanya terus melirik jam tangan. Sesekali ia mendesah—tak sabar.Akhirnya, pintu rumah terbuka. Elina muncul dengan langkah cepat. Dia terkejut saat melihat mobil Radit masih terparkir. Keningnya berkerut, alis kirinya naik, mencerminkan rasa heran."Pak Radit belum berangkat?" gumamnya lirih.Radit menurunkan kaca jendela dan melirik tajam. "Lama amat. Ayo masuk!"Elina sedikit bingung, tapi langsung menuruti. "Saya kira Pak Radit udah duluan ke kantor.""Ayo cepat, jangan banyak tanya," potong Radit, nadanya terdengar malas menjelaskan.Elina membuka pintu penumpang dan masuk tanpa membantah lagi. Dia tahu bosnya itu bukan tipe orang yang suka diinterogasi
Aroma asap dari ayam bakar yang sedang dipanggang menusuk hidung Rian saat ia berdiri di depan restoran Ayam Taliwang itu. Sederhana, tapi ramai. Letaknya tidak jauh dari kantor tempat Elina dan Radit bekerja. Dan ya, inilah restoran yang disebut Elina—tempat dia memesan makanan untuk Ramon beberapa waktu lalu.Rian tak datang untuk makan siang. Ia datang untuk mencari tahu—siapa yang mencoba mencelakai Radit lewat makanan.Ia melangkah masuk. Pelanggan terlihat sibuk menyantap makanan, tertawa ringan. Tak ada yang terlihat mencurigakan. Tapi Rian tahu, sesuatu terjadi di balik dapur yang tertutup itu.“Selamat siang, Kak. Mau makan di sini atau bungkus?” sapa seorang pelayan perempuan.“Bukan. Saya ingin bertemu manajernya. Tentang pesanan makanan beberapa hari lalu,” jawab Rian, suaranya datar tapi tegas.Tak lama, seorang wanita keluar. Wajahnya kaku, matanya tajam. “Saya manajernya. Ada apa?”“Saya hanya ingin tahu, adakah yang aneh dengan pesanan atas nama Elina beberapa hari lal
Elina menghela napas panjang. Matanya masih terpaku pada kejadian barusan—Radit, lelaki yang selama ini mengisi hatinya, tampak begitu hangat tertawa bersama Bela. Tatapan mereka, kedekatan mereka, semuanya membuat dada Elina terasa sesak."Menyebalkan sekali!" umpat Elina, suaranya pelan namun tegas, menggigit udara sore yang mulai dingin.Tanpa pikir panjang, Elina berbalik dan melangkah keluar. Dia tak sanggup melihat lebih lama. Hatinya terlalu rapuh untuk menyaksikan kebersamaan yang menyakitkan itu. Kepalanya penuh dengan bayangan—Bela yang selalu tampil sempurna, Radit yang akhir-akhir ini berubah dingin. Apa aku hanya pelarian? batinnya resah.Duk.Langkahnya yang terburu membuatnya menabrak seseorang.“Oh maaf—” Elina langsung mendongak dan terkejut saat melihat sosok di depannya.“Kamu melamun, Elina?” tanya pria itu dengan senyum hangat. Dokter Rian.“Dokter Rian? Tumben sekali datang ke sini,” ucap Elina, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum canggung.Rian
Akhirnya Elina keluar dari ruangan Dani dengan langkah berat. Ada kegelisahan yang tak bisa ia redam sejak pertemuan singkat itu. Bela, wanita yang tadi bersamanya, memancarkan aura yang membuat dada Elina semakin sesak. Ada yang janggal. Dan kini, hanya satu orang yang bisa ia percaya untuk membicarakan semua ini—Kina.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghubungi sahabatnya itu."Halo, Kina?""Elina, kamu sudah lihat berita hari ini, kan?" Suara Kina terdengar cemas, bahkan sedikit bergetar."Iya... Para wartawan sudah mengepung kantor. Aku tahu kamu pasti mau membicarakan soal Radit, bukan?" ucap Elina dengan lirih, namun mantap."Benar. Aku benar-benar khawatir. Siapa yang melaporkan dia ke polisi?" tanya Kina, seolah tak percaya hal itu bisa terjadi begitu cepat."Hanya ada satu kemungkinan. Ibu mertuaku," jawab Elina, dengan suara yang menegang. "Dia belum bisa menerima kenyataan soal kematian anaknya. Dan dia yakin, Radit adalah penyebabnya.""Astaga... Jadi itu sebabnya dia
Suasana pagi itu terlalu hening untuk sebuah kompleks elit. Langit sedikit mendung, seolah ikut menahan napas menanti sesuatu pecah. Dan benar saja—suara sepatu berat memecah keheningan.Dua pria berpakaian sipil, dengan lencana hukum tergantung di dada mereka, berdiri di depan pintu rumah Radit. Tatapan mereka tajam, tak mengenal basa-basi.Radit membuka pintu. Jas rumah masih melekat di tubuhnya, rambutnya sedikit acak. Tapi matanya—matanya tajam, penuh tanya dan kewaspadaan."Ada apa ini?" suaranya datar, tapi otot rahangnya menegang.Salah satu petugas maju selangkah. “Pak Radit, Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap saudara Dimas.” Ia menyodorkan surat penangkapan.Darah Radit seperti berhenti mengalir. Tangannya mengepal, kuku-kukunya menancap di telapak. “Apa?” gumamnya. “Saya tidak bersalah. Saya punya bukti…”“Kami tidak bisa debat di sini, Pak. Anda bisa jelaskan di kantor. Ikuti kami dengan tenang.”Radit menatap surat itu sekilas, lalu mata polisi itu. Jantungnya
Radit mengantar Elina pulang ke rumah kontrakannya. Sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka terasa sunyi namun nyaman. Hanya suara angin dari jendela mobil yang terbuka sedikit, mengisi ruang di antara kata-kata yang tak terucap.Sebelum Elina turun, Radit sempat melirik ke arah wanita itu—matanya masih terlihat sedikit sembap setelah berziarah ke makam suami dan anaknya."Kamu nggak mau mampir dulu ke rumahku?" tawar Radit, suaranya pelan tapi penuh harap.Elina menggeleng halus. "Tidak, Radit."Radit menghela napas pendek, lalu berkata dengan nada tenang tapi sedikit penasaran, "Memangnya kamu nggak rindu dengan Jio?"Pertanyaan itu seperti paku kecil yang mengetuk hatinya. Elina tak langsung menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela mobil, memperhatikan angin yang menggoyangkan ranting pohon. Diamnya bukan karena tidak ingin menjawab, tapi karena emosinya masih terlalu campur aduk."Lain kali, aku akan datang ke sana," jawabnya akhirnya."Baiklah. Aku tunggu kamu datang ke s
Elina bersama dengan Radit kini sudah berada di pekarangan rumah yang sedikit agak mewah namun terlihat sederhana.Elina menggenggam tangan Radit untuk memberikan kekuatan agar bisa masuk ke dalam rumah tersebut."Ayo kita masuk ke dalam."Radit hanya mengangguk saja, dia berjalan bersama dengan Elina menuju ke arah rumah mantan ibu mertuanya."Permisi," ujar Elina dengan sopan.Sampai muncul Sari membuka pintu rumah ini. Dia yang memang sudah tahu tentang Elina pun langsung tersenyum tipis dan menyambutnya."Iya, Nona Elina.""Apa Bunda ada dalam?" tanya Elina dengan sopan."Ada non," jawab Bi Sari sambil mempersilakan Elina untuk masuk ke dalam rumah mewah itu.Elina tersenyum tipis sambil melirik ke arah Radit yang ada di sampingnya. "Ayo kita masuk."Radit hanya mengangguk dan mereka berdua akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah tersebut.Baru juga di ambang pintu, Winda sudah menatap tajam ke arah Elina dan Radit."Kamu sudah berani membawa pembunuh ini ke rumahku, Elina?
Acara pesta penyambutan untuk Lisa baru saja usai. Malam itu terasa panjang dan melelahkan, tapi juga penuh kelegaan. Radit kini duduk di balik kemudi, mengantar Elina kembali ke kontrakan lamanya. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Hanya suara mesin dan gemuruh hujan tipis di kaca mobil yang menemani.Padahal, Radit sudah beberapa kali memintanya tinggal bersama. Tapi Elina masih belum bisa sepenuhnya membuka hatinya, luka masa lalu masih membekas—dan malam ini, segalanya belum benar-benar selesai.“Aku nggak nyangka akhirnya Lisa ditangkap juga,” ucap Radit, memecah keheningan, suaranya terdengar hati-hati. “Kamu senang sekarang?”Elina hanya mengangguk. Tatapannya tertuju pada jalanan gelap di luar jendela.“Aku senang,” jawabnya pelan. “Jangan bilang kamu nggak senang? Bukannya selama ini kamu selalu ada di pihak dia?”Nada suaranya terdengar getir. Radit menoleh sejenak, dan tersenyum tipis ketika menyadari—itu bukan kemarahan. Itu cemburu. Hal yang jarang sekali Elina tunju
Pak Bambang berdiri mematung di tengah ruangan, wajahnya pias. Seluruh tubuhnya bergetar menahan amarah yang nyaris meledak."Aku kecewa denganmu, Lisa…" suaranya berat, teredam luka dan rasa malu yang menghantam harga dirinya di depan para tamu penting.Lisa mencoba melangkah mendekat. "Ayah… dengar dulu penjelasanku—""Cukup!" bentak Pak Bambang dengan suara lantang yang memotong seluruh kegaduhan. "Aku sudah cukup malu hari ini. Sudahi saja pestanya!"Tanpa menunggu reaksi siapa pun, ia membalikkan badan dan pergi, meninggalkan bayangan kebesaran nama keluarga yang kini ternoda oleh darah dan dusta.Lisa berdiri di tengah ruangan. Seluruh mata tertuju padanya, bukan lagi dengan rasa kagum, tapi penuh cemoohan dan bisik-bisik sinis.Matanya menatap dua sosok yang berdiri tak jauh—Radit dan Elina. Sorotnya membara."Kalian… Ini pasti ulah kalian berdua!" pekik Lisa, telunjuknya menuding tajam.Elina menatapnya datar, satu alis terangkat. "Aku bahkan nggak tahu soal video itu. Jangan
Elina menoleh tajam ke arah Radit yang kini berjalan mendekatinya, terlihat santai seolah tidak terjadi apa-apa. Ia menyilangkan tangan di depan dada, ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekesalan."Habis dari mana? Lama sekali," sindir Elina, nada suaranya dingin tapi tajam.Radit hanya menanggapi dengan senyuman kecil. Ia sudah cukup mengenal Elina untuk tahu bahwa wanita itu sedang menahan amarah."Aku tadi ngobrol sebentar sama Rian. Hanya bahas hal kecil," jawab Radit ringan, seolah ingin meredam suasana.Elina menaikkan alis, pandangannya tajam menelisik. "Hal kecil? Sepertinya bukan gaya kamu bicara seperti itu. Kamu merencanakan sesuatu, kan?"Radit menatapnya sejenak, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Elina. "Rahasia," bisiknya pelan, membuat bulu kuduk Elina meremang, entah karena kesal atau karena detak jantung yang tiba-tiba melonjak.Elina menghela napas pelan sambil tersenyum miring. Tunggu saja, Kina pasti bakal bocorin semuanya nanti malam, batinnya.Baru saja ia he
Elina berdiri di depan cermin, memperhatikan refleksi dirinya yang tampak sempurna malam itu. Gaun elegan berwarna merah marun membalut tubuhnya dengan anggun, rambutnya disanggul rapi, dan sentuhan makeup di wajahnya menambah kesan menawan. Setelah memastikan semuanya terlihat sempurna, ia mengambil tas branded favoritnya dan melangkah keluar dari kamar.Di luar, mobil hitam milik Radit sudah terparkir di halaman. Elina hanya melirik sekilas, namun jantungnya berdetak sedikit lebih cepat—ia tahu, malam ini akan menjadi malam yang panjang.Tak lama, pintu mobil terbuka dan Radit keluar dengan penampilan rapi mengenakan jas hitam. Dia menatap Elina seolah melihat sesuatu yang langka.“Cantik,” ucapnya dalam hati, nyaris terucap di bibir.Elina menyadari tatapan Radit yang tak biasa. Ia menautkan alis, merasa aneh dengan cara lelaki itu memandangnya.“Heh, Radit,” tegurnya sambil tersenyum kecil, sedikit menggoda.Radit tersentak dari lamunannya. “Ah, maaf… ayo, kita berangkat,” ucapnya
Elina kini tinggal sendiri di kontrakan barunya. Rumah sederhana yang ia pilih bukan karena nyaman, tapi karena jauh dari Radit—seseorang yang dulu pernah begitu dekat, tapi kini justru menjadi alasan utama ia menghindar dari masa lalu.Angin sore berembus pelan, menerpa tirai jendela yang setengah terbuka. Hening, sampai sebuah ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan.Tok… tok… tok…"Sebentar!" serunya.Langkah Elina cepat tapi hati-hati. Ia membuka pintu dan mendapati seorang kurir berdiri dengan sebuah paket berbungkus rapi di tangan."Maaf Bu. Mohon terima ini, dan jangan lupa tandatangani."Elina mengernyit. "Paket dari siapa? Saya tidak merasa pesan apa-apa."Kurir itu hanya mengangkat bahu. "Dari seseorang. Saya tidak tahu, maaf. Saya harus lanjut, permisi."Tanpa sempat menolak, Elina menerima paket itu. Pintu ditutup kembali, tapi pikirannya justru terbuka lebar oleh rasa penasaran yang mengganggu."Siapa yang kirim ini?" gumamnya, menatap bungkusan itu seakan bisa menjawa