Elina berdiri di dapur dengan senyum puas. Aroma harum masakan menguar memenuhi rumah, membangkitkan selera siapa pun yang menciumnya. Hari ini bukan sekadar makan malam biasa—mereka merayakan dua hal sekaligus: keberhasilan bersama dan ulang tahun Jio. Semua sudah Elina rancang dengan baik.Dengan gerakan luwes, ia melepas celemek, menepuk tangan pelan, lalu memanggil, "Ayo semuanya, makan malam sudah siap!"Suasana rumah mendadak ramai. Tawa dan langkah kaki memenuhi ruang makan yang sudah dihias sederhana namun hangat."Iya, ayo!" seru Kina yang muncul dari dapur membawa beberapa gelas berisi minuman segar. Matanya berbinar, semangat menyambut malam yang istimewa.Walau masih belajar, Kina telah membantu Elina menyiapkan beberapa hidangan. “Biar nanti bisa masak buat diri sendiri juga,” katanya tadi, saat mereka sama-sama mengaduk sayur di dapur."Wah, dari baunya aja udah bikin lapar!" seru Radit sambil masuk ke ruang makan dan langsung duduk di samping Elina. "Kayaknya bakal enak
Elina masih duduk di tepi ranjang kamar Radit. Jemarinya membelai lembut kotak beludru biru tua yang baru saja diterimanya. Di dalamnya, berkilauan sebuah kalung emas putih dengan liontin mungil berbentuk bulan sabit bertabur berlian kecil. Bukan hanya indah, tapi juga perhiasan edisi terbatas yang hanya diproduksi lima buah di dunia. Ia bahkan masih sulit percaya Radit menghadiahkannya sesuatu seistimewa ini."Jadi kamu memintaku untuk datang ke pesta itu?" tanya Elina, menatap Radit dengan campuran rasa bahagia dan gugup."Tentu saja," jawab Radit seraya mendekat. "Apa kamu keberatan?"Elina menggeleng, lalu tersenyum kecil. "Terima kasih banyak. Kapan acaranya?""Dua hari lagi. Aku ingin kamu datang bersamaku, Elina. Aku tidak mau menyembunyikan hubungan ini lagi."Hati Elina berdegup lebih kencang. Ada rasa haru dan juga keraguan yang belum sepenuhnya hilang. “Apa ibumu juga akan hadir?”Radit mengangguk. "Iya, dan aku ingin kamu bertemu dengannya. Aku harap kamu bisa mengenalnya…
Rian berdiri di sudut ruangan sambil memandangi Kina yang sedang sibuk merapikan pita berwarna emas di sisi meja. Di tengah kerlap-kerlip lampu hias dan aroma manis dari kue cokelat yang baru saja diletakkan di atas meja, suasana rumah Radit berubah hangat dan penuh kehidupan.Mereka berdua kini berada di rumah Radit, dan tak bisa dipungkiri, Rian merasa terkesan dengan hasil kerja keras Kina.“Aku sudah mendekorasi tempat ini sejak pagi,” ujar Kina sambil menoleh dengan senyum bangga.Rian mengangguk sambil memandangi sekeliling—balon warna-warni menggantung di langit-langit, dan foto-foto kecil Jio ditempelkan manis di dinding dalam bentuk kolase berbentuk hati.“Kamu memang punya sentuhan ajaib. Aku gak sabar lihat wajah Radit dan Jio nanti,” ujar Rian.“Mereka sudah berangkat dari rumah sakit?” tanya Kina sambil merapikan bunga segar di vas.“Dani baru saja bilang mereka sudah di jalan,” jawab Rian.Kina hanya mengangguk, namun sorot matanya menyiratkan rasa lega sekaligus haru. I
Elina berdiri diam di hadapan dua batu nisan yang berdampingan. Hembusan angin sore membelai rambutnya yang terurai, membawa aroma bunga tabur yang masih segar. Matanya sembab, pipinya basah oleh air mata yang belum sempat mengering. Di sinilah jasad mantan suaminya dan anak mereka dimakamkan. Dua nyawa yang pernah begitu berarti dalam hidupnya, kini hanya tinggal nama yang terukir di atas marmer."Sudah Elina, ayo kita pergi dari sini," suara lembut Radit memecah keheningan. Nada suaranya pelan, penuh pengertian.Elina mengusap pipinya, mengatur napas yang masih sesenggukan. "Aku masih belum bisa percaya semua ini sudah berakhir.""Anggap saja ini takdir, dan balasan bagi orang-orang yang menyakitimu. Kamu sudah cukup kuat, Elina. Sekarang waktunya pulang," ujar Radit menatapnya dalam.Dia tahu ini akan datang. Kepergian, kehilangan, dan akhirnya... kebebasan dari rasa sakit. Segalanya memang sudah berakhir. Orang-orang yang menghancurkan hidupnya telah menerima ganjarannya. Tapi luk
"Sialan," umpat Maya. Maya akhirnya tiba di tempat itu—sebuah gudang tua di pinggiran kota, sunyi dan gelap, hanya diterangi cahaya remang dari lampu gantung yang menggantung lemas di tengah ruangan. Bau debu dan karat menusuk hidungnya, tapi dia tetap melangkah pasti. Tempat ini bukan asing baginya. Di sinilah semuanya bermula... dan di sinilah semuanya harus berakhir.Di sudut ruangan, Bu Winda duduk bersandar pada tiang tua, tangannya terikat, rambutnya kusut, dan wajahnya pucat. Tapi matanya berbinar saat melihat Maya muncul dari balik bayangan."Akhirnya kamu datang juga... tolong, selamatkan aku," ucapnya dengan suara lemah namun penuh harap.Maya mendekat perlahan. Bukan dengan tergesa-gesa seperti seorang penyelamat, tapi dengan langkah pelan penuh perhitungan. Senyum samar terlukis di bibirnya—senyum yang tak mengandung secuil pun belas kasih."Bu Winda," ucapnya dingin. "Sayangnya... kau sudah tidak berarti apa-apa sekarang."Ekspresi harap di wajah Winda seketika berubah j
Radit sudah berhasil mengusir Sari dari tempat ini, dia tidak habis pikir kalau Sari mau mencelakai anaknya, dia tidak bisa mempercayakan anaknya pada orang lain lagi setelah ini."Dia sudah pergi Tuan," ujar Bi Yati."Bagus deh kalau dia sudah pergi," jawab Radit. Bi Yati masih penasaran dengan keadaan Jio sekarang. Ada perasaan yang membuat hatinya tidak enak sekarang."Tuan, kalau boleh tahu, bagaimana keadaan Tuan Muda Jio sekarang?" tanya Bi Yati yang memang merasa penasaran."Dia baik-baik saja, ada Elina juga yang menjaga. Habis ini aku juga akan kembali datang ke sana," kata Radit memberitahu Bi Yati."Terima kasih banyak Tuan."Bi Yati hanya mengangguk sambil tersenyum tipis saja. Dia tidak tahu harus berkata apa setelah ini, bahkan dia tidak sanggup ketika mengetahui semuanya.Radit akhirnya kembali keluar dari rumah, kali ini dia akan datang ke sebuah gudang tempat di mana mertuanya Elina disekap. Tentu saja karena Radit tengah butuh bukti sekarang.Dia butuh bukti keterli
Bela mengikuti Rian dan masuk ke dalam gudang tua yang sudah lapuk dimakan usia. Bau lembap dan debu memenuhi udara, membuat napas Bela sedikit sesak. Mereka bergerak perlahan, menyusuri dinding yang sebagian sudah runtuh. Di balik celah kayu yang menganga, tampak sosok Maya tengah mengintip ke sebuah ruangan gelap.“Dia sedang apa?” bisik Bela, suaranya hampir tak terdengar.Rian menatap lurus ke depan. “Kamu lihat itu? Wanita yang diikat di kursi… dia ibu mertuanya Elina.”Bela terkesiap. Matanya membelalak ketika menyadari siapa wanita yang terikat itu. Tubuhnya tampak lemah, bibirnya kering, dan wajahnya penuh luka.“Apa… maksudmu? Kenapa dia di sini? Dan kenapa Maya—”“Ssst!” Rian menaruh telunjuk ke bibirnya, matanya tajam memperhatikan gerak-gerik Maya yang kini berbalik hendak pergi.“Cepat, sembunyi!” desis Rian.Mereka berdua buru-buru berjongkok di balik tumpukan kayu dan karung lusuh. Jantung Bela berdegup begitu keras seolah bisa terdengar dari luar. Napasnya tercekat saa
Radit melangkah pelan memasuki ruang perawatan, tempat Elina terbaring. Detak jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya, seolah tubuhnya merespon emosi yang selama ini dia tahan.Begitu melihat Elina yang tertidur lelap, dadanya terasa sesak. Wajah itu... begitu tenang, seolah tak pernah melewati badai hidup yang mengguncang mereka belakangan ini. Ia mendekat, duduk di sisi ranjang, lalu perlahan menyentuh rambut Elina dengan penuh kelembutan.“Kamu pasti capek sekali...” bisiknya lirih.Ia menunduk, memberikan kecupan singkat di kening Elina. Momen itu membuat hatinya sedikit lebih tenang. Dekat dengan wanita yang ia cintai seperti ini memberinya kekuatan untuk terus bertahan.Namun, ketika matanya berpindah ke ranjang kecil di sisi lain, tempat anak mereka terbaring dalam selimut putih rumah sakit, hatinya kembali mencengkeram. Begitu kecil, begitu rapuh. Tak pernah terbayangkan Elina harus melalui semua ini."Radit..."Sebuah suara pelan menghentikan lamunannya. Elina menggeliat
Elina mendapatkan telepon dari Kina. Tanpa berpikir panjang, dia langsung mengangkatnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, firasatnya mengatakan ini bukan telepon biasa."Halo, Kina," ucap Elina dengan suara pelan namun penuh kewaspadaan."Aku sudah mendapatkan buktinya. Sari menyimpan obat itu... dan aku berhasil mengambilnya diam-diam," ujar Kina dengan napas terengah, seperti baru saja melakukan sesuatu yang berbahaya.Elina membelalakkan mata. "Kamu yakin itu obat yang menyebabkan Jio keracunan?""Aku yakin. Dan lebih dari itu, Sari tidak bekerja sendirian. Ada seseorang di balik semua ini. Seseorang yang sangat dekat dengannya."Suara berat dan asing tiba-tiba terdengar dari arah pintu."Aku tahu siapa orang itu," ucap Dani sambil berjalan masuk dengan langkah tenang tapi pasti.Elina menoleh cepat, matanya langsung menatap tajam ke arah Dani yang baru saja muncul di ambang pintu kamar rumah sakit Jio.Elina kembali ke telepon, "Kalau begitu aku tutup dulu ya, Kina. Hati-hati." Ia