LOGINSetelah bertemu teman-temannya, Awan langsung pulang ke rumah.
Seperti alasan yang ia ucapkan pada Kirana dan Karina sebelumnya, ia harus segera pulang ke rumahnya. Jika tidak, ibu tirinya bisa mengamuk dan semakin mempersulitnya.
Belum lagi masalah yang ia dapatkan di sekolahnya hari ini, semua itu semakin membuat kusut pikiran Awan.
Awan bisa memastikan jika orang yang menyebarkan berita tentang dirinya dan penyebab kegaduhan hari ini bukanlah si kembar Kirana dan Karina.
Begitupun dengan Teo dan dua temannya. Meski baru mengenal dekat ketiganya baru-baru ini dan mereka adalah tipe orang yang banyak akal dan nakal. Tapi, bukan berarti mereka licik dan suka menghalalkan cara kotor untuk menyerang dirinya.
Teo dan dua rekannya adalah tipe orang yang gentel. Mereka bisa menerima kekalahan mereka dari Awan dan sikap ketiganya juga sangat menghargai Awan setelah pertarungan mereka.
Bagaimanapun, pertarungan mereka dilakukan dengan adil.
Sikap Teo dan dua rekannya hari ini yang menunjukkan kemarahan mereka dan ingin memberi pelajaran pada orang-orang yang telah menghina Awan juga sudah menunjukkan karakter mereka.
Jadi, Awan membuang jauh-jauh kecurigaannya terhadap ketiganya.
Trang!
"Di mana anak sundal itu? Dia sudah berani keluyuran sekarang?"
"Apa dia sudah merasa hebat dan berani pulang terlambat?"
"Lihat saja! Kalau ia pulang, aku akan menghukumnya!"
Belum juga sampai di rumahnya, Awan sudah mendengar teriakan ibu tirinya dan beberapa benda hancur dari dalam rumah.
Awan baru teringat, jika ia sudah sedikit terlambat untuk pulang ke rumah karena pertemuannya dengan Teo dan yang lainnya. Siapa sangka, ibu tirinya itu pulang lebih cepat hari ini dan jika mendengar dari teriakannya, sepertinya ia sedang berada dalam suasana hati yang sangat buruk.
Tiba-tiba saja, Awan mendapat firasat buruk. Apalagi, kalau bukan ia akan menjadi sasaran dari kekesalan ibu tirinya tersebut?
Tidak ingin menambah masalah, Awan segera bergegas masuk ke dalam rumah.
Namun, baru saja ia masuk, sebuah piring sudah melayang ke arah kepalanya.
Woosh.
Trang!
Jika saja reflek Awan tidak bagus, kepalanya mungin sudah bocor saat itu.
Siapa lagi pelakunya jika bukan ibu tirinya!
Padahal Awan sengaja lewat pintu samping yang terhubung dengan dapur. Siapa sangka, ibunya sudah melihat bayangan Awan ketika ia memasuki pagar rumah dan sudah menunggu Awan di dapur.
Sehingga, begitu melihat Awan masuk, ia tidak segan-segan untuk menyerang Awan. Kebetulan, suasana hatinya sedang buruk dan ia ingin segera melampiaskan kekesalannya.
Di rumah ini, siapa lagi yang pantas untuk jadi tempat pelampiasan emosinya jika bukan Awan?
Tapi, melihat lemparannya yang tidak berhasil mengenai Awan, kekesalan Silvi justru semakin memuncak. Wajah cantiknya jadi terlihat mengerikan dan ia kembali menyerang Awan.
Beberapa piring dan gelas di dekatnya kembali melayang. Ia tidak peduli, apa Awan akan terluka atau mati terkena lemparannya.
Suara gaduh di dapur menarik perhatian orang-orang se isi rumah. Tanpa terkecuali saudara tiri Awan, Clara.
Clara segera berlari dari lantai dua dengan panik menuju dapur. Apalagi, suara mamanya terdengar sangat nyaring hingga ke atas. Clara menduga, jika mamanya pasti sedang menganiaya saudara tirinya lagi. Entah apa yang merasuki mamanya itu. Setiap kali ia melihat Awan, ia langsung marah-marah dan tidak ragu untuk menganiaya saudara tirinya tersebut.
Karena suatu alasan, Clara ingin cepat-cepat sampai di dapur untuk menghentikan kekejaman mamanya.
"Mama? Apa yang mama lakukan? Mama bisa membunuh kak Awan?" Teriak Clara syok melihat aksi brutal mamanya. Beruntung, tidak ada lagi barang pecah belah yang bisa digunakan mamanya untuk menyerang Awan. Tapi, karena alasan itu juga, Silvi semakin gelap mata dan kini ia beralih meraih sebuah sapu dan bermaksud memukul Awan.
'Tidak!'
Clara khawatir mamanya itu semakin menjadi-jadi dan tidak terkendali. Karena itu, tanpa berpikir dua kali, Clara segera berlari ke depan Awan untuk menghentikan mamanya. Ia tahu, jika mamanya tidak mungkin memukulnya. Karena itu, Clara tanpa ragu berdiri di depan Awan untuk melindunginya.
"Mama, hentikan! Cukup, ma!"
"Clara, minggir!" Hardik Silvi sambil menarik paksa tangan Clara untuk menyingkir dan satu tangan lainnya tetap menyerang Awan.
Sejauh itu, Awan hanya diam tanpa berniat menghindar sama sekali. Beruntung ada Clara yang memaksa berdiri di depannya. Jika tidak, ia mungkin akan sangat menderita kali ini. Meski begitu, beberapa serangan Silvi tidak bisa dielakan dan cukup meninggalkan rasa sakit.
Selama ini, Silvi belum pernah begitu bernafsu untuk menyerang Awan secara fisik seperti sekarang ini. Entah kesal karena apa, sehingga membuat ibu tirinya itu seperti orang kerasukan.
Sementara, para pembantu yang melihat langsung kesadisan Silvi, tidak dapat berbuat banyak. Mereka menatap kasihan ke arah Awan. Terutama, mereka yang telah lama bekerja lama di keluarga Mahendra dan mengasuh Awan sedari lama. Sebagian dari mereka bahkan ada yang menangis karena kasihan dengan Awan. Namun, mereka sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela Awan.
Krak!
"Argh."
Entah pukulan ke berapa, hingga gagang sapu di tangan Silvi patah.
Silvi terangah dan ia berteriak kesal. Kemarahannya belum hilang dan sorot matanya tampak masih ingin memukul Awan. Hanya saja, karena ia sudah kelelahan, membuatnya malas untuk meneruskan serangannya terhadap Awan. Ditambah, putrinya yang terus menerus berusaha untuk melerainya.
Sekejam-kejamnya Silvi, ia tidak mungkin tega melukai putrinya sendiri.
Sehingga yang bisa ia lakukan hanya memelototi Awan dengan tidak puas.
"Kamu, bersihkan gudang dan pel seluruh rumah tanpa ada yang terlewat!" Tunjuk Silvi ke muka Awan.
"Tapi, ma..."
Clara bermaksud untuk membela Awan. Apalagi, beberapa serangan ibunya berhasil mengenai Awan dan masih tampak beberapa bekas lebam di tangan dan bahu Awan.
Mengapa ibunya masih tega menyuruh saudara tirinya itu bekerja berat, setelah terluka begini?
Clara merasa sangat kasihan dengan Awan dan ingin meminta ibunya agar tidak memberatkan Awan. Hanya saja, saat melihat sorot tajam mata ibunya, semua keberanian Clara langsung surut dengan cepat.
Alhasil, ia hanya bisa melihat ibunya memperlakukan Awan dengan semena-mena.
Setelah ibunya berbalik pergi, barulah Clara berani menghampiri Awan.
Clara bahkan sempat tertegun sejenak, begitu melihat beberapa luka lebam di lengan Awan.
"Kak Awan, tidak apa-apa? Biar Clara obati dulu lukanya!" Ujar Clara dengan tatapan prihatin.
"Tidak usah! Aku harus bekerja." Balas Awan datar dan meninggalkan Clara begitu saja.
Awan sadar kalau adik tirinya itu perhatian padanya. Perhatian Clara juga yang menjadi salah satu alasan Awan masih bisa menoleransi sikap tidak masuk akal ibu tirinya.
Clara sangat berbeda dengan Silvi. Jika ibu tirinya itu adalah sosok iblis, maka Clara adalah malaikat. Hanya saja, Awan tidak bisa membalas sikap baik Clara terhadapnya. Bagaimana pun, Clara adalah putrinya Silvi dan Awan masih belum sepenuhnya bisa menerima perhatian Clara.
"Kak?" Panggil Clara dengan suara bergetar.
Awan sama sekali tidak menghentikan langkahnya dan berlalu meninggalkan Clara di dapur. Ia harus buru-buru menganti pakaian dan mengerjakan semua perintah Silvi. Sebelum ibu tirinya itu mengamuk kembali dan semakin memperberat hukumannya.
“Wow, Z1000 Special Edition? Gaji kapten polisi sekarang gede juga, ya?”Awan mengangkat alisnya tinggi, nada suaranya campuran antara kagum dan menggoda.Motor sport besar berwarna hijau hitam itu berdiri gagah di bawah cahaya lampu jalan. Knalpotnya masih beruap, suara mesin yang baru dimatikan terdengar seperti dengusan hewan buas yang belum sepenuhnya jinak. Di atasnya, berdiri seorang wanita berambut hitam yang diikat tinggi, mengenakan jaket kulit dan celana jeans ketat. Dian Saka, selalu dengan gaya tangguhnya.Sejujurnya, Awan cukup terkejut melihat Dian mengedarai motor sport tersebut. Waktu pertama kali datang ke kota Samarda, ia cuma pernah lihat model motor itu di iklan. Belum sempat rilis, tapi di depan matanya sekarang, sudah ada satu dan itupun dikendarai oleh seorang wanita.Dian hanya tersenyum tipis, tidak bangga, tidak pula pamer. Ia menepuk sadel belakang motornya,“Bukan dari gaji polisi. Ini hadiah ulang tahun dari ayahku. Aku bahkan sempat nolak, tapi ya... mere
Langit malam tampak berat. Awan pekat menutupi rembulan, dan hanya sesekali kilat menyambar di kejauhan, menerangi reruntuhan bangunan tempat dua sosok itu berdiri saling berhadapan. Bau darah samar masih tercium di udara, sisa dari pertempuran yang baru saja berakhir.Awan menatap lelaki berpakaian serba hitam di depannya, seorang pria berusia 40an dan tubuhnya setengah berlutut, nafasnya terengah, tapi matanya masih menyimpan perlawanan. Lelaki itu, dikenal di dunia bawah tanah dengan nama 'Spectre', salah satu pembunuh bayaran paling berbahaya yang pernah dikirim untuk menumbangkan siapa pun yang menjadi targetnya. Tapi malam ini, dia gagal.Bukan karena ia lebih lemah dari lawannya, tapi karena lawannya sudah mengetahui semua jurus andalannya dan bahkan lebih baik darinya.Dan lebih dari sekadar gagal, dia terpukul oleh sesuatu yang tidak mampu ia jelaskan dengan logika manusia biasa.“Sekarang, kamu bisa jelaskan darimana kamu mempelajari teknik itu?” tanya Awan pelan, suaranya da
“Berhenti di sini, Pak.”“Hah? Di sini, Mas? Beneran?” sopir taksi itu menatap lewat kaca spion dengan dahi berkerut. Jalan yang mereka lalui sudah sepi sejak sepuluh menit lalu, hanya ada deru angin malam dan bayangan pepohonan di pinggir jalan. Tak ada rumah, tak ada lampu jalan. Tempat ini benar-benar gelap dan sunyi.Awan hanya tersenyum tipis, “Iya, berhenti di sini saja, pak.”Nada suaranya datar tapi mantap. Tak memberi ruang untuk ditawar.Sopir itu masih ragu, “Tapi, Mas... di sini bahkan nggak ada rumah. Mas yakin ini tempatnya?”Sopir taksi sempat mengira jika Awan sedang bercanda dan bertanya untuk memastikan.“Saya yakin.”Awan menatap keluar jendela. Hanya ada jalan kecil yang bercabang menuju gang sempit. Dari kejauhan, tampak seperti jalur mati. Tapi di mata Awan, tempat itu ideal. Tak ada kamera, tak ada saksi, tak ada suara selain jangkrik dan desir dedaunan. Tempat sempurna untuk untuk sebuah pertarungan, dan yang terpenting, tidak membahayakan keselamatan orang lain
Selepas kepergian Dian dan yang lainnya, malam itu kantor terasa begitu sunyi. Hanya ada suara ketikan keyboard, dengungan pendingin ruangan, dan aroma kopi yang sudah dingin di atas meja. Awan dan Nadya masih di sana, bekerja dalam diam. Wajah mereka sama-sama lelah, tapi tidak ada yang mau menyerah. Meski sekarang hanya ada mereka berdua, tapi tidak ada kesempatan untuk mengulang momen romantis seperti siang tadi. Keduanya larut dalam pekerjaan. Tumpukan dokumen di meja Nadya belum juga berkurang. Puluhan karyawan yang mengundurkan diri bersama Tomi sebelumnya dan ditambah tekanan dari berbagai pihak, membuat beban kerja Nadya naik berkali lipat. Karena tidak tega membiarkan Nadya bekerja seorang diri memeriksa banyak dokumen dan membuat banyak pengaturan, mau tidak mau Awan akhirnya ikut lembur bersama Nadya. Meski perannya hanya sebagai pendukung karena semua pekerjaan utama sudah bisa dihandel dengan baik oleh Nadya.“Sudah jam sebelas lewat, Nad. Kita pulang, yuk!” ucap Awan pe
Suara langkah sepatu hak tinggi bergema di lorong panjang kantor utama. Nadya yang baru saja menatap Awan dengan mata setengah terpejam refleks menegakkan tubuhnya. Aura keintiman yang baru saja terbangun seketika menguap begitu pintu ruangannya terbuka keras.Kali ini, bukan Lona yang datang. Sosok yang muncul di ambang pintu adalah, Dian Saka, gadis dingin, berwajah tegas, dan pernah menjadi rekan ekspedisi Awan sebulan yang lalu. Di belakangnya tampak Lona dengan senyum jail, serta Erika Harsya, putri sulung keluarga Harsya, yang menatap ruangan dengan ekspresi hati-hati namun berwibawa.Awan mendengus dalam hati. Ia tahu, kalau Lona ikut di belakang, pasti tidak akan ada kabar baik. Dan benar saja, melihat wajah puas gadis itu, Awan langsung tahu kalau Lona sedang menikmati perannya sebagai pengganggu waktu romantisnya bersama Nadya. Sial, lagi-lagi gagal di momen terakhir. Satu centimeter lagi. Lona memiringkan kepala, menatap Awan dengan gaya usil. "Aduh, maaf ya! Gak ganggu,
Di saat Tomi dan kelompoknya baru saja selesai diperiksa di ruang security, Awan duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela besar. Tapi pikirannya tidak ke mana-mana. Ia tersangkut di satu hal yang sangat menyakitkan bagi harga diri pria sepertinya.‘Jir, tinggal satu senti lagi!’ gumamnya dalam hati. Kalau saja ia bukan pria sejati, ia mungkin sudah menangis bombai sekarang.Ya, hanya satu sentimeter yang memisahkannya dari momen paling berharga bersama Nadya. Sebuah momen yang jarang bisa mereka dapatkan. Apalagi, ia sudah menghilang cukup lama dan sudah sewajarnya bagi sepasang kekasih melepas rindu satu sama lain.Satu sentimeter yang gagal ia taklukkan, gara-gara seseorang datang tanpa diundang, siapa lagi kalau bukan gara sepupu Nadya, Lona.Sekarang gadis itu duduk di depan meja, menangis pelan sambil bercerita panjang lebar. Sudah hampir setengah jam Lona curhat tanpa henti dengan Nadya yang duduk disampingnya sambil menenangkannya, sementara Awan hanya menatap kos







