Share

3 :: Pejuang Hidup Budiman ::

Matahari pagi cukup terik hari ini membuat peluh keringat Arinda yang habis lari pagi lebih banyak keluar. Saat dia akan membuka kunci pintu besi depan kos ternyata sudah ada seorang pria dari dalam membuka pintu itu juga.

"Habis lari Arinda," sapa pria bernama Anton itu ramah.

"Iya nih. Thanks ya Anton," jawab Arinda lalu berlari naik ke kamar kos-nya.

Begitu sampai di kamar kos dia langsung mandi dan langsung memasak makanan untuk beberapa penghuni kos lain di dapur mini yang dia buat di kamarnya. Untung ada jendela di kamarnya sehingga tidak akan membuat kamarnya pengap.

Tapi kali ini Arinda tidak bersemangat memasak itu semua karena sudah satu tahun lamanya dia menganggur dan hanya mengandalkan uang tabungan dan penghasilan seadanya dari dia berjualan makanan seperti ini.

Sambil memasak Arinda berpikir dia harus segera mendapat pemasukan yang baik jika tidak umurnya akan semakin tua dan kesempatan untuk hidup bahagia di usia tua akan semakin menipis.

Setelah selesai Arinda mengantarkan sepuluh porsi nasi goreng ala anak kos ke pemilik kamar masing-masing.

Satu porsi nasi goreng hanya dia jual seharga sepuluh ribu rupiah, harga yang sangat murah dan juga standar untuk nasi goreng ebi di tambah telur.

Arinda kembali ke kamarnya dan mulai membereskan kamar, sore nanti dia akan mengayuh sepedanya untuk ke pasar terdekat membeli keperluan makan dan jualannya. Begitu setiap harinya Arinda melakukan kegiatannya.

Lalu terdengar suara familiar di depan kamarnya.

"Arinda? Udah masak belum?" tanya Nindy pelan sambil mengetuk pintu.

"Bukannya tanya udah bangun belum malah tanya udah masak belum, dasar tetangga nggak tau diri!" balas Arinda dari dalam.

Nindy terkekeh dan mulai membuka pintu kamar. Jika sudah begitu berarti Arinda mempersilahkannya masuk. Harum makanan langsung tercium di hidung Nindy. Bersyukur dia mempunyai tetangga yang hobi memasak sehingga dia bisa membantu untuk menghabiskan masakannya.

"Minta sarapan ya?" tanya Nindy dengan cengiran polosnya.

"Kau ya! Nanti kalau udah kerja harus bayar!" balas Arinda. Logat batak keluar begitu saja dari mulutnya dan itu sudah biasa pasti bagi si Gendis. Arinda lalu memberikan nasi goreng buatannya kepada Nindy.

"Gimana? Udah ada panggilan belum?" tanya Nindy.

"Belum."

Nindy menghela napas lelah. Nasibnya dan Nindy tidak beda jauh jika Arinda bertahan dengan uang tabungan yang nyaris habis dan berjualan masakan, Nindy bertahan di Ibu Kota dengan kerja serabutan.

***

Arinda sedang membaca buku di tempat tidurnya setelah mengirim beberapa email ke perusahaan yang membuka lowongan bagi tamatan SMA sepertinya. Lalu kemudian terdengar suara Nindy lagi memanggilnya, dia membuka pintu kamar dan menemukan Nindy di sana.

"Kenapa HP lo nggak aktif? Ini lo jemput Ela sekarang di rumah sakit. Dia kecelakaan." Nindy tampak tergesa memberikan kunci motornya.

"Kecelakaan?" tanya Arinda terkejut, "Kenapa gue yang jemput?"

"Gue harus kerja. Udah cepet jemput Ela sekarang, alamatnya udah ada di grup chat. Gue berangkat dulu." Tanpa menunggu jawaban Arinda, Nindy langsung berlalu pergi.

"Terus lo kerja naik apa?!" teriak Arinda.

"Jalan, deket kok di taman!" balas Nindy sambil menuruni tangga.

"Oalah mak jang," ujar Arinda memakai switer lalu keluar dari kamar.

Arinda yang lihai membawa motor dengan kecepatan tinggi tidak membutuhkan waktu lama sampai di rumah sakit.

Dia masuk ke rumah sakit buru-buru melihat sahabatnya yang bening itu dimana. Lalu wajah Ela terlihat membuat Arinda segera menghampirinya.

"Ela?" Yinela menoleh saat melihat Arinda sampai.

"Butet," Yinela segera memeluk sahabatnya itu lalu menangis.

sebenarnya Arinda ingin membekap mulut Ela yang sudah memanggilnya Butet di depan banyak orang, tapi dia tahan karena ada beberapa pasang mata yang melihat mereka."Gue takut, Rin."

"Shh, udah nggak pa-pa. Sekarang gimana keadaan anak itu?"

Yinela melepaskan pelukannya lalu melirik anak yang masih kecil berada dipangkuan seorang pria.

"Saya temannya Yinela, Om, Tante."

Kedua orang tua anak itu mengangguk bersamaan. Lalu, sang ibu berkata,

"Bawa dulu teman kamu bersih-bersih. Lihat, bajunya sudah kena darah semua."

Arinda mengangguk. "Baik Om." Gadis itu lalu menarik tangan Yinela. "Ayo."

Setelah semua urusan Ela selesai Arinda baru membaca group w******p mereka kemudian memberi kabar kepada Nindy dan Reina kalau dia dan Ela sudah akan kembali ke kos.

Arinda menghembuskan napas lega karena Ela tidak terluka parah dia sudah sempat berpikiran macam-macam tadi di jalan.

***

Ed sedang berada di mobilnya dan duduk sambil memainkan ponsel. Mobil itu sedang berhenti karena terjebak lampu merah. Ed yang merasa bosan melihat sosial media kemudian melihat jalanan yang ramai dan tidak dia duga dia kembali melihat wanita manis waktu itu.

Wanita itu memakai helm dan wajahnya fokus melihat jalan di depannya. Posisi mobil Ed dan sepeda motor wanita itu bersebelahan dan satu niat jahil muncul dalam benaknya.

Ali yang berada di sebelah Ed menggelengkan kepala saat melihat Ed sedang memotret wanita manis itu.

"Diajak kenalan aja bos," kata Ali dan Ed hanya memberikan senyuman pertanda setuju.

Ed baru menurunkan kaca jendela namun sialnya lampu sudah berubah menjadi warna hijau membuat sepeda motor wanita itu melaju lebih dulu dari mobilnya.

Ed tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya, dia merasa sangat aneh karena tertarik dengan wanita yang terlihat sangat sederhana namun manis. Ed sangat suka melihat mata dan dagu terbelah yang dimiliki wanita itu, dia tidak berharap bisa bertemu lagi dengan wanita itu namun jika akan bertemu lagi Ed akan bergegas berkenalan dengannya.

"Foto saja tidak apa, jika bertemu lagi mungkin akan jadi foto di akte nikah."

ya kan ?

***

"Ela?" panggil Nindy, "Lo masih idup kan?"

Arinda mendengar suara Gendis dan dia tertawa sendirian mendengar ocehan Gendis.

"Oke, gue panggil Arinda sama Reina dulu."

"Reina kerja," ucap Ela cepat.

"Itu orang kerjaannya malem mulu, gue laporin bapaknya baru tau rasa," gumam Nindy mengetuk pintu Arinda sebentar dan berjalan ke dapur. Dia mulai menyiapkan makan malam mereka.

"Wah, kesurupan apa lo tiba-tiba bawa nasi padang?" Arinda menatap Nindy bingung.

Nindy tersenyum, "Dapet rejeki dari kakek."

"Kakek?" tanya Ela bingung, "Gue tau lo nggak ada duit tapi ya jangan sama kakek-kakek juga dong, Ndis."

"Otak lo ya! Gue habis bantuin nenek-nenek tadi jadi dikasih duit."

"Kirain udah putus asa, terus-"

"Terus apa?!" Nindy menatap Arinda tajam.

"Nggak jadi." Arinda tertawa dan menarik piringnya mendekat.

Mereka mulai makan dengan diiringi ocehan Arinda yang tiada henti. Dia memang hobi berbicara, bahkan saat makan. Malam ini terasa kurang tanpa keberadaan Reina yang harus bekerja. jadi Nindy memasukkan nasi padang milik Reina ke lemari pendingin.

Meski batin Arinda mengatakan rasa nasi padang itu pasti tidak akan sama lagi, sungguh sangat di sayangkan pikirnya.

Arinda kemudian memutuskan untuk tidur cepat malam itu karena dia akan pergi pagi-pagi besok untuk melamar pekerjaan.

Hidup di Ibu Kota itu sungguh sulit terlebih bagi mereka yang menginginkan jalan halal dalam mencari rejeki.

Arinda harus benar-benar giat dan tidak pantang menyerah.

Bersambung.. ..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status