"Di Rumah Sakit Eca butuh aku di sana, tapi…." Hari sudah sore, Eca sangat gelisah di rumah sakit, sebab Ridwan tak kunjung datang. "Coba kamu telpon Masmu, Vin. Kok belum pulang kemari dia?" Eca menyuruh Vina. "Mbak aja lah. Aku nggak berani." "Ya sudah, sini HP kamu!" Eca mengulurkan tangannya meminta Vina memberikan hpnya. "HP Mbak kan ada, pake HP mbak aja, kenapa?" "Nomorku masih di blok sama Masmu itu."Jawab Eca dengan warna juteknya. "Lagian kenapa di telpon-telpon sih, Ca? Biar saja kapan Ridwan mau pulang. Bisa jadi sekarang dia lagi bersama Hanum. Kamu itu harus ngerti jadi istri. Jangan terlalu curigaan terus. Nanti suamimu bisa nggak betah kalau kamu kekang terus, dia punya anak dan istri lain juga. Nggak cuma kamu aja istrinya!"Rista berkata dengan nada sinis. "Mama kenapa sih, Ma? Kok sekarang jadi kaya nggak suka banget sama aku? Aku juga lagi hamil anaknya Mas Ridwan lho, calon cucu Mama. Mama pikir aku nggak ngertiin Mas Ridwan selama ini? Kurang ngerti apa
"Jadi … Rara sudah tau kalau Eca istri kamu?!"tanya Rista lagi. Lagi Ridwan tertunduk dan mengangguk kecil. "Ini nggak bener, Wan. Dari awal juga Mama sudah bilang sama kamu, Wan. Pikir-pikir lagi jika mau menikah. Rara itu wanita cerdas. Dia tidak akan tinggal diam jika hidupnya merasa terusik. Sekarang terbukti, kan? Sekarang kamu mau apa dengan hubungan ini? Kamu masih mau lanjutin juga?" tanya Rista tegas. Sekarang justru mata Eca yang membulat sempurna mendengar pertanyaan mertuanya barusan. "Maksud Mama bicara seperti itu apa, Ma?" tanya Eca menyela pembicaraan Mertua dan suaminya. Rista dan Ridwan menoleh bersamaan ke arah Eca. Namun Rista tidak menjawab pertanyaan Eca. Rista justru bertanya kembali kepada Ridwan. "Gimana, Wan?" tanya Rista lagi. Lagi dan lagi Ridwan hanya menarik nafas panjang. "Sudah lah, Ma. Sekarang ini aku fokus dulu sama Eca. Kasian dia lagi sakit." Ridwan mencoba mencari alasan agar tak lagi di introgasi oleh Rista. "Terus sekarang gimana? K
Hanum tengah asyik belajar di kamar, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. Ternyata Rara di luar ingin masuk untuk mengajak Hanum bicara dari hati ke hati. Kurang lebih lima hari Hanum tak bersua Papanya, alasan yang diberikan Rara ialah. Papa lagi ada urusan penting jadi nggak bisa diganggu dulu dan nggak bisa pulang dulu. Rara berbohong. Sementara Ridwan tak juga menghubungi Hanum karena kesibukan merawat Eca selama di rumah sakit. "Kakak lagi belajar, ya? Bunda ganggu dong?""Iya, Bunda, lagi ada tugas dari sekolah. Tapi udah siap, Kok." Imbuh Hanum sambil membereskan Buku-bukunya. "Oh, syukurlah Kakak sudah siap. Bunda mau ngomong sebentar sama Kakak, boleh?"Hanum menoleh sebentar, lalu kembali membereskan Buku-bukunya. "Boleh dong, Bun. Memangnya bunda mau ngomong apa?" Hanum berjalan mendekati Rara yang tengah duduk di sofa sambill menatap wajah teduh anak semata wayangnya itu. Hati Rara berat sekali untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Rara takut jika nanti
Rara membawa Hanum kedalam pelukannya, bibir Rara bergetar menahan tangis. Bagaimana agar kerapuhan itu tidak tampak di hadapan Hanum"Terima kasih sudah dewasa, Nak." Ujar Rara. Senyum Hanum terukir di dalam pelukan bundanya. "Jika bukan Kakak menemukan tulisan Bunda, tidak mungkin Kakak bisa menjadi dewasa ini, Bun." Gumam Hanum. ****"Mau kemana, Mas? Kok udah rapi?" tanya Eca saat melihat Ridwan yang sudah bersiap-siap. "Mau pulang ke rumah, kangen Hanum." Sahut Ridwan jujur. "Kan ini minggu, Mas. Kok kamu pulang sih!"Ridwan yang tengah mengenakan kancing kemejanya menoleh, menatap Eca. "Mas udah satu minggu sama kamu lho, masa iya hari ini Mas nggak boleh pulang juga? Mas kangen Hanum." Tukas Ridwan. "Kangen Hanum apa kangen istri tanpa rahimmu itu?" celetuk Eca dengan muka masamnya. Kali ini Ridwan menatap Eca tajam. Rahangnya mengeras mendengar hinaan yang dilontarkan Eca pada Rara. "Jaga ucapan mu! Dia itu istriku juga. Meskipun dia tanpa rahim, tapi dia wanita y
Rara sedang yang tengah berada di kamar menatap lembar kertas putih di tangannya yang baru ia dapatkan dua hari lalu, di kejutkan dengan kedatangan Hanum. "Bun, di bawah Oma dama Papa." Hanum mengatakan dengan nafas yang naik turun. Senang ia naik ke lantai dua dengan sedikit berlari. "Sejak kapan, Kak?" tanya Rara. "Itu Bun, baru datang. Coba bunda lihat dari balkon." titah Hanum. Rara menarik nafasnya pelan. Ada rasa gugup yang hinggap secara tiba-tiba. "Kenapa Mama datang kesini juga." Hati Rara berucap. Rara menyikapi gorden kamarnya sedikit untuk melihat kebawah. Tampak Ridwan sedang berjalan bersama Rista yang hampir sampai di teras rumah. "Oyo, Kak, kita turun." Ajak Rara. Rara dan Hanum melangkah menuju ruang bawah. "Assalamu'alaikum, Cucu Oma," sapa Rista pada Hanum. Rara hanya menjawab salam meraka dalam hati. Tak sedikitpun Rara berniat mengambil tangan mertuanya untuk di cium, sebagai tanda hormat. Sebab rasa hormatnya sudah hilang saat mengetahui perselingkuhan
"Tidak ada perceraian diantara kita! Titik!" hardik Ridwan. "Sebutkan satu alasan Aku harus bertahan dengan pernikahan ini, Mas? Apa?! Setelah kamu menodai pernikahan ini, sekarang kamu ingin aku tetap menerimanya?! Kamu pikir segitu aku cinta dan takut kehilanganmu?" Rara berdiri dan menaikkan suaranya beberapa oktaf. Hanum yang mendengar itu, menutup telinganya dengan kedua tangannya, dan berlari menuju kamarnya. Airmata yang tadi terus membasahi pipinya kian mengalir tak henti-henti tanpa di minta. Hancur? Sudah pasti! Tidak pernah terpikirkan oleh hanum akan menjadi saksi hancurnya kisah kedua orang tuanya yang akan berakhir seperti ini. "Aku tahu ini mungkin terbaik untuk, Bunda. Tapi kenapa? Mengapa Bunda tidak mempertahankan Papa dan kembali bersama agar keluarga ini tetap utuh? Why? Itu artinya bunda kalah dengan wanita itu? Wanita yang sudah merebut Papa dariku dan Bunda."Hanum merasa terpuruk atas apa yang ia dengar, tapi Hanum tak bisa menyela, Hanum tau bundanya ing
"Aku tidak perlu syarat apa-apa untuk mengakhiri hubungan ini, Mas. Jadi maaf, aku nggak butuh syarat darimu." ujar Rara. "Kalau begitu, Mas nggak Terima kita berpisah. Itu nggak akan terjadi." Tegasnya lagi."Berhenti menghalangiku, Mas. Aku tidak akan pernah goyah hanya karena ancaman mu." Tukas Rara lagi. "Mas minta kembalikan mobil, perhiasan, dan juga uang yang tersimpan di ATM, Mas kemarin. Dan satu lagi, Mas juga minta sertifikat butik."Lagi dan lagi Rara hanya tersenyum getir. Rara sudah menahan untuk tidak menanyakan alasan apa. Sebab Rara sudah tau kemana arah tujuan Ridwan. Bahkan tanpa Rara tanya pun, akhirnya keluar juga dari mulutnya. "Oh, Mas mau, mobil? Perhiasan? uang di ATM dan juga sertifikat butik?" tanya Rara memastikannya."Ok, Mas. tunggu sini."Rara lalu berdiri, dan berjalan ke lantai atas menuju kamarnya. "Mau kemana?" tanya Ridwan. "Kamu mau yang kamu sebutkan tadi?"Ridwan sedikit lega, ternyata Rara mau juga menyerahkan itu. Batinnya berucap sena
Waktu bergulir dengan sangat cepat, hari yang dinanti-nantikan itupun telah tiba. Ya, hari ini adalah hari sidang putusan perceraian Rara dan Ridwan. Meski pun Ridwan sempat terus menolak dan mengatakan tidak Ingin berpisah, namun tidak dengan Rara. Rara tetap dengan pendiriannya, Rara tetap ingin berpisah, terlebih dengan adanya bukti-bukti atas perselingkuhannya. Setelah melewati proses yang cukup alot, akhirnya hakim mengetuk palu Ridwan dan Rara resmi berpisah. Ridwan hanya tertunduk lesu mendengar hakim membacakan keputusan akhir. Harapan Ridwan untuk tetap bersama dengan Rara pupus sudah. Setelah selesai, semua keluar dari ruangan sidang. Ridwan, Rista, Vina dan juga Eca yang turut hadir menata Rara dengan penuh kebencian.Bagaimana tidak? Sebab perceraian ini Rara diuntungkan banyak. Ridwan tak mendapati sepersen pun harta yang sudah didapati saat bersama Rara dulu. Begitu juga dengan hak asuh, sebab Hanum lebih berpihak kepada Rara, sehingga ridwan tidak bisa bersikeras me