Home / Rumah Tangga / Ada Apa Dengan Istriku? / Bab 2 Kehebohan Di Rumah Sakit

Share

Bab 2 Kehebohan Di Rumah Sakit

Author: Nur Avillah
last update Last Updated: 2025-05-21 23:49:16

Nayla perlahan membuka matanya. Pandangannya masih sedikit kabur, tapi ia bisa melihat sekeliling ruang operasi yang terang benderang. Tubuhnya terasa ringan, seolah anestesi itu tidak bekerja sama sekali.

"Aneh... aku harusnya nggak bisa bergerak? Apa mungkin karena perempuan itu?" pikirnya.

Dia menggerakkan jari-jemarinya dengan hati-hati. Ya, dia masih bisa merasakan semuanya. Perlahan, Nayla mengangkat sedikit kepalanya dan melihat ke sekeliling ruangan.

Ruangan itu sepi. Hanya ada satu orang dokter yang berdiri membelakanginya, dokter itu sibuk menyiapkan alat-alat bedah di atas nampan logam. Suara dentingan alat-alat itu menggema di ruangan yang sunyi.

Nayla menelan salivanya susah payah. "Sekarang, aku harus pergi dari sini."

Dengan hati-hati, dia melepaskan selang infus dari tangannya. Darah mengalir sedikit dari bekas infus itu, tapi Nayla tidak peduli. Perlahan, dia menggeser tubuhnya ke pinggir meja operasi.

"Gimana caranya aku keluar dari sini?" gumamnya lirih, mencari jalan keluar.

Nayla mengatur napasnya pelan-pelan, matanya terus mengamati gerak-gerik dokter yang masih asyik menyiapkan alat bedah itu.

"Dia nggak sadar kalau aku udah bangun..." gumamnya.

Dari posisinya, Nayla melihat pintu darurat di sebelah kiri ruangan, hanya berjarak lima langkah dengannya.

"Aku harus bisa pergi ke sana..."

Perlahan, dia menurunkan kakinya hingga menyentuh lantai yang dingin. Tubuhnya masih terasa lemas, namun Nayla sudah memutuskan apa yang harus dia lakukan.

Krekk!

Suara kecil dari meja operasi yang bergeser membuat dokter itu menoleh. Nayla membelalakkan mata dan menoleh perlahan menatap sang dokter. Tubuhnya tiba-tiba membeku.

"Kamu sudah sadar?" suara dokter itu terdengar datar, tapi anehnya... dia tidak berteriak atau memanggil bantuan. Malah, tatapannya terlihat sangat kosong, seperti orang yang jiwanya sedang tidak berada di tubuhnya.

Nayla mengangguk kaku. Tapi, dokter itu juga hanya mengangguk pelan.

"Pergilah," katanya dengan nada datar.

Nayla terkesiap mendengarnya. "Apa?!"

Sebelum sempat bertanya, dokter itu sudah kembali memunggunginya, seolah tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Nayla.

"Ini nggak normal, ini aneh..." gumam Nayla lirih.

Tapi Nayla tidak punya waktu untuk berpikir. Dia melompat dari meja operasi, kakinya sedikit gemetar, namun dia berusaha untuk tetap tenang. Dengan langkah cepat, dia meraih gaun birunya yang tergantung di dekat pintu.

Begitu keluar, Nayla disambut koridor rumah sakit yang sepi mencekam. Lampu neon berkedip-kedip, suara mesin dari ruangan lain terdengar sayup-sayup di telinganya.

"Dimana semua orang?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Dia berlari kecil menyusuri koridor, mencari tanda pintu keluar. Tapi, tiba-tiba—

"Pasien kabur! Cepat cari!"

Suara teriakan dari belakang membuat jantung Nayla berdegup kencang. Dari kejauhan, dia melihat beberapa dokter dan perawat berlarian ke arah ruang operasi yang baru saja dia tinggalkan.

"Apa... dokter itu nggak sadar saat membiarkan aku pergi? atau..." Pikiran Nayla kacau, tapi kakinya terus melangkah dengan cepat.

Dia melihat tanda 'EXIT' di ujung koridor. Tanpa pikir panjang, Nayla mendorong pintu darurat itu.

BRRNG!

Alarm berbunyi nyaring, tapi Nayla sudah melompat turun melalui tangga darurat.

***

Sementara itu, di ruang operasi, para dokter yang baru masuk terkejut melihat meja operasi yang kosong.

"D-Dimana pasiennya?!" teriak dokter bedah utama, matanya melotot ke arah rekannya yang tadi menjaga Nayla.

Dokter itu hanya menggeleng pelan, wajahnya terlihat bingung.

"Aku... aku tidak tahu. Tadi dia masih di sini..." katanya terbata-bata.

Mereka semua terkejut melihat kejadian aneh yang baru saja mereka alami selama bekerja sebagai dokter.

Seorang perawat memeriksa monitor yang masih menyala. "Ini tidak mungkin! Anestesi seharusnya membuatnya tidak sadarkan diri setidaknya tiga jam lagi!"

Dokter bedah utama berjalan menghampiri rekannya yang menjaga Nayla. Terlihat rekannya itu sedang membeku di tempatnya.

"Kamu serius tidak melihatnya?" tanyanya.

"Serius, dok. Tadi aku lihat dia masih di sini, aku juga tidak tahu ada apa denganku?" jawab rekannya.

"Anehh! Ini benar-benar aneh!" ujar dokter bedah utama, dia pertama kali melihat kasus seperti ini.

Sementara itu, seorang suster berjalan menemui Rendy dan keluarganya yang menunggu Meira di ruang tunggu.

"Permisi, Pak Rendy?" tanya sang suster dengan suara yang terdengar gelisah.

Rendy berdiri menatap sang suster dengan alis terangkat.

"Ada apa, sus?" tanyanya.

"Mohon maaf, Pak. Untuk saat ini, operasi mbak Meira di tunda dulu," ujar suster itu dengan hati-hati.

"Apaa?! Maksudnya apa ini?!" tanya Rendy yang mulai tersulut emosi.

Kedua orang tua Meira juga berdiri, mereka cukup terkejut mendengar kalau operasi anak kesayangan mereka di tunda.

"Ada apa, ya? Kenapa di tunda?" tanya Rangga Hartanto, ayah Meira.

"Se-sebenarnya... pendonor atas nama Nayla Ardiani kabur dari ruang operasi," jawab suster itu seraya menunduk.

Mata Rendy langsung melotot mendengar penuturan sang suster. "AAPAA?!! NAYLA KABUR?!!!"

Wajah mereka langsung merah padam mendengarnya. Tangan mereka mengepal erat, menahan amarah yang mulai meluap.

Dewi Anggraini, ibu Meira, langsung meraih kerah baju suster itu dengan geram. "Kalian ini rumah sakit apa kandang ayam?! Kok bisa-bisanya pasien kabur?! KALIAN NGGAK BECUS!!!"

Suster itu gemetar ketakutan. "Mo-mohon maaf, Bu. Kami sedang mengerahkan semua..."

"DIAM!" Rendy memotong dengan suara menggelegar. "Kalau sampai operasi Meira gagal karena ini, aku akan gugat habis-habisan rumah sakit ini!!! KALIAN AKU TUNTUT KE JALUR HUKUM!!!"

Rangga Hartanto menimpali dengan penuh amarah. "Ini kelalaian medis!!! Aku punya kenalan di Dinas Kesehatan! Kalian akan menyesal!"

"Panggil Direktur!" pinta Rendy dengan nada tajam.

Dengan wajah pucat, perawat itu memanggil direktur rumah sakit.

Dengan wajah dingin, Rendy mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang. "Cari Nayla ke seluruh kota, bawa dia hidup-hidup ke depanku."

Direktur rumah sakit, dr. Arifin, berkeringat dingin mendengar laporan ini. "Cepat kerahkan semua satpam! Periksa setiap sudut rumah sakit! Dan juga, cek rekaman CCTV!"

Tapi ketika tim IT memeriksa CCTV ruang operasi, mereka hanya menemukan rekaman kosong selama lima belas menit terakhir.

"Ini... aneh. Sistemnya baik-baik saja tadi..."

***

Sementara itu, Nayla sudah berhasil menyelinap keluar dari kompleks rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, tapi tatapannya menajam.

Dia melihat halte bus di seberang jalan. Dengan sisa tenaganya, dia berlari kecil menyebrangi jalanan.

"Aku harus pergi sejauh mungkin, sebelum mereka menemukan aku," ujarnya lirih.

Saat bus datang, Nayla melompat masuk dan segera duduk di kursi belakang. Jantungnya berdegup semakin kencang.

Ketika bus itu melaju, Nayla menatap jalanan malam lewat jendela. Tak lama, matanya berkaca-kaca dan setetes air mata lolos dari netranya.

"Aku berjanji, Tuhan. Ini terakhir kalinya aku menangis," ucapnya dalam hati.

Nayla menunduk. Isak tangis akhirnya lolos dari bibir mungilnya itu, air matanya mengalir semakin deras tanpa bisa dia tahan. Tangannya yang kurus dan pucat memukuli dadanya, seolah menghilangkan semua beban yang selama ini dia tanggung.

Beberapa penumpang meliriknya dengan tatapan kasihan, tapi tak ada yang berani menegur.

Tiba-tiba, sehelai sapu tangan bersih terulur di hadapannya.

"Pakailah," ujar pria itu.

Dengan tangan gemetar, Nayla menerima sapu tangan itu tanpa berani menatap wajah pria tersebut.

"Terima kasih," bisiknya serak.

Pria itu hanya tersenyum tipis. Nayla kembali menangis, para penumpang seolah memberi ruang untuknya.

Tak lama kemudian, bus itu berhenti di sebuah halte. Beberapa penumpang turun, termasuk Nayla. Dia melihat sekeliling, dia tidak tahu saat ini dia berada di mana. Kakinya melangkah menyusuri trotoar, tatapan matanya terlihat kosong menatap ke jalanan malam. Angin sepoi-sepoi yang dingin terasa menembus tulangnya.

Tanpa dia sadari, pria yang memberinya sapu tangan itu juga turun dan mengikutinya. Tiba-tiba—

Bruukk!

Pria itu terkejut saat melihat Nayla yang terjatuh pingsan di trotoar di depannya. Dia berlari dengan cepat, lalu berjongkok di samping Nayla. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu di tubuh Nayla.

"Ini...."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 13 Meira Kesal

    Nayla keluar dari toko dengan langkah tenang. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada, sambil tersenyum tipis dengan penuh kemenangan. Tatapannya mengarah ke punggung Rendy dan Meira yang sedang dipermalukan di dalam mal. "Mampus," gumamnya pelan. Setelah keduanya benar-benar menghilang dari pandangannya, Nayla melangkah ke toko perhiasan yang sebelumnya sempat didatangi oleh Rendy dan Meira."Huh, cuma bikin repot saja orang tadi," gerutu salah satu staf sambil membereskan kembali perhiasan yang sudah sempat dibungkus."Iya, gayanya saja yang elite, tapi nggak bisa bayar," timpal rekannya. Nayla ingin tertawa keras mendengar percakapan staff itu. Ia berdiri di depan etalase dan mengamati barisan perhiasan mahal di dalamnya."Maaf, Mbak..." ucap salah satu staf hendak menghampirinya."Saya akan bayar," sela Nayla dengan tenang, ia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan sang staf. Ia menyadari ekspresi ragu di wajah karyawan tersebut.Tanpa basa-basi, Nayla mengeluarkan kartu kr

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 12 Mempermalukan Sang Pelakor

    Dewi berdiri membeku di ambang pintu, matanya menatap tubuh Nayla dari ujung kaki hingga rambut. Bibirnya sedikit terbuka, ia benar-benar terkejut melihat perubahan drastis putri angkatnya itu.Penampilan Nayla kini jauh dari bayangan lamanya. Elegan. Tegas. Tak lagi terlihat seperti gadis kusam yang dulu sering ia rendahkan.Nayla menyunggingkan senyum tipis, mencoba menahan rasa muak yang tiba-tiba menyeruak saat melihat wajah perempuan yang telah menjadi sumber penderitaannya sejak kecil."Ibu nggak ajak aku masuk?" tanyanya datar, sambil mengangkat sebelah alis dengan santai.Dewi mendengus keras. Ia menyilangkan tangan di dada dan memutar bola matanya dengan sinis. Bibirnya yang merah merona itu mencibir."Cih! Sekarang kamu mau pamer, ya? Karena suamimu kaya?" cercanya tajam. "Bangga banget pegang duit dari laki-laki! Dasar istri beban!"Nayla menghela napas panjang, seandainya ia bisa merobek mulut tua itu, mungkin sudah ia lakukan sedari dulu."Sayang banget dong kalau uang su

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 11 Itu... Nayla?

    Nayla berdiri di tengah ruang tamu, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. Ia menarik napas panjang, menikmati kemenangan kecil yang begitu memuaskan."Seharusnya dari dulu aku seperti ini,” gumamnya lirih.Ia menatap kartu kredit di tangannya, lalu menyunggingkan senyum puas. Dengan langkah santai, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih.Setibanya di dapur, pandangannya langsung tertuju pada Mbok Marni yang tengah membungkuk, memunguti pecahan piring di lantai."Istirahatlah, Mbok. Jangan sampai kecapekan, ya,” ucap Nayla lembut.Mbok Marni menoleh dengan cepat, ia sedikit terkejut. Matanya langsung menangkap sosok Nayla yang berdiri di depan meja makan yang menuang air ke dalam gelas.“Iya, Nyonya. Ini tinggal sedikit lagi, kok,” jawab Mbok Marni, ia tersenyum tipis sambil mengusap keringat di pelipisnya.Nayla hanya mengangguk pelan, lalu meminum air perlahan. Beberapa detik kemudian, Mbok Marni meliriknya ragu-ragu, lalu memberanikan diri berkata,"Mmm, tadi...

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 10 Tak Bisa Berkutik

    Meira membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia mengangkat kepala perlahan dan menatap pantulan dirinya di cermin wastafel.'Dasar Nayla brengsek! Kenapa perempuan lemah itu sekarang bisa berubah seperti ini?! Sial!' gerutunya dalam hati sambil menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah.Dari balik pintu, ia mendengar tawa Nayla dan Maharani yang semakin keras. Meira mengepalkan kedua tangannya erat, sorot matanya yang tajam seolah bisa menghancurkan cermin wastafel di depannya.'Aku nggak boleh kalah dari perempuan selemah dia.'Dengan cepat, ia mengambil ponselnya yang tergeletak di samping wastafel. Jarinya mengetik di ponsel dengan cepat.'Ibu, Nayla sudah pulang ke rumah. Tapi sikapnya berubah total. Meira juga nggak tahu kenapa. Tadi dia bilang nggak mau ketemu Ibu lagi.'Tanpa ragu, Meira menekan tombol kirim. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia tahu benar kalau Nayla selalu tunduk pada Dewi, ibunya yang keras dan pemarah.

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 9 Membuat Meira Kesal

    Diam-diam, Nayla menyunggingkan senyum tipis penuh kemenangan. Sore tadi, mertuanya menghubunginya melalui telepon dan memberitahunya kalau ia akan makan malam bersama mereka malam ini.Sementara itu, Meira buru-buru melepaskan tangannya dari lengan Rendy. Itu semua tak luput dari sorot mata Maharani."Ta-Tante..." sapa Meira dengan suara terbata-bata.Namun Maharani tak menggubrisnya. Pandangannya beralih pada Rendy yang berdiri canggung dengan wajah sedikit pucat."Ibu... kok nggak bilang kalau mau datang ke rumah?" tanya Rendy dengan suara lembut.Maharani menatapnya tajam. "Kenapa perempuan itu memegang tanganmu?" tanyanya dingin, matanya melirik sekilas ke arah Meira.Selama ini, Maharani memang tidak mengetahui permasalahan rumah tangga putranya. Bahkan Nayla pun tak pernah mengadu satu kata pun tentang suaminya.“Oh... dia tadi hanya bercanda dengan Nayla, Bu,” jawab Rendy tergagap, berusaha tersenyum walau canggung. “Ibu kan tahu sendiri, walaupun mereka saudara angkat, mereka

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 8 Pertengkaran Rendy dan Nayla

    Rendy mengusap pipinya yang masih terasa panas. Matanya membelalak tak percaya, sementara dadanya sesak dipenuhi kemarahan dan keterkejutan. "Berani-beraninya kamu...!" desisnya tajam, rahangnya mengeras menahan emosi. Nayla berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tatapannya dingin, tajam dan tanpa rasa takut sedikit pun saat memandang Rendy. "Tentu saja," sahutnya tenang. "Kenapa aku harus takut sama kamu?" Wajah Rendy semakin memerah. Tangannya teracung, menunjuk Nayla dengan jari yang gemetar karena amarah. "Kurang ajar! Kamu istri durhaka!" bentaknya lantang. Namun Nayla hanya tersenyum kecil. Senyum tipis yang penuh sindiran dan luka yang telah membatu. "Kata 'durhaka' itu justru lebih pantas disematkan untukmu," balasnya pelan, namun tajam seperti pisau yang menoreh harga diri Rendy. Rendy terdiam. Tubuhnya menegang, dan wajahnya seketika berubah. Tak disangkanya, Nayla yang dulu penurut, kini berani menantangnya dengan suara setegas itu. Sem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status