Nayla perlahan membuka matanya. Pandangannya masih sedikit kabur, tapi ia bisa melihat sekeliling ruang operasi yang terang benderang. Tubuhnya terasa ringan, seolah anestesi itu tidak bekerja sama sekali.
"Aneh... aku harusnya nggak bisa bergerak? Apa mungkin karena perempuan itu?" pikirnya. Dia menggerakkan jari-jemarinya dengan hati-hati. Ya, dia masih bisa merasakan semuanya. Perlahan, Nayla mengangkat sedikit kepalanya dan melihat ke sekeliling ruangan. Ruangan itu sepi. Hanya ada satu orang dokter yang berdiri membelakanginya, dokter itu sibuk menyiapkan alat-alat bedah di atas nampan logam. Suara dentingan alat-alat itu menggema di ruangan yang sunyi. Nayla menelan salivanya susah payah. "Sekarang, aku harus pergi dari sini." Dengan hati-hati, dia melepaskan selang infus dari tangannya. Darah mengalir sedikit dari bekas infus itu, tapi Nayla tidak peduli. Perlahan, dia menggeser tubuhnya ke pinggir meja operasi. "Gimana caranya aku keluar dari sini?" gumamnya lirih, mencari jalan keluar. Nayla mengatur napasnya pelan-pelan, matanya terus mengamati gerak-gerik dokter yang masih asyik menyiapkan alat bedah itu. "Dia nggak sadar kalau aku udah bangun..." gumamnya. Dari posisinya, Nayla melihat pintu darurat di sebelah kiri ruangan, hanya berjarak lima langkah dengannya. "Aku harus bisa pergi ke sana..." Perlahan, dia menurunkan kakinya hingga menyentuh lantai yang dingin. Tubuhnya masih terasa lemas, namun Nayla sudah memutuskan apa yang harus dia lakukan. Krekk! Suara kecil dari meja operasi yang bergeser membuat dokter itu menoleh. Nayla membelalakkan mata dan menoleh perlahan menatap sang dokter. Tubuhnya tiba-tiba membeku. "Kamu sudah sadar?" suara dokter itu terdengar datar, tapi anehnya... dia tidak berteriak atau memanggil bantuan. Malah, tatapannya terlihat sangat kosong, seperti orang yang jiwanya sedang tidak berada di tubuhnya. Nayla mengangguk kaku. Tapi, dokter itu juga hanya mengangguk pelan. "Pergilah," katanya dengan nada datar. Nayla terkesiap mendengarnya. "Apa?!" Sebelum sempat bertanya, dokter itu sudah kembali memunggunginya, seolah tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Nayla. "Ini nggak normal, ini aneh..." gumam Nayla lirih. Tapi Nayla tidak punya waktu untuk berpikir. Dia melompat dari meja operasi, kakinya sedikit gemetar, namun dia berusaha untuk tetap tenang. Dengan langkah cepat, dia meraih gaun birunya yang tergantung di dekat pintu. Begitu keluar, Nayla disambut koridor rumah sakit yang sepi mencekam. Lampu neon berkedip-kedip, suara mesin dari ruangan lain terdengar sayup-sayup di telinganya. "Dimana semua orang?" tanyanya pada dirinya sendiri. Dia berlari kecil menyusuri koridor, mencari tanda pintu keluar. Tapi, tiba-tiba— "Pasien kabur! Cepat cari!" Suara teriakan dari belakang membuat jantung Nayla berdegup kencang. Dari kejauhan, dia melihat beberapa dokter dan perawat berlarian ke arah ruang operasi yang baru saja dia tinggalkan. "Apa... dokter itu nggak sadar saat membiarkan aku pergi? atau..." Pikiran Nayla kacau, tapi kakinya terus melangkah dengan cepat. Dia melihat tanda 'EXIT' di ujung koridor. Tanpa pikir panjang, Nayla mendorong pintu darurat itu. BRRNG! Alarm berbunyi nyaring, tapi Nayla sudah melompat turun melalui tangga darurat. *** Sementara itu, di ruang operasi, para dokter yang baru masuk terkejut melihat meja operasi yang kosong. "D-Dimana pasiennya?!" teriak dokter bedah utama, matanya melotot ke arah rekannya yang tadi menjaga Nayla. Dokter itu hanya menggeleng pelan, wajahnya terlihat bingung. "Aku... aku tidak tahu. Tadi dia masih di sini..." katanya terbata-bata. Mereka semua terkejut melihat kejadian aneh yang baru saja mereka alami selama bekerja sebagai dokter. Seorang perawat memeriksa monitor yang masih menyala. "Ini tidak mungkin! Anestesi seharusnya membuatnya tidak sadarkan diri setidaknya tiga jam lagi!" Dokter bedah utama berjalan menghampiri rekannya yang menjaga Nayla. Terlihat rekannya itu sedang membeku di tempatnya. "Kamu serius tidak melihatnya?" tanyanya. "Serius, dok. Tadi aku lihat dia masih di sini, aku juga tidak tahu ada apa denganku?" jawab rekannya. "Anehh! Ini benar-benar aneh!" ujar dokter bedah utama, dia pertama kali melihat kasus seperti ini. Sementara itu, seorang suster berjalan menemui Rendy dan keluarganya yang menunggu Meira di ruang tunggu. "Permisi, Pak Rendy?" tanya sang suster dengan suara yang terdengar gelisah. Rendy berdiri menatap sang suster dengan alis terangkat. "Ada apa, sus?" tanyanya. "Mohon maaf, Pak. Untuk saat ini, operasi mbak Meira di tunda dulu," ujar suster itu dengan hati-hati. "Apaa?! Maksudnya apa ini?!" tanya Rendy yang mulai tersulut emosi. Kedua orang tua Meira juga berdiri, mereka cukup terkejut mendengar kalau operasi anak kesayangan mereka di tunda. "Ada apa, ya? Kenapa di tunda?" tanya Rangga Hartanto, ayah Meira. "Se-sebenarnya... pendonor atas nama Nayla Ardiani kabur dari ruang operasi," jawab suster itu seraya menunduk. Mata Rendy langsung melotot mendengar penuturan sang suster. "AAPAA?!! NAYLA KABUR?!!!" Wajah mereka langsung merah padam mendengarnya. Tangan mereka mengepal erat, menahan amarah yang mulai meluap. Dewi Anggraini, ibu Meira, langsung meraih kerah baju suster itu dengan geram. "Kalian ini rumah sakit apa kandang ayam?! Kok bisa-bisanya pasien kabur?! KALIAN NGGAK BECUS!!!" Suster itu gemetar ketakutan. "Mo-mohon maaf, Bu. Kami sedang mengerahkan semua..." "DIAM!" Rendy memotong dengan suara menggelegar. "Kalau sampai operasi Meira gagal karena ini, aku akan gugat habis-habisan rumah sakit ini!!! KALIAN AKU TUNTUT KE JALUR HUKUM!!!" Rangga Hartanto menimpali dengan penuh amarah. "Ini kelalaian medis!!! Aku punya kenalan di Dinas Kesehatan! Kalian akan menyesal!" "Panggil Direktur!" pinta Rendy dengan nada tajam. Dengan wajah pucat, perawat itu memanggil direktur rumah sakit. Dengan wajah dingin, Rendy mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang. "Cari Nayla ke seluruh kota, bawa dia hidup-hidup ke depanku." Direktur rumah sakit, dr. Arifin, berkeringat dingin mendengar laporan ini. "Cepat kerahkan semua satpam! Periksa setiap sudut rumah sakit! Dan juga, cek rekaman CCTV!" Tapi ketika tim IT memeriksa CCTV ruang operasi, mereka hanya menemukan rekaman kosong selama lima belas menit terakhir. "Ini... aneh. Sistemnya baik-baik saja tadi..." *** Sementara itu, Nayla sudah berhasil menyelinap keluar dari kompleks rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, tapi tatapannya menajam. Dia melihat halte bus di seberang jalan. Dengan sisa tenaganya, dia berlari kecil menyebrangi jalanan. "Aku harus pergi sejauh mungkin, sebelum mereka menemukan aku," ujarnya lirih. Saat bus datang, Nayla melompat masuk dan segera duduk di kursi belakang. Jantungnya berdegup semakin kencang. Ketika bus itu melaju, Nayla menatap jalanan malam lewat jendela. Tak lama, matanya berkaca-kaca dan setetes air mata lolos dari netranya. "Aku berjanji, Tuhan. Ini terakhir kalinya aku menangis," ucapnya dalam hati. Nayla menunduk. Isak tangis akhirnya lolos dari bibir mungilnya itu, air matanya mengalir semakin deras tanpa bisa dia tahan. Tangannya yang kurus dan pucat memukuli dadanya, seolah menghilangkan semua beban yang selama ini dia tanggung. Beberapa penumpang meliriknya dengan tatapan kasihan, tapi tak ada yang berani menegur. Tiba-tiba, sehelai sapu tangan bersih terulur di hadapannya. "Pakailah," ujar pria itu. Dengan tangan gemetar, Nayla menerima sapu tangan itu tanpa berani menatap wajah pria tersebut. "Terima kasih," bisiknya serak. Pria itu hanya tersenyum tipis. Nayla kembali menangis, para penumpang seolah memberi ruang untuknya. Tak lama kemudian, bus itu berhenti di sebuah halte. Beberapa penumpang turun, termasuk Nayla. Dia melihat sekeliling, dia tidak tahu saat ini dia berada di mana. Kakinya melangkah menyusuri trotoar, tatapan matanya terlihat kosong menatap ke jalanan malam. Angin sepoi-sepoi yang dingin terasa menembus tulangnya. Tanpa dia sadari, pria yang memberinya sapu tangan itu juga turun dan mengikutinya. Tiba-tiba— Bruukk! Pria itu terkejut saat melihat Nayla yang terjatuh pingsan di trotoar di depannya. Dia berlari dengan cepat, lalu berjongkok di samping Nayla. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu di tubuh Nayla. "Ini...."Rendy mengepalkan tangan erat. Sorot matanya menyala-nyala penuh amarah, seolah siap untuk membunuh Nayla sekarang juga. Dalam hati, ia sudah membayangkan Nayla terkapar di lantai tak berdaya. Sementara itu, diam-diam Meira tersenyum miring penuh kepuasan melihat raut marah Rendy."Tontonan menarik. Hari ini dia pasti babak belur lagi," batinnya licik. "Selamat datang di nerakamu, Nayla. Waktumu muncul nggak tepat, jalang!" gumamnya dalam hati yang merasa puas.Rendy melepaskan tangan Meira yang melingkar di lengannya, lalu melangkah dengan cepat menghampiri Nayla. Gadis itu masih duduk santai, seraya menyesap jusnya tanpa terlihat terganggu sedikit pun. Saat melihat Rendy mendekat dengan penuh amarah, Nayla segera berdiri. Ia melipat tangannya di dada, menatap lurus lelaki itu. Rendy sedikit terkejut saat melihat Nayla yang berani menatap matanya, tatapan itu terasa asing baginya. Namun, Rendy tidak peduli, amarah telah menguasai dirinya.PLAAKK! PLAAKK!Sebuah tamparan keras men
Sementara itu, Rendy berjalan menuruni tangga dengan langkah mantap lalu membuka pintu utama. Tanpa berkata sepatah kata pun, Ia masuk ke dalam mobil dan memberi isyarat kepada sopirnya untuk segera berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, pandangan Rendy tak lepas dari layar ponselnya. Jari-jemarinya menggeser foto demi foto bersama Meira, sesekali bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat melihat wajah imut wanitanya. "Semoga kamu cepat sembuh," gumamnya.Namun, senyum itu perlahan menghilang. Sorot matanya berubah dingin saat bayangan Nayla melintas di benaknya, wanita yang dengan berani kabur dari rumah sakit dan hampir membahayakan nyawa kekasihnya."Berani-beraninya kau kabur... Awas saja kalau kau kembali. Aku bakalan menghukummu habis-habisan. Dasar wanita jalang," bisiknya penuh amarah. Beberapa menit kemudian, mobilnya sudah meluncur masuk ke area lobi perusahaan. Sang sopir buru-buru turun, lalu berlari membukakan pintu mobil untuknya. Rendy melangkah keluar dengan per
Rendy membuka sebagian kancing kemejanya yang terasa pengap, sorot matanya menajam seperti predator yang sedang memburu mangsanya. "NAYLAA!!!" teriaknya sekali lagi, tapi hanya kesunyian yang menjawab. Tidak ada tanda-tanda Nayla akan berlari menemuinya seperti biasa. "Ke mana perempuan sialan itu?" gumamnya dingin. Dia berjalan cepat menaiki tangga. Dengan kasar, ia menggedor pintu kamar Nayla. "Nayla! Keluar kau sekarang! Aku tahu, kau ada di dalam!" suara Rendy semakin meninggi. Kini, kesabarannya semakin menipis saat melihat tidak ada tanda-tanda pintu akan di buka. Rendy menghantam pintu kamar Nayla dengan brutal. "NAYLAA! KELUAR SEKARANG!" Pintu terbuka dengan kasar, tapi dia melihat kamar itu kosong. Ranjang yang rapi, udara yang pengap. Semua menunjukkan bahwa Nayla belum pulang sejak semalam. "Sial!" makinya, Rendy menendang lemari kecil Nayla dengan keras hingga roboh. Dari balik pintu, seorang ART yang bernama Marni mengintip dengan wajah pucat. "P-Pak
Dengan napas terengah-engah, dr. Andika, dokter bedah utama, bergegas menghampiri keluarga Meira yang masih diliputi amarah. "Ada kabar baik!" serunya sambil mengusap keringat yang membasahi dahinya. Rendy langsung berdiri dari duduknya, sorot matanya masih berkilat tajam. "Apa itu? Katakan cepat! Perempuan itu sudah ditemukan?" "Belum, Pak. Tapi kami baru saja menerima donor organ dari pasien yang kecelakaan," jelas dr. Andika dengan cepat. "Perempuan muda, usia 25 tahun. Dia sudah... sudah tidak tertolong." Ibu Dewi segera menyela dengan nada tak sabar. "Lalu? Ginjalnya cocok untuk Meira, kan?" "Kami belum bisa memastikan," jelas sang dokter. "Tapi kami akan segera lakukan tes kecocokan." Rangga mengangguk, wajahnya penuh harap. "Lakukan apa pun yang terbaik untuk putriku, Dok," tegas Rangga. "Tentu, Pak," ucap dr. Andika sambil mengangguk. Rendy memandang dr. Andika dengan tatapan penuh arti. "Pastikan ini berhasil, Dok. Uang bukan masalah, tolong selamatkan kekasihku."
Nayla perlahan membuka matanya. Pandangannya masih sedikit kabur, tapi ia bisa melihat sekeliling ruang operasi yang terang benderang. Tubuhnya terasa ringan, seolah anestesi itu tidak bekerja sama sekali. "Aneh... aku harusnya nggak bisa bergerak? Apa mungkin karena perempuan itu?" pikirnya. Dia menggerakkan jari-jemarinya dengan hati-hati. Ya, dia masih bisa merasakan semuanya. Perlahan, Nayla mengangkat sedikit kepalanya dan melihat ke sekeliling ruangan. Ruangan itu sepi. Hanya ada satu orang dokter yang berdiri membelakanginya, dokter itu sibuk menyiapkan alat-alat bedah di atas nampan logam. Suara dentingan alat-alat itu menggema di ruangan yang sunyi. Nayla menelan salivanya susah payah. "Sekarang, aku harus pergi dari sini." Dengan hati-hati, dia melepaskan selang infus dari tangannya. Darah mengalir sedikit dari bekas infus itu, tapi Nayla tidak peduli. Perlahan, dia menggeser tubuhnya ke pinggir meja operasi. "Gimana caranya aku keluar dari sini?" gumamnya lirih, menc
Plak! Sebuah tamparan mendarat telak di pipi Nayla. Ia merasakan pipinya kebas usai di tampar oleh suaminya sendiri. Air mata menetes tanpa bisa ia tahan, membasahi pipinya yang tirus dan pucat pasi. "Aku ini suamimu! Harusnya kamu nurut sama aku!" hardik Rendy Baskara dengan mata membelalak. Perlahan, Nayla mengangkat wajahnya. Kantung matanya yang hitam terlihat jelas, menandakan betapa tersiksa hidupnya selama ini. Bibirnya bergetar saat melihat tidak ada jejak belas kasih di mata suaminya. "Ta—tapi, Mas... Aku ini istrimu. Kenapa kamu lebih belain selingkuhanmu itu?!" Nayla meninggikan sedikit suaranya, walaupun terdengar bergetar. Rendy melonggarkan dasinya dengan kasar. Tatapannya tajam ke arah Nayla, seperti tak lagi mengenal perempuan yang dulu ia nikahi. "Jaga mulutmu! Jangan pernah kau hina dia lagi! Dia tetap kakakmu!" desisnya geram, air liurnya menyembur ke wajah Nayla. "Tapi..." Nayla mencoba bicara, namun lagi-lagi dipotong. "Aku nggak mau tahu!" tukas