Dengan napas terengah-engah, dr. Andika, dokter bedah utama, bergegas menghampiri keluarga Meira yang masih diliputi amarah.
"Ada kabar baik!" serunya sambil mengusap keringat yang membasahi dahinya. Rendy langsung berdiri dari duduknya, sorot matanya masih berkilat tajam. "Apa itu? Katakan cepat! Perempuan itu sudah ditemukan?" "Belum, Pak. Tapi kami baru saja menerima donor organ dari pasien yang kecelakaan," jelas dr. Andika dengan cepat. "Perempuan muda, usia 25 tahun. Dia sudah... sudah tidak tertolong." Ibu Dewi segera menyela dengan nada tak sabar. "Lalu? Ginjalnya cocok untuk Meira, kan?" "Kami belum bisa memastikan," jelas sang dokter. "Tapi kami akan segera lakukan tes kecocokan." Rangga mengangguk, wajahnya penuh harap. "Lakukan apa pun yang terbaik untuk putriku, Dok," tegas Rangga. "Tentu, Pak," ucap dr. Andika sambil mengangguk. Rendy memandang dr. Andika dengan tatapan penuh arti. "Pastikan ini berhasil, Dok. Uang bukan masalah, tolong selamatkan kekasihku." Dr. Andika mengangguk dengan cepat. "Kami akan segera lakukan tes crossmatch. Kalau hasilnya cocok, operasi bisa dilakukan dalam dua jam ke depan." "Baik, Dok," sahut Rendy singkat. Setelah mengangguk hormat, dr. Andika segera berlalu, meninggalkan mereka sambil menghembuskan napas lega. Namun, jantungnya masih berdebar kencang. Di balik wajah profesionalnya, ada rasa was-was yang menggerogoti hatinya. Dia khawatir kalau hasilnya tidak sesuai harapan. Dia khawatir kalau dia tidak bisa menyelamatkan pasiennya. Dr. Andika juga masih mengalami shock karena kejadian aneh malam ini, tapi dia berusaha untuk tetap tenang. Sementara itu, Rendy menarik napas panjang. Tangannya berkacak pinggang sambil menatap langit-langit rumah sakit. Dewi menggerutu, matanya menyipit penuh kebencian. "Brengsek si Nayla, hampir saja dia mau bunuh putriku." Rendy menoleh ke arah mertuanya, dia berkata dengan nada pelan dan menyesal. "Maaf, Ibu." "Ngapain kamu minta maaf? Ini kesalahan anak haram itu. Nggak heran kalau dia di buang ke panti asuhan. Kamu harus kasih pelajaran sama perempuan itu," ujar Dewi dengan amarah yang tidak terbendung. Tangan Rendy mengepal erat dan tatapannya menajam. "Baik, Bu. Aku akan kasih pelajaran buat dia, aku yakin sekarang dia ada di rumah." Dewi melirik ke arah suaminya sekilas. Lalu mereka berdua saling melemparkan senyum smirk. *** Di tempat yang berbeda, Nayla perlahan membuka matanya, pandangannya masih kabur. Cahaya lembut dari lampu kristal menyilaukan matanya yang baru saja terbangun. Perlahan, ia menyadari kalau dirinya tidak lagi berada di jalanan atau di dalam bus. "Aku... dimana? Apa ini mimpi?" gumamnya, dia mencubit kulitnya sendiri. Nayla meringis kesakitan, akhirnya dia sadar kalau ini bukan mimpi. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi masih terasa lemas. Kasur empuk di bawahnya terasa asing, begitu juga ruangan yang terlihat megah itu. Dinding berlapis wallpaper mewah, lukisan antik, dan tirai sutra yang menjuntai hingga ke lantai. "Ini bukan rumah sakit... juga bukan di rumahku..." Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Seorang wanita paruh baya dengan gaun panjang berwarna krem berjalan masuk. Rambutnya di sanggul rapi, wajahnya sangat halus meski terlihat lelah, dan matanya menatap Nayla dengan tatapan sayu. Wanita itu berhenti di samping tempat tidur, tangannya gemetar saat menggapai tangan Nayla. "Akhirnya... kamu bangun juga," ujarnya dengan suara bergetar. Nayla spontan menarik tangannya. Ia mundur sedikit, menatap wanita itu penuh kebingungan. "Siapa... siapa anda? Dimana aku?" tanyanya dengan nada cemas. Wanita itu menarik napas dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan sesuatu yang berat. "Aku... aku ibumu, Nak," katanya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. Deg! Nayla membeku. Kata-kata itu seperti pukulan keras di kepalanya. Ia menatap wanita itu dengan tatapan kosong. "Ibu...?" suaranya nyaris tak terdengar. "Tapi ibuku sudah mati." Deg! Wanita itu terdiam sejenak, hatinya sakit seperti dicabik-cabik mendengar ucapan Nayla. Setetes air mata lolos dari netranya yang jernih. "Nak... maafkan ibumu ini. Maaf, ibu lalai menjagamu," ucapnya penuh sesal. "Maksudnya?" tanya Nayla yang masih belum mengerti. Wanita itu duduk di tepi ranjang, matanya menatap Nayla dengan penuh kasih dan penyesalan. "Dua puluh tahun yang lalu..." suaranya bergetar. "Kita sedang berlibur ke pantai. Kau waktu itu baru berusia dua tahun, kamu sangat senang bermain pasir." Ia menarik napas panjang. Matanya menerawang, mengingat kenangan pahit itu. "Aku hanya berpaling sesaat... benar-benar hanya sesaat, untuk membelikanmu es krim. Tapi saat aku kembali... kau sudah tidak ada." Air mata mengalir deras di pipinya yang halus. "Ayahmu dan aku mencari ke mana-mana. Melaporkan ke polisi, menyebar poster, bahkan menyewa detektif swasta. Tapi... kamu menghilang tanpa jejak." Nayla terdiam, hatinya berdesir mendengar cerita itu. "Terus, kenapa sekarang aku ada di sini? Kenapa kalian mengenaliku?" tanya Nayla pelan. Tiba-tiba, pintu kamarnya kembali terbuka sebelum wanita itu sempat menjawab. Seorang pria gagah dan tampan berjalan masuk, bibirnya tersenyum tipis saat menatap Nayla. "Dia kakakmu," ujar wanita itu sambil tersenyum melihat putranya. Pria itu mengangguk pelan, lalu dia menyodorkan tangannya ke arah Nayla. “Leonardo Putra Mahardika. Tapi kamu bisa panggil aku Leon,” katanya ramah. “Semalam aku mengikuti kamu, karena merasa ada yang aneh. Waktu kamu pingsan di trotoar, aku buru-buru menolong. Gaunmu sempat tersingkap... dan aku melihat bekas luka di bahumu.” Ia tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. Nayla terdiam sejenak menatap tangan kekar Leon, lalu perlahan dia menyambutnya. "Nayla... Nayla Ardiani," jawabnya. "Sebenarnya namamu bukan Nayla Ardiani, tapi Carissa Putri Mahardika. Bekas luka itu saat kamu tertusuk ranting kayu waktu kecil," ujar wanita itu, lalu tersenyum kecil. "Tapi kalau kamu sudah nyaman dengan nama Nayla, not problem." Nayla masih tidak percaya dengan semua kenyataan ini. Dia menatap wajah wanita itu yang mengaku sebagai ibunya. "Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua yang terjadi kepadaku? Aku menderita selama bertahun-tahun," lirihnya, Nayla mulai menangis terisak-isak. Wanita paruh baya itu, Nadya Elvira Mahardika, merasakan matanya memanas saat melihat Nayla menangis. Dengan cepat, dia menarik Nayla ke dalam pelukannya. Kata 'maaf' terus terucap dari bibirnya, walaupun itu tidak sebanding dengan kehidupan yang dijalani Nayla selama ini. Sementara itu, Leon menengadahkan kepalanya menatap langit-langit kamar, berusaha untuk menghalau air matanya. Dia tidak bisa membayangkan penderitaan adiknya di luar sana. Sementara mereka tinggal di rumah mewah, makan makanan enak, dan dilayani dengan baik. Tapi, Nayla? Dia bisa melihat jejak penderitaan di wajah adiknya yang pucat pasi. Tanpa dia sadari, setetes air mata jatuh membasahi pipinya, sekuat apa pun ia menahannya. "Maafkan kakakmu juga, dek... Seandainya aku menemukanmu lebih cepat." Leon naik ke atas ranjang, lalu ikut memeluk erat tubuh Nayla yang masih bergetar karena tangis. Beberapa saat kemudian, pintu kamarnya kembali terbuka. Seorang pria paruh baya yang memakai jas hitam, rambutnya setengah memutih, berjalan masuk dengan tergesa-gesa. Dia melihat mereka masih berpelukan, mata pria itu berkaca-kaca saat melihat putrinya yang sudah lama menghilang. "Putriku..." lirihnya dengan suara serak. Pelukan itu mengendur, mereka sama-sama menoleh ke arah suara tersebut. Nadya menyeka air matanya, lalu memberikan ruang untuk suaminya, Alexander Mahardika. Nayla menatap pria paruh baya itu, bibirnya bergetar. "Ayah...?" Alexander langsung mendekap putrinya dengan erat, melepaskan semua kerinduan yang bertahun-tahun dia tanggung. "Maafkan Ayahmu yang tidak becus ini," gumam Alexander. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. Nayla hanya mengangguk pelan. Nadya dan Leon saling tatap, lalu mereka berdua tersenyum bahagia. Akhirnya, keluarga mereka kembali utuh. *** Di sisi lain, Rendy tertidur di kursi di samping ranjang Meira. Sinar matahari pagi yang menembus tirai jendela, membuatnya perlahan membuka mata. Semalam, hatinya dipenuhi rasa lega dan bahagia. Operasi ginjal Meira berjalan lancar, semuanya sesuai harapan. Karena itu, ia memutuskan untuk tetap tinggal dan menemani Meira sepanjang malam, terlebih setelah kekasihnya itu dipindahkan ke dalam ruang perawatan VIP. Rendy menatap wajah Meira dengan penuh kasih, jemarinya yang kokoh membelai wajah kekasihnya itu yang masih tertidur lelap. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka perlahan. Rendy menoleh dan melihat Ibu Dewi masuk ke dalam ruangan. Ia segera berdiri dan menghampiri mertuanya. "Ibu..." sapanya pelan. "Bagaimana keadaan Meira?" tanya Dewi dengan nada lembut. "Semuanya baik-baik saja, Bu," jawab Rendy. Dewi mengangguk dan tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Rendy pelan. "Pulanglah dulu. Kamu juga harus ke kantor. Biar Ibu yang jagain Meira di sini." "Tapi, Bu..." "Kamu tenang saja," sela Dewi cepat. Rendy akhirnya mengangguk, meski hatinya terasa berat untuk meninggalkan Meira. Ia menoleh sejenak, menatap wajah damai kekasihnya. Setelah itu, dia berpamitan untuk pulang. Rendy berjalan menyusuri koridor rumah sakit, pikirannya dipenuhi dengan hukuman yang pantas untuk Nayla. Rahangnya seketika mengeras, menahan amarah. "Awas saja kamu, Nayla...." gumamnya dengan tatapan tajam. Begitu tiba di lobi, ia segera masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya. Sang sopir segera menyalakan mesin dan melaju pelan. Beberapa menit kemudian, mobil itu berhenti di halaman rumah yang luas. Tanpa menunggu dibukakan pintu, Rendy mendorong pintu mobil dengan kasar dan melangkah cepat ke dalam rumah. "NAYLAA!!! KELUAR KAU BRENGSEKK!!! DASAR PEREMPUAN TAK TAHU DIRI!!!"Nayla keluar dari toko dengan langkah tenang. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada, sambil tersenyum tipis dengan penuh kemenangan. Tatapannya mengarah ke punggung Rendy dan Meira yang sedang dipermalukan di dalam mal. "Mampus," gumamnya pelan. Setelah keduanya benar-benar menghilang dari pandangannya, Nayla melangkah ke toko perhiasan yang sebelumnya sempat didatangi oleh Rendy dan Meira."Huh, cuma bikin repot saja orang tadi," gerutu salah satu staf sambil membereskan kembali perhiasan yang sudah sempat dibungkus."Iya, gayanya saja yang elite, tapi nggak bisa bayar," timpal rekannya. Nayla ingin tertawa keras mendengar percakapan staff itu. Ia berdiri di depan etalase dan mengamati barisan perhiasan mahal di dalamnya."Maaf, Mbak..." ucap salah satu staf hendak menghampirinya."Saya akan bayar," sela Nayla dengan tenang, ia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan sang staf. Ia menyadari ekspresi ragu di wajah karyawan tersebut.Tanpa basa-basi, Nayla mengeluarkan kartu kr
Dewi berdiri membeku di ambang pintu, matanya menatap tubuh Nayla dari ujung kaki hingga rambut. Bibirnya sedikit terbuka, ia benar-benar terkejut melihat perubahan drastis putri angkatnya itu.Penampilan Nayla kini jauh dari bayangan lamanya. Elegan. Tegas. Tak lagi terlihat seperti gadis kusam yang dulu sering ia rendahkan.Nayla menyunggingkan senyum tipis, mencoba menahan rasa muak yang tiba-tiba menyeruak saat melihat wajah perempuan yang telah menjadi sumber penderitaannya sejak kecil."Ibu nggak ajak aku masuk?" tanyanya datar, sambil mengangkat sebelah alis dengan santai.Dewi mendengus keras. Ia menyilangkan tangan di dada dan memutar bola matanya dengan sinis. Bibirnya yang merah merona itu mencibir."Cih! Sekarang kamu mau pamer, ya? Karena suamimu kaya?" cercanya tajam. "Bangga banget pegang duit dari laki-laki! Dasar istri beban!"Nayla menghela napas panjang, seandainya ia bisa merobek mulut tua itu, mungkin sudah ia lakukan sedari dulu."Sayang banget dong kalau uang su
Nayla berdiri di tengah ruang tamu, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. Ia menarik napas panjang, menikmati kemenangan kecil yang begitu memuaskan."Seharusnya dari dulu aku seperti ini,” gumamnya lirih.Ia menatap kartu kredit di tangannya, lalu menyunggingkan senyum puas. Dengan langkah santai, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih.Setibanya di dapur, pandangannya langsung tertuju pada Mbok Marni yang tengah membungkuk, memunguti pecahan piring di lantai."Istirahatlah, Mbok. Jangan sampai kecapekan, ya,” ucap Nayla lembut.Mbok Marni menoleh dengan cepat, ia sedikit terkejut. Matanya langsung menangkap sosok Nayla yang berdiri di depan meja makan yang menuang air ke dalam gelas.“Iya, Nyonya. Ini tinggal sedikit lagi, kok,” jawab Mbok Marni, ia tersenyum tipis sambil mengusap keringat di pelipisnya.Nayla hanya mengangguk pelan, lalu meminum air perlahan. Beberapa detik kemudian, Mbok Marni meliriknya ragu-ragu, lalu memberanikan diri berkata,"Mmm, tadi...
Meira membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia mengangkat kepala perlahan dan menatap pantulan dirinya di cermin wastafel.'Dasar Nayla brengsek! Kenapa perempuan lemah itu sekarang bisa berubah seperti ini?! Sial!' gerutunya dalam hati sambil menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah.Dari balik pintu, ia mendengar tawa Nayla dan Maharani yang semakin keras. Meira mengepalkan kedua tangannya erat, sorot matanya yang tajam seolah bisa menghancurkan cermin wastafel di depannya.'Aku nggak boleh kalah dari perempuan selemah dia.'Dengan cepat, ia mengambil ponselnya yang tergeletak di samping wastafel. Jarinya mengetik di ponsel dengan cepat.'Ibu, Nayla sudah pulang ke rumah. Tapi sikapnya berubah total. Meira juga nggak tahu kenapa. Tadi dia bilang nggak mau ketemu Ibu lagi.'Tanpa ragu, Meira menekan tombol kirim. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia tahu benar kalau Nayla selalu tunduk pada Dewi, ibunya yang keras dan pemarah.
Diam-diam, Nayla menyunggingkan senyum tipis penuh kemenangan. Sore tadi, mertuanya menghubunginya melalui telepon dan memberitahunya kalau ia akan makan malam bersama mereka malam ini.Sementara itu, Meira buru-buru melepaskan tangannya dari lengan Rendy. Itu semua tak luput dari sorot mata Maharani."Ta-Tante..." sapa Meira dengan suara terbata-bata.Namun Maharani tak menggubrisnya. Pandangannya beralih pada Rendy yang berdiri canggung dengan wajah sedikit pucat."Ibu... kok nggak bilang kalau mau datang ke rumah?" tanya Rendy dengan suara lembut.Maharani menatapnya tajam. "Kenapa perempuan itu memegang tanganmu?" tanyanya dingin, matanya melirik sekilas ke arah Meira.Selama ini, Maharani memang tidak mengetahui permasalahan rumah tangga putranya. Bahkan Nayla pun tak pernah mengadu satu kata pun tentang suaminya.“Oh... dia tadi hanya bercanda dengan Nayla, Bu,” jawab Rendy tergagap, berusaha tersenyum walau canggung. “Ibu kan tahu sendiri, walaupun mereka saudara angkat, mereka
Rendy mengusap pipinya yang masih terasa panas. Matanya membelalak tak percaya, sementara dadanya sesak dipenuhi kemarahan dan keterkejutan. "Berani-beraninya kamu...!" desisnya tajam, rahangnya mengeras menahan emosi. Nayla berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tatapannya dingin, tajam dan tanpa rasa takut sedikit pun saat memandang Rendy. "Tentu saja," sahutnya tenang. "Kenapa aku harus takut sama kamu?" Wajah Rendy semakin memerah. Tangannya teracung, menunjuk Nayla dengan jari yang gemetar karena amarah. "Kurang ajar! Kamu istri durhaka!" bentaknya lantang. Namun Nayla hanya tersenyum kecil. Senyum tipis yang penuh sindiran dan luka yang telah membatu. "Kata 'durhaka' itu justru lebih pantas disematkan untukmu," balasnya pelan, namun tajam seperti pisau yang menoreh harga diri Rendy. Rendy terdiam. Tubuhnya menegang, dan wajahnya seketika berubah. Tak disangkanya, Nayla yang dulu penurut, kini berani menantangnya dengan suara setegas itu. Sem