Home / Rumah Tangga / Ada Apa Dengan Istriku? / Bab 4 Maharani Larasati

Share

Bab 4 Maharani Larasati

Author: Nur Avillah
last update Last Updated: 2025-05-24 23:21:09

Rendy membuka sebagian kancing kemejanya yang terasa pengap, sorot matanya menajam seperti predator yang sedang memburu mangsanya.

"NAYLAA!!!" teriaknya sekali lagi, tapi hanya kesunyian yang menjawab. Tidak ada tanda-tanda Nayla akan berlari menemuinya seperti biasa.

"Ke mana perempuan sialan itu?" gumamnya dingin.

Dia berjalan cepat menaiki tangga. Dengan kasar, ia menggedor pintu kamar Nayla.

"Nayla! Keluar kau sekarang! Aku tahu, kau ada di dalam!" suara Rendy semakin meninggi.

Kini, kesabarannya semakin menipis saat melihat tidak ada tanda-tanda pintu akan di buka. Rendy menghantam pintu kamar Nayla dengan brutal.

"NAYLAA! KELUAR SEKARANG!"

Pintu terbuka dengan kasar, tapi dia melihat kamar itu kosong. Ranjang yang rapi, udara yang pengap. Semua menunjukkan bahwa Nayla belum pulang sejak semalam.

"Sial!" makinya, Rendy menendang lemari kecil Nayla dengan keras hingga roboh.

Dari balik pintu, seorang ART yang bernama Marni mengintip dengan wajah pucat.

"P-Pak...?" panggilnya dengan suara gemetar.

Rendy menoleh dengan tatapan tajam. "Nayla di mana? Kau lihat dia?!"

Mbok Marni menggeleng dengan cepat. Tangannya yang memegang gagang sapu ikut bergetar mendengar suara Tuannya.

"T-tidak, Pak. S-sejak tadi malam, Nyonya Nayla belum pulang, Pak..." jawabnya gugup.

"DASAR PEREMPUAN JALANG! Pasti dia lagi jual diri di luar sana!" ujar Rendy sambil terkekeh sinis. "Kalau bisa sekalian aja nggak usah pulang!"

Dia melangkah keluar dari kamar Nayla, wajahnya masih memerah. Mbok Marni buru-buru menyingkir, memberikan jalan untuk majikannya itu. Dia menunduk sedikit sebagai bentuk hormat, lalu melirik sekilas punggung Rendy yang menghilang di balik pintu kamarnya.

Marni menghela napas berat. "Kasihan sekali, Nyonya Nayla. Pasti dia sudah tak tahan lagi dengan siksaan suaminya. Semoga dia benar-benar nggak pulang, supaya nggak dijadiin samsak lagi sama Pak Rendy," gumamnya lirih.

Sudah dua tahun Mbok Marni bekerja di rumah itu. Ia direkrut sebulan setelah Rendy dan Nayla menikah. Awalnya, ia melihat keluarga majikannya harmonis. Tapi, setelah enam bulan, ia mulai melihat Rendy membentak istrinya. Usut punya usut, ternyata Rendy berselingkuh dengan kakak angkat Nayla.

Sejak saat itu, rumah ini jadi neraka. Mbok Marni harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, keluarga majikannya hancur. Lebih menyakitkan lagi, saat dia melihat Rendy terang-terangan membawa selingkuhannya ke dalam rumah tanpa rasa malu. Dia harus menyaksikan perlakuan Rendy yang semena-mena dan lebih memihak selingkuhannya, menyakiti istrinya sendiri.

Dia tidak bisa membayangkan betapa menderitanya Nayla selama dua tahun ini. Di sakiti fisik maupun batin oleh suami sendiri.

Air mata mengalir di pipinya yang keriput. Ia segera menyeka air matanya pelan, lalu berjalan menuruni tangga.

Tiing... Tiing... Tiing...

Suara bel di pintu mengalihkan perhatiannya, dia segera menyimpan sapu dan melangkah cepat ke arah pintu utama.

Mbok Marni menatap layar Smart Door Viewer di pintu sebelum membukanya. Dia melihat Ibu Rendy berdiri di luar, matanya membelalak dan ia segera membuka pintu tersebut.

"Nyonya..." sapanya sambil membungkuk hormat.

Maharani Larasati, Ibu Rendy, mengangguk sopan seraya tersenyum ramah. Di kedua tangannya, dia membawa beberapa paper bag.

"Saya bawakan, Nyonya," ujar Mbok Marni langsung mengambil alih paper bag itu. "Silakan masuk, Nyonya."

"Terima kasih," sahut Maharani ramah, lalu melangkah masuk ke dalam rumah megah tersebut. "Oh ya, menantuku di mana?"

Pertanyaan itu membuat Mbok Marni tertegun. Ia seketika berhenti, lalu menelan ludahnya susah payah dan bibirnya menjadi kelu.

"Anu... Nyonya..." Mbok Marni gugup. "Saya panggilkan Tuan Rendy dulu, Nyonya."

Mbok Marni berjalan dengan cepat menuju kamar Rendy. Namun, panggilan dari Maharani kembali menghentikan langkahnya.

"Tunggu..."

Maharani berjalan mendekat, dia mengerutkan keningnya menatap Mbok Marni dengan pandangan curiga. Mbok Marni semakin gugup, kakinya sedikit bergetar.

"Kamu kenapa? Nayla di mana?" tanya Maharani, suaranya tiba-tiba menjadi lebih tegas.

Maharani Larasati adalah seorang designer terkenal, dia jarang mengunjungi kediaman putra dan menantunya. Tapi setiap kali berkunjung, dia melihat hubungan Rendy dan Nayla sangat romantis. Nayla tampak manis dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Itu membuatnya bahagia.

Tanpa dia tahu, itu semua hanya sandiwara dan sudah di setting oleh anaknya sendiri sebelum dia datang. Nayla dipaksa bersikap manis saat di depan ibunya karena Maharani sangat menyayangi menantunya itu.

"Anu... Nyonya..."

"Ibu...!"

Suara Rendy dari atas tangga menyela. Mbok Marni langsung menunduk dan diam-diam menghela napas lega.

Rendy turun dengan langkah tenang. Ia tampak segar setelah mandi, wajahnya tersenyum tipis ke arah Ibunya. Ia melirik sekilas ke arah Mbok Marni dengan tajam, perempuan tua itu langsung tahu apa yang harus dia lakukan.

Tanpa berkata apa-apa, Mbok Marni menunduk sopan, lalu berjalan menuju dapur. Sebelum pergi, dia meletakkan paper bag yang di bawanya di atas sofa ruang tamu.

Setelah kepergian Mbok Marni, Rendy segera menggandeng tangan Ibunya dan berjalan menuju sofa.

"Duduk dulu, Bu. Pasti Ibu capek," ujarnya dengan nada manis.

Maharani mengangguk, lalu menatap wajah putranya dengan tajam. "Kamu nggak ke kantor hari ini? Terus, Nayla di mana? Kenapa Ibu nggak lihat dia?" tanyanya beruntun.

Rendy tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Satu pertanyaan dulu, Bu. Jangan sekaligus."

Maharani menghela napas pelan. "Oke, sekarang jawab. Di mana Nayla?"

Rendy memutar otak dengan cepat, dia harus membuat alasan yang masuk akal untuk memberitahukan keberadaan perempuan brengsek itu, agar Ibunya tidak curiga.

"Biasanya jam segini dia masih shopping di mall, Bu," jawabnya sambil melirik jam tangan. sudah lewat pukul delapan.

"Yakin? Nggak bohong, kan? Nggak ada yang kamu tutupin sama Ibu, kan?" tanya Maharani curiga.

"Serius, Bu. Nggak ada yang aku sembunyikan," jawab Rendy sambil tersenyum meyakinkan.

"Ibu susul aja kali, ya? Dia di mall mana?"

Seketika, jantung Rendy berdegup kencang, namun dia berusaha tetap tenang.

"Nggak usah, Bu. Dia lagi me time, jangan di ganggu. Lagi healing katanya."

Ucapan manis yang keluar dari bibir Rendy, selalu berhasil membuat Maharani percaya.

"Ya udah, semoga menantuku baik-baik saja," ucap Maharani.

Rendy perlahan menghela napas lega. Namun, jauh di lubuk hatinya, dia juga muak dengan semua sandiwara ini. Ia diam-diam mengutuk Nayla, perempuan tidak berguna itu.

"Terus, kenapa kamu nggak ke kantor?" Maharani menyipitkan matanya penuh selidik.

"Ini juga lagi siap-siap berangkat, Bu," jawab Rendy seraya tersenyum kecil.

Maharani mengangguk saat melihat setelan rapi putranya. Ia lalu mengambil tasnya dan berdiri.

"Titip salam sama menantuku. Itu, Ibu bawain hadiah buat dia," katanya sambil menunjuk ke arah paper bag di atas sofa.

"Terima kasih, Bu. Tapi Ibu nggak usah repot-repot bawain hadiah," ujar Rendy sopan.

Maharani meliriknya sinis. "Itu buat mantu Ibu, Bukan buat kamu."

Rendy tertawa kecil, lalu memegang kedua pundak Ibunya. "Iya, iya, Ibu..."

Maharani menggeleng pelan, lalu berjalan menuju pintu utama. Rendy mengiringinya hingga ke teras.

Saat mengantar Ibunya ke pintu, Maharani tiba-tiba berbisik, "Kapan kalian punya anak? Ibu nggak sabar pengen nimang cucu."

Pertanyaan itu membuat Rendy tercekat. Ia menanggapinya dengan senyum lembut.

"Sabar ya, Bu. Lagi proses."

Padahal dalam hati, ia mencibir. "Cih, menyentuhnya saja aku males."

Mereka berjalan keluar, Maharani melambaikan tangannya dan masuk ke dalam mobil. Rendy membalasnya dengan lambaian singkat dan senyum tipis.

Setelah mobil ibunya sudah tidak terlihat, wajahnya yang semula lembut kini berubah menjadi kaku dan dingin.

Dia melangkah dengan cepat masuk kembali ke dalam rumahnya, rahangnya tiba-tiba mengeras.

"Mbok! Mbok Marni!" panggilnya lantang.

Tak lama, Mbok Marni terlihat berlari menghampiri majikannya, wajahnya terlihat pucat dan gugup. Tangannya memegang ujung apron dengan gemetar.

"Mbok tadi ngomong apa sama Ibu? Ada yang kamu bilang soal Nayla?" tanyanya dengan nada dingin.

Mbok Marni menggeleng cepat. "Nggak ada, Pak. Saya nggak ngomong apa-apa."

"Ingat, jangan coba-coba buka mulut. Kalau sampai Ibu tahu yang sebenarnya, kamu yang akan menyesal," ancamnya, tatapannya semakin menajam.

"Ba-baik, Pak," jawab Mbok Marni dengan suara gemetar.

Rendy mendengus kasar, lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap berangkat ke kantor.

***

Di sisi lain, Nayla menceritakan semua lika-liku hidupnya selama dua puluh tahun. Matanya menerawang kosong. Di dekatnya, keluarganya mendengar seraya menahan amarah.

Nadya sesekali menyeka air matanya yang mengalir tanpa henti, sementara Leon dan Alexander sama-sama mengepalkan tangan, menahan amarah mendengar cerita Nayla.

"Apa kamu mau kakak balas perbuatan mereka?" tanya Leon, nadanya terdengar dingin.

Nadya mengangguk cepat, matanya memerah. "Iya, Nak. Biarkan kami menebus semua kesalahan kami padamu selama ini."

"Atau ayah saja yang kirim mereka ke dalam penjara sekalian," sergah Alex geram.

Nayla tersenyum tipis, dia bersyukur dengan langkah yang telah dia ambil. Dia tidak tahu kalau rencana Tuhan lebih indah, meski harus melewati semua penderitaan itu terlebih dahulu. Dia dipertemukan dengan keluarganya, keluarga yang menyayanginya.

"Nggak usah, biar aku sendiri yang menghadapi mereka," jawab Nayla pelan. "Aku ingin membalas dengan tanganku sendiri.

"Kamu yakin, Dek?" tanya Leon dengan nada cemas.

Nayla mengangguk mantap. "Yakin."

Mereka semua terdiam sejenak, ada rasa cemas. Namun, mereka juga tidak ingin memaksa Nayla.

"Ya udah, kalau ada apa-apa. Secepatnya telpon kami ya. Jangan pernah hadapi semuanya sendirian lagi, ada keluargamu di sini," ucap Alex seraya mengelus lembut rambut putrinya.

Nayla mengangguk penuh rasa haru. "Baik, Ayah. Terima kasih. Izinkan aku tinggal beberapa hari di sini... Aku ingin mempersiapkan diri sebelum kembali."

Senyuman hangat merekah di wajah mereka.

"Bahkan kalau kamu tinggal selamanya pun boleh. Ini rumahmu juga, Nayla," sahut Nadya lembut.

"Terima kasih, Ibu..." jawab Nayla dengan mata berkaca-kaca.

Ia lalu menatap keluar jendela, ke arah pohon-pohon yang bergoyang. Sorot matanya berubah tajam, seolah menyimpan dendam.

"Tunggu aku... dengan versi yang kalian nggak kenali sama sekali," bisiknya dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 13 Meira Kesal

    Nayla keluar dari toko dengan langkah tenang. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada, sambil tersenyum tipis dengan penuh kemenangan. Tatapannya mengarah ke punggung Rendy dan Meira yang sedang dipermalukan di dalam mal. "Mampus," gumamnya pelan. Setelah keduanya benar-benar menghilang dari pandangannya, Nayla melangkah ke toko perhiasan yang sebelumnya sempat didatangi oleh Rendy dan Meira."Huh, cuma bikin repot saja orang tadi," gerutu salah satu staf sambil membereskan kembali perhiasan yang sudah sempat dibungkus."Iya, gayanya saja yang elite, tapi nggak bisa bayar," timpal rekannya. Nayla ingin tertawa keras mendengar percakapan staff itu. Ia berdiri di depan etalase dan mengamati barisan perhiasan mahal di dalamnya."Maaf, Mbak..." ucap salah satu staf hendak menghampirinya."Saya akan bayar," sela Nayla dengan tenang, ia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan sang staf. Ia menyadari ekspresi ragu di wajah karyawan tersebut.Tanpa basa-basi, Nayla mengeluarkan kartu kr

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 12 Mempermalukan Sang Pelakor

    Dewi berdiri membeku di ambang pintu, matanya menatap tubuh Nayla dari ujung kaki hingga rambut. Bibirnya sedikit terbuka, ia benar-benar terkejut melihat perubahan drastis putri angkatnya itu.Penampilan Nayla kini jauh dari bayangan lamanya. Elegan. Tegas. Tak lagi terlihat seperti gadis kusam yang dulu sering ia rendahkan.Nayla menyunggingkan senyum tipis, mencoba menahan rasa muak yang tiba-tiba menyeruak saat melihat wajah perempuan yang telah menjadi sumber penderitaannya sejak kecil."Ibu nggak ajak aku masuk?" tanyanya datar, sambil mengangkat sebelah alis dengan santai.Dewi mendengus keras. Ia menyilangkan tangan di dada dan memutar bola matanya dengan sinis. Bibirnya yang merah merona itu mencibir."Cih! Sekarang kamu mau pamer, ya? Karena suamimu kaya?" cercanya tajam. "Bangga banget pegang duit dari laki-laki! Dasar istri beban!"Nayla menghela napas panjang, seandainya ia bisa merobek mulut tua itu, mungkin sudah ia lakukan sedari dulu."Sayang banget dong kalau uang su

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 11 Itu... Nayla?

    Nayla berdiri di tengah ruang tamu, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. Ia menarik napas panjang, menikmati kemenangan kecil yang begitu memuaskan."Seharusnya dari dulu aku seperti ini,” gumamnya lirih.Ia menatap kartu kredit di tangannya, lalu menyunggingkan senyum puas. Dengan langkah santai, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih.Setibanya di dapur, pandangannya langsung tertuju pada Mbok Marni yang tengah membungkuk, memunguti pecahan piring di lantai."Istirahatlah, Mbok. Jangan sampai kecapekan, ya,” ucap Nayla lembut.Mbok Marni menoleh dengan cepat, ia sedikit terkejut. Matanya langsung menangkap sosok Nayla yang berdiri di depan meja makan yang menuang air ke dalam gelas.“Iya, Nyonya. Ini tinggal sedikit lagi, kok,” jawab Mbok Marni, ia tersenyum tipis sambil mengusap keringat di pelipisnya.Nayla hanya mengangguk pelan, lalu meminum air perlahan. Beberapa detik kemudian, Mbok Marni meliriknya ragu-ragu, lalu memberanikan diri berkata,"Mmm, tadi...

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 10 Tak Bisa Berkutik

    Meira membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia mengangkat kepala perlahan dan menatap pantulan dirinya di cermin wastafel.'Dasar Nayla brengsek! Kenapa perempuan lemah itu sekarang bisa berubah seperti ini?! Sial!' gerutunya dalam hati sambil menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah.Dari balik pintu, ia mendengar tawa Nayla dan Maharani yang semakin keras. Meira mengepalkan kedua tangannya erat, sorot matanya yang tajam seolah bisa menghancurkan cermin wastafel di depannya.'Aku nggak boleh kalah dari perempuan selemah dia.'Dengan cepat, ia mengambil ponselnya yang tergeletak di samping wastafel. Jarinya mengetik di ponsel dengan cepat.'Ibu, Nayla sudah pulang ke rumah. Tapi sikapnya berubah total. Meira juga nggak tahu kenapa. Tadi dia bilang nggak mau ketemu Ibu lagi.'Tanpa ragu, Meira menekan tombol kirim. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia tahu benar kalau Nayla selalu tunduk pada Dewi, ibunya yang keras dan pemarah.

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 9 Membuat Meira Kesal

    Diam-diam, Nayla menyunggingkan senyum tipis penuh kemenangan. Sore tadi, mertuanya menghubunginya melalui telepon dan memberitahunya kalau ia akan makan malam bersama mereka malam ini.Sementara itu, Meira buru-buru melepaskan tangannya dari lengan Rendy. Itu semua tak luput dari sorot mata Maharani."Ta-Tante..." sapa Meira dengan suara terbata-bata.Namun Maharani tak menggubrisnya. Pandangannya beralih pada Rendy yang berdiri canggung dengan wajah sedikit pucat."Ibu... kok nggak bilang kalau mau datang ke rumah?" tanya Rendy dengan suara lembut.Maharani menatapnya tajam. "Kenapa perempuan itu memegang tanganmu?" tanyanya dingin, matanya melirik sekilas ke arah Meira.Selama ini, Maharani memang tidak mengetahui permasalahan rumah tangga putranya. Bahkan Nayla pun tak pernah mengadu satu kata pun tentang suaminya.“Oh... dia tadi hanya bercanda dengan Nayla, Bu,” jawab Rendy tergagap, berusaha tersenyum walau canggung. “Ibu kan tahu sendiri, walaupun mereka saudara angkat, mereka

  • Ada Apa Dengan Istriku?   Bab 8 Pertengkaran Rendy dan Nayla

    Rendy mengusap pipinya yang masih terasa panas. Matanya membelalak tak percaya, sementara dadanya sesak dipenuhi kemarahan dan keterkejutan. "Berani-beraninya kamu...!" desisnya tajam, rahangnya mengeras menahan emosi. Nayla berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tatapannya dingin, tajam dan tanpa rasa takut sedikit pun saat memandang Rendy. "Tentu saja," sahutnya tenang. "Kenapa aku harus takut sama kamu?" Wajah Rendy semakin memerah. Tangannya teracung, menunjuk Nayla dengan jari yang gemetar karena amarah. "Kurang ajar! Kamu istri durhaka!" bentaknya lantang. Namun Nayla hanya tersenyum kecil. Senyum tipis yang penuh sindiran dan luka yang telah membatu. "Kata 'durhaka' itu justru lebih pantas disematkan untukmu," balasnya pelan, namun tajam seperti pisau yang menoreh harga diri Rendy. Rendy terdiam. Tubuhnya menegang, dan wajahnya seketika berubah. Tak disangkanya, Nayla yang dulu penurut, kini berani menantangnya dengan suara setegas itu. Sem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status