Sementara itu, Rendy berjalan menuruni tangga dengan langkah mantap lalu membuka pintu utama. Tanpa berkata sepatah kata pun, Ia masuk ke dalam mobil dan memberi isyarat kepada sopirnya untuk segera berangkat ke kantor.
Sepanjang perjalanan, pandangan Rendy tak lepas dari layar ponselnya. Jari-jemarinya menggeser foto demi foto bersama Meira, sesekali bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat melihat wajah imut wanitanya. "Semoga kamu cepat sembuh," gumamnya. Namun, senyum itu perlahan menghilang. Sorot matanya berubah dingin saat bayangan Nayla melintas di benaknya, wanita yang dengan berani kabur dari rumah sakit dan hampir membahayakan nyawa kekasihnya. "Berani-beraninya kau kabur... Awas saja kalau kau kembali. Aku bakalan menghukummu habis-habisan. Dasar wanita jalang," bisiknya penuh amarah. Beberapa menit kemudian, mobilnya sudah meluncur masuk ke area lobi perusahaan. Sang sopir buru-buru turun, lalu berlari membukakan pintu mobil untuknya. Rendy melangkah keluar dengan percaya diri. Dia mendongak, menatap logo besar nama perusahaan di depan gedung. "Seandainya perusahaan ini milikku... aku nggak perlu lagi berpura-pura tunduk pada siapapun," bisiknya, lalu menghela napas panjang. Rendy merapikan jas hitamnya yang elegan, lalu melangkah mantap memasuki gedung Mahardika Corp, gedung pencakar langit megah di pusat bisnis Jakarta. Jas hitam Armani-nya yang hitam sempurna menutupi tubuh atletisnya, sementara jam Rolex di pergelangan tangannya berkilau terkena matahari. Sebagai Direktur Eksekutif Divisi Keuangan, dia adalah salah satu orang yang paling berpengaruh di Mahardika Corp. Ia naik ke lantai 45 menuju ruang kerjanya yang luas dan mewah. Para staf yang melihatnya langsung berdiri dan memberi salam hormat. "Laporan kuartal dua sudah di meja anda, Pak," lapor Dea, staf administrasi yang berdiri tepat di depan ruangannya sambil menyerahkan dokumen. "Bagus," sahut Rendy singkat, lalu masuk ke dalam ruangannya. Tanpa membuang waktu, ia segera membuka tumpukan laporan keuangan yang menumpuk. Keningnya berkerut dan sesekali ia mengutuk saat melihat angka yang tidak sesuai harapan. "Divisi marketing keparat... anggaran membengkak tapi pendapatan nggak gerak sama sekali!" desisnya dengan kesal. Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering. Rendy menegakkan punggungnya, lalu menghela napas panjang dan mengangkat gagang telepon tersebut. "Pak Rendy, anda diminta hadir di ruang CEO sekarang juga," suara sekretaris CEO terdengar tegas di ujung sana. Rendy terkesiap mendengarnya, matanya membelalak. Sebuah senyuman tipis mulai terbentuk di bibirnya. "Langsung ke ruangan Pak CEO? Bukan melalui anda dulu?" tanyanya setengah tak percaya. "Benar, Pak. Langsung." Rendy semakin sumringah mendengarnya. "Baik. Saya segera ke sana." Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini pertama kalinya Pak Leonardo memanggilku langsung! pikirnya. Apa mungkin dia akan memberiku proyek besar? Atau... jabatan baru? Dengan cepat ia merapikan dasinya, lalu menyemprotkan sedikit parfum Chanel favoritnya. Dia berjalan dengan penuh percaya diri menuju lift eksklusif yang langsung menuju lantai 60, ruangan CEO berada. Ding! Rendy keluar dari lift, lalu berjalan menuju ke ruangan paling ujung. Dia berdiri dan menatap pintu kayu eboni di depannya yang bertuliskan: 'LEONARDO PUTRA MAHARDIKA-CHIEF EXECUTIVE OFFICER'. Sekali lagi, dia menghela napas panjang. Lalu mengetuk tiga kali dengan sopan. "Masuk," suara berat dari dalam ruangan itu menggema. Rendy membuka pintu dengan penuh percaya diri, senyum profesional terukir di wajahnya. Namun, begitu masuk, matanya langsung menangkap kehadiran Alexander Mahardika yang duduk di sofa utama bersama Leonardo. "Pak pimpinan? Apa ini pertanda baik?" pikirnya, jantungnya semakin berdegup kencang. "Selamat siang, Pak Alexander. Pak Leonardo," sapa Rendy rendah hati dan sedikit membungkuk. Alexander mengangguk singkat, sementara Leonardo hanya tersenyum tipis. "Silakan duduk, Pak Rendy," ucap Leon. Rendy segera duduk di sofa yang berlawanan dengan postur yang tegap. Matanya menangkap dokumen tebal di atas meja dengan stempel 'PROYEK TITAN', proyek infrastruktur senilai lima triliun yang jadi rebutan banyak pihak. "Apa mungkin...?" pikirnya menerka-nerka. Tanpa dia sadari, Leonardo dan Alexander menatapnya dengan sorot mata tajam. Mereka berdua ingin segera membunuh pria brengsek itu, tapi mereka juga menghormati keputusan Nayla. "Oh ya, siapa nama sekretarismu itu?" tanya Leonardo penasaran. Rendy tersenyum sebelum menjawab. "Namanya Meira... Meira Ayuditha." Leonardo mengangguk, lalu melirik ayahnya yang masih tetap diam sambil menatap Rendy dengan tatapan membunuh. Rendy merasakan bulu kuduknya sedikit merinding, dia bisa merasakan sorot mata tajam dari sang pimpinan. "Di mana dia sekarang?" tanya Leonardo lagi. "Dia masih berada di rumah sakit, Pak. Baru selesai operasi ginjal," jawab Rendy. Leonardo mengangguk pelan. "Lancar?" "Lancar, Pak." "Syukurlah. Anda terlihat sangat peduli dengan bawahan, ya? Bagus, anda berhasil menciptakan lingkungan kerja yang positif," puji Leonardo, walaupun terdengar tidak tulus. Wajah Rendy sedikit memerah, namun ia tetap menjaga sikap. Ia mengangguk pelan, mencoba terlihat berwibawa. “Terima kasih, Pak,” ucapnya dengan nada penuh hormat. Leonardo menyilangkan kaki, lalu menatap Rendy dengan sorot mata tajam. “Anda tahu kenapa saya memanggil anda langsung ke ruangan, bukan melalui sekretaris seperti biasanya?” tanyanya tenang namun berwibawa. Sementara itu, Alexander yang duduk di sofa utama hanya menatap Rendy dingin. "Karena aku ingin lihat wajah bajinganmu itu dari dekat... wajah yang sudah menyakiti putriku..." umpatnya dalam hati, menahan emosi yang hampir meledak. Rendy tersenyum tipis, mencoba membaca arah pembicaraan. “Saya berasumsi... ini tentang sesuatu yang penting? Mungkin, hal yang spesial?” jawabnya dengan nada hati-hati sambil menyelipkan senyum diplomatis. Alexander tertawa kecil, diikuti oleh tawa Leonardo yang terdengar samar namun mengandung arti. Rendy ikut tertawa, meski dalam hatinya ia mulai gelisah. Alexander tiba-tiba menyela dengan suaranya yang berat. "Kami butuh orang yang tepat untuk memimpin Proyek Titan ini. Dan anda, Rendy Baskara, punya reputasi yang bagus dalam efisiensi anggaran." Deg! Rendy nyaris tersedak air liurnya sendiri. Proyek Titan? Proyek yang bisa melambungkan namanya ke puncak. "Saya... sangat terhormat," jawabnya sambil berusaha menahan rasa antusias. Leonardo menggeser dokumen di atas meja tersebut ke arahnya. "Bagus! Saya suka semangat kerja anda." Alexander tiba-tiba tertawa kecil, membuat Rendy dan Leonardo menoleh. Rendy kembali merasa tidak nyaman, tapi dia juga penasaran. "Kalau kamu berhasil, posisi direktur utama bisa jadi milikmu," ujar Alexander tegas. What?! Rendy semakin tidak bisa berkata-kata. Direktur utama? Posisi yang dia inginkan selama ini. "Saya terima proyek ini," jawab Rendy mantap. "Bagus. Anda sangat bisa di andalkan," kata Alexander sambil tersenyum tipis. Rendy menundukkan sedikit kepalanya. "Terima kasih, Pak Pimpinan." Leonardo dan Alexander hanya membalas dengan anggukan singkat. "Anda boleh pergi," ujar Leonardo. Rendy segera mengambil dokumen di atas meja tersebut, lalu berdiri dan membungkukkan sedikit badannya. Dia mundur selangkah, kemudian membalikkan badannya dan berjalan keluar dari ruangan tersebut dengan hati yang berdebar-debar. "Direktur utama? My dream," gumamnya lirih. "Aku harus kasih tahu kabar gembira ini sama Meira. Pasti dia senang banget." *** Satu Minggu Kemudian... Hari ini adalah hari libur, beberapa orang menggunakan waktunya untuk bersantai dengan keluarga. Begitu juga dengan Rendy, dia sedang menjemput Meira yang sudah diperbolehkan pulang. Kedua orang tua Meira masih sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka, sehingga mereka mempercayakan Meira pada Rendy. "Sayang, aku mau shopping," ucap Meira dengan nada manja saat mereka berdua berada di dalam mobil. Rendy mengelus rambut Meira penuh kasih. "Tentu saja, sayang. Tapi kamu harus sembuh total dulu." Meira mengerucutkan bibirnya, lalu mengangguk pelan. Rendy terkekeh geli, lalu mengecup bibir Meira dengan lembut. "Aku mau tidur bareng kamu malam ini." Meira memeluk lengan dan menyandarkan kepalanya di dada bidang Rendy. "Everything for you," jawab Rendy sembari menautkan jemari mereka. Beberapa menit kemudian, mereka berdua telah sampai di halaman rumah megah milik Rendy. Sang sopir segera turun, lalu membukakan pintu mobil untuk mereka. Rendy dan Meira keluar dari dalam mobil, mereka berdua berjalan dengan mesra masuk ke dalam rumah. Rendy membuka pintu perlahan, mereka berdua saling bercanda dan tertawa tanpa menyadari sepasang mata menatap tajam ke arah mereka. "Wahh... keren sekali pasangan haram ini!" Suara itu mengejutkan mereka berdua, mereka serempak menoleh ke sumber suara dan melihat Nayla yang duduk manis di sofa sambil meminum segelas jus dengan santai. "NAYLAA!"Rendy mengepalkan tangan erat. Sorot matanya menyala-nyala penuh amarah, seolah siap untuk membunuh Nayla sekarang juga. Dalam hati, ia sudah membayangkan Nayla terkapar di lantai tak berdaya. Sementara itu, diam-diam Meira tersenyum miring penuh kepuasan melihat raut marah Rendy."Tontonan menarik. Hari ini dia pasti babak belur lagi," batinnya licik. "Selamat datang di nerakamu, Nayla. Waktumu muncul nggak tepat, jalang!" gumamnya dalam hati yang merasa puas.Rendy melepaskan tangan Meira yang melingkar di lengannya, lalu melangkah dengan cepat menghampiri Nayla. Gadis itu masih duduk santai, seraya menyesap jusnya tanpa terlihat terganggu sedikit pun. Saat melihat Rendy mendekat dengan penuh amarah, Nayla segera berdiri. Ia melipat tangannya di dada, menatap lurus lelaki itu. Rendy sedikit terkejut saat melihat Nayla yang berani menatap matanya, tatapan itu terasa asing baginya. Namun, Rendy tidak peduli, amarah telah menguasai dirinya.PLAAKK! PLAAKK!Sebuah tamparan keras men
Sementara itu, Rendy berjalan menuruni tangga dengan langkah mantap lalu membuka pintu utama. Tanpa berkata sepatah kata pun, Ia masuk ke dalam mobil dan memberi isyarat kepada sopirnya untuk segera berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, pandangan Rendy tak lepas dari layar ponselnya. Jari-jemarinya menggeser foto demi foto bersama Meira, sesekali bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat melihat wajah imut wanitanya. "Semoga kamu cepat sembuh," gumamnya.Namun, senyum itu perlahan menghilang. Sorot matanya berubah dingin saat bayangan Nayla melintas di benaknya, wanita yang dengan berani kabur dari rumah sakit dan hampir membahayakan nyawa kekasihnya."Berani-beraninya kau kabur... Awas saja kalau kau kembali. Aku bakalan menghukummu habis-habisan. Dasar wanita jalang," bisiknya penuh amarah. Beberapa menit kemudian, mobilnya sudah meluncur masuk ke area lobi perusahaan. Sang sopir buru-buru turun, lalu berlari membukakan pintu mobil untuknya. Rendy melangkah keluar dengan per
Rendy membuka sebagian kancing kemejanya yang terasa pengap, sorot matanya menajam seperti predator yang sedang memburu mangsanya. "NAYLAA!!!" teriaknya sekali lagi, tapi hanya kesunyian yang menjawab. Tidak ada tanda-tanda Nayla akan berlari menemuinya seperti biasa. "Ke mana perempuan sialan itu?" gumamnya dingin. Dia berjalan cepat menaiki tangga. Dengan kasar, ia menggedor pintu kamar Nayla. "Nayla! Keluar kau sekarang! Aku tahu, kau ada di dalam!" suara Rendy semakin meninggi. Kini, kesabarannya semakin menipis saat melihat tidak ada tanda-tanda pintu akan di buka. Rendy menghantam pintu kamar Nayla dengan brutal. "NAYLAA! KELUAR SEKARANG!" Pintu terbuka dengan kasar, tapi dia melihat kamar itu kosong. Ranjang yang rapi, udara yang pengap. Semua menunjukkan bahwa Nayla belum pulang sejak semalam. "Sial!" makinya, Rendy menendang lemari kecil Nayla dengan keras hingga roboh. Dari balik pintu, seorang ART yang bernama Marni mengintip dengan wajah pucat. "P-Pak
Dengan napas terengah-engah, dr. Andika, dokter bedah utama, bergegas menghampiri keluarga Meira yang masih diliputi amarah. "Ada kabar baik!" serunya sambil mengusap keringat yang membasahi dahinya. Rendy langsung berdiri dari duduknya, sorot matanya masih berkilat tajam. "Apa itu? Katakan cepat! Perempuan itu sudah ditemukan?" "Belum, Pak. Tapi kami baru saja menerima donor organ dari pasien yang kecelakaan," jelas dr. Andika dengan cepat. "Perempuan muda, usia 25 tahun. Dia sudah... sudah tidak tertolong." Ibu Dewi segera menyela dengan nada tak sabar. "Lalu? Ginjalnya cocok untuk Meira, kan?" "Kami belum bisa memastikan," jelas sang dokter. "Tapi kami akan segera lakukan tes kecocokan." Rangga mengangguk, wajahnya penuh harap. "Lakukan apa pun yang terbaik untuk putriku, Dok," tegas Rangga. "Tentu, Pak," ucap dr. Andika sambil mengangguk. Rendy memandang dr. Andika dengan tatapan penuh arti. "Pastikan ini berhasil, Dok. Uang bukan masalah, tolong selamatkan kekasihku."
Nayla perlahan membuka matanya. Pandangannya masih sedikit kabur, tapi ia bisa melihat sekeliling ruang operasi yang terang benderang. Tubuhnya terasa ringan, seolah anestesi itu tidak bekerja sama sekali. "Aneh... aku harusnya nggak bisa bergerak? Apa mungkin karena perempuan itu?" pikirnya. Dia menggerakkan jari-jemarinya dengan hati-hati. Ya, dia masih bisa merasakan semuanya. Perlahan, Nayla mengangkat sedikit kepalanya dan melihat ke sekeliling ruangan. Ruangan itu sepi. Hanya ada satu orang dokter yang berdiri membelakanginya, dokter itu sibuk menyiapkan alat-alat bedah di atas nampan logam. Suara dentingan alat-alat itu menggema di ruangan yang sunyi. Nayla menelan salivanya susah payah. "Sekarang, aku harus pergi dari sini." Dengan hati-hati, dia melepaskan selang infus dari tangannya. Darah mengalir sedikit dari bekas infus itu, tapi Nayla tidak peduli. Perlahan, dia menggeser tubuhnya ke pinggir meja operasi. "Gimana caranya aku keluar dari sini?" gumamnya lirih, menc
Plak! Sebuah tamparan mendarat telak di pipi Nayla. Ia merasakan pipinya kebas usai di tampar oleh suaminya sendiri. Air mata menetes tanpa bisa ia tahan, membasahi pipinya yang tirus dan pucat pasi. "Aku ini suamimu! Harusnya kamu nurut sama aku!" hardik Rendy Baskara dengan mata membelalak. Perlahan, Nayla mengangkat wajahnya. Kantung matanya yang hitam terlihat jelas, menandakan betapa tersiksa hidupnya selama ini. Bibirnya bergetar saat melihat tidak ada jejak belas kasih di mata suaminya. "Ta—tapi, Mas... Aku ini istrimu. Kenapa kamu lebih belain selingkuhanmu itu?!" Nayla meninggikan sedikit suaranya, walaupun terdengar bergetar. Rendy melonggarkan dasinya dengan kasar. Tatapannya tajam ke arah Nayla, seperti tak lagi mengenal perempuan yang dulu ia nikahi. "Jaga mulutmu! Jangan pernah kau hina dia lagi! Dia tetap kakakmu!" desisnya geram, air liurnya menyembur ke wajah Nayla. "Tapi..." Nayla mencoba bicara, namun lagi-lagi dipotong. "Aku nggak mau tahu!" tukas