Share

Di Bawah Rintik Hujan

Hari demi hari berlalu. Hubunganku dan Bia masih berjalan normal saja, layaknya seorang sahabat. Kami berangkat sekolah bersama, latihan beladiri bersama, mendaki Puncak Prau bersama, dan masih banyak kegiatan yang sering kami lakukan bersama. Mungkin satu-satunya kegiatan yang tak pernah kulakukan bersama Bia adalah bermain balap motor. 

Berbeda denganku yang suka dunia motor dan otak-atik mesinnya, Bia sama sekali tak suka dengan hal-hal semacam itu, bahkan sampai sebesar ini pun Bia sama sekali belum bisa mengendarai sepeda motor. Alhasil, hampir setiap hari aku menjadi tukang ojeknya untuk antar jemput berangkat sekolah. 

Namun, hari ini aku merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tak biasanya ia berangkat sekolah terlebih dahulu meninggalkanku. Padahal biasanya ia selalu setia menungguku menjemputnya di depan rumah, tetapi tidak dengan hari ini. Semuanya berbeda. Apalagi saat bertemu di sekolah. Kedua netraku dibuat terbelalak karena perubahan penampilannya. 

Bia yang setiap hari selalu berpenampilan tomboi, tiba-tiba berubah menjadi seorang muslimah yang begitu menutup aurat. Meskipun sebenarnya penampilannya setiap hari juga masih dibilang tertutup. Karena peraturan di sekolahku, semua siswa perempuan memang wajib memakai seragam dan rok panjang sehingga tidak ada perbedaan seragam antara siswa yang berjilbab atau pun yang tidak. Hanya rambut mereka saja yang berbeda, terlihat dan tidak terlihat.

Begitu pun dengan Bia. Setiap hari Bia selalu memakai seragam sekolah yang panjang, meskipun tidak tertutup jilbab. Ia lebih suka menguncir rambutnya ke belakang. Namun, hari ini rambut pendeknya itu benar-benar tertutup sempurna. Bahkan kain jilbabnya itu sampai menutupi dada.

Aku masih belum tau, apa alasan Bia merubah penampilannya. Ya, bukannya aku tidak setuju. Sebagai seorang sahabat, aku justru senang melihat Bia kini sudah berpenampilan seperti perempuan muslimah pada umumnya. Seperti bunda dan Mbak Huma. Namun perubahannya begitu mendadak. Ditambah sikapnya kepadaku juga sepertinya berubah.

***

Suara bel pulang sekolah membuatku bergegas meninggalkan kelas. Aku harus segera menemui Bia. Ingin kutanyakan semua yang menjejak di kepala. Apa alasannya berubah dan mengapa sikapnya juga berubah kepadaku. Kebetulan hari ini kelasku pulang lebih awal. Jadi aku bisa menunggunya di parkiran sekolah. 

Beberapa menit menunggu, akhirnya gadis berjilbab itu keluar dari halaman sekolah. Segera kuteriakkan namanya agar ia menoleh ke arahku. “Bia!”

Ia yang tengah berjalan seorang diri dengan menggendong sebuah ransel di punggung pun menghentikan langkah dan menatapku. Dengan segera, aku berlari menghampirinya. “Pulang bareng, ya?” tawarku saat aku sudah tepat berdiri di hadapannya.

Gadis berbulu mata lentik itu tampak mengerutkan kening, lalu menatapku tajam. “Enggak, Qi. Kan tadi aku udah bilang, aku mau pulang naik angkot, aja,” jawabnya. 

“Tapi, Bi. Kenapa?” 

“Nggak papa, Qi,” jawabnya seraya tersenyum sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, “lagi pengin naik angkot aja.”

Aku mengerutkan kening. Masih belum bisa menerima alasannya. “Bukannya kamu nggak suka naik angkot, Bi? Kan kamu sendiri yang bilang sering mual kalo naik angkot.”

“Nggak papa, kok. Lagi latihan aja, biar nggak terus-terusan mual kalo naik angkot,” paparnya.

“Mending naik motorku aja, Bi. Lebih hemat, 'kan? Uangnya bisa buat jajan. Aku masih berusaha membujuknya. Jujur aku khawatir jika ia seorang diri pulang naik angkot. Apalagi dengan keadaanya yang memang tak pernah naik kendaraan umum itu.

“Ngga usah, Qi. Beneran nggak papa. Aku nggak enak dari dulu ngerepotin kamu terus.” 

“Kok ngomongnya gitu, Bi. Kita kan sahabatan. Nggak mungkin lah kalau aku ngerasa direpotin kamu.”

“Serius, Qi. Nggak papa. Aku naik angkot aja. Ya udah aku pulang dulu, ya. Udah sore, mendung juga.” 

Bia segera melangkah, meninggalkanku sendiri. Ia berjalan menuju pinggir jalan depan sekolah. Tempat anak-anak biasanya menunggu angkot. Kuputuskan untuk mengawasinya dari tempat parkir, sampai ia benar-benar naik ke dalam angkot. Jujur aku sedikit khawatir dengan keadaannya

Setengah jam berlalu. Namun, Bia belum juga mendapatkan angkot. Entah kenapa sore ini angkot yang menuju ke arah rumah kami memang tidak satu pun yang lewat. Bia masih berdiri seorang diri di pingir jalan sana. Kulirik arloji di tangan kanan. Sudah pukul 15.00 WIB. Langit juga sudah semakin mendung. Sesekali angin pun berhembus menerbangkan kerudung putih yang dipakainya. 

Aku sudah tak sabar lagi. Segera kulangkahkan kaki menghampiri Bia. “Ayo, Bi. Pulang bareng aku, aja,” ucapku seraya menarik tangan Bia menuju ke tempat parkir sekolah.

“E-eh tapi, Qi.” Bia tampak sedikit kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. 

“Udah nurut aja. Bentar lagi hujan! Kamu mau nunggu terus di pinggir jalan sana?” Aku tak pedulikan perkataan Bia dan tetap menarik tangannya mendekati motor ninjaku.

Baru saja sampai di tempat parkir, gerimis kecil mulai turun. “Tuh kan apa kubilang.” Bia hanya berdiri mematung mendengar ucapanku. “Ini, kamu pakai jaketku aja. Biar nggak dingin. Hari ini kamu nggak bawa jaket, 'kan?” Segera kulepas jaket yang tadi sudah kukenakan dan meletakkannya di punggung Bia. 

“Kamu gimana?” tanyanya.

“Nggak papa. Aku mah tahan dingin. Ayo, naik.”

Dengan ragu-ragu, Bia memakai jaket dan naik ke atas motor. Ia tampak canggung saat hendak naik ke motorku. Padahal kami biasa naik motor bersama, tetapi entah kenapa ia seperti merasa tak nyaman. Jarak tempat duduk kami pun lebih jauh dari biasanya.

“Qi, ransel kamu dipakai di belakang aja, ya,” ucap Bia sesaat sebelum kunyalakan mesin motor. Memang sudah menjadi kebiasaanku selalu memakai ransel di depan dada saat membocengkan Bia. Karena jika kupakai ransel seperti biasa maka tempat duduknya akan semakin berkurang. 

“Memangnya kamu ngga sempit, Bi?” tanyaku seraya menoleh ke belakang.

“Enggak, kok. Pakai di belakang, ya,” pintanya. Aku pun menurut dan memakai ransel seperti saat aku naik motor sendirian. Segera kunyalakan mesin motor dan melesatkannya menjauhi area sekolah.

Kami melaju di bawah gerimis kecil. Sesekali kilatan kecil pun menyambar, seolah-olah membelah langit, membuat Bia sedikit menunduk dan membenamkan wajahnya di tas ranselku.

Bia memang takut dengan petir. Sejak kecil gadis berpipi tembam ini selalu menghindari ruang terbuka saat hujan berpetir datang. Padahal sebenarnya ia suka sekali dengan hujan, tetapi entah kenapa ia begitu takut dengan petir.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun begitu deras. Kuputuskan untuk menepikan motor di sebuah gubuk kecil di pinggir jalan, tempat para petani biasanya beristirahat. “Kita numpang neduh di sini dulu, ya, Bi.”

Bia hanya mengangguk, lalu mengikutiku menuju gubuk. Beruntung gubuk itu memiliki atap yang rapat dengan tempat duduk dari bambu yang cukup luas sehingga kami dapat berteduh tanpa takut kehujanan. 

Beberapa menit kami larut dalam keheningan. Hanya suara gemericik air saja yang bersenandung menerpa tanah. Aku duduk di sampingnya dengan jarak kurang lebih setengah meter. Padahal sebelumnya kami biasa duduk bersama seperti ini, tetapi entah kenapa aku juga merasa canggung dengan sikap canggung yang diberikan Bia. 

Kulirik sekilas ke arah Bia. Tampak gadis berwajah ayu itu sedang meringkuk kedinginan. Kedua tangannya ia gosok-gosokkan untuk menimbulkan rasa hangat. Beruntung aku tadi memberikan jaket kepadanya. Setidaknya, jaketku dapat mengurangi rasa dingin di tubuhnya.

Beberapa kali kulihat Bia juga meniup kedua telapak tangan degnan mulut kecilnya. Membuat pipi putihnya semakin tembam saja. Cantik. Aku tak bisa menahan senyum melihat tingkah lucunya.

“Kenapa, Qi? Kok ngeliatin terus?” Ucapan Bia tiba-tiba mengagetkanku yang sedari tadi memang sedang memperhatikannya.

“Eh. E-enggak, kok,” jawabku seraya menggaruk tengkuk yang sebenarnya sama sekali tak gatal. “Dingin, Bi?” tanyaku. Berusaha mengalihkan pembicaraan. Jangan sampai Bia tahu sedari tadi aku memang sedang memperhatikannya.

“Hmm, sedikit,” jawabnya singkat. Ia masih meringkuk, memeluk tubuh dengan lengannya sendiri.

Aku hanya tersenyum sekilas, lalu kami pun kembali dalam keheningan.

“Bi ... boleh aku tanya sesuatu?” ucapku, memecahkan keheningan lagi. Aku harus memberanikan diri menanyakan semuanya kepada Bia. Aku sudah tak mampu menahan segala rasa penasaran di kepala.

“Tanya apa, Qi?” Bia menoleh sekilas ke arahku. Ia tampak sedikit bingung melihatku yang sedang menatap wajahnya dengan tatapan serius. Namun, pandangannya segera ia tepiskan ke depan sana.

“Kamu kok tiba-tiba beda?” tanyaku hati-hati. Aku takut Bia akan marah karena aku selalu menanyakan hal ini kepadanya. 

“Beda gimana?” jawab Bia dengan suara yang pelan. Padahal hujan masih terus turun, tetapi suaranya bahkan lebih kecil daripada suara hujan yang jatuh ke atas gubuk ini.

“Kamu berubah, nggak kaya biasanya aja.” Aku berusaha mengimbangi suara Bia.

“Berubah gimana?” Bia tampaknya masih belum paham dengan maksud pertanyaanku ini. Bukannya aku ingin memutar-mutar kata. Namun, kupikir ia sudah tahu perubahan apa yang kumaksud darinya itu.

“Ya, berubah aja, penampilan kamu beda. Nggak kayak biasanya.” Kulihat Bia sedikit tersenyum mendengar jawabanku, tetapi senyuman itu ia hadapkan ke depan sana, bukan kepadaku.

“Nggak papa, ‘kan, kalau aku berusaha berubah jadi lebih baik. Memangnya salah, Qi?” Entah mengapa jawaban Bia seakan menohokku. Apa ia berpikir aku menyalahkannya? Sepertinya aku salah memilih kata-kata.

“Aku nggak bilang salah kok, Bi. Cuma ... aku kaget aja karena tiba-tiba banget,” jawabku buru-buru. Aku tak ingin Bia salah paham dengan perkataanku.

Bia tampak menghela napas panjag. “Sebenarnya, aku udah lama memikirkan hal ini, Qi. Cuma baru terlaksana aja,” balasnya. 

Aku sedikit mengerutkan kening. Benarkah yang Bia katakan itu? Kenapa selama ini tak pernah membicarakannya kepadaku? Padahal selama ini saat ada apa-apa, gadis bermata lentik itu selalu menceritakannya.

“Eh, hujannya udah agak kecil, Qi. Kita pulang, yuk.” Aku hanya mengangguk. Kulihat hujan memang sudah sedikit reda walaupun masih tersisa sedikit gerimis yang turun. Namun, lebih baik daripada terus berada di sini, apalagi jika nanti tiba-tiba hujan deras lagi.

Segera kulajukan motor di tengah gerimis yang masih terus membasahi wajah. Begitupun dengan Bia. Aku melihat dari kaca spion, kerudung yang dipakainya pun sudah mulai sedikit basah. Beberapa butir air hujan pun membasahi wajah ayunya. 

“Qi? Kenapa berhenti?” Bia tampak heran ketika aku tiba-tiba meminggirkan motor di tepi jalan. Aku memang sengaja. Ada sesuatu hal yang ingin kulakukan.

Aku menoleh ke belakang, lalu kuangkat hoodie jaket yang dipakai Bia agar menutupi kepalanya. “Biar nggak keujanan, Bi.”

Bia hanya terdiam, melihat apa yang kulakukan. Ia tampak kaget. Wajahnya tiba-tiba menunduk, membuatku merasa semakin canggung dengannya. Sungguh aku semakin tak mengerti mengapa aku dan Bia jadi secanggung ini. Padahal biasanya obrolan dan interaksi kami selalu penuh dengan gelak tawa.

Kami kembali melaju di bawah air hujan. Hanya suara deru motor dan percikan air di jalanan saja yang menemani perjalanan kami. Tak ada obrolan atau candaan yang biasanya selalu ada saat kami sedang naik motor bersama.

“Makasih ya, Qi,” ucap Bia saat kami sudah sampai di depan gerbang rumahnya, depan rumahku juga, karena rumah kami memang hanya berseberangan jalan.

“Iya. Sama-sama, Bi. Ya udah aku balik dulu, ya,” ucapku.

“Iya, Qi.” 

Aku tersenyum ke arahnya. Bersiap menuju ke rumah. Kunyalakan mesin motor, sampai tiba-tiba kudengar Bia sepertinya memanggil namaku.

“Uqi!”

Kumatikan mesin motor dan berbalik kembali menghadap ke arahnya. “Ya? Ada apa, Bi?”

Bia diam sejenak dan terlihat menunduk. Sepertinya ia sedang ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu. “Ini terakhir kali aku bonceng kamu, ya,” ucapnya. Ia kembali terdiam. “Besok-besok jangan paksa aku lagi buat berangkat atau pulang bareng kamu lagi.”

Aku mengerutkan kening, mendengar ucapan Bia yang tiba-tiba itu. Apa tadi Bia tersinggung karena kutarik tangannya secara paksa? “Maaf Bi, kalau tadi aku paksa kamu.”

Bia hanya tersenyum kecil. “Nggak papa kok, Qi. Aku nggak marah.”

“Tapi ... kenapa, Bi? Bukannya kita biasa berangkat bareng?” tanyaku.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status