Berbeda denganku yang suka dunia motor dan otak-atik mesinnya, Bia sama sekali tak suka dengan hal-hal semacam itu, bahkan sampai sebesar ini pun Bia sama sekali belum bisa mengendarai sepeda motor. Alhasil, hampir setiap hari aku menjadi tukang ojeknya untuk antar jemput berangkat sekolah.
Namun, hari ini aku merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tak biasanya ia berangkat sekolah terlebih dahulu meninggalkanku. Padahal biasanya ia selalu setia menungguku menjemputnya di depan rumah, tetapi tidak dengan hari ini. Semuanya berbeda. Apalagi saat bertemu di sekolah. Kedua netraku dibuat terbelalak karena perubahan penampilannya.
Bia yang setiap hari selalu berpenampilan tomboi, tiba-tiba berubah menjadi seorang muslimah yang begitu menutup aurat. Meskipun sebenarnya penampilannya setiap hari juga masih dibilang tertutup. Karena peraturan di sekolahku, semua siswa perempuan memang wajib memakai seragam dan rok panjang sehingga tidak ada perbedaan seragam antara siswa yang berjilbab atau pun yang tidak. Hanya rambut mereka saja yang berbeda, terlihat dan tidak terlihat.
Begitu pun dengan Bia. Setiap hari Bia selalu memakai seragam sekolah yang panjang, meskipun tidak tertutup jilbab. Ia lebih suka menguncir rambutnya ke belakang. Namun, hari ini rambut pendeknya itu benar-benar tertutup sempurna. Bahkan kain jilbabnya itu sampai menutupi dada.
Aku masih belum tau, apa alasan Bia merubah penampilannya. Ya, bukannya aku tidak setuju. Sebagai seorang sahabat, aku justru senang melihat Bia kini sudah berpenampilan seperti perempuan muslimah pada umumnya. Seperti bunda dan Mbak Huma. Namun perubahannya begitu mendadak. Ditambah sikapnya kepadaku juga sepertinya berubah.
***
Suara bel pulang sekolah membuatku bergegas meninggalkan kelas. Aku harus segera menemui Bia. Ingin kutanyakan semua yang menjejak di kepala. Apa alasannya berubah dan mengapa sikapnya juga berubah kepadaku. Kebetulan hari ini kelasku pulang lebih awal. Jadi aku bisa menunggunya di parkiran sekolah.
Beberapa menit menunggu, akhirnya gadis berjilbab itu keluar dari halaman sekolah. Segera kuteriakkan namanya agar ia menoleh ke arahku. “Bia!”
Ia yang tengah berjalan seorang diri dengan menggendong sebuah ransel di punggung pun menghentikan langkah dan menatapku. Dengan segera, aku berlari menghampirinya. “Pulang bareng, ya?” tawarku saat aku sudah tepat berdiri di hadapannya.
Gadis berbulu mata lentik itu tampak mengerutkan kening, lalu menatapku tajam. “Enggak, Qi. Kan tadi aku udah bilang, aku mau pulang naik angkot, aja,” jawabnya.
“Tapi, Bi. Kenapa?”
“Nggak papa, Qi,” jawabnya seraya tersenyum sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, “lagi pengin naik angkot aja.”
Aku mengerutkan kening. Masih belum bisa menerima alasannya. “Bukannya kamu nggak suka naik angkot, Bi? Kan kamu sendiri yang bilang sering mual kalo naik angkot.”
“Nggak papa, kok. Lagi latihan aja, biar nggak terus-terusan mual kalo naik angkot,” paparnya.
“Mending naik motorku aja, Bi. Lebih hemat, 'kan? Uangnya bisa buat jajan. Aku masih berusaha membujuknya. Jujur aku khawatir jika ia seorang diri pulang naik angkot. Apalagi dengan keadaanya yang memang tak pernah naik kendaraan umum itu.
“Ngga usah, Qi. Beneran nggak papa. Aku nggak enak dari dulu ngerepotin kamu terus.”
“Kok ngomongnya gitu, Bi. Kita kan sahabatan. Nggak mungkin lah kalau aku ngerasa direpotin kamu.”
“Serius, Qi. Nggak papa. Aku naik angkot aja. Ya udah aku pulang dulu, ya. Udah sore, mendung juga.”
Bia segera melangkah, meninggalkanku sendiri. Ia berjalan menuju pinggir jalan depan sekolah. Tempat anak-anak biasanya menunggu angkot. Kuputuskan untuk mengawasinya dari tempat parkir, sampai ia benar-benar naik ke dalam angkot. Jujur aku sedikit khawatir dengan keadaannya
Setengah jam berlalu. Namun, Bia belum juga mendapatkan angkot. Entah kenapa sore ini angkot yang menuju ke arah rumah kami memang tidak satu pun yang lewat. Bia masih berdiri seorang diri di pingir jalan sana. Kulirik arloji di tangan kanan. Sudah pukul 15.00 WIB. Langit juga sudah semakin mendung. Sesekali angin pun berhembus menerbangkan kerudung putih yang dipakainya.
Aku sudah tak sabar lagi. Segera kulangkahkan kaki menghampiri Bia. “Ayo, Bi. Pulang bareng aku, aja,” ucapku seraya menarik tangan Bia menuju ke tempat parkir sekolah.
“E-eh tapi, Qi.” Bia tampak sedikit kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba.
“Udah nurut aja. Bentar lagi hujan! Kamu mau nunggu terus di pinggir jalan sana?” Aku tak pedulikan perkataan Bia dan tetap menarik tangannya mendekati motor ninjaku.
Baru saja sampai di tempat parkir, gerimis kecil mulai turun. “Tuh kan apa kubilang.” Bia hanya berdiri mematung mendengar ucapanku. “Ini, kamu pakai jaketku aja. Biar nggak dingin. Hari ini kamu nggak bawa jaket, 'kan?” Segera kulepas jaket yang tadi sudah kukenakan dan meletakkannya di punggung Bia.
“Kamu gimana?” tanyanya.
“Nggak papa. Aku mah tahan dingin. Ayo, naik.”
Dengan ragu-ragu, Bia memakai jaket dan naik ke atas motor. Ia tampak canggung saat hendak naik ke motorku. Padahal kami biasa naik motor bersama, tetapi entah kenapa ia seperti merasa tak nyaman. Jarak tempat duduk kami pun lebih jauh dari biasanya.
“Qi, ransel kamu dipakai di belakang aja, ya,” ucap Bia sesaat sebelum kunyalakan mesin motor. Memang sudah menjadi kebiasaanku selalu memakai ransel di depan dada saat membocengkan Bia. Karena jika kupakai ransel seperti biasa maka tempat duduknya akan semakin berkurang.
“Memangnya kamu ngga sempit, Bi?” tanyaku seraya menoleh ke belakang.
“Enggak, kok. Pakai di belakang, ya,” pintanya. Aku pun menurut dan memakai ransel seperti saat aku naik motor sendirian. Segera kunyalakan mesin motor dan melesatkannya menjauhi area sekolah.
Kami melaju di bawah gerimis kecil. Sesekali kilatan kecil pun menyambar, seolah-olah membelah langit, membuat Bia sedikit menunduk dan membenamkan wajahnya di tas ranselku.
Bia memang takut dengan petir. Sejak kecil gadis berpipi tembam ini selalu menghindari ruang terbuka saat hujan berpetir datang. Padahal sebenarnya ia suka sekali dengan hujan, tetapi entah kenapa ia begitu takut dengan petir.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun begitu deras. Kuputuskan untuk menepikan motor di sebuah gubuk kecil di pinggir jalan, tempat para petani biasanya beristirahat. “Kita numpang neduh di sini dulu, ya, Bi.”
Bia hanya mengangguk, lalu mengikutiku menuju gubuk. Beruntung gubuk itu memiliki atap yang rapat dengan tempat duduk dari bambu yang cukup luas sehingga kami dapat berteduh tanpa takut kehujanan.
Beberapa menit kami larut dalam keheningan. Hanya suara gemericik air saja yang bersenandung menerpa tanah. Aku duduk di sampingnya dengan jarak kurang lebih setengah meter. Padahal sebelumnya kami biasa duduk bersama seperti ini, tetapi entah kenapa aku juga merasa canggung dengan sikap canggung yang diberikan Bia.
Kulirik sekilas ke arah Bia. Tampak gadis berwajah ayu itu sedang meringkuk kedinginan. Kedua tangannya ia gosok-gosokkan untuk menimbulkan rasa hangat. Beruntung aku tadi memberikan jaket kepadanya. Setidaknya, jaketku dapat mengurangi rasa dingin di tubuhnya.
Beberapa kali kulihat Bia juga meniup kedua telapak tangan degnan mulut kecilnya. Membuat pipi putihnya semakin tembam saja. Cantik. Aku tak bisa menahan senyum melihat tingkah lucunya.
“Kenapa, Qi? Kok ngeliatin terus?” Ucapan Bia tiba-tiba mengagetkanku yang sedari tadi memang sedang memperhatikannya.
“Eh. E-enggak, kok,” jawabku seraya menggaruk tengkuk yang sebenarnya sama sekali tak gatal. “Dingin, Bi?” tanyaku. Berusaha mengalihkan pembicaraan. Jangan sampai Bia tahu sedari tadi aku memang sedang memperhatikannya.
“Hmm, sedikit,” jawabnya singkat. Ia masih meringkuk, memeluk tubuh dengan lengannya sendiri.
Aku hanya tersenyum sekilas, lalu kami pun kembali dalam keheningan.
“Bi ... boleh aku tanya sesuatu?” ucapku, memecahkan keheningan lagi. Aku harus memberanikan diri menanyakan semuanya kepada Bia. Aku sudah tak mampu menahan segala rasa penasaran di kepala.
“Tanya apa, Qi?” Bia menoleh sekilas ke arahku. Ia tampak sedikit bingung melihatku yang sedang menatap wajahnya dengan tatapan serius. Namun, pandangannya segera ia tepiskan ke depan sana.
“Kamu kok tiba-tiba beda?” tanyaku hati-hati. Aku takut Bia akan marah karena aku selalu menanyakan hal ini kepadanya.
“Beda gimana?” jawab Bia dengan suara yang pelan. Padahal hujan masih terus turun, tetapi suaranya bahkan lebih kecil daripada suara hujan yang jatuh ke atas gubuk ini.
“Kamu berubah, nggak kaya biasanya aja.” Aku berusaha mengimbangi suara Bia.
“Berubah gimana?” Bia tampaknya masih belum paham dengan maksud pertanyaanku ini. Bukannya aku ingin memutar-mutar kata. Namun, kupikir ia sudah tahu perubahan apa yang kumaksud darinya itu.
“Ya, berubah aja, penampilan kamu beda. Nggak kayak biasanya.” Kulihat Bia sedikit tersenyum mendengar jawabanku, tetapi senyuman itu ia hadapkan ke depan sana, bukan kepadaku.
“Nggak papa, ‘kan, kalau aku berusaha berubah jadi lebih baik. Memangnya salah, Qi?” Entah mengapa jawaban Bia seakan menohokku. Apa ia berpikir aku menyalahkannya? Sepertinya aku salah memilih kata-kata.
“Aku nggak bilang salah kok, Bi. Cuma ... aku kaget aja karena tiba-tiba banget,” jawabku buru-buru. Aku tak ingin Bia salah paham dengan perkataanku.
Bia tampak menghela napas panjag. “Sebenarnya, aku udah lama memikirkan hal ini, Qi. Cuma baru terlaksana aja,” balasnya.
Aku sedikit mengerutkan kening. Benarkah yang Bia katakan itu? Kenapa selama ini tak pernah membicarakannya kepadaku? Padahal selama ini saat ada apa-apa, gadis bermata lentik itu selalu menceritakannya.
“Eh, hujannya udah agak kecil, Qi. Kita pulang, yuk.” Aku hanya mengangguk. Kulihat hujan memang sudah sedikit reda walaupun masih tersisa sedikit gerimis yang turun. Namun, lebih baik daripada terus berada di sini, apalagi jika nanti tiba-tiba hujan deras lagi.
Segera kulajukan motor di tengah gerimis yang masih terus membasahi wajah. Begitupun dengan Bia. Aku melihat dari kaca spion, kerudung yang dipakainya pun sudah mulai sedikit basah. Beberapa butir air hujan pun membasahi wajah ayunya.
“Qi? Kenapa berhenti?” Bia tampak heran ketika aku tiba-tiba meminggirkan motor di tepi jalan. Aku memang sengaja. Ada sesuatu hal yang ingin kulakukan.
Aku menoleh ke belakang, lalu kuangkat hoodie jaket yang dipakai Bia agar menutupi kepalanya. “Biar nggak keujanan, Bi.”
Bia hanya terdiam, melihat apa yang kulakukan. Ia tampak kaget. Wajahnya tiba-tiba menunduk, membuatku merasa semakin canggung dengannya. Sungguh aku semakin tak mengerti mengapa aku dan Bia jadi secanggung ini. Padahal biasanya obrolan dan interaksi kami selalu penuh dengan gelak tawa.
Kami kembali melaju di bawah air hujan. Hanya suara deru motor dan percikan air di jalanan saja yang menemani perjalanan kami. Tak ada obrolan atau candaan yang biasanya selalu ada saat kami sedang naik motor bersama.
“Makasih ya, Qi,” ucap Bia saat kami sudah sampai di depan gerbang rumahnya, depan rumahku juga, karena rumah kami memang hanya berseberangan jalan.
“Iya. Sama-sama, Bi. Ya udah aku balik dulu, ya,” ucapku.
“Iya, Qi.”
Aku tersenyum ke arahnya. Bersiap menuju ke rumah. Kunyalakan mesin motor, sampai tiba-tiba kudengar Bia sepertinya memanggil namaku.
“Uqi!”
Kumatikan mesin motor dan berbalik kembali menghadap ke arahnya. “Ya? Ada apa, Bi?”
Bia diam sejenak dan terlihat menunduk. Sepertinya ia sedang ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu. “Ini terakhir kali aku bonceng kamu, ya,” ucapnya. Ia kembali terdiam. “Besok-besok jangan paksa aku lagi buat berangkat atau pulang bareng kamu lagi.”
Aku mengerutkan kening, mendengar ucapan Bia yang tiba-tiba itu. Apa tadi Bia tersinggung karena kutarik tangannya secara paksa? “Maaf Bi, kalau tadi aku paksa kamu.”
Bia hanya tersenyum kecil. “Nggak papa kok, Qi. Aku nggak marah.”
“Tapi ... kenapa, Bi? Bukannya kita biasa berangkat bareng?” tanyaku.
Bersambung.
“Maaf, Qi. Tapi mulai sekarang aku nggak bisa berangkat bareng kamu lagi. Kita nggak bisa boncengan seperti biasanya. Kita bukan mahram, Qi. Nggak sepantasnya kita berdekatan seperti itu.”Aku sedikit menelan saliva mendengar semua penjelasan Bia. Inikah alasan perubahan sikapnya kepadaku?Meskipun aku tak terlalu pandai ilmu agama, sedikitnya aku tahu kami berdua memang tidak ada hubungan mahram. Namun, bukankah interaksi kami selama ini juga biasa saja? Kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama. Kami hanya berinteraksi layaknya seorang sahabat.“Sekali lagi aku minta maaf, Qi. Bukannya aku bermaksud menghindari kamu. Hanya saja, aku pengin kita menjaga jarak, tak seperti biasanya. Aku harap kamu mengerti aku, Qi,” ucapnya lagi. Kali ini nada suara Bia terdengar seperti memohon. Aku tahu, Bia amat serius dengan ucapannya itu.Aku coba mendekat satu langkah ke arahnya. Namun, gadis berkulit putih itu justru refleks memundurkan tubuhnya satu
Sayup-sayup suara kokok ayam membangunkanku dari alam mimpi. Segera aku menuju ke kamar mandi. Cuci muka dan mengambil air wudhu. Sudah menjadi rutinitasku, selalu menunaikan salat malam setiap harinya.Ayah dan bundaku memang selalu mengajari anak-anaknya agar senantiasa menjaga salat malam. Sesibuk apapun, semalas apapun, kami harus tetap melaksanakan salat malam.“Seseorang yang merutinkan salat malam, pasti akan mendapatkan kemuliaan dari Allah. Di saat yang lain terlelap, kita sudah terbangun. Di saat yang lain masih larut di alam mimpi, kita sudah bermunajat, bermesraan dengan Tuhan. Apa tidak hebat namanya? Allah itu sudah menjanjikan ampunan bagi siapa pun yang mendekat kepada-Nya. Siapa pun yang berdoa di sepertiga malam terakhir pasti akan Allah kabulkan. Seluruh penduduk bumi dan langit pun turut serta mengamininya.”Nasihat ayah waktu itu selalu terngiang di kepalaku. Menjadi penyemangat saat aku hendak melaksankan salat malam
Seperti biasa, sebelum berangkat sekolah, aku selalu memastikan penampilanku harus sesempurna mungkin. Bukan buat pamer. Apalagi cari perhatian. Tujuanku hanya satu. Agar tak ada yang menertawai jika aku berpenampilan aneh saat ke sekolah. Tidak lucu kan jika tiba-tiba di rambutku masih ada bekas sampo, atau dasi yang kupakai tergantung miring, atau bahkan masih ada kotoran di kedua sudut mata. Bisa hilang ketampanan yang ada pada diriku.Setelah semua siap, aku segera berpamitan kepada Ayah dan Bunda, lantas keluar rumah menuju motor kesayanganku. Motor ninja yang Ayah berikan satu tahun lalu, saat aku berhasil menjuarai kompetisi karate tingkat provinsi. Yah, meskipun aku gagal di tingkat nasional.Aku memang sangat suka bermain karate. Sedari kecil aku sudah banyak ikut kompetisi. Namun, sejujurnya aku lebih suka dengan dunia otomotif. Bagiku, sepeda motor dan segala pernak-perniknya sudah menjadi separuh jiwaku. Biarlah orang berpikir aneh, tetapi memang kenyataann
Bia berjalan melewatiku dan Elsa dengan wajah tertunduk. Jangankan menyapa, menatap wajah pun tak ia lakukan. Ia hanya sempat melirik kami saat masih di depan sana. Sejenak aku menghentikan langkah, menatap Bia yang berlalu melewatiku dan Elsa. Rasanya hampa sekali. Tak ada obrolan atau candaan yang biasa mengalir di antara kami.“Qi?” Suara Elsa tiba-tiba menyadarkanku yang sedari tadi tengah menatap kepergian Bia. “Ada apa?” tanyanya. Elsa sepertinya tampak bingung karena melihatku tiba-tiba berhenti. Ia sedikit mengerutkan kening menatapku.“Eh, nggak papa, El,” sahutku buru-buru. Aku segera mengalihkan pandangan dari Bia.“Kirain ada apa,” ucap Elsa.Aku hanya tersenyum, berusaha mengalihkan pikiranku dari Bia yang tadi hanya berlalu melewatiku, lalu kami pun kembali melangkah bersama menyusuri koridor sekolah.“Bukannya tadi itu Bia temen kamu ya, Qi?” tanya Elsa tiba-tiba
Aku melangkah memasuki rumah dengan tubuh gontai. Rasanya lemas sekali. Energiku seolah-olah terkuras habis. Bukan karena kelelahan. Aku sudah biasa melakukan aktivitas fisik lebih berat dari hari ini.Satu-satunya alasan yang membuatku tak bersemangat adalah Bia. Entah kenapa, kejadian di sekolah tadi selalu terngiang-ngiang di kepala. Aku ingat betul bagaimana Bia menatapku saat sedang berjalan berdua dengan Elsa, pun demikian saat aku memboncengkan Elsa di depan sekolah. Tiba-tiba aku dihinggapi rasa bersalah kepadanya.Jika dipikir-pikir, sebenarnya aku tak melakukan kesalahan apa pun. Semua hal yang kulakukan sama sekali tak ada hubungannya dengan Bia. Aku tak perlu meminta izin untuk berjalan bersama Elsa, atau mengantarnya pulang. Semua itu bisa kulakukan tanpa persetujan dari Bia. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan ini semua adalah salah.Kurebahkan tubuh di atas sofa. Masih dengan seragam yang sama. Bahkan ransel pun masih menempel di balik pungg
Pagi ini, aku dan Bunda dikejutkan dengan sebuah berita buruk. Beberapa menit lalu, ada seorang petugas BPBD yang menghubungi kami. Mereka memberikan kabar bahwa Ayah mengalami kecelakaan saat sedang bertugas.Ayah memang tadi bergegas pamit dari rumah setelah mendapat panggilan darurat dari kantor. Katanya ada seorang anak kecil yang hanyut terbawa arus yang meluap saat sedang bermain di tepian sungai bersama kakeknya. Ayah sebagai salah satu petugas BPBD yang lokasinya paling dekat, tentu segera ditugaskan ke lokasi kejadian.Alhamdulillah, anak itu dapat diselamatkan oleh Ayah. Namun, nahasnya Ayah malah terbawa arus tersebut sampai terseret beberapa ratus meter. Beruntung petugas yang tadi menguhubungi kami berhasil menyelamatkan Ayah. Dan kini, Ayah sudah dibawa ke rumah sakit untuk diberikan penanganan darurat.Aku dan Bunda tentu begitu kaget dengan kejadian ini. Segera kami berangkat menuju rumah sakit tempat Ayah dirawat. Namun, sampai saat ini Ay
Hari masih pagi, tetapi Bunda dan Mba Huma sudah sibuk berkutat dengan berbagai peralatan dapur. Bunyi wajan dan sutil saling bersahutan, menggema bak sebuah orkestra di rumah kami. Aroma gurih nan lezat pun sudah merebak ke seisi rumah.Bunda dan Mba Huma memang sedang menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan tamu dari Pekalongan. Rencananya, hari ini keluarga kyai Mba Huma akan datang ke rumah untuk bertakziah.Aku sebagai anak laki-laki yang tidak bisa memasak, hanya bisa membantu Bunda dengan bersih-bersih rumah sambil sesekali merecoki mereka dengan mengambil makanan yang sudah jadi. Ya, hitung-hitung sebagai tukang cicip, meskipun tak diizinkan Mba Huma.“Dih, Uqi! Gangguin aja, si! Bantu beres-beres di depan aja sana! Dari tadi makan mulu!” Mba Huma sepertinya mulai kesal karena sedari tadi aku selalu mengambil kue-kue dan gorengan yang baru saja dimasaknya. Ia yang berpakaian bak seorang chef yang ada di TV dengan celemek te
Selepas Asar, keluarga kyai Mba Huma pamit untuk pulang. Meninggalkanku, Bunda, dan Mba Huma yang kini kembali sibuk di dapur menyiapkan sajian untuk acara tahlil nanti malam.Kami memang sudah sepakat untuk mengadakan acara tahlil setiap malamnya selama tujuh hari sejak Ayah meninggal dunia. Selain untuk mendoakan Ayah, acara ini juga dapat menjadi tempat bersilaturahmi dengan tetangga-tetangga sekitar. Memang acaranya tidak terlalu besar. Hanya saudara dan tetangga terdekat saja yang diundang.Makanan yang disajikan pun hanya sekadarnya, yang penting masih pantas untuk menjamu tamu. Seperti saat ini, Bunda dan Mba Huma sedang memasak mi ongklok—makanan khas Wonosobo—dan beberapa makanan kecil lainnya.“Bunda, Uqi mau mandi dulu, ya. Lagian Uqi di sini juga bingung mau ngapain. Ngga bisa masak juga,” pintaku. Sedari tadi, aku memang sedang bingung, tak tahu harus membantu apa. Yang kulakukan hanya duduk di meja makan sembari bermai