共有

Kita Bukan Mahram

作者: hajara
last update 最終更新日: 2021-06-02 13:03:53

“Maaf, Qi. Tapi mulai sekarang aku nggak bisa berangkat bareng kamu lagi. Kita nggak bisa boncengan seperti biasanya. Kita bukan mahram, Qi. Nggak sepantasnya kita berdekatan seperti itu.”

Aku sedikit menelan saliva mendengar semua penjelasan Bia. Inikah alasan perubahan sikapnya kepadaku? 

Meskipun aku tak terlalu pandai ilmu agama, sedikitnya aku tahu kami berdua memang tidak ada hubungan mahram. Namun, bukankah interaksi kami selama ini juga biasa saja? Kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama. Kami hanya berinteraksi layaknya seorang sahabat.

“Sekali lagi aku minta maaf, Qi. Bukannya aku bermaksud menghindari kamu. Hanya saja, aku pengin kita menjaga jarak, tak seperti biasanya. Aku harap kamu mengerti aku, Qi,” ucapnya lagi. Kali ini nada suara Bia terdengar seperti memohon. Aku tahu, Bia amat serius dengan ucapannya itu.

Aku coba mendekat satu langkah ke arahnya. Namun, gadis berkulit putih itu justru refleks memundurkan tubuhnya satu langkah ke belakang. Aku pun mengembuskan napas panjang. “Apa maksud kamu, persahabatan kita cukup sampai di sini, Bi?”

Bia sesaat menatapku, lalu menunduk lagi. “Bu-bukan itu maksud aku, Qi. Sekarang dan selamanya kamu akan tetap jadi sahabat aku. Kita hanya perlu menjaga jarak saja. Tidak sedekat biasanya. Kenapa kamu nggak paham-paham juga si, Qi?!” ucap Bia dengan suara sedikit keras. 

Aku sedikit mengerutkan kening. Bukannya aku tak paham. Aku hanya belum bisa menerima semua alasan yang Bia berikan. Semuanya begitu tiba-tiba.

“Baiklah, Bi. Kalau itu mau kamu. Aku juga akan menjaga jarak dengan kamu. Aku permisi, Bi.” Dengan segera, aku berbalik dan melangkah menuju motor. 

“Uqi!” Bia kembali memanggilku. “Aku nggak bermaksud marah sama kamu. Maafin aku, Qi,” ucapnya pelan. 

“Kamu tenang aja, Bi. Aku nggak marah kok,” jawabku tanpa menghadap ke arahnya. Aku segera menyeberang jalanan pembatas rumah kami. Kutuntun motor menuju halaman rumah di bawah gerimis yang sedari tadi masih sedikit turun. \

***

“Assalamu'alaikum,” ucapku saat sampai di depan rumah. Aku segera membuka pintu dan masuk.

“Loh, Qi? Baju kamu kok basah? Jaket kamu mana? Tumben nggak pake jaket.” Tampak Bunda yang sedari tadi sibuk di dapur, sedikit heran melihat kedatanganku. Wanita berwajah teduh itu menatapku dengan penuh kekhawatiran.

“Tadi sedikit kehujanan di jalan, Bunda. Jaket Uqi, Uqi pinjamkan ke Bia,” jawabku pelan.

“Ooh. Ya sudah kamu mandi, gih. Nanti masuk angin,” perintah Bunda.

Aku hanya mengangguk dan segera masuk ke kamar mandi. Tubuh dan otakku memang butuh sekali diguyur air. Sejenak aku ingin melupakan semua ucapan Bia tadi. Bukannya berlebihan atau mudah terbawa perasaan. Hanya saja, Bia adalah sahabat terdekatku. Dia yang paling mengerti aku sejak kecil. Kami selalu bersama-sama, saling curhat tentang kehidupan masing-masing. Rasanya sedikit aneh jika tiba-tiba kami menjaga jarak.

Selepas mandi, aku pun memutuskan untuk duduk di sofa ruang tengah. Sepertinya menonton TV akan mampu mengembalikan mood baikku.

“Kamu sudah salat asar, Qi?” 

“Sudah, Bunda.”

Bunda kini duduk di sebelahku. Ia menyodorkan sebuah gelas berisi teh kepadaku. “Ini Bunda buatkan teh hangat buat kamu,

Dengan sedikit lemas, aku pun meraih dan segera meminumnya. “Makasih, Bunda.” 

Teh hangat buatan Bunda memang benar-benar mampu menenangkan pikiranku. Sejenak aku lupa tentang masalahku dengan Bia.

“Kamu lagi kenapa? Kok mukanya ditekuk gitu?” tanya Bunda tiba-tiba. Tampak Bunda sepertinya sedang menatap lekat-lekat wajahku.

Aku menghela napas, lalu kuletakkan kembali segelas teh yang kugenggam di atas meja. “Nggak papa kok, Bunda. Uqi baik-baik aja,” jawabku seraya tersenyum kepadanya.

“Udah, cerita aja. Bunda kan yang ngelahirin kamu. Dari kamu kecil, Bunda udah paham kalau kamu lagi ada masalah.”

Aku pun memiringkan badan menghadap ke arah Bunda. Tak ada gunanya lagi aku mengelak. Bunda pasti selalu tahu saat aku sedang ada masalah atau sesuatu yang sedang dipikirkan. 

“Bun, kalau ada cewek tiba-tiba berubah trus bilang ingin menjaga jarak dari kita. Itu kenapa, ya?” Akhirnya aku putuskan untuk menceritakanya kepada Bunda. Mungkin saja Bunda punya penjelasan lain tentang perubahan sikap Bia.

“Kok kamu tiba-tiba tanya gitu? Siapa cewek yang kamu maksud itu, Qi?” Bunda tampak sedikit mengerutkan kening mendengar pertanyaanku.

“Ya, pokoknya ada lah, Bunda. Cewek yang biasanya deket sama Uqi, trus tiba-tiba menghindar tanpa Uqi membuat kesalahan satu pun pada dia. Kira-kira kenapa ya, Bunda?”

Bunda tampak sedikit berpikir. “Pacar kamu, Qi?”

“Enggak lah, Bunda. Kan Bunda tahu sendiri, Uqi dari dulu nggak pernah pacaran.” 

“Trus siapa?” Bunda menatap wajahku lekat-lekat. Tampak sekali di matanya, Bunda begitu penasaran siapa yang kumaksud itu. 

“Dia—” 

“Ohh, pasti Bia, ya?” Bunda langsung memotong kalimatku sebelum aku berhasil menyelesaikannya. “Kamu lagi berantem sama Bia?”

“Eh, bukannya berantem, Bunda. Kayak anak kecil aja berantem.”

“Lah kan emang dari dulu kalian sering berantem. Beberapa waktu lalu juga berantem, 'kan?” ucap Bunda. 

Aku jadi teringat kejadian tiga bulan lalu. Kami memang bertengkar waktu itu. Hanya gara-gara hal sepele, menurutku. Waktu itu kami sedang memberi makan ikan-ikan kecil yang ada di kolam depan rumah. Namun, tanpa sengaja aku menyenggol Bia yang menyebabkan dia jatuh ke kolam. Alhasil, Bia pun marah-marah karena kuketawai.

“Tapi kali ini, Uqi sama Bia nggak berantem, Bunda.”

“Trus kenapa?” tanya Bunda.

“Nggak tau, Bunda. Tapi tiba-tiba Bia beda. Bia berubah,” jawabku.

“Berubah gimana maksudnya? Nggak berubah jadi iron man, 'kan?” ucap Bunda seraya terkekeh kecil

“Hissh, Bunda. Orang lagi serius kok. Nggak jadi cerita lah Uqi.”

“Ehh, iya iya. Abisnya kamu lucu si. Galau gitu kayak habis putus cinta, haha.” Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Bunda. Bagaimana bisa putus cinta, aku dan Bia saja hanya sahabatan. Aku berdecak kesal.

“Memangnya Bia berubah gimana?” tanya Bunda lagi. Kali ini ia sudah berhenti menertawaiku.

Aku menghela napas. “Bia bilang katanya pengin menjaga jarak dari Uqi, Bunda. Bia seperti sedang menjauhi Uqi.”

“Loh bukannya tadi kalian pulang bareng? Menjauh gimana?” tanya Bunda penasaran.

“Iya. Tadi Uqi memang pulang bareng Bia. Tapi tadi Bia bilang, katanya lain kali Uqi nggak usah nganterin Bia berangkat atau pulang sekolah lagi. Katanya kami bukan mahram, nggak seharusnya berhubungan sedekat itu. Padahal kan Uqi sama Bia nggak pernah ngapa-ngapain, Bunda. Memangnya hubungan persahabatan Uqi sama Bia selama ini salah ya?”

Bunda tampak mengangguk mendengarkan penjelasanku. “Kalau menurut Bunda, ya nggak salah juga si kalau Bia bilang kayak gitu. Kalian kan sudah sama-sama besar. Memang rasanya aneh jika sahabatan sedekat itu. Bunda si paham, memang kalian dari dulu selalu seperti itu. Tapi, semakin dewasa, pasti nanti kalian bakal ngerasa aneh. Apalagi kamu cowok, Bia cewek. Sahabatan cowok dan cewek kan nggak sedekat itu. Kayak orang pacaran kan jadinya,” papar Bunda.

Sejenak aku membeo dengan ucapan Bunda. “Tapi Uqi sama Bia memang nggak pacaran, Bunda. Kami cuma sahabatan,” tukasku.

“Ya itu menurut kamu, bukan orang lain. Orang lain pasti mikirnya kalian kayak orang pacaran, Qi. Bisa jadi kan salah satu dari kalian nanti bakal suka satu sama lain, hehe.”

“Tapi Uqi anggep Bia cuma sebagai sahabat, Bunda. Nggak lebih.”

Bunda tampak tersenyum mendengar jawabanku. “Ya kan sekarang. Nggak tahu nanti. Atau jangan-jangan Bia yang udah mulai suka sama kamu. Siapa yang tau, 'kan?”

“Masa si, Bunda?” Aku sedikit tak percaya dengan ucapan Bunda.

Bersambung.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Ada Apa dengan Bia?   Di Gubuk yang Sama

    Esok harinya, aku mencoba menemui Bia. Kuhentikan laju sepeda motor di depan rumahnya. Sengaja kusempatkan waktu untuk memberikan bingkisan yang sudah kupersiapkan semalam sebelum aku berangkat ke sekolah. Aku tak mau gadis bertubuh mungil itu sudah telanjur pergi setelah aku pulang dari sekolah.Aku melangkah dengan ragu-ragu memasuki halaman rumah yang dahulu sering kudatangi. Halaman rumah yang cukup asri dengan sebuah pohon mangga yang berdiri tegak di pojok kanan rumah. Saat kecil, aku sering sekali naik ke pohon itu bersama Bia. Kami biasa duduk-duduk di atas dahan sambil menikmati mangga yang kami petik.Bia kecil memang sudah terlihat begitu tomboi. Ia sama sekali tak takut akan terjatuh atau tegigit serangga saat naik pohon bersamaku. Ayahnya pun sampai sering berteriak, memintanya turun. Namun, kami berdua tetap menikmati aktivitas kami seperti seekor monyet yang duduk nangkring di atas dahan pohon.Sekarang, rasanya begitu aneh. Semuanya sungguh

  • Ada Apa dengan Bia?   Lebih dari Sekedar Sahabat

    Suara jangkrik yang bersahutan menemani malamku yang kini tengah dilanda perasaan bingung. Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Sementara kedua telapak tanganku menggenggam erat sebuah ponsel yang kuangkat tepat di atas wajah.Berkali-kali jari-jemariku mengetikkan beberapa kata di aplikasi perpesanan dengan kontak tujuan bertulisakan nama Bia. Namun, kata-kata itu langsung kuhapus sebelum aku sempat mengirimnya. Aku sedikit ragu. Aku takut pesanku ini akan mengganggu atau bahkan membuatnya kembali marah kepadaku.Jujur, sejak pertemuan tak sengaja di toko buku siang tadi, aku sama sekali belum bisa menghilangkan bayangan wajahnya dari pikiran. Melihat wajah ayunya setelah satu setengah tahun tak bersua sungguh mengobati rasa rindu yang selaman ini begitu menyiksa. Aku sangat bahagia. Terlebih ia sudah mau memaafkan semua kesalahanku.Hati yang selama ini sempat redup karena kehilangan sosok sahabat sekaligus ga

  • Ada Apa dengan Bia?   Melepas Rindu

    Hari demi hari berlalu. Aku sudah berada di penghujung kelas XII. Satu minggu lalu Ujian Nasional sudah terlaksana, dan sekarang aku sedang menikmati masa-masa tenang menunggu pengumuman kelulusan dan perpisahan sekolah.Semuanya terasa begitu cepat. Waktu bergulir tanpa kusadari. Namun, hari-hariku tetap terasa hampa. Pagiku tak pernah bersemangat karena tak ada lagi Bia yang biasanya setiap hari selalu ingin kutemui. Tak ada lagi wajah ayu yang senyum riangnya selalu membuatku ikut tersenyum sendiri. Tak ada lagi si pemilik pipi tembam yang meskipun sering marah-marah, tetapi selalu terlihat lucu dan menggemaskan bagiku.Aku benar-benar merindukannya. Setiap momen bersamanya sejak kami masih kecil masih terekam jelas di kepala. Aku rindu momen-momen itu. Saat tak ada jarak di antara kami, saat perasaan ini belum muncul, saat Bia belum berubah, dan saat aku tak pernah melakukan kesalahan fatal yang membuatnya begitu membenciku.Andai bisa memutar waktu, aku leb

  • Ada Apa dengan Bia?   Permintaan Maaf

    Aku menatap kosong halaman sekolah dari balik jendela kelas sembari membayangkan hari-hariku yang kini terasa begitu sunyi. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat sekaligus seseorang yang sangat spesial di hati. Semuanya begitu hampa. Gadis yang sudah mengisi relung jiwaku, tadi pagi benar-benar pergi tanpa memberikan jawaban apa pun atas ungkapan perasaanku. Jangan membalas cinta, memafkan kesalahanku pun tak ia lakukan.Aku benar-benar resah. Segala perasaan begitu berkecamuk di dalam dada. Sejak jam pelajaran pertama aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan penjelasan guru di depan sana. Rasanya aku ingin segera pulang dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Ah! Seperti inikah rasanya orang patah hati?Kriiing!Lengkingan bunyi bel istirahat sekolah menggema keras di seantero bangunan sekolah. Kutangkupkan wajah di atas meja. Aku benar-benar tak bertenaga. Seluruh energi tubuhku seolah-olah pergi bersamaan dengan kepergian Bia."Bro!

  • Ada Apa dengan Bia?   Pengakuan

    Aku sudah berada di depan gerbang rumah Bia. Kuhentikan mesin motor dan segera memasang standar dengan perasaan masih ragu-ragu. Jujur, aku sebenarnya masih takut bertemu Bia. Takut ia belum mau memaafkanku. Takut ia akan semakin membenciku. Dan takut aku melakukan hal yang lebih bodoh dari itu. Namun, hal yang lebih kutakutkan adalah jika aku tak sempat mengungkapkan semua perasaanku sebelum ia benar-benar pergi.Kulirik ke dalam halaman rumah Bia. Tampak suasana sangat sepi dan gerbang pun masih tertutup rapat. Sudah dipastikan ayah Bia tidak ada di rumah. Mungkin hanya ada Bia yang sedang berdiam diri di dalam sana.Beberapa kali kuteriakkan namanya dari depan gerbang. Berharap ia mendengar dan mau membukakan pintu untukku. Namun, setelah menunggu selama sepuluh menit, tak ada satu pun tanda-tanda ia mau keluar menemuiku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah dengan perasaan kecewa.Bruk!!Kujatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Rasanya harik

  • Ada Apa dengan Bia?   Terlambat Jatuh Cinta

    Sudah dua hari aku tak melihat keberadaan Bia. Gadis berpipi tembam itu sama sekali tak kulihat keberadaanya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Beberapa kali aku coba menghubunginya. Namun, pesan dan panggilanku sama sekali tak ia balas, bahkan membacanya pun tak ia lakukan, padahal sering kulihat status di kontaknya menunjukkan tulisan online.Aku yakin gadis bermata lentik itu masih sangat marah kepadaku. Aku memang salah. Apa yang kuperbuat begitu fatal. Pantas jika ia membenciku. Aku pun begitu resah memikirkan hal itu. Namun, aku bukan sengaja melakukannya. Semuanya begitu tiba-tiba. Aku tak tahu jika kakiku akan tersandung dan tubuhku jatuh menubruknya.Sampai saat ini aku masih merutuki diri sendiri. Berharap waktu dapat kuulang dan hal itu tidak terjadi. Aku masih ingat bagaimana butiran air mata menetes membasahi pipinya, pun dengan amarah yang meluap di kedua netranya. Aku sudah mengambil ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya ia berikan kepa

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status