Share

Kita Bukan Mahram

“Maaf, Qi. Tapi mulai sekarang aku nggak bisa berangkat bareng kamu lagi. Kita nggak bisa boncengan seperti biasanya. Kita bukan mahram, Qi. Nggak sepantasnya kita berdekatan seperti itu.”

Aku sedikit menelan saliva mendengar semua penjelasan Bia. Inikah alasan perubahan sikapnya kepadaku? 

Meskipun aku tak terlalu pandai ilmu agama, sedikitnya aku tahu kami berdua memang tidak ada hubungan mahram. Namun, bukankah interaksi kami selama ini juga biasa saja? Kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama. Kami hanya berinteraksi layaknya seorang sahabat.

“Sekali lagi aku minta maaf, Qi. Bukannya aku bermaksud menghindari kamu. Hanya saja, aku pengin kita menjaga jarak, tak seperti biasanya. Aku harap kamu mengerti aku, Qi,” ucapnya lagi. Kali ini nada suara Bia terdengar seperti memohon. Aku tahu, Bia amat serius dengan ucapannya itu.

Aku coba mendekat satu langkah ke arahnya. Namun, gadis berkulit putih itu justru refleks memundurkan tubuhnya satu langkah ke belakang. Aku pun mengembuskan napas panjang. “Apa maksud kamu, persahabatan kita cukup sampai di sini, Bi?”

Bia sesaat menatapku, lalu menunduk lagi. “Bu-bukan itu maksud aku, Qi. Sekarang dan selamanya kamu akan tetap jadi sahabat aku. Kita hanya perlu menjaga jarak saja. Tidak sedekat biasanya. Kenapa kamu nggak paham-paham juga si, Qi?!” ucap Bia dengan suara sedikit keras. 

Aku sedikit mengerutkan kening. Bukannya aku tak paham. Aku hanya belum bisa menerima semua alasan yang Bia berikan. Semuanya begitu tiba-tiba.

“Baiklah, Bi. Kalau itu mau kamu. Aku juga akan menjaga jarak dengan kamu. Aku permisi, Bi.” Dengan segera, aku berbalik dan melangkah menuju motor. 

“Uqi!” Bia kembali memanggilku. “Aku nggak bermaksud marah sama kamu. Maafin aku, Qi,” ucapnya pelan. 

“Kamu tenang aja, Bi. Aku nggak marah kok,” jawabku tanpa menghadap ke arahnya. Aku segera menyeberang jalanan pembatas rumah kami. Kutuntun motor menuju halaman rumah di bawah gerimis yang sedari tadi masih sedikit turun. \

***

“Assalamu'alaikum,” ucapku saat sampai di depan rumah. Aku segera membuka pintu dan masuk.

“Loh, Qi? Baju kamu kok basah? Jaket kamu mana? Tumben nggak pake jaket.” Tampak Bunda yang sedari tadi sibuk di dapur, sedikit heran melihat kedatanganku. Wanita berwajah teduh itu menatapku dengan penuh kekhawatiran.

“Tadi sedikit kehujanan di jalan, Bunda. Jaket Uqi, Uqi pinjamkan ke Bia,” jawabku pelan.

“Ooh. Ya sudah kamu mandi, gih. Nanti masuk angin,” perintah Bunda.

Aku hanya mengangguk dan segera masuk ke kamar mandi. Tubuh dan otakku memang butuh sekali diguyur air. Sejenak aku ingin melupakan semua ucapan Bia tadi. Bukannya berlebihan atau mudah terbawa perasaan. Hanya saja, Bia adalah sahabat terdekatku. Dia yang paling mengerti aku sejak kecil. Kami selalu bersama-sama, saling curhat tentang kehidupan masing-masing. Rasanya sedikit aneh jika tiba-tiba kami menjaga jarak.

Selepas mandi, aku pun memutuskan untuk duduk di sofa ruang tengah. Sepertinya menonton TV akan mampu mengembalikan mood baikku.

“Kamu sudah salat asar, Qi?” 

“Sudah, Bunda.”

Bunda kini duduk di sebelahku. Ia menyodorkan sebuah gelas berisi teh kepadaku. “Ini Bunda buatkan teh hangat buat kamu,

Dengan sedikit lemas, aku pun meraih dan segera meminumnya. “Makasih, Bunda.” 

Teh hangat buatan Bunda memang benar-benar mampu menenangkan pikiranku. Sejenak aku lupa tentang masalahku dengan Bia.

“Kamu lagi kenapa? Kok mukanya ditekuk gitu?” tanya Bunda tiba-tiba. Tampak Bunda sepertinya sedang menatap lekat-lekat wajahku.

Aku menghela napas, lalu kuletakkan kembali segelas teh yang kugenggam di atas meja. “Nggak papa kok, Bunda. Uqi baik-baik aja,” jawabku seraya tersenyum kepadanya.

“Udah, cerita aja. Bunda kan yang ngelahirin kamu. Dari kamu kecil, Bunda udah paham kalau kamu lagi ada masalah.”

Aku pun memiringkan badan menghadap ke arah Bunda. Tak ada gunanya lagi aku mengelak. Bunda pasti selalu tahu saat aku sedang ada masalah atau sesuatu yang sedang dipikirkan. 

“Bun, kalau ada cewek tiba-tiba berubah trus bilang ingin menjaga jarak dari kita. Itu kenapa, ya?” Akhirnya aku putuskan untuk menceritakanya kepada Bunda. Mungkin saja Bunda punya penjelasan lain tentang perubahan sikap Bia.

“Kok kamu tiba-tiba tanya gitu? Siapa cewek yang kamu maksud itu, Qi?” Bunda tampak sedikit mengerutkan kening mendengar pertanyaanku.

“Ya, pokoknya ada lah, Bunda. Cewek yang biasanya deket sama Uqi, trus tiba-tiba menghindar tanpa Uqi membuat kesalahan satu pun pada dia. Kira-kira kenapa ya, Bunda?”

Bunda tampak sedikit berpikir. “Pacar kamu, Qi?”

“Enggak lah, Bunda. Kan Bunda tahu sendiri, Uqi dari dulu nggak pernah pacaran.” 

“Trus siapa?” Bunda menatap wajahku lekat-lekat. Tampak sekali di matanya, Bunda begitu penasaran siapa yang kumaksud itu. 

“Dia—” 

“Ohh, pasti Bia, ya?” Bunda langsung memotong kalimatku sebelum aku berhasil menyelesaikannya. “Kamu lagi berantem sama Bia?”

“Eh, bukannya berantem, Bunda. Kayak anak kecil aja berantem.”

“Lah kan emang dari dulu kalian sering berantem. Beberapa waktu lalu juga berantem, 'kan?” ucap Bunda. 

Aku jadi teringat kejadian tiga bulan lalu. Kami memang bertengkar waktu itu. Hanya gara-gara hal sepele, menurutku. Waktu itu kami sedang memberi makan ikan-ikan kecil yang ada di kolam depan rumah. Namun, tanpa sengaja aku menyenggol Bia yang menyebabkan dia jatuh ke kolam. Alhasil, Bia pun marah-marah karena kuketawai.

“Tapi kali ini, Uqi sama Bia nggak berantem, Bunda.”

“Trus kenapa?” tanya Bunda.

“Nggak tau, Bunda. Tapi tiba-tiba Bia beda. Bia berubah,” jawabku.

“Berubah gimana maksudnya? Nggak berubah jadi iron man, 'kan?” ucap Bunda seraya terkekeh kecil

“Hissh, Bunda. Orang lagi serius kok. Nggak jadi cerita lah Uqi.”

“Ehh, iya iya. Abisnya kamu lucu si. Galau gitu kayak habis putus cinta, haha.” Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Bunda. Bagaimana bisa putus cinta, aku dan Bia saja hanya sahabatan. Aku berdecak kesal.

“Memangnya Bia berubah gimana?” tanya Bunda lagi. Kali ini ia sudah berhenti menertawaiku.

Aku menghela napas. “Bia bilang katanya pengin menjaga jarak dari Uqi, Bunda. Bia seperti sedang menjauhi Uqi.”

“Loh bukannya tadi kalian pulang bareng? Menjauh gimana?” tanya Bunda penasaran.

“Iya. Tadi Uqi memang pulang bareng Bia. Tapi tadi Bia bilang, katanya lain kali Uqi nggak usah nganterin Bia berangkat atau pulang sekolah lagi. Katanya kami bukan mahram, nggak seharusnya berhubungan sedekat itu. Padahal kan Uqi sama Bia nggak pernah ngapa-ngapain, Bunda. Memangnya hubungan persahabatan Uqi sama Bia selama ini salah ya?”

Bunda tampak mengangguk mendengarkan penjelasanku. “Kalau menurut Bunda, ya nggak salah juga si kalau Bia bilang kayak gitu. Kalian kan sudah sama-sama besar. Memang rasanya aneh jika sahabatan sedekat itu. Bunda si paham, memang kalian dari dulu selalu seperti itu. Tapi, semakin dewasa, pasti nanti kalian bakal ngerasa aneh. Apalagi kamu cowok, Bia cewek. Sahabatan cowok dan cewek kan nggak sedekat itu. Kayak orang pacaran kan jadinya,” papar Bunda.

Sejenak aku membeo dengan ucapan Bunda. “Tapi Uqi sama Bia memang nggak pacaran, Bunda. Kami cuma sahabatan,” tukasku.

“Ya itu menurut kamu, bukan orang lain. Orang lain pasti mikirnya kalian kayak orang pacaran, Qi. Bisa jadi kan salah satu dari kalian nanti bakal suka satu sama lain, hehe.”

“Tapi Uqi anggep Bia cuma sebagai sahabat, Bunda. Nggak lebih.”

Bunda tampak tersenyum mendengar jawabanku. “Ya kan sekarang. Nggak tahu nanti. Atau jangan-jangan Bia yang udah mulai suka sama kamu. Siapa yang tau, 'kan?”

“Masa si, Bunda?” Aku sedikit tak percaya dengan ucapan Bunda.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status