Share

Curhat

Aku melangkah memasuki rumah dengan tubuh gontai. Rasanya lemas sekali. Energiku seolah-olah terkuras habis. Bukan karena kelelahan. Aku sudah biasa melakukan aktivitas fisik lebih berat dari hari ini.

Satu-satunya alasan yang membuatku tak bersemangat adalah Bia. Entah kenapa, kejadian di sekolah tadi selalu terngiang-ngiang di kepala. Aku ingat betul bagaimana Bia menatapku saat sedang berjalan berdua dengan Elsa, pun demikian saat aku memboncengkan Elsa di depan sekolah. Tiba-tiba aku dihinggapi rasa bersalah kepadanya.

Jika dipikir-pikir, sebenarnya aku tak melakukan kesalahan apa pun. Semua hal yang kulakukan sama sekali tak ada hubungannya dengan Bia. Aku tak perlu meminta izin untuk berjalan bersama Elsa, atau mengantarnya pulang. Semua itu bisa kulakukan tanpa persetujan dari Bia. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan ini semua adalah salah.

Kurebahkan tubuh di atas sofa. Masih dengan seragam yang sama. Bahkan ransel pun masih menempel di balik punggung. Hanya kedua sepatu saja yang sudah kulepas dari kaki.

Sebenarnya tubuhku terasa amat lengket. Butiran peluh sudah membasahi hampir seluruh seragam. Namun, rasanya malas sekali untuk bangkit, apalagi beranjak ke kamar mandi. Akhirnya, kuputuskan untuk memejamkan mata sejenak. Menenangkan isi kepala, pun juga dengan isi hati.

***

“Qi ... Uqi ....” Samar-samar kudengar suara Bunda memanggil namaku. “Bangun, Sayang. Sudah hampir jam lima.”

Perlahan aku membuka mata. Menyadarkan diri dari kehidupan di alam mimpi. Pandanganku beredar ke seisi ruangan. Ternyata aku masih berada di ruang tengah. Dengan posisi tidur masih di atas sofa, pun dengan seragam sekolah yang sama.

“Ayo bangun, Qi! Mandi sana, sudah hampir jam lima loh!” perintah Bunda lagi. Tampak Bunda kini berdiri tepat di hadapanku.

“Jam lima, Bunda?” Aku sedikit terperanjat. Kalau ini jam lima, itu artinya aku sudah tertidur selama kurang lebih dua jam. 

“Iya. Tadi Bunda pulang dari acara arisan, tau-tau kamu udah tiduran di sini. Kamu udah salat Asar belum?” tanya Bunda.

“Belum, Bunda.”

“Ya sudah, sana cepat mandi. Trus salat. Nanti keburu waktu asarnya habis,” titah Bunda.

“Iya, Bunda.” Aku segera bangkit. Meletakkan barang-barang di kamar dan bersiap untuk mandi. Aku masih merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya aku tadi tertidur. Padahal ada jadwal latihan karate jam setengah empat. Pasti sebentar lagi mereka akan selesai. Tak ada kesempatan untukku mengejar waktu latihan. Terpaksa hari ini aku bolos latihan.

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Melakukan aktivitas rutinku setiap hari. Seusai mandi dan salat, aku segera melangkah menuju dapur. Perutku rasanya keroncongan sekali. Sepulang sekolah tadi, aku memang belum sempat makan siang. Pantas saja perut ini sudah meraung-raung minta diisi.

“Itu, tadi Bunda masak sayur asam sama ikan pindang. Kamu pasti lapar, 'kan?” ucap Bunda tiba-tiba. Sepertinya Bunda melihatku sedang mencari-cari makanan.

“Iya, Bunda. Uqi laper banget, hehe,” ucapku seraya meringis, memamerkan deretan gigi putihku. Aku pun segera mengambil piring dan mengisinya dengan secentong nasi dan lauk pauk. Tanpa banyak waktu, aku segera melahap masakan Bundaku ini di meja makan.

“Ayah mana, Bunda?” tanyaku di sela-sela suapan makan siangku ini. Aku menatap ke arah Bunda yang kini duduk bersamaku di meja makan. Bukan untuk makan. Hanya menemaniku menikmati hidangan lezatnya.

“Ayah lagi takziah ke kampung sebelah, Qi. Paling sebentar lagi juga pulang,” jawab Bunda sambil membuka-buka sebuah buku resep yang tergeletak di atas meja makan.

“Ooh, siapa yang meninggal, Bunda?” tanyaku penasaran.

“Itu loh Pak Bejo. Yang punya toko sembako cukup besar di pasar,” papar Bunda.

“Ooh.” Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Sebenarnya aku tak kenal siapa Pak Bejo itu. Namun, siapa pun Beliau, semoga mendapat tempat terbaik di sisi Allah Swt.

“Oh ya, Qi. Bunda sampai lupa. Tadi Bia datang, ngembaliin jaket. Bunda taroh di kamar kamu. Soalnya kamu tadi lagi mandi, si,” ucap Bunda.

“Bia? Datang ke rumah, Bunda?” Aku sedikit terkesiap mendengar ucapan Bunda. Kuhentikan aktivitas makanku dan menatap lekat-lekat wajah Bunda. Padahal sebelumnya, hampir tiap hari Bia datang ke rumah. Namun, setelah semua ini, rasanya begitu aneh saat Bia mau datang lagi ke rumah.

“Iya. Tadi Bunda nawarin buat mampir main, tapi Bia nya nggak mau. Lagi buru-buru katanya,” balas Bunda. “Oh ya, sekarang Bia pake jilbab ya, Qi?” tanya Bunda.

Aku hanya mengangguk. Mungkin Bunda baru melihat perubahan penampilan Bia, makanyà Bunda sedikit heran.

“Bia tambah cantik ya kalo pake jilbab kayak gitu.” Ucapan Bunda seketika membuatku membeo di tempat. Entah Bunda orang keberapa yang mengatakan bahwa Bia semakin cantik saat memakai jilbab.

“Menurut kamu juga begitu, 'kan, Qi?” tanya Bunda sembari tersenyum ke arahku.

“Eh, eng-enggak tau, Bunda,” jawabku. Entah kenapa, pertanyaan Bunda membuatku sedikit gelagapan. Kulihat Bunda hanya tersenyum mendengar jawabanku. Senyuman yang terlihat aneh. Apa Bunda sedang menggodaku?

***

Malam ini aku sama sekali tak bisa tidur. Posisi badan sudah kumiringkan ke kanan, ke kiri, terlentang, bahkan tengkurap. Namun, sama sekali tak membuat kedua bola mataku ini mau terpejam.

Aku menatap jam di dinding kamar. Pukul 21.00 WIB. Sebenarnya masih belum terlalu malam. Namun, udara di luar sana begitu menusuk kulit. Membuatku enggan untuk keluar rumah. Lebih baik di dalam kamar saja. Tidur berselubung selimut hangat.

Kuambil ponsel di atas nakas. Berharap dengan memainkan benda pipih itu mataku akan mulai mengantuk. Beberapa aplikasi jejaring sosial mulai kubuka. Namun, tak ada yang menarik. Akhirnya kubuka aplikasi pengirim pesan. Melihat-lihat isi status kawan yang tersimpan di kontak.

“Kok ada status Mba Huma?” gumamku. Aku segera membalas status kakak perempuanku satu-satunya itu, Humairoh Assyifa. Ada sesuatu yang ingin kuceritakan.

[Mba, kok tumben bikin status. HP nya nggak dikumpulin?]

Aku segera mengirim pesan kepadanya. Tampak dua tanda centang muncul di akhir kalimat yang kukirim. Menandakan ponselnya memang sedang aktif.

Mba Huma merupakan seorang santri di salah satu pondok pesantren di Kota Pekalongan. Aku tahu peraturan di pesantrennya memang mengharuskan seluruh ponsel yang dibawa para mahasiswa saat malam hari untuk dikumpulkan. Namun, malam ini Mba Huma masih terlihat aktif dari status pesannya.

Drrrt drrt! Terdengar bunyi getaran ponsel. Pasti itu pesan dari Mba Huma. Segera kubuka pesan itu.

[Mba lagi ngerjain revisian skripsi, Qi. Jadi HP nya belum dikumpulin dulu.]

Aku mengaggukkan kepala seorang diri. Pantas saja HP Mba Huma tak dikumpulkan. Kakak perempuanku itu memang sudah berada di semester akhir perkuliahannya sehingga saat ini ia sedang sibuk mengerjakan tugas akhir.

Kuketikkan beberapa kata untuk membalas pesan dari Mba Huma

[Ooh. Mba, aku pengin cerita nih. Boleh?]

Aku memang biasa menceritakan segala permasalahanku kepada Mba Huma. Karena dialah satu-satunya orang yang bisa memberiku jalan keluar atau nasihat selain Ayah dan Bunda. Tentu saja Ayah dan Bundalah terbaik. Namun, tentu saja ada beberapa hal yang tak berani kuceritakan kepada Ayah dan Bunda karena malu. Dan saat itu, Mba Huma satu-satnya tempatku mencurahkan segala isi hati.

[Cerita apa? Masalah cewek lagi? Atau masalah pacar kamu?] 

Kubaca pesan balasan dari Mba Huma. Ia seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. Memang ada untungnya punya kakak yang masih sama-sama muda.

[Iya. Tapi bukan cewek biasa. Aku nggak punya pacar lah. Ini masalah Bia. Aku telepon ya]

Segera kutekan tombol panggil di nomor kontak Mba Huma.

“Assalamu'alaikum, Mba,” salamku kepada sesaat setelah panggilan suaraku diterima.

“Wa'alaikumussalam, Qi. Gimana? Ada apa sama Bia?” jawabnya dari ujung telepon.

“Gini, Mba. Aku itu lagi heran sama Bia. Tiba-tiba dia berubah. Penampilannya, perilakunya, dan sikapnya kepadaku. Bia kini pakai jilbab, Mba. Nggak seperti biasanya. Dan dia bilang pengin menjaga jarak dariku. Karena bukan mahram, katanya,” paparku.

“Ya bagus dong. Itu artinya Bia sedang hijrah menjadi muslimah yang lebih baik lagi,” balas Mba Huma.

“Iya, Mba. Aku juga lagi berusaha memahaminya. Tapi Bia benar-benar beda, Mba. Bia selalu mendiamkanku. Rasanya aneh sekali. Aku seperti kehilangan hari-hariku yang selama ini selalu bersama dia, Mba. Bahkan tiba-tiba aku merasa bersalah sendiri saat jalan sama cewek lain, atau mengantarnya pulang. Rasanya aneh. Selama ini yang selalu memboncengku adalah Bia. Tiba-tiba berubah cewek lain. Perasaanku mengatakan ini semua salah.”

Terdengar Mba Huma sedikit tertawa. Membuatku heran. Apa yang salah dengan ucapanku? Aku kan sedang tidak melawak.

“Kok ketawa, Mba?” tanyaku.

Mba Huma masih sedikit tertawa. Namun, kali ini lebih pelan daripada tadi. “Abisnya kamu lucu, Qi. Kamu tuh kayaknya lagi jatuh cinta sama Bia, Qi.”

“Ja-jatuh cinta?” Aku sedikit melongo dengan jawaban Mba Huma. Tak mungkin kan aku jatuh cinta kepada sahabatku sendiri. Bagian mana dari ceritaku yang mengatakan aku jatuh cinta kepadanya?

“Iya. Kamu pasti lagi jatuh cinta sama sahabat kamu sendiri itu, Qi. Makanya kamu merasa kesepian tanpa dia,” jawab Mba Huma.

“Nggak mungkin.”

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status