“Aku cariin di kantin, kamu malah di perpus, Ra.”
Rania tersenyum. Jari telunjuknya mengisyaratkan bocah laki-laki dengan seragam putih birunya -- Alvin-- untuk diam.
“Aku males ke kantin, fans kamu cemburu nanti liat kamu ketawa-tawa.” Rania menjawab dengan berbisik.
Alvin berdecak. “Apaan sih, Ra.”
“Aku serius, kamu ketua osis, anak berprestasi, ditambah lagi cogan pula, aku nggak nyaman di deket kamu, Al.”
Rania mengalihkan pandangannya kembali pada buku bacaan di depannya meninggalkan Alvin yang masih menatapnya.
Alvin menggeram tak suka mendengar
Langit berwarna kemerahan dengan awan yang bergerak secara perlahan, dedaunan pun terjatuh dari dahannya karena hembusan angin yang kencang. Dua orang berbeda jenis kelamin itu duduk dengan tenang di salah satu kursi taman yang ada. Salah seorang mengenakan pakaian putih abu-abu khas seorang pelajar menengah atas sementara salah seorang lagi mengenakan seragam putih birunya.“Kenapa bisa?” Tanya Alvin. Matanya menatap lurus ke depan tanpa memperhatikan seorang gadis kecil yang duduk di sampingnya.“Karena aku gak sepinter kamu, Al.” Jawab gadis itu. Sebenarnya dia cukup ragu, terlihat dari jari jemarinya yang saling bertautan diatas rok biru yang dikenakannya. Dia takut laki-laki yang sudah ia anggap sahabat itu marah padanya.“Terus mau masuk m
“Oke, rapatnya kita akhiri sampai di sini. Ada pertanyaan?”Sebagai ketua osis, Alvin mengakhiri rapat dengan mengajukan sesi tanya-jawab bagi para anggotanya.“Aku, Kak.”Alvin mengangguk mempersilakan.“Buat budget, kan kita butuh sponsor. Tapi seandainya belum ada juga sponsornya, apa mau minta sumbangan aja ke setiap kelas?”“Apa itu nggak memberatkan setiap kelas? Mau minta uang apa? Kas apa sumbangan per murid? Coba deh di lihat rincian biayanya, di situ tertulis 7 juta, kan? Buat panggung, hadiah dan lain sebagainya aja udah pas-pasan, apa nggak kasian sama murid yang kurang mampu?”
Flashback...Alvin berjalan masuk ke dalam rumahnya yang sepi. Ayah dan Ibunya serta adiknya memang tengah pergi mengunjungi rumah saudara mereka hingga rumah besar tersebut hanya berisikan para pekerja kepercayaannya saja.“Wahh... rumah Kak Alvin gede banget..”“Hooh.. anak orang kaya kalo rumahnya gubuk ya nggak pantes dong..”Alvin mengabaikan bisikan-bisikan di belakangnya. Ia terus berjalan ke dalam rumah diikuti oleh dua orang siswa juga 3 orang siswi yang mengikutinya.“Kak, Mama sama Papa mana?”Alvin mendengus. Mama Papa katanya? Alvin tahu jika Amanda memang sengaj
“Saya mau menikahi Rania, Yah.” Satu kalimat besar, Alvin sama sekali tak ragu mengucapkannya di depan kedua orang tua gadis yang menjadi kekasihnya. Tentu, tanpa kehadiran gadis itu di rumahnya. “Lalu?” Hanya itu. Hanya itu tanggapan seorang pria paruh baya yang merupakan ayah si gadis. Alvin mendongak, menatap tepat pada kedua mata yang sudah dipenuhi keriput. “Saya mencintai Rania sejak di bangku sekolah dasar, kami sudah berteman cukup lama sejak itu. Saya dan Rania sempat pisah sekolah sewaktu SMA dan di perguruan tinggi kemarin, namun rasa cinta saya sama sekali tidak berkurang untuk puteri Ayah.” Wanita paruh baya itu menahan nafasnya terkejut. Sejak sekolah dasar katanya? Hal gila apa ini? “Ka-kamu, emm... Alvin, tapi menurut Ibu, waktu itu nggak bisa menjamin seseorang suka sama orang lainnya.
Alvin menggeram tak suka begitu mendengar celoteh Amanda. Dia berdesis begitu raut penuh ejek Amanda tersenyum di depannya. Alvin tak menyangka bisa bertemu kembali dengan Amanda setelah sekian tahun lamanya perempuan itu menghilang. “Gimana, Kak?” Alvin diam membisu, tahu jika perempuan itu belum usai bicara. “Kalo ngggak mau, nanti rahasia Kakak bocor lho... aku kasih tau ke Rania.” Shit! Rahasia, rahasia, rahasia! Selalu itu yang jadi busur panah yang dilemparkan Amanda padanya. Bukannya tidak tahu, Alvin jelas tahu jika Amanda memang menyukainya sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama. Pria itu juga tahu jika Amanda sengaja mengikutinya dengan masuk SMA yang sama juga universitas yang sama dengan dirinya. Alvin tahu, jika Amanda membenci Rania sejak dulu.
"Jangan gila!” Bentak Alvin marah. Nafasnya memburu, menatap marah perempuan di depannya. “Ini nggak ada di perjanjian awal, Amanda!”“Aku mohon, Kak... bantu aku.”Alvin menghembuskan nafasnya, mencoba mengatur emosinya yang selalu meledak setiap kali dia bertemu dengan Amanda.Dan kini, wanita sialan itu kembali berulah dengan meminta dirinya untuk bertunangan di malam kedua orang tua Amanda merayakan hari pernikahan mereka.Kini ia mengerti maksud Amanda dengan mengunjungi toko perhiasan yang sama seperti dirinya dan Rania. Perempuan itu memang telah merencanakannya.“Saya menolak pertunangan itu!”
Rania-nya menghilang.Hanya dua kata yang bisa ditangkap telinganya setelah dua orang anak buanya memberikan laporan.Kedua matanya terpejam sesaat. Berusaha mengontrol emosinya sebelum lepas kendali dan membuat kedua orang yang berdiri takut di depannya itu terlempar ke Rumah Sakit.Sial, sialan!Salahnya. Ini semua salahnya. Rania pasti sakit hati setelah melihat tunangannya melaman wanita lain di depan matanya sendiri.“Kenapa?” Tanyanya pelan. Wajahnya tanpa ekspresi, namun jelas ada amarah di baliknya.“Ma-maaf, ka-kami minta maaf, Tuan.”Brakk...“Saya tanya kenapa, bukan untuk mendengar permintaan maaf kalian!” Bentaknya.Nafasnya memburu. Emosi yang berusaha ia tahan ternyata gagal ia kendalikan. Hmm... mungkin satu atau dua p
“Gimana keadaan anak itu? Semalam dia di PICU, kan?”Suster dengan papan catatan di tangannya itu berjalan mengimbangi langkah kaki Alvin.“Kemarin malam kondisinya belum stabil, Dok. Ada perawat Nadin dan dokter jaga, dokter Naufal. Kondisinya membaik pagi ini, suhu tubuhnya beranjak normal meski masih agak sedikit demam, Dok.”Alvin mengangguk. “Apa dia kejang kembali semalam?”Suster itu menggeleng. “Sudah tidak, Dok. Terakhir kejang pukul 11 malam tadi, waktu terakhir kali dokter cek kondisi pasien.”“Orang tuanya?”“Orang tua pasien masih menunggu di depan ruan