Cindya tertegun dengan pemandangan yang terpampang di depan matanya. Jantungnya berdegup lebih kencang daripada biasanya, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Dharmatio—suaminya—dan Harena—adik perempuannya—sedang berpelukan di ruang tamu. Situasi ini membuat otaknya berputar dengan berbagai pertanyaan yang sulit ia abaikan.
“Mas Tio ….”
Dharmatio dan Harena sama-sama terkejut melihat kehadiran Cindya. Wajah Harena pucat seolah ingin menjelaskan sesuatu, sementara Dharmatio dengan segera melepaskan pelukannya, tetapi tetap memandang Harena dengan ekspresi khawatir. “Kamu baik-baik saja, Harena?” tanya Dharmatio dengan nada lembut, memastikan kondisi Harena.
Cindya yang berdiri di ambang pintu memicingkan mata, membuat suasana semakin berat. Ia melangkah mendekati mereka dengan langkah yang mantap namun perlahan, kedua tangannya terlipat di depan dada. Ekspresi wajahnya sulit dimengerti—gabungan antara kecewa, bingung, dan kesal.
“Harena, kenapa kamu ada disini? Dan kamu, kenapa kamu ada di rumah pada jam segini?” tanyanya dengan suara tenang tetapi penuh tekanan.
Harena segera mengangkat tangan, seperti ingin menjelaskan, tetapi mulutnya tidak segera mengeluarkan kata-kata. Sementara Dharmatio mengambil langkah ke depan, mencoba menjembatani suasana yang tegang itu. "Cindya, aku bisa jelaskan," katanya dengan nada hati-hati.
Cindya menatap suaminya tanpa berkedip, menunggu jawaban yang jelas. “Aku menunggu penjelasanmu,” katanya dengan nada lebih rendah, meskipun hatinya sedang bergolak.
Dharmatio menarik napas panjang, lalu mengarahkan pandangannya ke Harena, memberikan isyarat agar adik iparnya membantu menjelaskan. Harena, yang terlihat gelisah, akhirnya berbicara. "Kak, aku datang ke sini karena aku butuh bantuan. Aku merasa tertekan akhir-akhir ini, dan aku tidak tahu harus bicara dengan siapa. Aku pikir Mas Tio ada di rumah, jadi aku datang ke sini," katanya, suaranya sedikit gemetar.
Cindya tetap memandang mereka bergantian, masih mencoba menilai kejujuran dari kata-kata Harena. "Terus, kenapa kalian berpelukan?" tanyanya lagi, menajamkan tatapannya.
Dharmatio segera menjawab. "Harena tadi menangis, Sayang. Dia menceritakan banyak hal yang membuatnya merasa tertekan. Aku mencoba menenangkan dia, dan dia spontan memelukku. Itu saja."
Harena mengangguk cepat, mencoba mendukung penjelasan Dharmatio. "Itu benar, Kak. Aku hanya merasa sangat sedih, dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi."
Cindya menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Meski penjelasan mereka masuk akal, masih ada rasa ganjil yang belum hilang dari hatinya.
"Lain kali, Harena, kalau kamu merasa tertekan, aku harap kamu bisa langsung bicara padaku. Aku selalu ada untukmu,” ucap Cindya kepada Harena yang diangguki oleh perempuan dihadapannya saat ini, lalu atensinya kini beralih menatap suaminya. “Aku ingin kamu memberitahuku jika sesuatu seperti ini terjadi. Kita adalah keluarga, dan aku ingin semua hal terbuka di antara kita," tambahnya dengan nada tegas namun lembut.
Dharmatio mengangguk penuh penyesalan. "Aku mengerti, Sayang. Aku seharusnya segera memberitahumu."
Harena mendekati Cindya, memegang tangannya dengan penuh rasa bersalah. "Aku minta maaf, Kak. Aku tidak bermaksud membuatmu marah atau merasa tidak nyaman."
Cindya menatap Harena dengan mata yang mulai melunak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah, aku percaya kalian. Tapi aku harap kedepannya, kita bisa saling terbuka tanpa ada kejadian-kejadian seperti ini."
Suasana perlahan kembali tenang, meskipun hati Cindya masih menyimpan sedikit keraguan. Namun, ia memilih untuk percaya dan melanjutkan hari-harinya, memupuk komunikasi yang lebih baik di antara mereka semua.
*
Keesokan paginya, langkah Cindya terasa ringan menuju ruang makan, tetapi langkah itu mendadak terhenti ketika ia melihat pemandangan yang tak terduga. Di meja makan, hanya ada Dharmatio dan Harena. Suaminya sedang menyuap Harena dengan potongan kecil buah, dan Harena tertawa kecil sambil menerima suapan itu. Keceriaan yang terpancar dari keduanya terasa janggal di mata Cindya.
“Kaliann ….”
Hati Cindya mencelos. Ekspresi wajahnya segera berubah menjadi datar, tetapi matanya mencerminkan sorot penuh kecurigaan. Tanpa sepatah kata, ia melangkah mendekati mereka. Kedua tangannya terlipat di depan dada, langkahnya mantap tetapi perlahan. Kehadirannya langsung menyita perhatian mereka berdua.
Dharmatio yang tadinya sedang tersenyum kini tampak kaget, buru-buru menjauhkan tangannya dari Harena. Harena pun terlihat gugup, memalingkan wajah seperti seseorang yang ketahuan melakukan sesuatu yang tak seharusnya.
Momen itu seperti adegan dalam film, di mana seseorang tertangkap basah. Ruangan yang tadi penuh tawa tiba-tiba menjadi sunyi, hanya ada bunyi jam dinding yang berdetak.
"Selamat pagi," ucap Cindya dingin, matanya bergantian menatap Dharmatio dan Harena. Suaranya tenang, tetapi ada tekanan yang tidak bisa diabaikan.
"Ah, iya … pagi, Sayang," jawab Dharmatio dengan senyum canggung, mencoba mengubah suasana yang jelas sudah berubah aneh. Ia berusaha terlihat santai, tetapi nada bicaranya mengkhianati kegelisahannya.
"Harena baru saja datang dan kami... hanya sedang sarapan bersama," tambah Dharmatio, sambil melirik Harena seolah meminta dukungan.
Harena langsung angkat bicara, suaranya terdengar tergesa-gesa. "Benar, Kak. Aku hanya... aku hanya mampir sebentar karena aku harus ke kampus nanti," ujarnya, tetapi tangannya yang memegang sendok sedikit gemetar.
Cindya memicingkan mata, tetapi ia tetap berdiri di sana tanpa berkata sepatah kata pun, mengamati keduanya dengan cermat. Dadanya terasa sesak, pikirannya bergejolak dengan pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. Tapi kemudian, ia menarik napas panjang, mencoba meredam emosi yang hampir meledak.
"Aku harap aku tidak mengganggu momen kalian," ucap Cindya akhirnya, dengan nada yang terdengar lebih menyindir daripada ramah. Ia berbalik menuju dapur, tanpa menunggu jawaban dari keduanya.
Di dapur, Cindya menenangkan pikirannya sambil menuangkan segelas air. Bagaimanapun, ia adalah seorang istri sekaligus kakak yang menginginkan keharmonisan keluarga. Dengan hati yang berat, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah ini—untuk saat ini.
Beberapa saat kemudian, Cindya kembali ke ruang makan dengan wajah yang dipaksakan tenang. "Aku ingin ini jelas, Harena. Aku tidak keberatan kamu sering ke sini, tetapi jika ada sesuatu yang perlu aku tahu, aku harap kamu dan Dharmatio berbicara langsung kepadaku," ucapnya tegas, pandangan matanya tajam menembus keduanya.
Dharmatio menunduk sedikit, wajahnya menunjukkan rasa bersalah. "Tidak ada apa-apa, Cindya. Aku janji. Harena hanya adik ipar yang membutuhkan dukungan. Tidak ada yang lebih dari itu," katanya pelan, tetapi suaranya terdengar tulus.
Harena juga segera angkat bicara. "Aku minta maaf, Kak. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman. Aku hanya mencari kenyamanan, dan aku merasa Mas Tio adalah sosok yang bisa mendengarkan," ujarnya, wajahnya terlihat menyesal.
Cindya mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih terasa berat. "Baiklah. Aku percaya kalian, tapi aku tidak ingin ada situasi seperti ini lagi. Jangan buat aku harus terus merasa curiga."
Hari itu berlalu dengan keheningan yang lebih dalam daripada biasanya, tetapi Cindya mencoba untuk mempercayai suami dan adiknya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada luka kecil yang mulai terbentuk. Ia berusaha keras untuk tidak membiarkan luka itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar.
Cindya menghela nafasnya perlahan, menatap ke sisi kirinya, dan tidak mendapati putranya lantas membuatnya segera bangkit lalu turun dari atas ranjang.“Arlan ….”“YESS BUNDA. AKU DI KAMAR MANDI.”Suara teriakan bocah laki-laki dari kamar mandi membuat Cindya bernafas lega, ia meraih jepitan di atas meja nakas, melangkahkan kedua kakinya mendekati kamar mandi yang pintunya tertutup.Wanita itu mengetuk pintu kamar mandi sebanyak tiga kali, “Sayang … Bunda tunggu dibawah yaa.”Setelah Cindya mengatakan itu, pintu kamar mandi terbuka dan memperlihatkan sosok bocah laki-laki tampan yang mengenakan kimono handuk berwarna putih dengan rambut yang basah.“No. Kita ke bawah bareng. Aku pakai seragam dulu,” ucap bocah laki-laki berumur 4 tahun itu. Sudah seperti bukan bocah lagi, bukan?Jika Arlantio mengatakan umurnya tujuh tahun pun pasti percaya. Tinggi badan, wajah, cara bicara, sangat mendukung untuk anak usia 7 tahun.Baik Cindya maupun Dharmatio, memiliki tinggi tubuh diatas standar or
Cindya memperhatikan suaminya yang diam-diam melangkah keluar dari kamar, setelah terdengar suara pintu yang dibuka lalu ditutup kembali, membuatnya beranjak dan melangkah mendekati jendela kamarnya.Begitu wanita itu membuka jendela kamar, bertepatan dengan seorang pria yang tinggal bersebrangan dengannya di depan sana keluar dan duduk di kursi yang ada di balkon. Cindya menaikkan sebelah alisnya.Cindya menoleh saat kedua telinganya mendengar ponselnya yang berdenting, membuatnya melangkahkan kaki mendekati meja nakas, lantas mengambil dan membaca satu pesan yang dikirim oleh kontak nama ‘Teno’.“Mbak tidur saja, urusan suamimu biar kami yang mengawasi. Ibu hamil tidak boleh kelelahan dan banyak fikiran, bukan ….” monolognya membaca pesan yang ia terima, atensinya kini tertuju ke arah jendala yang terbuka, dan bisa melihat langsung Teno yang tersenyum kepadanya.Cindya masih bingung harus bersikap bagaimana dengan apa yang terjadi pada malam ini. Harus berfikiran positif, tetapi tid
“OH MY GOD!”Harena melebarkan kedua matanya saat pertama kali membuka pintu dan langsung diperlihatkan isi kost yang akan di tempati olehnya. Empat kali lebih kecil dibandingkan unit apartementnya yang dibelikan Sang Bunda.Tas yang dipegang olehnya terjatuh diiringi rasa terkejutnya, berharap ini semua adalah mimpi. Harena menggeleng-gelengkan kepala berkali-kali, lalu melangkah mundur dan saat itu ia mendapati dirinya menjadi pusat perhatian beberapa penghuni kost lainnya.“Kamu kenapa?”“Iya … teriakannya kedengarannya sampai ke kamarku.”“Apa ada kecoa di kamar kostmu?”Harena tersenyum menggelengkan kepala, “Maaf … Maaf … Tadi ada memang ada kecoa, tapi sudah mati ternyata,” tuturnya, ekspresi wajahnya menjadi baik.Beberapa penghuni yang kebanyakan perempuan itu menganggukkan kepala, tetapi sebagian lagi menatap Harena dengan tatapan tidak suka.Harena menunduk, lalu masuk ke dalam kamar kostnya dan menutup pintu kamar kostnya. Ia mengedarkan atensinya, tidak ada kulkas, tidak
“Harusnya tuh kamu bilang dulu ke aku kalau mau ke apartementnya Harena,” ucap Cindya dengan kedua matanya memperhatikan suaminya yang duduk bersebrangan dengannya saat ini.Dharmatio hanya terdiam mendengarkan segala ocehan yang keluar dari mulut Cindya, jika dirinya membantah tanpa persetujuan dan membuat Cindya marah, itu akan jauh lebih berbahaya.Dharmatio mengenal istrinya bukan satu atau dua hari, tetapi sudah bertahun-tahun, karena itu juga ia mengenal karakter istrinya saat ini.Cindya menaikkan sebelah alisnya saat kedua matanya bertemu dengan kedua mata suaminya yang dengan berani menaikkan pandangan ke arahnya. Mereka bertemu tatapan selama beberapa menit, hingga akhirnya Dharmatio bersuara setelah 15 menit terdiam.“Maaf.” Hanya satu kata, hanya kata ‘maaf’ yang terucap dari mulutnya. Setelahnya tidak ada lagi kata-kata atau kalimat yang ia ucapkan, membuat Cindya menghela nafas.Wanita bersurai panjang itu menyugar rambut dengan wajah yang sedikit tenang dibandingkan seb
Dharmatio meraih ponselnya yang berdering, panggilan suara dari papa mertuanya, lalu segera menerimanya tanpa harus membuat Daddy menunggu lama.“Ya hallo, Dad ….”Dharmatio menyalakan mesin mobilnya, ia sangat yakin istrinya itu sudah lebih dulu tiba di kantor milik Mommy. Sedangkan dirinya masih berdiam di basement sambil menerima panggilan suara dari Daddy.“Kamu sedang bersama Cindya?”Dharmatio menaikkan sebelah alis, lantas menggelengkan kepala walaupun papa mertuanya itu tidak melihatnya. “Tadi sih bareng, dia marah sama aku karena aku ke tempatnya Harena,” ucapnya.Terdengar suara bergumam di sebrang sana. “Kamu bilang apa saja ke Cindya?” pertanyaan dari Daddy membuat Dharmatio menatap lurus ke depan, hening untuk beberapa detik.“Aku bilang kalau itu disuruh Mommy, sesuai yang Daddy bilang,” jawab Dharmatio, ia me-loudspeaker panggilan suara papa mertuanya, lalu menginjak pedal gas pergi dari area basement.“Mommy belum tau masalah ini.”Suara ban yang berdecit menandakan ba
BRAK!“Mommy!”Cindya membuka pintu dengan tidak santai, bahkan berteriak kepada mommynya yang sedang duduk santai di kursi kerja dengan tumpukkan naskah di meja kerja. Wanita itu melangkahkan kaki mendekati Mommy yang menaikkan sebelah alis.“Ada apa?”Cindya duduk di kursi kosong berhadapan dengan Mommy tanpa mengatakan apapun, tanpa izin dan tanpa menunggu perizinan dari Mommy. Emosinya benar-benar menguasainya.“Mommy tahu kalau tindakan Mommy itu semakin bikin Harena benci sama aku?” tanyanya penuh penekanan, kedua matanya menatap Mommy yang memicingkan mata.“Pelan-pelan, Mommy tidak mengerti kamu sedang membicarakan apa,” ujar Mommy dengan suaranya yang lembut, tetapi keningnya mengkerut mengisyaratkan bahwa dirinya bingung.“Mommy nyuruh Mas Tio buat ke apartementnya Harena, dan kasih kunci kost-an buat Harena.”Mommy terdiam sejenak, menatap kedua mata putrinya cukup lama, lalu menggelengkan kepala. “Mommy bahkan tidak tahu tentang hal itu,” ucapnya bingung.Bukan hanya Mommy