Beranda / Rumah Tangga / Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku / 2. Kedatangan Cindya ke Apartement Harena

Share

2. Kedatangan Cindya ke Apartement Harena

Penulis: Lapini
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-10 11:24:08

Cindya menyipitkan matanya, menajamkan pandangannya pada sebuah mobil yang terparkir di basement apartemen itu. Warna dan plat nomor kendaraan tersebut begitu familiar, seolah-olah itu milik suaminya, Dharmatio. Hatinya mulai diliputi berbagai spekulasi, tetapi pikirannya berusaha mencari alasan logis. "Apa yang Mas Tio lakukan di sini? Di apartemen tempat Harena tinggal?" pikirnya dengan gelisah.

Bersamaan dengan itu, suara bocah laki-laki kecil yang memanggilnya memecah lamunannya. "Bunda lihat apa?" tanya anak kecil berusia lima tahun dengan rasa ingin tahu yang tulus. Tangannya yang mungil menggenggam erat jari-jari Cindya, memberikan kehangatan yang seolah mengingatkannya untuk tetap tenang.

Cindya menoleh, memaksakan senyum pada wajahnya, mencoba menyembunyikan kecamuk di hatinya. "Oh, Bunda cuma kira tadi melihat teman lama Bunda saat kuliah," katanya dengan nada riang yang dibuat-buat, berharap jawaban itu cukup untuk memuaskan rasa penasaran bocah itu.

Bocah kecil itu—Arlantio, putra kesayangannya—mengangguk pelan, percaya pada jawaban sang ibu tanpa rasa curiga. "Apa Bunda mau sapa temannya?" tanyanya dengan polos sambil memiringkan kepala.

Cindya terkekeh kecil, mencoba tetap terlihat santai. "Tidak perlu, Sayang. Bunda pasti salah lihat. Yuk, kita jalan lagi," ujarnya sambil menggenggam tangan Arlantio lebih erat.

Namun, jauh di dalam hatinya, Cindya merasa gejolak yang sulit dikendalikan. Tatapan terakhir yang ia layangkan pada mobil itu membuat pikirannya semakin berkecamuk. Ia tahu bahwa jika tidak menemukan jawaban, rasa penasaran itu akan terus menghantuinya. Tetapi untuk saat ini, ia memilih untuk melanjutkan langkahnya bersama Arlantio, menghindari kemungkinan menciptakan keributan di depan anaknya.

Cindya mengambil napas panjang, mencoba menetralisir emosinya. "Aku harus tahu kebenarannya nanti, tetapi bukan di depan Arlantio," pikirnya dengan tekad yang mulai tumbuh. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mencari tahu alasan Dharmatio ada di tempat ini—jika benar mobil itu memang milik suaminya.

Cindya menekan bel pintu nomor 110, sambil membawa goodiebag berwarna putih di tangan kirinya. Tangan kanannya menggenggam erat tangan kecil putranya, yang berdiri di samping dengan wajah antusias. Mereka memutuskan untuk mengunjungi Harena—adiknya—hari ini, karena Arlantio bosan berada di rumah dan Harena kebetulan sedang tidak ada kelas.

Hanya butuh beberapa detik sebelum pintu hitam itu terbuka, memperlihatkan Harena yang tersenyum ramah dalam setelan piyama berbahan satin berwarna hitam. "Hai, Kak Cindya! Hai, Arlantio!" sapanya ceria.

"Hai, Harena! Maaf mendadak datang. Arlan ingin jalan-jalan, jadi kami memutuskan untuk ke sini," jawab Cindya dengan senyum hangat.

"Ah, tidak apa-apa, Kak! Ayo masuk," ujar Harena sambil mempersilahkan mereka masuk ke apartemennya yang tertata rapi. Cindya menuntun Arlantio masuk, senyumnya masih terukir, tetapi matanya tak bisa lepas dari sesuatu yang menarik perhatiannya.

Saat melewati area pintu masuk, pandangan Cindya tertuju pada sepasang sepatu kets putih biru yang tergeletak rapi di dekat rak sepatu. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Sepatu itu terlihat sangat familiar—seperti sepatu yang sering dipakai Dharmatio saat sedang syuting di luar. Rasa penasaran merayap masuk ke pikirannya.

"Harena," panggil Cindya tiba-tiba sambil menatap adiknya. Matanya sedikit menyipit, menampilkan sorot yang tajam. "Sepatu ini... punyamu?" tanyanya dengan nada datar tetapi jelas mengandung pertanyaan yang lebih dalam.

Harena tampak sedikit terkejut. Ia menoleh ke arah sepatu tersebut, lalu kembali menatap Cindya. Ada jeda beberapa detik di mana ia terlihat ragu sebelum menjawab. Namun, ia dengan cepat memulihkan dirinya. "Oh, itu... itu sepatu yang dibelikan oleh kekasihku, Kak. Aku suka banget modelnya, jadi dia belikan buatku," jawabnya dengan lantang dan nada meyakinkan.

Cindya mengamati Harena dengan tatapan intens, mencoba mencari kepastian dari ekspresi adiknya. Meski jawaban itu terdengar logis, ada sesuatu dalam nada suara Harena yang membuat Cindya merasa tidak sepenuhnya yakin. Namun, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang pertanyaan di depan Arlantio yang sedang bermain-main di sofa.

"Oh, begitu," jawab Cindya akhirnya, mencoba terdengar santai sambil melangkah ke ruang tamu. Tetapi dalam hati, pikirannya terus berkecamuk. "Kenapa sepatu ini begitu mirip dengan milik Mas Tio? Apakah aku terlalu berpikir berlebihan, atau ini memang kebetulan?"

Arlantio memanggil ibunya dengan riang, meminta bantuannya untuk membuka mainan kecil yang dibawanya. Cindya tersenyum dan menghampiri putranya, mencoba mengalihkan fokus pada momen yang ada sekarang. Namun, perasaan ganjil itu tetap bertahan, berbisik pelan di dalam hatinya.

Setelah Cinta membantu putranya untuk menyusun mainan mobil-mobilan dan puzzle yang dibawa dari rumah, ia memilih untuk pergi ke dapur. Dan kini dirinya berada di dapur minimalis di unit apartement yang ditinggali oleh Harena.

Cindya berdiri di dapur, memotong sayuran dengan tenang, sesekali melirik ke arah ruang keluarga di mana Arlantio dan Harena sedang asyik bermain. Suara tawa kecil Arlantio membuat hatinya terasa hangat. Ia merasa bersyukur memiliki momen-momen seperti ini, meskipun pikirannya tidak sepenuhnya tenang hari itu.

“Tante Ena curang ….” oceh Arlantio, membuat suasana tidak terlalu canggung, dan membuat suasana ramai dengan ocehan-ocehan yang diucapkan olehnya dengan suara yang menggemaskan.

Tadi pagi, Dharmatio sudah memberitahunya bahwa ia akan pulang sedikit malam. Alasannya cukup jelas—rapat di kantor diikuti dengan survei lokasi untuk syuting bulan depan. Cindya tidak merasa marah, ia cukup paham bagaimana sibuknya pekerjaan Dharmatio, mengingat mommynya sendiri bekerja di industri yang sama, bahkan di perusahaan yang sama dengan suaminya. 

*

Satu jam yang lalu, rasa penasaran itu mendorongnya untuk bertanya langsung kepada mommynya. "Mom, Mas Tio benar-benar ada di kantor sekarang, kan?" tanyanya melalui telepon, mencoba terdengar santai.

Ibunya menjawab dengan tenang dan penuh kepastian, "Iya, Sayang. Dharmatio sedang di ruang rapat sekarang. Jangan khawatir, dia sibuk dengan pekerjaannya."

Jawaban itu berhasil membuat hati Cindya sedikit lebih lega. Ia mempercayai mommynya sepenuhnya, tetapi kenangan tentang beberapa kejadian terakhir membuatnya tetap waspada. Ia menyadari bahwa kepercayaannya pada Dharmatio sedang diuji oleh pikiran-pikiran kecil yang terus menghantuinya.

Setelah selesai menyiapkan makan siang, Cindya membawa hidangan ke meja makan dan memanggil Harena serta Arlantio. "Ayo, kita makan siang dulu," katanya dengan senyum yang hangat, menyembunyikan kegelisahan kecil di hatinya.

Harena langsung berdiri dan mengangkat Arlantio dari lantai dengan ceria. "Ayo, Arlantio! Kita makan makanan enak yang dibuat Bunda kamu," katanya sambil mencium pipi kecil keponakannya.

Arlantio menganggukkan kepala, senyumnya lebar saat kedua matanya bertemu tatap dengan kedua matanya Sang Bunda yang sedang memperhatikannya. Tubuhnya didudukkan di salah satu kursi, menghirup aroma masakan yang tersaji di meja makan dengan wajah yang sumringah.

“Pasti enak masakan Bunda. Iya kan, Tante?”

“Pastinya. Bunda kamu ini memang paling jago dalam urusan masak memasak. Rasanya ingin nambah lagi dan lagi,” balas Harena dengan semangat, tersenyum kepada Arlantio yang mengangguk setuju, lalu melirik tipis ke arah kakaknya yang menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum tersipu malu.

Melihat keakraban Harena dan Arlantio, hati Cindya sedikit melembut. Ia memutuskan untuk tetap fokus pada momen-momen ini dan tidak membiarkan kecurigaannya menguasai dirinya sepenuhnya. Bagaimanapun, keluarganya adalah yang terpenting, dan ia ingin menjaga keharmonisan di antara mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
orang yg terlalu berprasangka baik adalah orang tolol yg gampang mengabaikan bukti2 yg terpampang nyata
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   68. Situasi akan memanas

    “Om beneran ke apartementnya Harena?” tanya Zandi to the point, ia duduk di sisi kanan Hergantara yang menganggukkan kepala santai. Kedua matanya bertemu tatap dengan kedua mata pria setengah paruh baya yang merupakan papa dari sahabatnya-Cindya-.Hergantara memberikan gelas kecil yang berisi alkohol, dan diterima oleh Zandi yang tidak langsung meneguknya. “Kamu tahu darimana pin unit apartement Harena?” tanyanya, menaikkan sebelah alis bingung.Hergantara bisa masuk ke dalam unit apartement yang disewakan oleh Dharmatio untuk Harena berkat Zandi. Ia tidak tahu pinnya, sebelum masuk lebih dahulu bertanya kepada Zandi. Zandi dengan senang hati memberitahukannya.Zandi tersenyum penuh arti, “Aku tahu segalanya, Om. Jadi kalau Om butuh informasi, bisa tanya ke aku. Nanti aku kasih tahu secara detail,” tuturnya menaik-turunkan kedua alisnya lalu terkekeh.Pemuda itu meneguk hingga tandas minuman yang diberikan olehh Hergantara kepadanya. Kebetulan malam ini sedang kosong, dan mendapatkan

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   67. Sebenernya siapa Cindya?

    Dharmatio melangkahkan kaki mendekati Cindya dan Arlantio yang duduk di salah satu bangku taman, sedangkan Echa berada dalam gendongannya. Bayi perempuan itu sangat tenang, tidak marah-marah atau rewel saat diajak ke taman.“Abang mau ice cream?” tanya Dharmatio, membuat putranya itun mendongak dan bertemu tatap dengannya. “Papa beliin,” lanjutnya.Arlantio menganggukkan kepala, “Aku mau satu. Bunda mau?” tanyanya kepada sang bunda yang bergumam pelan, lalu menggelengkan kepala sebagai jawaban ‘tidak’. Ia mengangguk-anggukkan kepala, kembali memperhatikan papanya yang sedang menatapnya dengan senyum kecil.“Berarti satu, kalau Papa mau, dua. Aku mau rasa coklat,” tuturnya.Dharmatio mengacungkan jempol ke udara, “Oke sebentar. Papa belikan.” Ia segera melenggang pergi bersama dengan Echa yang berada dalam gendongannya tanpa kain atau semacamnya, benar-benar menggendong dengan tangan kosong.Sepeninggalan Dharmatio, kini tinggal Cindya dan Arlantio yang saling menatap satu sama lain. T

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   66. Harena Panik

    PRANG!“ARGHH! SIALANN!”Harena melempar sembarang vas bunga, membuat vas bunga tanpa motif itu terpecah di lantai. Nafasnya naik turun, tangan kanannya menggenggam benda pipih yang dicengkram kuat, bahkan tidak peduli jika nanti benda itu akan rusak dan melukai tangannya.“Cindya lagi … Cindya lagi ….” monolognya, lantas melangkahkan kaki ke arah balkon dan duduk di kursi santai yang sudah tersedia di balkon.Perutnya semakin buncit, sangat terllihat bahwa dirinya sedang hamil. Ini rencananya, tetapi membuatnya kesusahan. Tidak bisa kemanapun yang ia suka, kegiataannya hanya dilakukan di apartement.Bosan di unit apartement? Pergi ke taman, ke kantin, tempat olahraga seperti gym yang ada di lantai satu. Paling jauh? Ke tempat syuting Dharmatio. Jarak yang cukup jauh, ditempuh sendirian olehnya, dan menginap di hotel yang berada di dekat tempat lokasi syuting.“Percuma menjadi istri kedua, kalau tetep menjadi yang kedua,” kesalnya, lalu berdecak.TING TONNGSuara bel membuat perhatian

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   65. Arlantio Mendengarnya. Siaga!

    Arlantio membuka pintu kamarnya dengan perlahan, mempertajam indra pendengarannya. Ia melangkah keluar dari kamarnya dengan langkah pelan ke arah kamar yang ada sedikit jauh dari kamarnya, terhalang dua kamar darinya.“Iya. Aku ke sana. Tapi nanti yaa, aku baru sampai rumah.”Suara itu semakin jelas ditelinga bocah laki-laki yang saat ini berdiri tepat didepan kamar yang memang tidak ditempati oleh siapapun, terkecuali ada keluarga besar yang datang dan menginap. Kamar itu akan digunakan oleh tamu.“Kita sudah hampir setiap hari bertemu, dan your baby juga sudah aku manja. Kamu nuntut apalagi?”Tubuh Arlantio menegang setelah mendengar penuturan yang baru saja diucapkan oleh papanya itu. Dharmatio tadi malam sudah kembali ke rumah selama satu bulan lebih satu minggu tidak ada di rumah, alasannya ada syuting yang harus dihadiri di luar daerah.Arlantio sudah bisa menebak yang sedang telfonan dengan papanya itu, wanita yang sangat ia tidak sukai sejak pertama kali wanita itu datang. Dir

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   64. Arlantio akan menjadi garda terdepan?

    Hergantara menatap cucunya yang kini tertidur di kedua pahanya, tangannya terangkat mengusap puncak kepala bocah laki-laki yang sangat terlihat jelas sedang kelelahan. Ia menghela nafasnya perlahan.Setelah obrolannya dengan Arlantio dua jam yang lalu, membuat Hergantara berfikiran untuk mengirim Harena ke luar kota, tetapi jika difikirkan kembali, tidak ada manfaatnya. Dharmatio akan tetap menemui Harena.Hergantara sengaja menutupi informasi ini dari putrinya, lebih tepatnya ingin menjaga mental Cindya. Selalu bersama dengan Cindya dan kedua cucunya, bergantian dengan Arcinta-istrinya- dan Zandi.“Kamu terlalu dini untuk mengetahui urusan orang dewasa, Arlan,” monolognya. Kalimat itu seharusnya ia katakkan beberapa jam yang lalu, tetapi lidahnya kelu, bibirnya terkunci rapat. Syok setelah Arlantio melarangnya untuk tidak membahas Dharmatio kepada Cindya.Tambah terkejut saat bibir cucu pertamanya itu memberikan alasan, sehingga membuatnya benar-benar mengurungkan niat untuk tidak me

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   63. Darimana Arlantio Mengatahuinya?

    Dua bulan berlalu ….Cindya bahagia karena putrinya kini sudah bisa merangkak, dan sudah banyak mengoceh walaupun masih dengan bahasa bayi. Begitupun yang dirasakan oleh Arlantio, sebagai kakak dari Echa ikut turut bahagia melihat tumbuh kembali adik perempuannya itu. Dharmatio? Sama seperti Cindya dan Arlantio, hanya saja waktunya berkurang satu minggu karena ada syuting di luar daerah selama satu bulan.“Adekk ….”Arlantio melangkahkan kaki mendekati Echa yang sedang tengkurap di atas karpet tebal, bayi perempuan itu tidak sendiri, ada sang Bunda yang duduk di sisi kanan sambil terus mengawasi pergerakan Echa.“Halo, Abangg,” ucap Cindya, berusaha menirukan gaya bicara anak kecil, ia terkekeh saat melihat putranya menggeleng-gelengkan kepala. “Pulang bareng Grandma atau Grandpa?” tanyanya, menatap putranya yang kini duduk di hadapan Echa yang mendekat.“Grandpa,” jawab Arlantio, menatap sang bunda yang mengangguk-anggukkan kepala. Lantas atensinya kini tertuju kepada Echa yang menep

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status