Cindya menyipitkan matanya, menajamkan pandangannya pada sebuah mobil yang terparkir di basement apartemen itu. Warna dan plat nomor kendaraan tersebut begitu familiar, seolah-olah itu milik suaminya, Dharmatio. Hatinya mulai diliputi berbagai spekulasi, tetapi pikirannya berusaha mencari alasan logis. "Apa yang Mas Tio lakukan di sini? Di apartemen tempat Harena tinggal?" pikirnya dengan gelisah.
Bersamaan dengan itu, suara bocah laki-laki kecil yang memanggilnya memecah lamunannya. "Bunda lihat apa?" tanya anak kecil berusia lima tahun dengan rasa ingin tahu yang tulus. Tangannya yang mungil menggenggam erat jari-jari Cindya, memberikan kehangatan yang seolah mengingatkannya untuk tetap tenang.
Cindya menoleh, memaksakan senyum pada wajahnya, mencoba menyembunyikan kecamuk di hatinya. "Oh, Bunda cuma kira tadi melihat teman lama Bunda saat kuliah," katanya dengan nada riang yang dibuat-buat, berharap jawaban itu cukup untuk memuaskan rasa penasaran bocah itu.
Bocah kecil itu—Arlantio, putra kesayangannya—mengangguk pelan, percaya pada jawaban sang ibu tanpa rasa curiga. "Apa Bunda mau sapa temannya?" tanyanya dengan polos sambil memiringkan kepala.
Cindya terkekeh kecil, mencoba tetap terlihat santai. "Tidak perlu, Sayang. Bunda pasti salah lihat. Yuk, kita jalan lagi," ujarnya sambil menggenggam tangan Arlantio lebih erat.
Namun, jauh di dalam hatinya, Cindya merasa gejolak yang sulit dikendalikan. Tatapan terakhir yang ia layangkan pada mobil itu membuat pikirannya semakin berkecamuk. Ia tahu bahwa jika tidak menemukan jawaban, rasa penasaran itu akan terus menghantuinya. Tetapi untuk saat ini, ia memilih untuk melanjutkan langkahnya bersama Arlantio, menghindari kemungkinan menciptakan keributan di depan anaknya.
Cindya mengambil napas panjang, mencoba menetralisir emosinya. "Aku harus tahu kebenarannya nanti, tetapi bukan di depan Arlantio," pikirnya dengan tekad yang mulai tumbuh. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mencari tahu alasan Dharmatio ada di tempat ini—jika benar mobil itu memang milik suaminya.
Cindya menekan bel pintu nomor 110, sambil membawa goodiebag berwarna putih di tangan kirinya. Tangan kanannya menggenggam erat tangan kecil putranya, yang berdiri di samping dengan wajah antusias. Mereka memutuskan untuk mengunjungi Harena—adiknya—hari ini, karena Arlantio bosan berada di rumah dan Harena kebetulan sedang tidak ada kelas.
Hanya butuh beberapa detik sebelum pintu hitam itu terbuka, memperlihatkan Harena yang tersenyum ramah dalam setelan piyama berbahan satin berwarna hitam. "Hai, Kak Cindya! Hai, Arlantio!" sapanya ceria.
"Hai, Harena! Maaf mendadak datang. Arlan ingin jalan-jalan, jadi kami memutuskan untuk ke sini," jawab Cindya dengan senyum hangat.
"Ah, tidak apa-apa, Kak! Ayo masuk," ujar Harena sambil mempersilahkan mereka masuk ke apartemennya yang tertata rapi. Cindya menuntun Arlantio masuk, senyumnya masih terukir, tetapi matanya tak bisa lepas dari sesuatu yang menarik perhatiannya.
Saat melewati area pintu masuk, pandangan Cindya tertuju pada sepasang sepatu kets putih biru yang tergeletak rapi di dekat rak sepatu. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Sepatu itu terlihat sangat familiar—seperti sepatu yang sering dipakai Dharmatio saat sedang syuting di luar. Rasa penasaran merayap masuk ke pikirannya.
"Harena," panggil Cindya tiba-tiba sambil menatap adiknya. Matanya sedikit menyipit, menampilkan sorot yang tajam. "Sepatu ini... punyamu?" tanyanya dengan nada datar tetapi jelas mengandung pertanyaan yang lebih dalam.
Harena tampak sedikit terkejut. Ia menoleh ke arah sepatu tersebut, lalu kembali menatap Cindya. Ada jeda beberapa detik di mana ia terlihat ragu sebelum menjawab. Namun, ia dengan cepat memulihkan dirinya. "Oh, itu... itu sepatu yang dibelikan oleh kekasihku, Kak. Aku suka banget modelnya, jadi dia belikan buatku," jawabnya dengan lantang dan nada meyakinkan.
Cindya mengamati Harena dengan tatapan intens, mencoba mencari kepastian dari ekspresi adiknya. Meski jawaban itu terdengar logis, ada sesuatu dalam nada suara Harena yang membuat Cindya merasa tidak sepenuhnya yakin. Namun, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang pertanyaan di depan Arlantio yang sedang bermain-main di sofa.
"Oh, begitu," jawab Cindya akhirnya, mencoba terdengar santai sambil melangkah ke ruang tamu. Tetapi dalam hati, pikirannya terus berkecamuk. "Kenapa sepatu ini begitu mirip dengan milik Mas Tio? Apakah aku terlalu berpikir berlebihan, atau ini memang kebetulan?"
Arlantio memanggil ibunya dengan riang, meminta bantuannya untuk membuka mainan kecil yang dibawanya. Cindya tersenyum dan menghampiri putranya, mencoba mengalihkan fokus pada momen yang ada sekarang. Namun, perasaan ganjil itu tetap bertahan, berbisik pelan di dalam hatinya.
Setelah Cinta membantu putranya untuk menyusun mainan mobil-mobilan dan puzzle yang dibawa dari rumah, ia memilih untuk pergi ke dapur. Dan kini dirinya berada di dapur minimalis di unit apartement yang ditinggali oleh Harena.
Cindya berdiri di dapur, memotong sayuran dengan tenang, sesekali melirik ke arah ruang keluarga di mana Arlantio dan Harena sedang asyik bermain. Suara tawa kecil Arlantio membuat hatinya terasa hangat. Ia merasa bersyukur memiliki momen-momen seperti ini, meskipun pikirannya tidak sepenuhnya tenang hari itu.
“Tante Ena curang ….” oceh Arlantio, membuat suasana tidak terlalu canggung, dan membuat suasana ramai dengan ocehan-ocehan yang diucapkan olehnya dengan suara yang menggemaskan.
Tadi pagi, Dharmatio sudah memberitahunya bahwa ia akan pulang sedikit malam. Alasannya cukup jelas—rapat di kantor diikuti dengan survei lokasi untuk syuting bulan depan. Cindya tidak merasa marah, ia cukup paham bagaimana sibuknya pekerjaan Dharmatio, mengingat mommynya sendiri bekerja di industri yang sama, bahkan di perusahaan yang sama dengan suaminya.
*
Satu jam yang lalu, rasa penasaran itu mendorongnya untuk bertanya langsung kepada mommynya. "Mom, Mas Tio benar-benar ada di kantor sekarang, kan?" tanyanya melalui telepon, mencoba terdengar santai.
Ibunya menjawab dengan tenang dan penuh kepastian, "Iya, Sayang. Dharmatio sedang di ruang rapat sekarang. Jangan khawatir, dia sibuk dengan pekerjaannya."
Jawaban itu berhasil membuat hati Cindya sedikit lebih lega. Ia mempercayai mommynya sepenuhnya, tetapi kenangan tentang beberapa kejadian terakhir membuatnya tetap waspada. Ia menyadari bahwa kepercayaannya pada Dharmatio sedang diuji oleh pikiran-pikiran kecil yang terus menghantuinya.
Setelah selesai menyiapkan makan siang, Cindya membawa hidangan ke meja makan dan memanggil Harena serta Arlantio. "Ayo, kita makan siang dulu," katanya dengan senyum yang hangat, menyembunyikan kegelisahan kecil di hatinya.
Harena langsung berdiri dan mengangkat Arlantio dari lantai dengan ceria. "Ayo, Arlantio! Kita makan makanan enak yang dibuat Bunda kamu," katanya sambil mencium pipi kecil keponakannya.
Arlantio menganggukkan kepala, senyumnya lebar saat kedua matanya bertemu tatap dengan kedua matanya Sang Bunda yang sedang memperhatikannya. Tubuhnya didudukkan di salah satu kursi, menghirup aroma masakan yang tersaji di meja makan dengan wajah yang sumringah.
“Pasti enak masakan Bunda. Iya kan, Tante?”
“Pastinya. Bunda kamu ini memang paling jago dalam urusan masak memasak. Rasanya ingin nambah lagi dan lagi,” balas Harena dengan semangat, tersenyum kepada Arlantio yang mengangguk setuju, lalu melirik tipis ke arah kakaknya yang menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum tersipu malu.
Melihat keakraban Harena dan Arlantio, hati Cindya sedikit melembut. Ia memutuskan untuk tetap fokus pada momen-momen ini dan tidak membiarkan kecurigaannya menguasai dirinya sepenuhnya. Bagaimanapun, keluarganya adalah yang terpenting, dan ia ingin menjaga keharmonisan di antara mereka.
Cindya menatap sang bunda yang duduk tenang memperhatikannya di ruang keluarga, ia tidak perlu khawatir tentang kedua anaknya yang sedang dijaga dan diajak main oleh Zandi dan sang papa.“Kamu serius tentang itu? Kamu mau kerja di kantor Papa?” tanya Arcinta, mencoba untuk mencari tahu apakah putrinya itu sudah sangat yakin atau belum dengan keputusan tersebut. “Kamu tetap akan bertemu dengan Dharma,” lanjutnya.Cindya tersenyum tipis, “Aku yakin, Bunda. Dan untuk itu, aku bisa membuat semua karyawan Papa itu tutup mulut. Dengan begitu, mereka tidak akan ada yang membocorkan aku kerja di kantor papa.”“Kamu tidak takut kalau kamu dipandang memanfaatkan kekuasaan papa?”Cindya bergumam pelan, mencoba untuk membuat tubuhnya rileks dengan bersandar dan melipat keduanya. Atensinya menatap sang bunda yang tidak mengalihkan atensi kepadanya. Jujur saja, pemikiran itu tidak menjadi beban untuknya.“Selama aku kerja dengan baik, sangat baik, dan membawa perubahan terhadap kantor Papa, kenapa
Cindya menghela nafasnya perlahan, ia memperhatikan kamarnya yang dahulu ditempati olehnya sebelum menikah. Tidak ada yang berubah, furniture dan barang-barang miliknya masih pada tempatnya.Sesuai dengan pembicaraannya dengan kedua orangnya satu jam yang lalu, papanya yang tegas, memaksanya untuk kembali ke rumah ini, tanpa memberitahu Dharmatio-suaminya-.Suara bayi yang ada di troli bayi membuat perhatian Cindya teralihkan. Wanita itu melangkahkan kaki ke depan, berjongkok lantas tersenyum manis menatap Echa yang bergerak minta untuk dilepaskan.“Gak mau. Adek diem aja ya di situ, Bunda mau tidur,” ucap Cindya, memperhatikan ekspresi Echa yang berubah menjadi cemberut, keningnya mengkerut.Wanita itu beranjak, berbalik badan, lantas saat ingin melangkahkan kedua kaki jenjangnya, suara tangis Echa memenuhi kamar ini. Sehingga membuat Cindya berbalik badan, lalu melepaskan tali yang menahan Echa untuk tidak bergerak banyak, dan menggendongnya.“Anak cantik, gak boleh nangis,” ucap C
Hergantara memperhatikan putrinya yang semakin hari semakin kurus, “Kamu tidak makan atau gimana?” tanyanya sarkas, membuat Cindya mengulum bibir dan hanya terdiam. “Kalau seperti ini terus menerus, Papa yang akan ambil alih semuanya,” lanjutnya tegas.“Pah … gak usah sampai sejauh itu,” ujar Cindya sedikit keras. Sekarang, dirinya bisa bebas berekspresi, karena hanya dirinya dan Hergantara. Putri kecilnya dan putranya sedang bersama dengan Arcinta-Bundanya-.Hergantara menegakkan tubuhnya, menatap dalam kedua mata putrinya yang sayu. Putrinya itu bisa berkata ‘baik-baik saja’, tetapi tatapan dan tubuh yang semakin kurus, menandakan bahwa putrinya itu sedang kelelahan, dan tidak baik-baik saja.“Kamu mau kaya gini terus? Sedangkan mereka diluar sana sangat bahagia, mereka tidak memikirkanmu? Are you seriously?”Cindya menghela nafasnnya, memijat pelipisnya. Kepalanya tiba-tiba saja pusing. Apa yang dikatakan oleh papanya itu seperti pedang yang menusuk otaknya, melukai kepalanya, ben
Cindya tersenyum lebar melihat tingkah putrinya yang tengkurap, mencoba untuk merangkak, tetapi belum bisa, dan membuat bayi perempuan itu terlihat sangat menggemaskan.“Adek mau merangkak? Coba lagi yukk ….” Cindya menyemangati Echa, naluri seorang ibu yang mendukung tumbuh kembang anak.Sementara bayi perempuan itu tersenyum lebar, mencoba untuk terus merangkak walaupun tidak menghasilkan apapun, alias hanya diam ditempat.Cindya terkekeh pelan, mengangguk-anggukkan kepala, “Gapapa, dicoba lagi. Yukk Adek pasti bisa,” tuturnya dengan penuh semangatt.Kalau bayi perempuan itu sudah bisa ngomong dan mengerti apa yang dilakukannya sekarang, sudah dipastikan akan mengoceh panjang, melampiaskan rasa kesalnya karena tidak bisa melakukannya.Sementara Cindya hanya memperhatikan putri kecilnya yang terus bergerak di kasur, sedangkan dirinya duduk bersandar dengan kedua kaki terlipat.Lagi-lagi Cindya dibuat gemas oleh Echa, walaupun putri kecilnya itu hanya menatapnya dengan kedua mata bula
Cindya mengerjapkan kedua matanya saat merasakan kecupan di pelipisnya, samar-samar melihat sosok Dharmatio yang tersenyum kepadanya. Cahaya yang masuk melalui celah jendela, berhasil mengusik indra penglihatannya.“Mas, kamu baru pulang?” tanya Cindya dengan suaranya yang serak, bangkit lantas duduk bersandar. Kini kedua matanya melihat jelas sosok tinggi yang berdiri di sisinya setelah tangannya menyentuh saklar untuk menyalakan lampu kamarnya .Dharmatio menganggukkan kepala, ia mengecup bibir sang istri cukup lama, dan istrinya mengikuti permainannya saat ini. Tiba-tiba saja aktivitas mereka harus terhenti karena terdengar suara tangisan bayi dari dalam box bayi.Dharmatio berdecak kesal, sedangkan Cindya hanya tertawa melihat Dharmatio yang melangkahkan kaki mendekati box bayi untuk melihat Echa-putri kecil mereka-.“Anak cantik sudah bangun?” monolog Dharmatio, kedua tangannya mengangkat tubuh Echa, lalu menggendongnya dengan mengusap punggung bayi perempuan itu. “Mau susu?” tan
Harena memperhatikan tubuhnya pada cermin full body dihadapannya saat ini, kedua tangannya mengusap perutnya yang terbuka, karena saat ini dirinya memakai kaos croptop. “Mas, menurutmu anak kita nanti perempuan atau laki-laki?” tanyanya menoleh ke belakang.Dharmatio, pria itu terbaring dengan selimut yang menutupi setengah bawah tubuhnya. Kedua mata menatap datar Harena yang tersenyum kepadanya. “Kamu serius bertanya kepadakuu? Kalau kamu penasaran, kenapa tidak check ke dokter kandungan?” balasnya sedikit sarkasme, sehingga membuat Harena mengalihkan atensi.Wanita hamil itu menahan diri untuk tidak menangis dihadapan Dharmatio, sejujurnya ia sangat benci menangis. Saat dirinya menangis, kejadian dimasa kelam teringat kembali. Saat tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari orangtuanya, hingga sampai akhirnya wanita itu di kirim ke panti asuhan.Sedangkan Dharmatio menyibak selimut, bangkit dan duduk bersandar dengan kedua kaki yang terlipat. Aura panas sedang dihalau olehnya, benar