Share

4. Ponsel Berdering!

Author: Lapini
last update Last Updated: 2025-03-10 13:47:11

Cindya menghabiskan hari-harinya sebagai ibu rumah tangga yang sepenuhnya mengurus Arlantio. Meskipun kadang terasa membosankan, ia mencoba menikmatinya karena itu adalah keputusan yang diambilnya dengan penuh kesadaran. Hari-hari biasanya diisi dengan bermain bersama putranya, seperti hari ini, ketika mereka sedang tertawa-tawa di ruang keluarga, bergurai sambil melempar bola kecil ke arah satu sama lain.

Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, menginterupsi momen menyenangkan mereka. Cindya bergegas ke pintu, mendapati seorang kurir berdiri di sana dengan sebuah paket berukuran sedang di tangannya. "Paket atas nama Dharmatio," ujar kurir itu sambil tersenyum ramah.

Cindya menerima paket tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Namun, sebelum pergi, kurir itu menambahkan, "Sepertinya suaminya Mbak sayang banget sama Mbak, sering pesan paket ke alamat ini, Mbak." Kalimat sederhana itu terasa seperti angin dingin yang menyentuh Cindya. Senyumnya tetap terpaku, tapi pikirannya langsung dihantui berbagai pertanyaan. 

Setelah kurir pergi, ia berdiri di depan pintu dengan paket di tangannya, merasa ada sesuatu yang aneh dengan ucapan itu. "Sering kirim ke sini?" bisiknya pada diri sendiri. Ia mencoba mengingat apakah Dharmatio pernah menyebut tentang pengiriman paket sebelumnya, tetapi tidak ada yang terpikirkan.

Cindya membawa paket itu ke ruang tamu, meletakkannya di atas meja sambil memandangi kotak itu dengan perasaan bercampur aduk. Apa yang ada di dalam paket? Kenapa harus sering dikirim ke rumah mereka? Apakah ini terkait pekerjaan Dharmatio atau ada hal lain yang tidak diketahuinya?

Pikiran-pikiran itu terus bermain di benaknya. Ia tidak ingin langsung berprasangka buruk, tapi rasa penasaran mulai menyelinap ke dalam dirinya. "Aku akan bertanya padanya malam ini," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. Meski begitu, rasa gelisah kecil mulai menetap di sudut hatinya.

*

Cindya duduk di tepi tempat tidur, matanya terus terpaku pada paket yang tergeletak rapi di atas meja nakas. Cahaya redup dari balkon memberikan bayangan samar di kamar, menciptakan suasana yang seolah menggantung. Jam dinding menunjukkan sudah lebih dari 15 menit sejak Dharmatio mengabarkan bahwa ia sedang dalam perjalanan pulang. Jantung Cindya berdetak pelan tapi teratur, sementara pikirannya tak henti bertanya-tanya.

Apa sebenarnya isi dari paket itu? Apakah sesuatu yang penting? Mengapa kurir menyebut sering mengirim ke alamat mereka? Pikiran-pikiran itu datang silih berganti seperti gelombang yang tak bisa dihentikan.

Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan perlahan ke arah jendela balkon, memandangi gelapnya malam di luar. Lampu-lampu jalan tampak redup, angin malam berhembus pelan, tetapi keheningan itu tak mampu menenangkan kegelisahannya. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba mengendalikan rasa penasaran yang terus bergejolak.

Saat suara langkah di lorong terdengar, Cindya segera berbalik, detak jantungnya meningkat. Beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka perlahan, menampilkan sosok Dharmatio yang tampak lelah dengan dasi yang sudah dilonggarkan. Wajahnya sedikit pucat, tetapi ia mencoba tersenyum begitu melihat istrinya.

"Aku pulang," katanya singkat, suaranya terdengar berat, tetapi ada kehangatan di dalamnya.

Cindya tersenyum tipis, mendekatinya. "Kamu terlihat sangat lelah. Aku sudah siapkan air hangat kalau kamu ingin mandi," ucapnya lembut sambil meraih jasnya yang Dharmatio lepas begitu saja.

Dharmatio mengangguk pelan, "Terima kasih, Sayang. Tapi aku hanya ingin berbaring sebentar. Hari ini sangat melelahkan."

Cindya mengawasi Dharmatio yang duduk di tepi tempat tidur, menghela napas panjang seolah ingin melepaskan beban berat yang ia bawa seharian. Ia menyadari ini mungkin bukan waktu yang tepat untuk bertanya tentang paket itu, tetapi rasa penasaran terus menggelitiknya.

"Mas," panggilnya pelan, mencoba memulai percakapan.

"Iya?" Dharmatio menatapnya dengan mata yang sedikit sayu, menunggu kelanjutannya.

Cindya menatap matanya sejenak sebelum memutuskan untuk menahan diri. "Tidak … tidak apa-apa. Kamu istirahat dulu. Nanti kita bicara," ujarnya akhirnya sambil menepuk bahunya lembut.

Dharmatio tampak lega dengan jawaban itu, lalu berbaring perlahan di tempat tidur. Sementara itu, Cindya kembali memandang paket di meja nakas, meyakinkan dirinya bahwa ia akan mencari waktu yang tepat untuk membahasnya. Untuk saat ini, ia memilih untuk tetap menjaga ketenangan malam itu.

Setelahnya tidak ada lagi yang berbicara, Cindya berusaha untuk memejamkan kedua matanya, sedangkan Dharmatio sudah terlelap karena kelalahan. Hingga akhirnya, ponsel milik Dharmatio berdering, membuat pria itu membuka kedua mata dan melihat siapa yang menelfonnya pada malam hari seperti ini.

Cindya memperhatikan sosok suaminya yang melangkah keluar dari luar kamar. Ia semakin penasaran, bangkit dan melangkahkan kaki perlahan mendekati pintu, lalu menempelkan telinganya pada pintu, mencoba mendengar lebih jelas percakapan Dharmatio di telepon. Ia akhirnya dapat menangkap beberapa potongan dialog di tengah keheningan malam itu.

"Aku sudah bilang," suara Dharmatio terdengar rendah namun jelas, "jangan hubungi aku saat aku di rumah. Ini bisa jadi masalah besar."

Sebuah suara di telepon, terlalu pelan untuk didengar jelas oleh Cindya, tampaknya memberikan penjelasan atau mungkin membela diri. Dharmatio menghela napas, terdengar frustrasi. "Aku akan bicara nanti, oke? Kita nggak bisa seperti ini terus."

Hening sesaat, lalu Dharmatio kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih tegas. "Cindya akan curiga. Jangan telepon lagi pagi-pagi atau malam, terutama ketika aku bersama keluargaku."

Cindya menahan napas, mendengar suara langkah Dharmatio yang pelan mendekati pintu kamar. Ia segera berdiri tegak dan kembali ke tempat tidur dengan cepat, berpura-pura tertidur.

Pintu kamar terbuka perlahan, dan Dharmatio melangkah masuk. Sekilas, ia menatap istrinya yang tampak tenang di tempat tidur sebelum berjalan ke meja nakas, mengambil ponselnya dan meletakkannya dalam mode diam. Setelah itu, ia berbaring di samping Cindya, menghela napas panjang seolah-olah melepaskan beban berat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kerja ibu rumahtangga yg g banyak kegiatan di luar. tapi g tau klu paket utk suaminya sering datang. hanya bisa bilang, mampuslah kau cindy. tolol, menye2 dan lemot
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   68. Situasi akan memanas

    “Om beneran ke apartementnya Harena?” tanya Zandi to the point, ia duduk di sisi kanan Hergantara yang menganggukkan kepala santai. Kedua matanya bertemu tatap dengan kedua mata pria setengah paruh baya yang merupakan papa dari sahabatnya-Cindya-.Hergantara memberikan gelas kecil yang berisi alkohol, dan diterima oleh Zandi yang tidak langsung meneguknya. “Kamu tahu darimana pin unit apartement Harena?” tanyanya, menaikkan sebelah alis bingung.Hergantara bisa masuk ke dalam unit apartement yang disewakan oleh Dharmatio untuk Harena berkat Zandi. Ia tidak tahu pinnya, sebelum masuk lebih dahulu bertanya kepada Zandi. Zandi dengan senang hati memberitahukannya.Zandi tersenyum penuh arti, “Aku tahu segalanya, Om. Jadi kalau Om butuh informasi, bisa tanya ke aku. Nanti aku kasih tahu secara detail,” tuturnya menaik-turunkan kedua alisnya lalu terkekeh.Pemuda itu meneguk hingga tandas minuman yang diberikan olehh Hergantara kepadanya. Kebetulan malam ini sedang kosong, dan mendapatkan

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   67. Sebenernya siapa Cindya?

    Dharmatio melangkahkan kaki mendekati Cindya dan Arlantio yang duduk di salah satu bangku taman, sedangkan Echa berada dalam gendongannya. Bayi perempuan itu sangat tenang, tidak marah-marah atau rewel saat diajak ke taman.“Abang mau ice cream?” tanya Dharmatio, membuat putranya itun mendongak dan bertemu tatap dengannya. “Papa beliin,” lanjutnya.Arlantio menganggukkan kepala, “Aku mau satu. Bunda mau?” tanyanya kepada sang bunda yang bergumam pelan, lalu menggelengkan kepala sebagai jawaban ‘tidak’. Ia mengangguk-anggukkan kepala, kembali memperhatikan papanya yang sedang menatapnya dengan senyum kecil.“Berarti satu, kalau Papa mau, dua. Aku mau rasa coklat,” tuturnya.Dharmatio mengacungkan jempol ke udara, “Oke sebentar. Papa belikan.” Ia segera melenggang pergi bersama dengan Echa yang berada dalam gendongannya tanpa kain atau semacamnya, benar-benar menggendong dengan tangan kosong.Sepeninggalan Dharmatio, kini tinggal Cindya dan Arlantio yang saling menatap satu sama lain. T

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   66. Harena Panik

    PRANG!“ARGHH! SIALANN!”Harena melempar sembarang vas bunga, membuat vas bunga tanpa motif itu terpecah di lantai. Nafasnya naik turun, tangan kanannya menggenggam benda pipih yang dicengkram kuat, bahkan tidak peduli jika nanti benda itu akan rusak dan melukai tangannya.“Cindya lagi … Cindya lagi ….” monolognya, lantas melangkahkan kaki ke arah balkon dan duduk di kursi santai yang sudah tersedia di balkon.Perutnya semakin buncit, sangat terllihat bahwa dirinya sedang hamil. Ini rencananya, tetapi membuatnya kesusahan. Tidak bisa kemanapun yang ia suka, kegiataannya hanya dilakukan di apartement.Bosan di unit apartement? Pergi ke taman, ke kantin, tempat olahraga seperti gym yang ada di lantai satu. Paling jauh? Ke tempat syuting Dharmatio. Jarak yang cukup jauh, ditempuh sendirian olehnya, dan menginap di hotel yang berada di dekat tempat lokasi syuting.“Percuma menjadi istri kedua, kalau tetep menjadi yang kedua,” kesalnya, lalu berdecak.TING TONNGSuara bel membuat perhatian

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   65. Arlantio Mendengarnya. Siaga!

    Arlantio membuka pintu kamarnya dengan perlahan, mempertajam indra pendengarannya. Ia melangkah keluar dari kamarnya dengan langkah pelan ke arah kamar yang ada sedikit jauh dari kamarnya, terhalang dua kamar darinya.“Iya. Aku ke sana. Tapi nanti yaa, aku baru sampai rumah.”Suara itu semakin jelas ditelinga bocah laki-laki yang saat ini berdiri tepat didepan kamar yang memang tidak ditempati oleh siapapun, terkecuali ada keluarga besar yang datang dan menginap. Kamar itu akan digunakan oleh tamu.“Kita sudah hampir setiap hari bertemu, dan your baby juga sudah aku manja. Kamu nuntut apalagi?”Tubuh Arlantio menegang setelah mendengar penuturan yang baru saja diucapkan oleh papanya itu. Dharmatio tadi malam sudah kembali ke rumah selama satu bulan lebih satu minggu tidak ada di rumah, alasannya ada syuting yang harus dihadiri di luar daerah.Arlantio sudah bisa menebak yang sedang telfonan dengan papanya itu, wanita yang sangat ia tidak sukai sejak pertama kali wanita itu datang. Dir

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   64. Arlantio akan menjadi garda terdepan?

    Hergantara menatap cucunya yang kini tertidur di kedua pahanya, tangannya terangkat mengusap puncak kepala bocah laki-laki yang sangat terlihat jelas sedang kelelahan. Ia menghela nafasnya perlahan.Setelah obrolannya dengan Arlantio dua jam yang lalu, membuat Hergantara berfikiran untuk mengirim Harena ke luar kota, tetapi jika difikirkan kembali, tidak ada manfaatnya. Dharmatio akan tetap menemui Harena.Hergantara sengaja menutupi informasi ini dari putrinya, lebih tepatnya ingin menjaga mental Cindya. Selalu bersama dengan Cindya dan kedua cucunya, bergantian dengan Arcinta-istrinya- dan Zandi.“Kamu terlalu dini untuk mengetahui urusan orang dewasa, Arlan,” monolognya. Kalimat itu seharusnya ia katakkan beberapa jam yang lalu, tetapi lidahnya kelu, bibirnya terkunci rapat. Syok setelah Arlantio melarangnya untuk tidak membahas Dharmatio kepada Cindya.Tambah terkejut saat bibir cucu pertamanya itu memberikan alasan, sehingga membuatnya benar-benar mengurungkan niat untuk tidak me

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   63. Darimana Arlantio Mengatahuinya?

    Dua bulan berlalu ….Cindya bahagia karena putrinya kini sudah bisa merangkak, dan sudah banyak mengoceh walaupun masih dengan bahasa bayi. Begitupun yang dirasakan oleh Arlantio, sebagai kakak dari Echa ikut turut bahagia melihat tumbuh kembali adik perempuannya itu. Dharmatio? Sama seperti Cindya dan Arlantio, hanya saja waktunya berkurang satu minggu karena ada syuting di luar daerah selama satu bulan.“Adekk ….”Arlantio melangkahkan kaki mendekati Echa yang sedang tengkurap di atas karpet tebal, bayi perempuan itu tidak sendiri, ada sang Bunda yang duduk di sisi kanan sambil terus mengawasi pergerakan Echa.“Halo, Abangg,” ucap Cindya, berusaha menirukan gaya bicara anak kecil, ia terkekeh saat melihat putranya menggeleng-gelengkan kepala. “Pulang bareng Grandma atau Grandpa?” tanyanya, menatap putranya yang kini duduk di hadapan Echa yang mendekat.“Grandpa,” jawab Arlantio, menatap sang bunda yang mengangguk-anggukkan kepala. Lantas atensinya kini tertuju kepada Echa yang menep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status