Cindya menghabiskan hari-harinya sebagai ibu rumah tangga yang sepenuhnya mengurus Arlantio. Meskipun kadang terasa membosankan, ia mencoba menikmatinya karena itu adalah keputusan yang diambilnya dengan penuh kesadaran. Hari-hari biasanya diisi dengan bermain bersama putranya, seperti hari ini, ketika mereka sedang tertawa-tawa di ruang keluarga, bergurai sambil melempar bola kecil ke arah satu sama lain.
Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, menginterupsi momen menyenangkan mereka. Cindya bergegas ke pintu, mendapati seorang kurir berdiri di sana dengan sebuah paket berukuran sedang di tangannya. "Paket atas nama Dharmatio," ujar kurir itu sambil tersenyum ramah.
Cindya menerima paket tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Namun, sebelum pergi, kurir itu menambahkan, "Sepertinya suaminya Mbak sayang banget sama Mbak, sering pesan paket ke alamat ini, Mbak." Kalimat sederhana itu terasa seperti angin dingin yang menyentuh Cindya. Senyumnya tetap terpaku, tapi pikirannya langsung dihantui berbagai pertanyaan.
Setelah kurir pergi, ia berdiri di depan pintu dengan paket di tangannya, merasa ada sesuatu yang aneh dengan ucapan itu. "Sering kirim ke sini?" bisiknya pada diri sendiri. Ia mencoba mengingat apakah Dharmatio pernah menyebut tentang pengiriman paket sebelumnya, tetapi tidak ada yang terpikirkan.
Cindya membawa paket itu ke ruang tamu, meletakkannya di atas meja sambil memandangi kotak itu dengan perasaan bercampur aduk. Apa yang ada di dalam paket? Kenapa harus sering dikirim ke rumah mereka? Apakah ini terkait pekerjaan Dharmatio atau ada hal lain yang tidak diketahuinya?
Pikiran-pikiran itu terus bermain di benaknya. Ia tidak ingin langsung berprasangka buruk, tapi rasa penasaran mulai menyelinap ke dalam dirinya. "Aku akan bertanya padanya malam ini," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. Meski begitu, rasa gelisah kecil mulai menetap di sudut hatinya.
*
Cindya duduk di tepi tempat tidur, matanya terus terpaku pada paket yang tergeletak rapi di atas meja nakas. Cahaya redup dari balkon memberikan bayangan samar di kamar, menciptakan suasana yang seolah menggantung. Jam dinding menunjukkan sudah lebih dari 15 menit sejak Dharmatio mengabarkan bahwa ia sedang dalam perjalanan pulang. Jantung Cindya berdetak pelan tapi teratur, sementara pikirannya tak henti bertanya-tanya.
Apa sebenarnya isi dari paket itu? Apakah sesuatu yang penting? Mengapa kurir menyebut sering mengirim ke alamat mereka? Pikiran-pikiran itu datang silih berganti seperti gelombang yang tak bisa dihentikan.
Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan perlahan ke arah jendela balkon, memandangi gelapnya malam di luar. Lampu-lampu jalan tampak redup, angin malam berhembus pelan, tetapi keheningan itu tak mampu menenangkan kegelisahannya. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba mengendalikan rasa penasaran yang terus bergejolak.
Saat suara langkah di lorong terdengar, Cindya segera berbalik, detak jantungnya meningkat. Beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka perlahan, menampilkan sosok Dharmatio yang tampak lelah dengan dasi yang sudah dilonggarkan. Wajahnya sedikit pucat, tetapi ia mencoba tersenyum begitu melihat istrinya.
"Aku pulang," katanya singkat, suaranya terdengar berat, tetapi ada kehangatan di dalamnya.
Cindya tersenyum tipis, mendekatinya. "Kamu terlihat sangat lelah. Aku sudah siapkan air hangat kalau kamu ingin mandi," ucapnya lembut sambil meraih jasnya yang Dharmatio lepas begitu saja.
Dharmatio mengangguk pelan, "Terima kasih, Sayang. Tapi aku hanya ingin berbaring sebentar. Hari ini sangat melelahkan."
Cindya mengawasi Dharmatio yang duduk di tepi tempat tidur, menghela napas panjang seolah ingin melepaskan beban berat yang ia bawa seharian. Ia menyadari ini mungkin bukan waktu yang tepat untuk bertanya tentang paket itu, tetapi rasa penasaran terus menggelitiknya.
"Mas," panggilnya pelan, mencoba memulai percakapan.
"Iya?" Dharmatio menatapnya dengan mata yang sedikit sayu, menunggu kelanjutannya.
Cindya menatap matanya sejenak sebelum memutuskan untuk menahan diri. "Tidak … tidak apa-apa. Kamu istirahat dulu. Nanti kita bicara," ujarnya akhirnya sambil menepuk bahunya lembut.
Dharmatio tampak lega dengan jawaban itu, lalu berbaring perlahan di tempat tidur. Sementara itu, Cindya kembali memandang paket di meja nakas, meyakinkan dirinya bahwa ia akan mencari waktu yang tepat untuk membahasnya. Untuk saat ini, ia memilih untuk tetap menjaga ketenangan malam itu.
Setelahnya tidak ada lagi yang berbicara, Cindya berusaha untuk memejamkan kedua matanya, sedangkan Dharmatio sudah terlelap karena kelalahan. Hingga akhirnya, ponsel milik Dharmatio berdering, membuat pria itu membuka kedua mata dan melihat siapa yang menelfonnya pada malam hari seperti ini.
Cindya memperhatikan sosok suaminya yang melangkah keluar dari luar kamar. Ia semakin penasaran, bangkit dan melangkahkan kaki perlahan mendekati pintu, lalu menempelkan telinganya pada pintu, mencoba mendengar lebih jelas percakapan Dharmatio di telepon. Ia akhirnya dapat menangkap beberapa potongan dialog di tengah keheningan malam itu.
"Aku sudah bilang," suara Dharmatio terdengar rendah namun jelas, "jangan hubungi aku saat aku di rumah. Ini bisa jadi masalah besar."
Sebuah suara di telepon, terlalu pelan untuk didengar jelas oleh Cindya, tampaknya memberikan penjelasan atau mungkin membela diri. Dharmatio menghela napas, terdengar frustrasi. "Aku akan bicara nanti, oke? Kita nggak bisa seperti ini terus."
Hening sesaat, lalu Dharmatio kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih tegas. "Cindya akan curiga. Jangan telepon lagi pagi-pagi atau malam, terutama ketika aku bersama keluargaku."
Cindya menahan napas, mendengar suara langkah Dharmatio yang pelan mendekati pintu kamar. Ia segera berdiri tegak dan kembali ke tempat tidur dengan cepat, berpura-pura tertidur.
Pintu kamar terbuka perlahan, dan Dharmatio melangkah masuk. Sekilas, ia menatap istrinya yang tampak tenang di tempat tidur sebelum berjalan ke meja nakas, mengambil ponselnya dan meletakkannya dalam mode diam. Setelah itu, ia berbaring di samping Cindya, menghela napas panjang seolah-olah melepaskan beban berat.
Cindya menatap sang bunda yang duduk tenang memperhatikannya di ruang keluarga, ia tidak perlu khawatir tentang kedua anaknya yang sedang dijaga dan diajak main oleh Zandi dan sang papa.“Kamu serius tentang itu? Kamu mau kerja di kantor Papa?” tanya Arcinta, mencoba untuk mencari tahu apakah putrinya itu sudah sangat yakin atau belum dengan keputusan tersebut. “Kamu tetap akan bertemu dengan Dharma,” lanjutnya.Cindya tersenyum tipis, “Aku yakin, Bunda. Dan untuk itu, aku bisa membuat semua karyawan Papa itu tutup mulut. Dengan begitu, mereka tidak akan ada yang membocorkan aku kerja di kantor papa.”“Kamu tidak takut kalau kamu dipandang memanfaatkan kekuasaan papa?”Cindya bergumam pelan, mencoba untuk membuat tubuhnya rileks dengan bersandar dan melipat keduanya. Atensinya menatap sang bunda yang tidak mengalihkan atensi kepadanya. Jujur saja, pemikiran itu tidak menjadi beban untuknya.“Selama aku kerja dengan baik, sangat baik, dan membawa perubahan terhadap kantor Papa, kenapa
Cindya menghela nafasnya perlahan, ia memperhatikan kamarnya yang dahulu ditempati olehnya sebelum menikah. Tidak ada yang berubah, furniture dan barang-barang miliknya masih pada tempatnya.Sesuai dengan pembicaraannya dengan kedua orangnya satu jam yang lalu, papanya yang tegas, memaksanya untuk kembali ke rumah ini, tanpa memberitahu Dharmatio-suaminya-.Suara bayi yang ada di troli bayi membuat perhatian Cindya teralihkan. Wanita itu melangkahkan kaki ke depan, berjongkok lantas tersenyum manis menatap Echa yang bergerak minta untuk dilepaskan.“Gak mau. Adek diem aja ya di situ, Bunda mau tidur,” ucap Cindya, memperhatikan ekspresi Echa yang berubah menjadi cemberut, keningnya mengkerut.Wanita itu beranjak, berbalik badan, lantas saat ingin melangkahkan kedua kaki jenjangnya, suara tangis Echa memenuhi kamar ini. Sehingga membuat Cindya berbalik badan, lalu melepaskan tali yang menahan Echa untuk tidak bergerak banyak, dan menggendongnya.“Anak cantik, gak boleh nangis,” ucap C
Hergantara memperhatikan putrinya yang semakin hari semakin kurus, “Kamu tidak makan atau gimana?” tanyanya sarkas, membuat Cindya mengulum bibir dan hanya terdiam. “Kalau seperti ini terus menerus, Papa yang akan ambil alih semuanya,” lanjutnya tegas.“Pah … gak usah sampai sejauh itu,” ujar Cindya sedikit keras. Sekarang, dirinya bisa bebas berekspresi, karena hanya dirinya dan Hergantara. Putri kecilnya dan putranya sedang bersama dengan Arcinta-Bundanya-.Hergantara menegakkan tubuhnya, menatap dalam kedua mata putrinya yang sayu. Putrinya itu bisa berkata ‘baik-baik saja’, tetapi tatapan dan tubuh yang semakin kurus, menandakan bahwa putrinya itu sedang kelelahan, dan tidak baik-baik saja.“Kamu mau kaya gini terus? Sedangkan mereka diluar sana sangat bahagia, mereka tidak memikirkanmu? Are you seriously?”Cindya menghela nafasnnya, memijat pelipisnya. Kepalanya tiba-tiba saja pusing. Apa yang dikatakan oleh papanya itu seperti pedang yang menusuk otaknya, melukai kepalanya, ben
Cindya tersenyum lebar melihat tingkah putrinya yang tengkurap, mencoba untuk merangkak, tetapi belum bisa, dan membuat bayi perempuan itu terlihat sangat menggemaskan.“Adek mau merangkak? Coba lagi yukk ….” Cindya menyemangati Echa, naluri seorang ibu yang mendukung tumbuh kembang anak.Sementara bayi perempuan itu tersenyum lebar, mencoba untuk terus merangkak walaupun tidak menghasilkan apapun, alias hanya diam ditempat.Cindya terkekeh pelan, mengangguk-anggukkan kepala, “Gapapa, dicoba lagi. Yukk Adek pasti bisa,” tuturnya dengan penuh semangatt.Kalau bayi perempuan itu sudah bisa ngomong dan mengerti apa yang dilakukannya sekarang, sudah dipastikan akan mengoceh panjang, melampiaskan rasa kesalnya karena tidak bisa melakukannya.Sementara Cindya hanya memperhatikan putri kecilnya yang terus bergerak di kasur, sedangkan dirinya duduk bersandar dengan kedua kaki terlipat.Lagi-lagi Cindya dibuat gemas oleh Echa, walaupun putri kecilnya itu hanya menatapnya dengan kedua mata bula
Cindya mengerjapkan kedua matanya saat merasakan kecupan di pelipisnya, samar-samar melihat sosok Dharmatio yang tersenyum kepadanya. Cahaya yang masuk melalui celah jendela, berhasil mengusik indra penglihatannya.“Mas, kamu baru pulang?” tanya Cindya dengan suaranya yang serak, bangkit lantas duduk bersandar. Kini kedua matanya melihat jelas sosok tinggi yang berdiri di sisinya setelah tangannya menyentuh saklar untuk menyalakan lampu kamarnya .Dharmatio menganggukkan kepala, ia mengecup bibir sang istri cukup lama, dan istrinya mengikuti permainannya saat ini. Tiba-tiba saja aktivitas mereka harus terhenti karena terdengar suara tangisan bayi dari dalam box bayi.Dharmatio berdecak kesal, sedangkan Cindya hanya tertawa melihat Dharmatio yang melangkahkan kaki mendekati box bayi untuk melihat Echa-putri kecil mereka-.“Anak cantik sudah bangun?” monolog Dharmatio, kedua tangannya mengangkat tubuh Echa, lalu menggendongnya dengan mengusap punggung bayi perempuan itu. “Mau susu?” tan
Harena memperhatikan tubuhnya pada cermin full body dihadapannya saat ini, kedua tangannya mengusap perutnya yang terbuka, karena saat ini dirinya memakai kaos croptop. “Mas, menurutmu anak kita nanti perempuan atau laki-laki?” tanyanya menoleh ke belakang.Dharmatio, pria itu terbaring dengan selimut yang menutupi setengah bawah tubuhnya. Kedua mata menatap datar Harena yang tersenyum kepadanya. “Kamu serius bertanya kepadakuu? Kalau kamu penasaran, kenapa tidak check ke dokter kandungan?” balasnya sedikit sarkasme, sehingga membuat Harena mengalihkan atensi.Wanita hamil itu menahan diri untuk tidak menangis dihadapan Dharmatio, sejujurnya ia sangat benci menangis. Saat dirinya menangis, kejadian dimasa kelam teringat kembali. Saat tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari orangtuanya, hingga sampai akhirnya wanita itu di kirim ke panti asuhan.Sedangkan Dharmatio menyibak selimut, bangkit dan duduk bersandar dengan kedua kaki yang terlipat. Aura panas sedang dihalau olehnya, benar